• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN"

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada Bab IV ini, hasil penelitian dijelaskan secara terpisah dengan pembahasan. Dengan kata lain, antara hasil penelitian dan pembahasan tidak dijelaskan pada bagian yang sama atau dibuatkan sub bab sendiri. Oleh karena itu pembahasan hasil penelitian tidak diselipkan di tengah uraian dan pendeskripsian hasil penelitian, sehingga fakta dan temuan penilitian tertentu akan dikaitkan kemudian dengan konsep dan teori terkait.

4.1 Gambaran Umum Obyek Penelitian 4.1.1 Profil Aston at Kuningan Suites

Aston at Kuningan Suites merupakan boutique hotel dengan konsep serviced apartment yang anggun dengan kepribadian menarik dan berkomitmen untuk memberikan keramahan dengan sentuhan pribadi sekaligus menawarkan berbagai fasilitas untuk memenuhi kebutuhan wisatawan bisnis yang tinggal sementara serta penghuni yang tinggal untuk waktu yang lama. Terletak sangat strategis di kawasan segitiga emas Jakarta, yaitu di Jl. Setiabudi Utara, Kuningan, dan diapit dua jalan utama Jakarta, Jl. Jend Sudirman dan Jl. HR Rasuna Said.

Hotel ini terletak di salah satu lokasi yang paling diidamkan di Jakarta yang disebut "Golden Triangle" atau segi tiga emas serta menampilkan pemenang penghargaan restoran Mediterania dan wine bar “PASTIS KITCHEN

(2)

& BAR”. Berbagai perusahaan multinational, kedutaan besar, hingga mall kelas atas di Jakarta mudah dijangkau, sementara hotel berada di lingkungan yang tenang dan bebas dari kemacetan lalu lintas kota Jakarta. Memiliki 98 unit kamar yang terdiri dari unit satu kamar, dua kamar, tiga kamar dan penthouse, semua unit dapat disewa untuk harian, mingguan, bulanan dan tahunan dan memiliki fasilitas antara lain restoran Pastis Kitchen & Bar, 2 meeting room, rooftop swimming pool dengan 360 degree city view, whirlpool, fitness centre, internet, laundry dan dry cleaning, maintenance, 24 jam in house housekeeping, airport transportation, car parking termasuk valet parking, serta wine shop yang menyediakan 130 jenis wine dari Italy, Perancis, Australia, South Africa, dan masih banyak lagi

4.1.2 Struktur Organisasi

(3)

4.1.3 Logo Aston at Kuningan Suites

4.1.4 Profil Restoran Pastis Kitchen & Bar

Setiap hotel berbintang umunya memiliki satu atau lebih restoran yang tidak hanya berfungsi sebagai tempat dimana tamu sarapan di pagi hari namun juga dirancang sedemikian rupa sehingga namanya tidak kalah besar dari nama hotelnya. Bahkan di beberapa tempat, restoran memiliki daya tarik sendiri untuk menarik minat pengunjung agar datang dan menginap di hotel. Sama halnya dengan restoran-restoran tersebut, Aston at Kuningan Suites sendiri memiliki restoran yang menjadi keunggulannya. Tidak hanya hotel, Pastis juga memiliki pengunjung setia sendiri dan tak jarang memberikan revenue ke perusahaan lebih besar jika hampir setiap hari diadakan acara di restoran ini.

Pastis Kitchen & Bar adalah pemenang penghargaan restoran Mediterania yang menawarkan berbagai masakan Mediterania dalam setting yang klasik dan homey untuk dapat memuaskan tamu dengan masakan Italia yang segar dan inovatif, yang dikombinasikan dengan cita rasa Mediterania lainnya. Menu-menu yang disajikan terdiri dari home-made pasta, daging import terbaik yang berasal dari Amerika dan Australia, serta beberapa pilihan

(4)

makanan Asia, dengan menu favorit seperti Nasi Goreng Ijo dan Fried Squid with Garlic, Chili and Salt.

