• Tidak ada hasil yang ditemukan

Krisis Manajemen Internal Organisasi

Dalam dokumen BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN (Halaman 64-72)

4.2.2 Analisis Krisis

4.2.2.3 Krisis Manajemen Internal Organisasi

Isu yang tidak diredam dan tidak dikendalikan akan berubah menjadi krisis. Namun tidak semua orang mampu menyadari gejala-gejala awal terjadinya krisis. Lebih parahnya lagi, jika gejala gejala yang ada disadari oleh para pelaku organisasi namun tidak dianggap sebagai sebuah krisis. Sikap yang apatis terhadap situasi yang tidak stabil, tidak normal, seringkali dianggap biasa saja. Oleh karena itu, peneliti melalui wawancara mendalam menghimpun makna krisis dan cara subyek penelitian dalam menanggapi krisis tersebut. Namun apa yang didapat oleh peneliti justru bertolak belakang dengan harapan peneliti sendiri. Berikut petikan wawancara dengan beberapa narasumber mengenai pengetahuan mereka akan situasi krisis itu sendiri. Dimulai dengan Mr A, berkarir dan tumbuh dalam departemen accounting sangat mempengaruhi pola pikirnya dalam mempersepsikan krisis,

“…krisis? Ya krisis itu seperti krisis keuangan. Krisis itu yang bisa membuat perusahaan kita gulung tikar. Misalnya hotel sepi, restoran sepi, itu krisis. Atau bisa juga krisis reputasi misalnya di hotel kita ternyata bocor atau semua kamar bau begitu. Atau kalau dari restoran misalnya daging kita daging yang menyebabkan tamu keracunan. Atau bisa juga misalnya ternyata salah satu karyawan kita berhubungan dengan pihak yang berwajib. Apapun yang sifatnya memang berbahaya bagi kelangsungan perusahaan. Kalau bicara soal dampak, selain gulung tikar, misalnya terjadi PHK besar-besaran, penurunan gaji, pemotongan fasilitas karyawan, dan semacamnya…”32

32 Hasil wawancara dengan Mr A, Manager Departemen Keuangan pada hari Kamis, 19 Juli 2012 di ruang kerja Mr A

Terlihat dengan jelas bahwa krisis disituasikan dalam ruang lingkup yang sangat sempit, yakni materi. Apapun yang tidak mempengaruhi materi maka tidak bisa dikategorikan sebagai krisis. Meski begitu, Mr A memberikan contoh lain mengenai krisis yaitu hukum. Apabila seseorang yang berada di dalam organisasi harus berurusan dengan pihak kepolisian dan itu berpotensi berdampak kepada kepercayaan publik, maka hal tersebut diyakininya sebagai sebuah krisis. Apa yang diutarakan oleh narasumber disini krisis yang berdampak bagi pihak eksternal. Hal ini sama sekali tidak salah, hanya saja keyakinan ini yang membuatnya tidak peka dengan apa yang terjadi di dalam organisasi. Seyogyanya apa yang tercipta dari dalam, maka akan keluar dengan sendirinya. Apabila sendi sendi perusahaan dijaga dan dibina dengan baik maka tidak perlu krisis itu terjadi. Ketika ditelisik lebih jauh mengenai pengangkatan ini apabila dikaitkan dengan krisis manajemen, Mr A dengan lantang membantah dan menolak pernyataan tersebut. Dengan muka tegang dan dahi yang berkenyit, dia lantas bertanya kembali,

“…loh kenapa harus dipandang sebagai sebuah krisis? Memangnya hotel kita sekarang jadi sepi begitu karena yang memimpin ada dua orang? Kan tidak. Kalau ada yang menganggap ini krisis, darimana letak krisisnya? Saya sih tidak peduli kalau ada yang bilang ini krisis, pokoknya selama hotel ini masih berdiri ya kita masih baik-baik saja…”33

Tidak hanya menampik keberadaan krisis tersebut, dengan pemahaman akan krisis yang terbilang minim, ia menunjukkan sikap acuh ketika peneliti

mencoba untuk menanyakan sekali lagi jika dirinya menyadari bahwa situasi ini berpotensi menimbulkan krisis komunikasi atau krisis kepercayaan terhadap perusahaan.

