• Tidak ada hasil yang ditemukan

Latar Belakang Krisis dalam Aston at Kuningan Suites

Dalam dokumen BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN (Halaman 79-86)

Bagan 5. Ilustrasi Struktur Organisasi Level Top Management

4.3.1 Latar Belakang Krisis dalam Aston at Kuningan Suites

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan kepada kedua manajer, tidak satupun dari keduanya mengakui bahwa yang terjadi merupakan suatu krisis atau berpotensi menjadi krisis. Melalui pengamatan pula, peneliti mengasumsikan keduanya memiliki definisi yang sempit terhadap krisis itu sendiri. Krisis masih diartikan sebagai satu satunya hal yang menyebabkan perusahaan gulung tikar. Krisis bukan dipandang sebagai sesuatu yang luas seperti dimana ada hal yang tidak berjalan sesuai dengan peraturan dan prosedur yang sudah ditetapkan maka hal itu dapat dikatakan sebagai sebuah krisis.

Pada saat identifikasi masalah guna menentukan faktor penyebab yang dilakukan oleh praktisi PR dapat dikatakan cukup baik. Ia memulai dengan memutuskan faktor penyebabnya yakni keputusan manajemen seperti yang diungkapkan oleh Dan Lattimore dalam bukungan yang berjudul Public

Relations Profesi dan Praktik, sebagai faktor keempat atau faktor terakhir terjadinya krisis dalam sebuah perusahaan. Berbeda dengan faktor lainnya seperti bencana alam, masalah teknis, dan kesalahan manusia dimana ketiganya dapat dikategorikan mutlak sebagai sebuah kesalahan. Namun keputusan manajemen menuntut praktisi PR untuk lebih jeli lagi melihat masalah yang ada. Setiap keputusan manajemen mungkin tidak dipandang sebagai potensi terjadinya krisis. Terlebih jika keputusan diambil tidak dalam keadaan yang terburu-buru atau ketika perusahan dalam keadaan waspada. Ketika pemilik hotel memutuskan pengangkatan kedua manajer, pemilik hotel melakukannya dalam situasi dimana pengangkatan keduanya bukan menjadi suatu keharusan. Justru yang menjadi prediksi karyawan adalah akan datangnya GM baru. Jadi apa yang dirasakan oleh karyawan pengangkatan ini mengejutkan mereka, namun tidak ada yang pernah memprediksi perubahan gaya kepemimpinan mereka di masa yang akan datang.

Berbicara mengenai gaya kepemimpinan, peneliti merujuk kepada 6 gaya kepemimpinan yang dinyatakan oleh Daniel Goleman dalam bukunya. Dari semua gaya kepemimpinan ternyata hanya 4 diantaranya yang secara konsisten memberikan pengaruh yang positif terhadap suasana dan hasil kerja. 6 gaya tersebut antara lain : gaya koersif, gaya otoritatif, gaya afiliatif, gaya demokratis, gaya pacesetting, dan gaya coaching. Berangkat dari deskripsi penemuan di lapangan yang dipaparkan dengan deskriptif sebelumnya, peneliti melihat bahwa kedua manajer memiliki gaya kepemimpinan yang berbeda. Mr A yang dideskripsikan sebagai pemimpin yang kaku, terlalu banyak menuntut,

dan memilki komunikasi yang buruk dengan bawahan cenderung dikategorikan kedalam gaya pacesetting. Goleman menjelaskan gaya ini sebagai pemimpin yang menetapkan standar kinerja yang amat tinggi dan memberi contoh sendiri. Ia bersikap sangat obsesif mengenai melakukan segala macam hal dengan lebih cepat dan lebih baik namun memintanya dengan menyamaratakan semua orang yang ada di sekelilingnya. Ia tidak suka memberikan feedback dan suka mengambil alih pekerjaan jika melihat pelaksanaan pekerjaan bawahannya di bawah standar. Pimpinan dengan tipe seperti ini menuntut bawahan untuk memahami dan mengerti keinginannya tanpa mensosialisasikannya kemudian menuntut pekerjaan diselesaikan sebelum atau tepat pada waktunya. Gaya pacesetting dapat merusak suasana kerja. Banyak pekerja akan merasa kewalahan dengan tuntutan kesempurnaan dari atasannya, dan semangat kerja mereka akan turun40. Gaya ini paling jelas tergambar ketika morning briefing yang biasa dilakukan di ruang meeting terpaksa harus dilakukan di ruang departemen sales and marketing. Peneliti yang berada di ruangan yang sama dapat menganalisa dan menyadari dengan sangat mudah bagaimana Mr A selalu menuntut pekerjaan diselelesaikan sebelum waktunya atau tepat pada waktunya tanpa bersedia mendengarkan penjelasan manajer departemen yang saat itu mencoba tanpa henti untuk memberikan alasan yang rasional mengapa akhirnya pekerjaan tersebut terbengkalai. Pada akhirnya peneliti banyak mendengar para manajer departemen mengeluhkan hal ini karena mereka merasa kewalahan

