• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Komunikasi Antara Mr A dan Mr B

Dalam dokumen BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN (Halaman 50-64)

4.2.2 Analisis Krisis

4.2.2.2 Hubungan Komunikasi Antara Mr A dan Mr B

Melalui hasil wawancara, peneliti akan mendeskripsikan bagaimana hubungan komunikasi yang terjadi di antara kedua manajer. Melalui pengamatan langsung di lapangan pula peneliti akan mendeskripsikan fakta fakta yang tidak dapat diungkap melalui wawancara mendalam.

Jika dilihat, profil singkat Mr A adalah manajer keuangan dengan pengalaman dibidang accounting selama belasan tahun, sedangkan Mr B berpengalaman di bidang restoran bertahun-tahun lamanya mendukung temuan awal yang menyebutkan bahwa keduanya tidak memiliki kapabilitas untuk menggantikan posisi seorang General Manager. Diperkuat dengan ketidakresmian pengangkatan keduanya berdasarkan kedekatan hubungan dengan pemilik hotel, bukan berdasarkan pemenuhan kualifikasi seperti yang idealnya dilakukan di organisasi-organisasi profit lainnya. Wawancara yang dilakukan dengan Mr A cukup mengagetkan karena dari keseluruhan hasil wawancara dan pengamatan peneliti terhadap bahasa nonverbal yang terjadi selama wawancara berlangsung seperti gerak tubuh, mimik muka, ekspresi yang tampak, dan sebagainya menunjukkan bagaimana Mr A tidak segan-segan mengutarakan kurangnya apresiasi beliau terhadap pengangkatan Mr B. Ia mengatakan dibanding Mr B, ia lebih berhak untuk dijadikan pimpinan tunggal karena selain aturan yang ada bahwa jika GM mundur dari jabatannya maka yang berhak menggantikan posisinya adalah posisi manajer keuangan, jika tidak ada manajer keuangan, maka selanjutnya yang berhak ditunjuk adalah manajer sales and marketing, dan manajer makanan dan minuman ada

pada daftar terakhir karena dianggap tidak bisa menangani kegiatan baik administrasi maupun operasional hotel. Berusaha tidak terlalu tampak percaya diri, Mr A menutupinya dengan sangat baik dengan berkata,

“…ya kan sudah saya jelaskan, sudah sesuai dengan prosedur tho kalau saya yang seharusnya diangkat? Saya tidak bilang saya yang paling berhak, saya hanya bilang sesuai prosedur seharusnya saya yang diangkat. Manajer yang kerja di sini sekarang kan juga bukan manajer baru, semua sudah pernah kerja di hotel sebelumnya, kalau kamu tanya mereka, pasti mereka menjawab hal yang sama…”25

Mr A melihat bahwa kedekatan hubungan antara Mr B dengan pemilik hotel-lah yang membuat Mr B diberikan fasilitas dan tanggung jawab setara dengan GM. Melalui wawancara, Mr A kemudian memajukan badannya mendekati pinggir meja dan dengan menaikkan volume suaranya berkata,

“…ya kamu lihat saja sendiri. Owner lebih sering berada di Pastis. Sekarang yang lebih sering berada di Pastis dan sering berbicara dengan owner siapa kalau bukan Mr B? Kalau saya ya, ruang kerja saya disini. Jarang yang namanya saya nongkrong di Pastis, kecuali memang makan siang dan seperlunya saya. Kalau saya banyak menghabiskan waktu di Pastis apa gak namanya nanti saya manggabut? Jelas dari situ saja kamu bisa lihat hubungan kedekatan dengan owner sudah berbeda. Dan owner kan jarang masuk-masuk ke kantor kita kalau enggak karena terpaksa sekali, paling ya kita yang disuruh menghadap ke Pastis. Ya mungkin yang ada seolah-olah terlihat sekali setiap harinya bekerja itu Mr B, padahal mah saya juga kerja kan disini…”26

25 Ibid

Mr A meyakini bahwa posisi yang tidak menguntungkan ini bermula dari seringnya Mr B berada di restoran, tempat dimana pemilik hotel sering menghabiskan waktu disana, sementara Mr A lebih sering menghabiskan waktu di ruang kerjanya membereskan dokumen-dokumen, menandatangani surat-surat penting, dan mengawasi keluar masuknya uang. Mr A pun mengakui kemampuan berkomunikasi Mr B adalah yang paling baik diantara semua manajer, hal ini tidak diragukan lagi karena Mr B memang sudah lama berkarir di dunia kuliner atau restoran hotel, jadi bertemu dan berbicara dengan orang sudah tidak lagi menjadi hal yang canggung atau sulit baginya. Namun ia menampik jika Mr B tidak bisa serta merta menggantikan posisinya dalam perusahaan mengingat keterbatasan pengalaman dan pengetahuannya di bidang keuangan.