“…ya karyawan kan juga butuh uang untuk hidup, gak mungkin juga dengan seketika mereka melepaskan pekerjaannya cuma karena kita. Kalau kita gak dianggap credible, ya monggo, itu hak semua orang tho untuk menilai. Tapi kan ujungnya tetap mereka butuh pekerjaan. Saya juga disini kan kerja, se-gak sreg nya dengan manajemen, saya tetap butuh kerja…”34

Senada dengan Mr A, Mr B juga tidak jauh berbeda menjelaskan bahwa krisis berada dalam ruang lingkup materi dan image.

“…ya krisis itu yang situasi yang mempersulit perusahaan dalam mencapai target atau profit yang sudah ditetapkan. Krisis ketika secara keuangan kita sudah tidak lagi stabil dan tidak mampu lagi untuk bertahan misalnya sudah tidak mampu lagi menggaji karyawan kita. Atau bisa juga krisis image, misalnya kualitas makanan atau pelayanan kamar kita sangat buruk. Itu bisa juga tuh menyebabkan krisis. Dampaknya sendiri ya itu, collapse. Mati. Lumpuh total. Atau yang lebih ringan lagi, penurunan jumlah kamar yang disewakan. Tamu yang mulai melirik ke kompetitor lainnya. Karyawan mulai di pecat satu per satu. Seperti itulah. Ya intinya berita buruk yang sudah sampai ke kuping media dan akhirnya di blow up dan memunculkan berita buruk tentang hotel kita dan hampir semua media memberitakannya. Itu sudah fatal itu…”35

Memiliki pola pikir yang sama dengan Mr A, Mr B juga menampik jika keberadaan dua pimpinan tersebut dikatakan bisa berujung pada krisis

34 Ibid

35 Hasil wawancara dengan Mr B, Manager Departemen Makanan dan Minuman pada hari Selasa, 9 Oktober 2012 di ruang kerja Mr B

manajemen. Mr B dengan gaya anak muda yang acuh dan tidak kenal takut menekankan bahwa selama ini penjualan kamar dan penjualan makanan tidak dalam situasi yang memprihatinkan.

“…gak lah, hotel baik-baik saja koq. Restoran juga. Jadi kenapa harus takut? Kecuali hotel sepi, restoran sepi, itu baru krisis seperti yang saya sebutkan tadi. Kalau tamu mana mau tahu di hotel ini pimpinannya ada dua misalnya. Yang penting mereka menginap kamar bersih, fasilitas semua berfungsi, makanan enak, restoran nyaman. Iya tho?...”36

Menanggapi dari sisi yang lebih bijak, informan 1 menjawab dengan wibawa,

“…mungkin masih terlalu jauh ya kalau kita bandingkan ini dengan krisis. Bisa juga sih Anda kalau ini berlarut-larut dan manajemen semakin buruk saja. Yang sekarang saja sudah banyak membuat HOD mundur, itu kan berarti ada yang salah dalam manajemen, mungkin kebijakan perusahaan yang menjadi faktor penyebab, atau mungkin karena gaya kepemimpinan yang tidak bisa sejalan dengan budaya kerja masing-masing karyawan. Itu kan hak kita semua. Kita berhak untuk tetap kerja di sini, berhak juga untuk keluar dari sini. Kalau untuk performa hotel mungkin keputusan ini tidak banyak berpengaruh, keduanya boleh kurang memuaskan, tapi kan kita bekerja dengan banyak orang, banyak juga yang produktif, kerja keras, dan bermental kuat, nah performa kita diimbangi dengan keberadaan mereka semua. Tapi kalau berpengaruh dengan kepercayaan terhadap perusahaan, harus diakui Anda, memang ini cukup menguji idealisme kita. Antara mau bertahan atau tidak. Setiap orang kan memiliki pertahanan diri yang berbeda, ada yang kuat ada yang lemah…”37