Interior Pastis Kitchen & Bar yang bergaya kolonial dengan sentuhan modern ini, terasa begitu luas dan nyaman pada saat yang bersamaan. Memiliki empat bagian yang berbeda, Pastis Kitchen & Bar terdiri dari Lounge yaitu bagian depan restoran dengan sofa-sofa lembut dan nyaman serta chandelier yang menampilkan klasik, memberikan privasi serta kenyamanan, Dining Area

dengan meja besar ditengah ruangan dan serta dekorasi dapur yang unik dan menarik, Bar yang terdiri dari meja bar panjang dan mempunyai beragam jenis minuman alcoholic maupun non-alcoholic, dan area Backyard, yaitu alfresco lounge atau outdoor lounge dengan sofa-sofa empuk dan mengahadirkan suasana yang santai.

Pastis menangkap perhatian pelanggan dengan elemen-elemen besar seperti, meja kayu panjang yang berdiri kokoh di tengah dining area, kaca-kaca menjulang yang mengelilingi seluruh bagian restoran yang dilengkapi dekorasi pernak-pernik dapur Amerika, serta menghadirkan konsep dapur terbuka (open kitchen) di bagian utama restoran. Terdapat pula detail-detail restoran seperti rak-rak wine dan rangkaian foto-foto klasik yang menambah kehangatan, dan menyempurnakan pengalaman bersantap di Pastis Kitchen & Bar.

Kemeriahan makanan dan minuman berlajut ke Bar, dimana para tamu dapat menemukan berbagai jenis minuman martini dan cocktails dengan racikan yang luar biasa, seperti Chocolate Martini yang di hias dengan bubuk coklat putih dan coklat pekat, serta Kiwi Margarita yang segar. Beragam pilihan wine

(5)

juga tersedia di Pastis Wine Shop yang memiliki lebih dari 130 jenis wine yang berasal dari berbagai negara, seperti Italia, Afrika Selatan, Perancis, Argentina, Chile, Australia, dan Selandia Baru, yang dapat melengkapi santapan Anda atau bisa juga untuk dibawa pulang.

Keindahan arsitektur dan ruangan yang luas dengan kapasitas lebih dari 250 orang, Pastis menjadi tempat yang ideal untuk menyelenggarakan berbagai acara, mulai dari ulang tahun, arisan, gathering, press conference, product launching, dan pernikahan. Pastis Kitchen & Bar buka setiap hari mulai pukul 7 pagi hingga 12 malam, untuk sarapan, makan siang dan makan malam.

(6)

4.1.6 Lokasi Perusahaan

Dari lokasi yang tertera pada gambar diatas, dapat terlihat dengan jelas bahwa lokasi Aston at Kuningan Suites diapit oleh dua jalan besar di Jakarta yang mana menjadi pusat bisnis dan perkantoran serta hiburan bagi warga Jakarta sendiri atau warga yang datang dari luar kota. Beralamatkan di Jalan Setiabudi Utara Kuningan, Jakarta 12910 dan berada di sebelah hotel Four Season Jakarta. Seluruh reservasi baik hotel maupun restoran dapat menghubungi nomor telepon 021-5260260 dan nomor faksimili 021-5260285. Untuk reservasi hotel juga dapat dilakukan melalui email ke alamat Info@TheKuninganSuites.com dan reservasi restoran ke alamat Pastis@TheKuninganSuites.com.

(7)

4.2 Hasil Penelitian

Pada Bab IV ini, hasil penelitian akan dijelaskan untuk menjawab fokus penelitian pada bab sebelumnya. Hasil penelitian akan memaparkan lebih rinci mengenai temuan-temuan di lapangan sekaligus menjawab apa saja yang sudah menjadi pertanyaan peneliti pada saat menyusun fokus penelitian. Di dalam sub bab ini, peneliti akan memasukkan data hasil wawancara mendalam dengan 3 key informan dan 3 orang informan, interpretasi makna dari hasil wawancara tersebut, hasil pengamatan yang didapat dari observasi partisipatif, serta data sekunder yang diperlukan untuk mendukung data atau temuan di lapangan.

Selama melakukan penelitian, peneliti menemui beberapa kendala di lapangan yaitu kesulitan melakukan wawancara mendalam dengan subyek penelitian karena hotel sendiri merupakan perusahaan yang dinamis dimana manajemen dituntut untuk mobile atau terbiasa berpindah-pindah tempat sehingga peneliti kesulitan mencari waktu yang tepat. Selain itu, sebagai penelitian yang menggunakan teknik pengumpulan data observasi partisipatif, peneliti tidak selalu dapat mengamati kejadian-kejadian yang terjadi, karena tidak setiap saat peneliti berada di kantor. Terlebih penelitian ini memakan waktu penelitian selama kurun waktu 12 bulan atau sepanjang tahun 2012 terhitung mulai bulan Januari hingga Desember 2012. Panjangnya waktu penelitian mengukuti panjangnya durasi krisis yang terjadi. Tentunya selama durasi tersebut banyak hal yang terjadi, namun tidak selalu peneliti berada di tempat yang sama pada saat kejadian berlangsung.