“…ya kurang lebih seperti itu. Mr B ini kan memang kata orang-orang komunikatif, jamannya GM kita dulu juga cuma dia yang dianggap paling bisa “ngobrol” sama owner. Ya kalau kata saya sih wajar, kita kan kerja di dunia hospitality, apalagi dia dari dulu kerja di restoran, wajar sering ketemu banyak orang. Mungkin ya itu, communication skill nya tidak perlu diragukan, apalagi orang melihatnya masih muda, menarik dan segar. Kalau berbicara masalah kualifikasi ya jelas tidak lah. Kalau saya yang jadi manajer restoran, mungkin saya juga kurang bisa tapi setidaknya saya gak cuma tahu soal promo, saya juga tahu soal laporan keuangannya. Lah kalau dia yang menggantikan posisi saya? Mana bisa. Logikanya begitu bukan? Selama menjabat sebagai manajer makanan dan minuman juga bisa dilihat hasil kerjanya apa, semua orang bisa menilai koq…”27

Berbeda dengan Mr A yang cenderung kaku dan peneliti melihat dari semua manajer, Mr A memiliki kemampuan komunikasi terburuk hampir dengan banyak karyawan. Namun mengenai segi kualifikasi, Mr A terang-terangan menolak jika disebutkan keduanya bisa disetarakan.

Mr A disela-sela wawancara menunjuk tumpukan berkas yang ada di mejanya sambil mengatakan keberatannya karena masih harus mengajari Mr B mempelajari mengenai administrasi hotel. Ia tidak memiliki waktu banyak untuk menghabiskan waktunya dan berharap agar Mr B cepat mengerti. Sementara menanggapi kehadirannya dalam owner meeting yang dilaksanakan setiap hari selasa, Mr A merasa kehadirannya hanya sebagai pendengar saja. Mr B lebih banyak berbicara mengenai rencana kedepan yang akan dilakukan. Menggali lebih dalam lagi, peneliti menemukan fakta dari hasil wawancara bahwa kebijakan dari head office adalah Mr A yang sepatutnya diangkat sesuai dengan prosedur yang ada. Mr A dengan gamblang menceritakan alur prosedur pergantian GM, sebagai berikut:

“…sebenarnya kalau di hotel yang saya tahu dan hotel-hotel tempat kerja saya sebelumnya, kalau GM resign itu orang pertama yang ditunjuk untuk menggantikan posisinya itu ya saya, manajer keuangan. Kenapa saya, karena manajer keuangan itu yang paling dianggap tahu cara menjalankan sebuah hotel. Kan semua keuangan saya yang atur. Jadi ya saya yang dikatakan paling tahu dan paling mampu. Selanjutnya kalau saya tidak ada, yang berhak naik itu ADoS (Assistant Director of Sales), kalau disini ya, kalau ada manajer sales & marketing ya seharusnya dia (DoS – Director of Sales). DoS itu kan memegang peranan penting dalam penjualan kamar dan restoran, jadi dia orang kedua yang dianggap bisa mempertahankan kelangsungan hotel. Kalau DoS tidak ada, yang selanjutnya diangkat naik itu FOM (Front

Office Manager). Karena dia orang selanjutnya yang fokus dalam penjualan kamar, kalau departemen sales & marketing kan masuknya ke karyawan back office, kalau resepsionis dibawah FOM masuknya karyawan operasional. Yang bertemu tamu langsung kan mereka, dan tidak menutup kemungkinan mereka juga yang berjualan kamar ke tamu, secara tatap muka lagi. Seterusnya seperti itu sampai akhirnya baru masuk ke manajer makanan dan minuman. Karena yang namanya manajer makanan dan minuman itu tahu-nya ya hanya restoran, bisa dibilang mengenai hotel dia yang paling buta. Nah, kalau hotel yang mengikuti peraturan ya memang harusnya seperti itu. Tapi disini kan sedikit berbeda…”28