36 Ibid

37 Hasil wawancara dengan Informan 1, Manager Departemen Human Resources pada hari Jumat, 27 Juli 2012 di ruang kerja Mr Informan 1

Informan 1 menyebut fakta mengenai beberapa HOD yang mengundurkan diri belakangan ini. Meskti enggan menyebut dengan pasti alasan kenapa HOD-HOD tersebut meninggalkan perusahaan, namun informan 1 menyiratkan dengan pasti bahwa ada keterkaitan hubungan antara keluarnya mereka dengan situasi manajemen yang sekarang sedang dihadapi oleh perusahaan. Namun di lain sisi, ia juga mengatakan bahwa ketidakseimbangan yang terjadi di level non manajemen diimbangi dengan keberadaan karyawan yang memiliki semangat kerja yang tinggi, daya tahan diri yang kuat, dan pekerja keras.

Sementara informan 2 yang memiliki kepribadian yang enerjik, komunikatif, dan dekat dengan karyawan meneguhkan posisinya yang berada di pihak karyawan. Memiliki latar belakang yang lebih beragam karena pernah bekerja selama 4 tahun di Abu Dhabi dan pernah bekerjasama dan sudah terbiasa bersosialisasi dengan orang dari berbagai kalangan ditambah dengan kemampuannya dalam menjalin hubungan dengan rekan kerja, media, maupun tamu, ia mendefinisikan krisis melalui pengalaman-pengalamannya selama bekerja di hotel.

“…krisis itu bagi saya situasi di mana semuanya serba sulit. Sederhananya, jika saya sudah tidak mempercayai manajemen, saya sendiri mengalami krisis bukan begitu? Krisis kepercayaan terhadap manajemen. Kalau dalam konteks yang lebih besar lagi, saya memandang krisis itu sebagai ancaman untuk perusahaan. Setiap krisis itu pasti bisa diredam, tapi harus ada yang bergerak. Harus ada yang berperan aktif. Jika

dibiarkan akan menumpuk dan kemudian berkembang hingga tidak dapat dikendalikan…”38

Mulai dari mengkategorikan jenis krisis kedalam dua ukuran, yakni kecil dan besarnya krisis. Ia juga memiliki kepekaan terhadap pentingnya sebuah krisis ditangani atau diatasi dengan cara berperan aktif dalam meredamnya. Tanpa ragu ia melanjutkan bahwa situasi yang dihadapi sekarang bisa jadi berimbas pada krisis manajemen yang disebabkan dari kedua pemimpin yang tidak memenuhi kualifikasi. Dirinya juga menyetujui jika krisis ini akan semakin parah jika tidak ada kebijakan baru guna memperjelas posisi keduanya.

Dalam melakukan analisis, PR melakukan pengembangan dengan menggunakan formula yang sudah tidak asing lagi dalam dunia PR yaitu 5W + 1H. Hal ini guna mendapatkan hasil analisis yang mendalam, informatif, serta deskriptif.

What? (Apa penyebab krisis itu bisa terjadi?)

Keputusan manajemen yang menyepakati keinginan pemilik hotel untuk mengangkat dua manajer untuk menggantikan posisi GM tunggal sebelumnya karena didasari dengan faktor kedekatan dan kebutuhan. Bukan karena didasari faktor kualitas dan kualifikasi untuk menjalankan kegiatan operasional perhotelan. Bahkan alasan kedekatan hubungan ini juga diakui oleh Mr B dalam wawancara yang telah dipaparkan dalam sub bab sebelumnya. Peneliti memanfaatkan situasi dimana kedekatan Mr B dengan

38 Hasil wawancara dengan Informan 2, Executive Chef pada hari Rabu, 1 Agustus 2012 di ruang kerja Informan 2

pemilik hotel seharusnya memang lebih memberikan kesempatan bagi peneliti untuk menggali informasi sedalam-dalamnya. Krisis komunikasi selanjutnya terjadi karena perubahan struktur organisasi dalam tingkatan General Manager oleh dua orang manajer yang tidak memiliki pengalaman yang cukup dan pemahaman yang baik terkait peran dan fungsi PR dalam struktur organisasi Aston at Kuningan Suites.