(8)

4.2.1 Identifikasi Masalah

4.2.1.1 Polemik Pengangkatan Kedua Manajer Sebagai GM in Charge

Tepatnya pada tanggal 2 Januari 2012, General Manager Aston at Kuningan Suites resmi mengundurkan diri dari jabatannya. Kekosongan posisi tersebut tidak langsung diisi namun dibiarkan terbengkalai untuk beberapa waktu. Selama kekosongan tersebut, rapat pagi atau morning briefing dipimpin oleh Mr A. Selama kekosongan ini pula-lah banyak isu yang berkembang mengenai pengganti GM. Beberapa pihak mengatakan GM yang pertama hotel ini kemungkinan akan dipanggil kembali. Namun yang lainnya mengatakan akan ada GM yang direkomendasikan oleh manajemen pusat. Sampai pada suatu hari, peneliti menerima kabar melalui ADoS bahwa GM baru sudah ditetapkan. Informasi didapat bukan sebagai pengumuman, namun cenderung lebih kepada obrolan pagi.

“…kalian tahu gak sih? GM baru sudah ada. 2 orang lagi. Sudah bisa menebak kan? Siapa lagi kalau bukan Mr A dan Mr B. Keduanya juga sudah diberikan fasilitas setara dengan GM. Mr A dapat kendaraan pribadi dan jatah menginap bersama keluarga setiap akhir pekan. Sementara Mr B, diijinkan untuk in house di kamar GM kita dahulu. Selain itu juga dia dapat kendaraan pribadi…”

Semua staf yang berada di ruangan tersebut terkejut. ADoS yang terus meletakkan kedua tangannya hingga menutupi mulutnya dan sesekali menggigit-gigit bibirnya sendiri menunjukkan betapa pesimisnya ia menanggapi keputusan ini. Ia juga sesekali menaikkan kedua alisnya dengan menutup kedua matanya dan menurunkannya dalam gerakan yang lambat

(9)

mengekspresikan dirinya tidak ingin terlalu banyak berkomentar soal ini. Seolah-olah mengatakan bahwa ia sendiri sudah tidak berminat lagi membahas topik ini. Hal ini diakui memang sudah menjadi kabar burung sejak beberapa hari setelah kepergian GM sebelumnya. Namun tidak ada yang menyangka bahwa ternyata kabar ini memang benar adanya. Isu itu berkembang semenjak seringnya frekuensi keduanya dipanggil untuk menghadap pemilik hotel. Semua yang melihatnya menyadari bahwa hal ini mungkin menjadi kelu atas GM yang baru.

Berbagai reaksi muncul menyusul pengangkatan Mr A dan Mr B yang tidak diinformasikan secara resmi oleh pihak manajemen. Bahkan isu-isu yang tidak terkendalikan itu menyebar cepat hingga seluruh karyawan mulai bereaksi dengan memberikan respon yang negatif. Meskipun keputusan ini datangnya dari pemilik hotel, namun pada akhirnya manajemen menyetujui dan tidak satupun bereaksi secara agresif untuk menolak keputusan tersebut.

Mr A yang ditemui ketika peneliti memasuki ruang kerja Mr A untuk memintanya menandatangani room voucher dan Pastis voucher yang nantinya akan dijadikan grand doorprizes pada saat acara Buka Bersama dengan Anak Yatim dan Media, acara CSR tahunan yang dilaksanakan pada tanggal 3 Agustus 2012 di Pastis Kitchen & Bar, mengatakan reaksinya ketika mengetahui dirinya dipilih oleh pemilik hotel sebagai GM in charge.