40 Daniel Goleman , Kepemimpinan yang Mendatangkan Hasil, Yogyakarta: Amara Books, 2003, 20-42.

dengan seluruh tugas yang diberikan namun tidak didukung dengan sumber daya manusia yang cukup.

Sementara itu, peneliti mengkategorikan Mr B sebagai pemimpin dengan gaya kepemimpinan yang koersif. Goleman menjelaskan secara rinci cirri-ciri pemimpin dengan gaya kepemimpinan tersebut diantaranya selalu mengambil keputusan sendiri tanpa melibatkan bawahan. Pimpinan memiliki modus operandi bahwa perintahnya harus dipenuhi dengan segera. Di dalam memimpin biasanya pimpinan dengan tipe seperti ini menanamkan dorongan untuk mencapai tujuan organisasi, memiliki inisiatif dan kontrol di dalam diri bawahannya. Namun gaya kepemimpinan seperti jarang mau menerima ide-ide dari bawahannya, suka mengambil keputusan sendiri dan tidak dapat mentoleransi laporan buruk dari bawahan. Gaya kepemimpinan seperti ini mendapatkan hasil yang maksimal ketika menghadapi suatu krisis, untuk memulai suatu perubahan atau ketika menghadapi masalah dengan pegawai41. Sama halnya dengan Mr A, peneliti melihat ciri-ciri yang telah dijabarkan oleh Goleman di dalam diri Mr B selama rapat dilakukan. Mr B bahkan terkadang terkesan sangat agresif dalam menolak ide-ide dari bawahannya. Ia akan mengajukan pertanyaan balik mengenai ide kepada sang manajer departemen dengan nada sedikit merendahkan. Ia tidak menyukai ide dari orang lain, ia sangat menyukai ide yang muncul dari dalam kepalanya. Kemudian ia tidak menyukai jika idenya ditentang, atau ketika ide orang lain lebih disetujui. Ia secara tersirat menginginkan idenya dipuji, bahkan tidak jarang ia suka

mengelu-elukan dirinya sendiri. Dan biasanya orang-orang yang berada disekelilingnya lebih memilih untuk diam atau mengangguk tanda setuju. Jika menerima laporan buruk ia akan dengan cepat menaikkan volume suaranya. Pada awal pengangkatannya, karyawan melihat Mr B sebagai “pemimpin baru” yang rendah hati, tidak banyak cakap karena ia sadar dirinya masih harus belajar. Namun seiring berjalannya waktu, Mr B mulai menunjukkan pemimpin seperti apa dirinya. Hal ini bahkan pernah menjadi obrolan diantara departemen manajer lainnya yang melihat perbedaan signifikan Mr B ketika dulu dan kini.

Pada identifikasi masalah, praktisi PR juga sempat menyebutkan mengenai grafik keluar masuknya karyawan yang dirata-ratakan 5 – 6 karyawan mengundurkan diri setiap bulannya. Observasi yang dilakukan di lapangan juga menunjukkan bahwa pengunduran diri karyawan tidak hanya terjadi pada kalangan non manajemen, namun juga terjadi pada kalangan manajemen contohnya HOD. Selama kurun waktu 12 bulan ini, sedikitnya ada 5 dari 9 HOD yang ada mengundurkan diri. Dari kalangan non manajemen sudah tidak terhitung lagi berapa orang yang mengundurkan diri. Fakta menarik justru didapat dari lapangan, yakni pengunduran diri dipandang bagi Mr A dan Mr B sama sekali tidak ada masalah. Justru situasi ini dimanfaatkan keduanya untuk merekrut karyawan baru yang tidak lain adalah teman mereka sendiri. Ironis jika saat ini beberapa karyawan yang berasal tidak dari “perekrutan murni” tampak seperti ingin membalas budi atas kebaikan keduanya yang telah memberikan kesempatan mereka untuk bekerja di Aston at Kuningan Suites. Yang lebih

ironis lagi, ketika mereka berada di wilayah abu-abu dan tidak bisa lagi menilai secara objektif mana yang benar dan yang salah.