Why? (Mengapa krisis tersebut bisa terjadi?)

Krisis tersebut bisa terjadi akibat tidak adanya tim PR yang fokus dalam menangani krisis ini. PR yang hanya terdiri dari satu praktisi yang menjalankan seluruh fungsi kehumasan serta marketing menunjukkan bahwa PR tidak bisa berkoordinasi dengan anggota tim lainnya yang berada di bawah naungan departemen sales and marketing karena masing-masing jabatan memiliki kesibukan dan kewajiban dalam menyelesaikan tugas dan pekerjaannya sendiri. Singkatnya, PR tidak memiliki banyak keuntungan antara lain bekerja seorang diri, tidak memiliki akses komunikasi dalam jajaran top management, tidak hanya fokus pada fungsi kehumasan namun juga dituntut sebagai praktisi marketing, serta tidak diberikannya keleluasaan dalam berkarya.

Where & When? (Kapan dan dimana krisis tersebut bermula?)

Krisis ini terjadi pada ranah komunikasi internal organisasi lebih tepatnya terjadi pada komunikasi vertikal (upward and downward

communication) antara Mr A, Mr B, dengan praktisi PR. Krisis ini bermula tepat pada saat pengangkatan secara tidak resmi keduanya diketahui oleh praktisi PR melalui isu-isu yang berkembang di kalangan non manajemen. Lebih tepatnya beberapa minggu selepas pengunduran diri GM sebelumnya, yaitu bulan Januari 2012.

How Far? (Sejauh mana krisis tersebut berkembang?)

Krisis tersebut berkembang secara internal dan memiliki dampak tidak langsung secara eksternal. PR melihat bahwa tidak hanya ia yang dirugikan atas terjadinya krisis tersebut namun juga terjadi pada publik eksternal, contohnya yang sering dibahas sebelumnya adalah rekan media. Secara tidak langsung beberapa media yang sudah mengajukan proposalnya untuk meliput profil GM tidak berhasil mendapat liputan yang diinginkan akibat kesulitan PR untuk menunjuk salah satu diantara keduanya. Meskipun pada akhirnya PR dapat meredam rasa ingin tahu mereka mengenai hal tersebut dengan mengatakan bahwa liputan tidak dapat dilakukan akibat jadwal tidak tentu sang GM. Namun secara internal, krisis ini sudah berkembang hingga pada pengambilan keputusan yang terkesan tidak serius dan dampak dari kekuatan keduanya dalam menjalankan kegiatan operasional perusahaan.

Who? (Siapa yang mampu mengatasi krisis tersebut? Apa perlu dibentuk

suatu tim penanggulangan krisis?)

Memandang jauh kebelakang pada awal mula krisis ini terjadi, praktisi PR mengatakan bahwa perubahan struktur jelas ada pada tatanan top management. Kekuasaan untuk mengubah struktur tersebut tentunya ada pada Aston International sebagai manajemen Aston at Kuningan Suites. Namun hal ini tampaknya cukup sulit untuk diwujudkan mengingat intervensi pemilik hotel sudah sangat tidak dapat dikendalikan. Maka yang dapat mengatasi krisis ini adalah pemilik hotel sebagai orang yang pertama kalinya mencetuskan ide ini dan mewujudkannya melalui kuasanya sebagai pemilik hotel. Pertanyaan selanjutnya dipandang oleh praktisi PR sebagai suatu keharusan karena hal ini sendiri disadari oleh banyak pihak baik kalangan manajerial dan non manajerial sebagai situasi yang tidak kondusif. Namun, yang menjadi pertanyaan pentingnya adalah bagaimana caranya membentuk sebuah tim jika PR sendiri berdiri sebagai staf praktisi, bukan sebagai dibawah naungan departemen Public Relations?

Dalam dokumen BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN (Halaman 64-72)