“…ya jujur sih ada senangnya ada pusingnya juga. Senangnya ya masa saya nolak sih jika saya bisa mendapatkan fasilitas GM begitu. Kita berkarir ngejar apa sih kalau bukan ngejar jabatan dan kesejahteraan? Tapi ya di sisi lain pusing juga,

(10)

jadi GM gak gampang. Apalagi saya tahu lah masalah di hotel ini dan di restoran juga gak sedikit. Tapi banyak. Pusing juga kalau harus mengurus dua-duanya. Iya kalau bagus nama kita ikut tersohor, kalau jatuh, apa enggak nama kita juga ikut tersohor juga jeleknya?...”1

Mr A mengakui terkejut dengan keputusan ini meskipun beliau sendiri sudah mengetahui berita ini dari pemilik hotel jauh sebelum pengangkatan ini akhirnya diresmikan. Namun beliau tidak menampik ketika peneliti mencoba menggali lebih dalam lagi alasan mengapa nama jabatan yang tertera di dokumen surat dan sebagainya masih tertulis sebagai manajer keuangan. Demikian reaksi Mr A menanggapi pertanyaan tersebut:

“…itulah. Jadi owner tidak mempercayai saya untuk mengawasi kegiatan operasional. Karena mungkin dipikirnya saya ini dari dulu hanya mengurusi kamar, padahal yang namanya manajer keuangan ya mengurusi seluruh kegiatan administrasi pemasukan dan pengeluaran baik hotel dan restoran. Memang untuk perubahan nama jabatan di surat-surat belum kita lakukan karena memang belum terlalu penting-lah. Yang penting kan kalian semua tau saya ini sekarang GM in charge. Kita belum menuju kesana karena memang untuk perubahan nama jabatan sendiri misalnya menjadi General Manager harus melalui persetujuan dari head office juga...”2

Mr A beranggapan bahwa perubahan nama jabatan di dalam dokumen surat dan sebagainya belum menjadi hal yang harus diprioritaskan. Sementara peneliti melihat bahwa perubahan jabatan secara lisan yang tidak diikuti dengan perubahan secara tertulis membuktikan bahwa isu yang berkembang

1 Hasil wawancara dengan Mr A, Manager Departemen Keuangan pada hari Kamis, 19 Juli 2012

di ruang kerja Mr A

(11)

berawal dari kebingungan karyawan yang akhirnya berujung pada penciptaan persepsi yang bebas.

Dengan santai namun memperlihatkan sedikit kekhawatiran dan lebih banyak senyuman, Mr B menyadari di usia-nya yang tergolong muda di dunia perhotelan memancing opini negatif beberapa rekan manajer lainnya begitu mendengar berita pengangkatannya sebagai GM in charge. Namun Mr B yang merasa dirinya sudah siap bersikap terbuka atas semua reaksi rekan kerjanya mengaku tidak mau ambil pusing dan lebih memilih untuk berserah diri menerima rezeki ini.

“…ya campur aduk, ada senangnya ada takutnya. Senang karena saya merasa di usia saya yang di dunia perhotelan masih tergolong muda, saya diberikan kepercayaan sebesar ini. Bangga juga sih karena saya yakin mungkin banyak yang tidak percaya atau bahkan tidak terima, tapi kan yang saya lakukan itu benar benar saja. Kalau takutnya, sebenarnya bukan takut sih. Lebih kepada saya mengakui tanggung jawab ini semakin berat. Saya orang Islam, jadi saya tahu nanti saya akan diminta pertanggung jawaban atas seratus lebih karyawan yang saya pimpin. Ini hal baru bagi saya, jadi saya wajar kalau merasa sedikit takut…”3

Ia melanjutkan, bahwa masing-masing orang memang bereaksi berbeda. Ia merasa bahwa dirinya sama sekali tidak pernah meminta fasilitas yang ia miliki saat ini, kemudian ketika ia mendapatkannya ia tidak menemukan alasan untuk menolaknya. Baginya penambahan fasilitas ini berbanding dengan penambahan tanggung jawab yang semakin berat pula. Ia mengakhiri pernyataannya dengan mengatakan, “Kalau orang mau bicara apa tentang saya itu sepenuhnya keputusan mereka.”

3 Hasil wawancara dengan Mr B, Manager Departemen Makanan dan Minuman pada hari Selasa,

(12)

Kegembiraan dan kekhawatiran yang menghinggapi kedua manajer rupanya berbanding terbalik dengan reaksi yang pertama kali muncul di benak informan 1. Dengan mata sedikit melotot dan raut muka yang tampak tegang, ia mengutarakan keterkejutannya sewaktu mendengar berita itu. Dari ekspresi yang muncul, peneliti membaca hal ini seolah seperti tamparan keras untuk manajemen. Manajemen seperti halnya karyawan bawahan. Duduk di ruang meeting tidak menjadikan mereka memiliki hak voting untuk memilih antara setuju atau tidak setuju. Bersuara pun tampaknya hanya membuang energi.