Kenyataan lainnya yang terkuak adalah bagaimana head office tidak memiliki andil besar dalam penentuan GM ini karena intervensi yang terlalu kuat dari pihak pemilik hotel. Sebagai manajemen hotel yang telah ditunjuk oleh pemilik, sudah menjadi hak dan kewajiban bagi head office untuk dapat memutuskan atau setidaknya memberikan konsultasi terkait dengan hal ini. Secara sederhana, peneliti beranggapan bahwa yang mengetahui operasional hotel dan cara menjalankan sebuah bisnis hotel adalah manajemen, pemilik adalah penerima profit dari bisnis yang sudah dijalankan. Di banyak hotel lain, pemilik adalah penyokong dana, penerima profit, dan penikmat hasil baik materi maupun reputasi. Di beberapa hotel pun, terdapat kriteria pemilik hotel yang ikut mengatur operasional perusahaan, perekrutan karyawan, pemecatan karyawan, dan sebagainya.

Hubungan komunikasi yang terjalin dengan Mr B pun diakui Mr A sering menghadapi kendala-kendala yang tidak jarang dijumpai. Perbedaan umur yang jauh memang menjadikan keduanya berpola pikir yang berbeda

pula. Karakterisktik dan gaya kepemimpinannya pun juga berbeda. Namun Mr A lebih memilih untuk menghindari konflik komunikasi dengan Mr B karena baginya suaranya kurang didengar oleh pemilik hotel. Mr A selalu mengungkit-ungkit keterbatasan pengalaman Mr B dalam mengelola hotel dan mendeskriditkan berdasarkan umur Mr B yang tergolong masih sangat muda. Ia melihat Mr B memiliki sifat yang berkobar-kobar dan kurang bisa membedakan hal-hal yang pantas diutarakan apa tidak. Jiwa mudanya yang bersemangat tidak diimbangi dengan kemampuan analisa yang baik. Sementara Mr A cenderung lebih banyak menganalisa tanpa berbuat apa-apa. Ekspresi wajah yang merendahkan Mr B tampak dominan selama dirinya memberikan pernyataan sebagai berikut:

“…saya sama Mr B itu beda umur, saya ini sudah puluhan tahun kerja di departemen keuangan di hotel bintang 5. Lah kalau dia? Dia dari dulu kan kerja selalu di restoran, ya lebih banyak di restoran lah begitu. Terus dia itu masih muda, anak muda yang gak ngerti apa-apa sekarang punya fasilitas yang seperti ini? Jiwanya memang masih berapi-api, kalau ada keinginan tidak dipikirkan terlebih dahulu, langsung saja di gemborkan di floor. Kalau kita kan yang sudah berpengalaman dipikirkan dulu, kalau memang masuk akal ya kita coba lempar ke morning briefing. Kalau cuma jago ngomong doang mah semua orang juga bisa, tapi kalau kita berbicara mengenai posisi GM, ini posisi yang tidak main-main loh, GM itu bertanggung jawab ke atas, head office dan owner, atas semua masalah yang terjadi di hotel dan restoran…”29

Ia juga sama sekali tidak sependapat dengan promo-promo yang selama ini dilakukan di Pastis. Baginya promosi ini tidak menghasilkan

keuntungan sama sekali, bahkan hanya menambah beban nya sebagai penanggung jawab keuangan. Seperti yang dicontohkan olehnya, promo yang dilakukan setiap hari Senin yakni I Love Monday Beer Festival yang dijual dengan hanya 1 dollar setiap gelasnya yang jika dirupiahkan sekitar 10.800 rupiah, hanya memiliki keuntungan 800 rupiah saja setiap gelasnya. Sebagai manajer keuangan jelas ia pasti akan mendapati pertanyaan seputar profit yang didapat dari hasil penjualan. Peneliti melihat bahwa posisinya sebagai manajer keuangan hendaknya dijadikan konsultan sebelum akhirnya Mr B memutuskan rencana promosi yang akan dilakukan mengingat promosi adalah untuk meningkatkan penjualan dan profit juga, bukan hanya menarik pengunjung untuk terus datang.