Diperkuat dengan hasil wawancara sebelumnya terkait makna krisis yang dipersepsikan oleh masing-masing subyek penelitian yang menyebutkan bahwa kedua key informan yakni Mr A dan Mr B hanya mampu menyebutkan bahwa krisis adalah situasi yang berdampak buruk terhadap kondisi keuangan dan citra yang berujung pada penurunan angka revenue yang signifikan dan penurunan jumlah tamu dan pelanggan. Kenyataan ini bertolak belakang dengan teori yang di kemukan oleh Fink yang melihat krisis sebagai “an unstable time or state of affairs in which a decive change implending – either distinc possibility of a highly undesirable outcome or one with distinc possibility of a highly desirable and extremely positive outcome”42. Sebuah kondisi yang tidak stabil. Fink adalah salah satu pakar yang melihat bahwa krisis tidak selalu mengantar perusahaan pada kebangkrutan.

Kondisi dalam badan PR juga tidak luput dari identifikasi masalah. Hotel berbintang 4 dan berada di wilayah yang strategis di ibu kota, dimana hotel ini diapit oleh dua jalan besar yaitu HR Rasuna Said dan Jenderal Sudirman hanya di kelola oleh satu orang saja praktisi PR. Tidak hanya itu, PR yang tidak berdiri sendiri dalam departemen PR melainkan dibawah naungan departemen sales and marketing. PR sendiri memiliki jabatan sebagai officer. Selayaknya PR memiliki 3 tingkatan jabatan mulai dari PR admin, PR officer, PR executive, hingga PR manager. Bisa dibayangkan apabila seorang PR officer harus

bertanggung jawab atas seluruh kegiatan kehumasan dan marketing PR seorang diri.

Apa yang dikemukakan Frank Jefkins bahwa agar dapat bekerja secara efektif, humas perlu diberi suatu posisi atau status jabatan resmi yang cukup tinggi sehingga setiap saat ia dapat berhubungan secara mudah dengan pihak manajemen, termasuk dengan para kepala bagian atau pimpinan semua departemen dari organisasi atau perusahaan yang bersangkutan. Hal ini dapat dilihat sebagai bukti bahwa PR tidak dipandang sebagai posisi yang khusus dan penting sehingga ia tidak diberikan akses untuk dapat berdiskusi langsung pada morning briefing HOD yang dilaksanakan setiap pagi pukul 9 dan tidak pula diikutsertakan dalam setiap pengambilan keputusan yang sedikit banyak akan mempengaruhi kegiatan komunikasi internal maupun eksternal perusahaan. Hal ini menyulitkan praktisi PR untuk dapat menumpahkan keluhan dan gagasan yang sifatnya penting dan harus segera diutarakan. Sebelumnya juga dipaparkan dalam deskripsi penemuan bagaimana PR yang bermaksud melakukan kegiatan komunikasi dengan pihak eksternal dengan mengirimkan ucapan selamat Tahun Baru China dihambat oleh ADoS yang merasa hal itu tidak perlu dilakukan. Hal ini jelas bertentangan dengan teori pemeliharaan hubungan dengan public sebagai salah satu fungsi PR yang dikemukakan oleh Oemi Abdurrachman.

Keputusan manajemen yang tidak didukung dengan pemeriksaan yang baik terhadap konsekuensi dan sebagainya, lemahnya posisi PR dalam struktur organisasi, masih harus diperburuk oleh ketidak-pemenuhan kualifikasi dalam diri kedua manajer. Tidak satu atau doa orang yang berpendapat demikian,

namun juga 2 informan yang berasal dari kalangan HOD memiliki sudut pandang yang sama. Apa yang sudah menjadi identifikasi tahap awal dilakukan dengan tepat karena praktisi PR memandang ini dari 3 sudut pandang yang berbeda. namun apakah sudah juga dilakukan penanggulangan krisis yang tidak hanya tepat namun juga cepat?

Dalam dokumen BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN (Halaman 79-86)