“…Saya terkejut. Jelas. Sangat mengagetkan, terlebih ketika mengetahui mereka langsung diberikan fasilitas setara GM dan seperti keduanya berbagi jatah begitu. Kami selaku HOD tidak pernah merasa ditanya apakah menyetujui keputusan ini. Tahu-tahu kami diinformasikan seperti ini. Ini seperti polemik ya. Kalau Anda dengar ada karyawan yang kurang setuju, begitu pula dengan kami. Tapi kami memang tidak reaktif dalam menanggapi hal ini. Salah salah nanti kami dianggap iri atau bagaimana. Tapi pengangkatan manajer tersebut tidak dapat diterima begitu saja dengan akal sehat, terlebih kepada Mr B. Kita semua ini pernah kerja di hotel, coba Anda sendiri apa iya manajer makanan dan minuman menjadi GM? Logikanya kemana? Tapi kita menyadari betul kita kerja di mana, di tempat seperti apa. Jadi ini tidak mustahil terjadi. Maka pada akhirnya kami mencoba untuk menerima keputusan tersebut…”4

Dirinya mengakui bahwa kala itu orang-orang di dalam ruangan tidak bersikap reaktif. Sambil menunjuk kepalanya, ia mencoba membuat peneliti berpikir apakah pengangkatan ini masuk akal. Terlebih menyoroti pengangkatan Mr B, seorang manajer makanan dan minuman yang tidak

4 Hasil wawancara dengan Informan 1, Manager Departemen Human Resources pada hari Jumat,

(13)

banyak mengetahui operasional perhotelan tiba-tiba diangkat menjadi GM in charge. Peneliti seolah diajak merasakan penolakan yang dulu dirasakan oleh narasumber.

Senada dengan informan 1, informan 2 memberikan ekspresi yang tidak jauh berbeda. Bahkan lebih ekspresif lagi, narasumber menjawab pertanyaan yang dilontarkan peneliti seraya menegakkan badannya dan melotot lebih lama lagi. Peneliti melihat setelah sekian bulan berlalu ternyata perasaan terkejut itu tidak pernah dilupakan oleh kedua informan narasumber. Dan lagi, informan 2 juga lebih menyoroti pengangkatan Mr B jika dibandingkan dengan Mr A.

“…jujur saya kaget saat itu. Tidak hanya saya, semua orang juga kaget. Bahkan saya sendiri sempat merasa tidak terima. Mr B terlalu muda dan minim pengalaman untuk diangkat sebagai GM in charge. Dan ini juga mengejutkan semua pihak karena ini aneh, meskipun kita terima jika alasanya adalah keduanya tidak bisa menjalankan hotel dan restoran kecuali memang jika keduanya disatukan. Tapi ini aneh, kenapa tidak merekrut GM baru saja? Melihat situasi yang seperti ini dimana owner terlalu banyak terlibat, bagusnya kita memiliki GM yang mampu berkomunikasi dan bermental kuat…”5

Tidak hanya menuai protes yang tidak sempat diutarakan kepada pemilik hotel, informan 3 yang menjabat sebagai Sales Executive selama hampir dua tahun mengatakan dirinya sudah bekerja sebelum Mr A dan Mr B menjadi bekerja di Aston at Kuningan Suites. Informan 3 adalah seorang wanita berumur sekitar 27 tahun, memiliki watak dan gaya bicara yang tegas

5 Hasil wawancara dengan Informan 2, Executive Chef pada hari Rabu, 1 Agustus 2012 di ruang

(14)

serta tidak segan-segan menutupi perasaannya. Dengan berapi-api ia menjawab,

“…tidak setuju. Sangat tidak setuju. Alasannya, kita semua bisa melihat lah keduanya seperti apa, kualitasnya seperti apa. Kalau untuk memimpin hotel yang saya takutkan keduanya tidak mampu, kalaupun mampu ya tidak memuaskan. Saya melihat Mr A saja tidak mengerti benar mengenai kebutuhan departemen sales & marketing. Kita lihat saja waktu dia mendapatkan jatah kendaraan pribadi, kalau Mr B masih mau meminjamkan mobilnya untuk digunakan sales call dimana departemen SM harus berebut setiap kali mau keluar kantor dengan mobil tamu, tapi Mr A sama sekali tidak mau meminjamkan kendaraannya meski kita meminjamnya dengan alasan pekerjaan. Kalau Mr B, dia sama sekali tidak tahu mengenai hotel…”6