Sebelumnya peneliti memaparkan pandangan Mr A mengenai peran dan fungsi PR sebagai orang yang harus berada paling depan ketika perusahaan mengalami masalah. Hal ini didukung oleh fakta di lapangan yang ditemukan oleh peneliti ketika hotel ini diberitakan di media online mengenai meninggalnya salah satu tamu hotel di kamar mandi. Berita ini cukup mengagetkan karena memang terjadi dalam kondisi yang sangat tidak menguntungkan pihak manajemen. Tamu hotel yang lanjut usia itu rupanya sudah lama menderita penyakit dan ia mengunci dirinya di kamar mandi sementara anggota keluarga lainnya membiarkannya begitu saja. Kekhawatiran keluarga ketika sang bapak tidak juga keluar kamar mandi setelah sekian lama. Akhirnya staf departemen engineering mencoba untuk mendobrak kamar mandi tersebut dan menemukan tamu tersebut dalam

keadaan pingsan. Tamu tersebut dinyatakan tidak selamat dalam perjalanannya ke rumah sakit. Pemberitaan media tidak bernada negatif terhadap reputasi hotel ini, namun tetap saja harus ada aksi antisipatif guna menghindari hal hal yang tidak diinginkan. Pada hari itu juga, Mr A memasuki ruangan departemen sales and marketing dan menanyakan siapakah PR nya. Hal ini lantas menjadi perbicangan seluruh orang yang ada di ruangan tersebut yang terkejut bahwa Mr A tidak dapat membedakan antara staf PR dengan staf event. Hal ini dengan cepat menyebar dan menjadi lelucon di kalangan staf. Hal ini mungkin kecil bagi Mr A, tapi tidak bagi karyawan. Seorang pimpinan tidak hanya harus tahu struktur organisasi namun juga harus tahu posisi dan jabatan anak buahnya.

Berbeda dengan Mr B yang kurang terbuka mengenai pendapatnya mengenai Mr A, ia cenderung tidak ambil pusing dengan posisi keduanya. Mr B memang sedikit lebih “cuek” atau acuh dengan opini negatif yang banyak dibicarakan karyawan. Ini mungkin terjadi karena usianya yang masih muda. Selama penelitian berlangsung, peneliti juga dapat melihat dengan jelas bahwa Mr B sangat mengikuti apa yang menjadi keputusan pemilik hotel. Tidak seperti GM sebelumnya, yang berargumentasi jika ada hal-hal yang menjadi keputusan pemilik hotel bertentangan dengan peraturan perusahaan. Beberapa kali morning briefing diadakan di ruangan sales and marketing karena ruang meeting sedang digunakan. Seluruh percakapan dapat terdengar dengan jelas oleh staf departemen. Mr B cenderung menyangkal hampir semua keluhan yang disampaikan manajer departemen karena ia beranggapan pemilik hotel

tidak akan mendengarkan keluhan mereka. Ia juga terkadang mengatakan akan mendiskusikannya dengan pemilik hotel sementara pada akhirnya jawabannya adalah negatif. Dalam rapat pagi inilah peneliti melihat bahwa Mr B lebih memiliki power dan kepercayaan diri untuk mengatur, memberikan instruksi, menyampaikan amarah, dan sejenisnya dibanding Mr A. meskipun tidak sekali dua kali keduanya saling tumpang tindih untuk mengatur dan mengutarakan kekesalannya.

Peneliti melihat, karena berangkat dari level atau tingkatan yang sama, yakni jajaran manajer, maka manajer lainnya pun tidak segan untuk mengutarakan semua yang menjadi keluhan dan harapannya. Berbeda dengan GM terdahulu, kalangan manajer biasanya akan menyaring laporan dan masukan yang akan disampaikan di rapat.

Mr B merupakan tipikal orang yang ringan, mudah diajak komunikasi, lebih suka bercanda, namun terkadang ia tidak bisa mengontrol itu semua ketika berada di dalam forum diskusi yang serius. Ia juga terlihat menanggapi dengan ringan perihal pengangkatan keduanya. Baginya hal itu sah saja untuk dilakukan karena ini adalah keputusan dari pemilik hotel. Kesadarannya mengenai struktur organisasi memang kurang dipahami dengan baik. Ia banyak menganggap bahwa hal hal terjadi karena memang begitulah seharusnya. Ia tidak banyak menyangkal jika terjadi pelencengan dari prosedur yang sudah ditetapkan sebelumnya. Ia lebih santai dalam menganggapi segala sesuatunya. Lain halnya dengan Mr A yang lebih sering mengernyitkan dahi menandakan bahwa ia tidak setuju atau terkejut. Ketika

peneliti mewawancarainya dan menanyakan perihal keteguhannya menerima kesempatan yang diberikan pemilik hotel sementara dirinya sendiri menyadari bahwa ini tidak sesuai dengan prosedur, Mr B menggoyangkan kursi kerjanya ke arah depan dan belakang berkali-kali sambil tersenyum dan berkata,

“…ya kenapa juga saya harus tolak? Begini, ada orang yang mempercayakan kepada saya, berarti mereka melihat saya mampu. Nah, saya yang sudah diberikan kepercayaan ya sudah sepatutnya memberikan yang terbaik bagi perusahaan. Jadi saya tidak mau berfikir terlalu bagaimana. Kan yang mengalami saya. Saya tahu lah apa yang saya lakukan…”30

Wawancara terjadi setelah praktisi PR mengalami kesalahan penyebutan nama jabatan Mr B kepada jurnalis Investor Daily yang ketika itu bermaksud untuk meliput restoran serta menu makanan yang ada di Pastis, ketika itu Mr B datang menghampiri dan praktisi PR bermaksud memperkenalkannya dengan sang jurnalis. PR yang kala itu bingung akhirnya memperkenalkannya sebagai GM hotel. Namun, dengan sigap sambil menatap dalam kepada PR ia mengoreksinya menjadi operational manager. PR yang langsung menangkap maksud sang pimpinan mencoba meleburkan suasana dengan mengatakan maksudnya adalah operational manager. Ketika itu PR bertanya bagaimana bisa ia tidak mengetahui perihal penyebutan nama jabatannya itu, Mr B hanya menanggapi dengan ringan bahwa GM in charge kurang enak didengar, oleh karenanya ia meminta untuk diperkenalkan saja sebagai operational manager. Bermaksud untuk mencegah kesalahan serupa,

30 Hasil wawancara dengan Mr B, Manager Departemen Makanan dan Minuman pada hari Selasa, 9 Oktober 2012 di ruang kerja Mr B

ia lantas bertanya lalu apa nama sebutan untuk jabatan Mr A. Dengan singkat Mr B hanya menjawab bahwa sebutannya tetap saja manajer keuangan. Untuk lebih memastikan, ia bertanya sekali lagi apakah keduanya tetap sebagai GM in charge, dan Mr B mengangguk.

Mr B sendiri mengakui bahwa kedekatannya dengan pemilik hotel lah yang akhirnya membuat sang pemilik mempercayakan tanggung jawab ini kepadanya. Sementara ketika disangkutkan dengan prosedur yang semestinya adalah Mr A yang berhak menggantikan GM, ia hanya berkata bahwa pemilik hotel memiliki hak untuk memilih GM sepenuhnya. Apalagi GM sebelumnya yang diangkat oleh head office sudah membuktikan bahwa chemistry itu penting antara GM dengan pemilik hotel.

Berbeda dengan Mr A, Mr B mengatakan bahwa informasi mengenai pengangkatan ini memang sudah selayaknya dilakukan oleh manajer masing-masing, tanpa perlu ada informasi resmi dari top management. Ia juga menegaskan bahwa yang terpenting adalah pada akhirnya seluruh karyawan juga mengetahui informasi ini, tidak penting dari siapa informasi ini mereka ketahui. Peneliti melihat bahwa informasi yang diterima karyawan tidak lebih dari isu-isu yang berkembang yang diyakini oleh banyak orang dan disepakati pada akhirnya oleh mereka.

“…ya mungkin karena ini sebenarnya ini juga tidak mengikuti prosedur, tapi kami membahasnya koq di morning briefing. Kalau ke staf ya paling melalui HOD masing-masing saja. Kalau informasi seperti yang kamu maksud, ya memang dulu harusnya diinformasikan agar tidak terjadi kebingungan. Tapi ya yang penting kan lambat laun semua orang juga tahu.

Karena dulu pada saat informasi ini diumumkan juga mengundang pertanyaan dari manajer yang lainnya…”31

Selama kepemimpinannya, tidak sedikit pula perubahan-perubahan yang dilakukan oleh Mr B. Sebagai seorang yang religious, ia memusatkan perhatiannya kepada kondisi musholla yang berada di basement. Ia memperbaiki, memperbaharui dan menambah fasilitas agar musholla tersebut layak untuk digunakan oleh tamu Pastis. Hal ini mendapat apresiasi dari karyawan karena hal ini tidak pernah menjadi fokus GM sebelumnya yang memang berkeyakinan nasrani. Namun tidak jarang pula kebijakan-kebijakan yang dibuatnya mengundang apresiasi, ada beberapa yang menjadi pergunjingan karyawan seperti keputusannya menyatukan ruang kerja departemennya dengan ruang kerja departemen sales and marketing. Mr A pun pernah membuat kebijakan yang mengundang pertanyaan bagi karyawan ketika ia menyatukan pantry dengan gudang departemen sales and marketing agar ruang pantry sebelumnya dapat digunakan sebagai ruang tunggu supplier.

Menjadi seorang GM diusia muda ditanggapinya sebagai rezeki yang tidak di duga. Ia mengakui masih banyak kekurangan khususnya dalam urusan hotel. Tapi berangkat dari pengalaman pengalaman sebelumnya di hotel, ia merasa tidak buta dengan itu. Hanya tinggal perlu diasah lagi saja. Menanggapi isu negatif yang berkembang usai pengangkatannya sebagai GM, Mr B mengatakan bahwa masing-masing manajer memiliki hak sepenuhnya untuk berpendapat. Baginya, fasilitas yang diterimanya sepadan dengan

tanggung jawab yang dipikulnya. Jadi tidak ada kata dimana ia pantas atau tidak pantas. Ia melihat ini sebagai kepercayaan yang sudah diberikan kepadanya. Jadi sebaiknya dia tidak menyia-nyiakan kepercayaan pemilik hotel.

Tidak hanya dalam bentuk-bentuk komunikasi sehari-hari secara langsung, praktisi PR mengalami kesulitan pula dalam menunjuk salah satu dari keduanya dalam menjadi pembicara mewakili hotel di setiap event yang diadakan. Pada saat acara company gathering yang diselenggarakan di Pastis, Aston mengundang rekan-rekan media, klien, long staying guest, dan wedding organizer yang selama ini sudah sering kali bekerjasama dengan staf event banquet. PR yang sebelumnya menunjuk Mr A sebagai pembuka acara, terpaksa harus melakukan briefing ulang kepada Mr B karena ia mendadak menolaknya. Mr B yang kemudian ditemui oleh PR untuk diberikan briefing justru balik menolak dengan alasan bahwa Mr A lah yang pantas untuk memberikan kata sambutan. PR yang sudah membaca situasi seperti ini dengan tegas menyatakan bahwa Mr B tidak dapat lagi menolak karena hari pelaksanaan sudah semakin dekat, terlebih lagi Mr A mengatakan bahwa Mr B lebih pandai berbicara di publik. Tidak berhenti disini, pada saat hari pelaksanaan PR terkejut karena pada akhirnya Mr A lah yang maju memberikan kata sambutan. Seusai acara, PR mendistribusikan siaran pers dalam dua bahasa disertai dengan tiga buah foto yang mewakili kemeriahan acara, salah satunya adalah foto dimana Mr B menyerahkan hadiah secara simbolik kepada pemenang busana terbaik. Dengan cepat siaran pers dan foto

tersebut menyebar di beberapa media cetak dan media online. Suatu ketika PR menerima telepon dari Mr A yang menanyakan apa yang menjadi keputusannya memilih foto tersebut. PR kemudian menjelaskan secara professional bahwa foto tersebut dipilih karena memiliki angle yang bagus,

Dalam dokumen BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN (Halaman 50-64)