Informan 3 mengungkapkan kekesalannya terhadap Mr A yang digambarkan sebagai pimpinan yang memiliki sikap apatis terhadap kebutuhan karyawannya sendiri. Narasumber menjelaskan sudah sepatutnya Mr A mendahulukan kepentingan perusahaan di atas kepentingan pribadinya. Ini lah yang disebut sebagai sikap pemimpin yang wajib dimiliki para pimpinan perusahaan. Tidak hanya mengkritisi sikap Mr A, narasumber juga mengkritisi Mr B dengan mengklaim bahwa sang manajer tidak mengetahui sama sekali mengenai hotel. Peneliti menyimpulkan ketakutan para informan terhadap ketidakmampuan Mr B dalam memimpin hotel hingga kini masih terbukti.

6 Hasil wawancara dengan Informan 3, SalesExecutive pada hari Kamis, 1 November 2012 di

(15)

Mencoba menjawab tanda tanya para informan terhadap keputusan ini, peneliti mencoba menemui key informan 3 yang tidak lain adalah pemilik hotel yang namanya seringkali disebut dalam wawancara yang dilakukan peneliti dengan narasumber terkait. Peneliti sendiri merasa harus mengetahui alasan ini dari sisi yang berseberangan. Wawancara yang dilakukan di Pastis dalam suasana informal ini cukup menggali informasi yang dibutuhkan oleh peneliti dalam melengkapi hasil penemuan di lapangan sehingga lebih akurat dan berimbang. Pemilik hotel yang keturunan Tionghoa ini menjawab dengan mengerutkan dahinya. Dibalik kacamatanya, beliau justru melemparkan pertanyaan kepada peneliti tanpa menjawab dengan tegas alasannya.

“…ya kalau kita mengangkat Mr A apakah nantinya dia bisa mengurusi Pastis? Sebaliknya, kalau kita mengangkat Mr B apakah nantinya dia bisa mengurusi hotel?”7

Tidak puas dengan jawaban narasumber, peneliti mencoba melontarkan kembali pertanyaan yang sama dengan memancing pertanyaan yang lebih menggelitik nalar atau logika si narasumber. Peneliti bertanya jika pemilik hotel mengangkat salah satunya dan membiarkan yang lainnya menjadi HOD bukankah hal itu sama saja? Karena pada dasarnya HOD ada untuk mengurusi departemennya masing-masing, jadi kalau pemilihan keduanya terjadi dengan alasan agar bisa berbagi tugas, bukankah tidak ada salahnya memilih satu dan membiarkan yang lainnya menjalankan tugasnya

7 Hasil wawancara dengan Key Informan 3, Owner Represntative pada hari Jumat, 19 Oktober

(16)

itu menjadi pilihan yang lebih baik? Dengan perlahan narasumber melepaskan kernyitan yang ada di dahinya dan mencoba untuk membuat peneliti paham dengan berkata,

“…betul. Tapi kita kan tidak bisa memprediksi diantara keduanya mana yang nantinya bisa membawa Aston lebih baik lagi. Kalau berbicara mengenai kualitas, dua-duanya sama-sama berkualitas. Itulah yang awalnya juga membuat kita kebingungan. Tapi setelah dipertimbangkan dengan matang, kita pikir jika keduanya diangkat tidak ada masalah…”8

Jawaban yang diberikan hanya mengisyaratkan kebingungan yang juga dialami oleh pemilik hotel dalam memilih diantara keduanya yang berujung pada pengangkatan keduanya. Jawaban yang cukup singkat namun lekat dengan persepsi narasumber lainnya yang juga beranggapan bahwa pemilihan keduanya karena masing-masing tidak cukup kuat untuk memimpin hotel sekaligus restoran.

Peneliti pun mencoba menghimpun jawaban-jawaban dari opini narasumber terakit alasan dua pemimpin dan bukannya satu saja. Tidak luput dari pengamatan dan wawancara, peneliti pertama kali melontarkan pertanyaan ini kepada Mr A selaku salah satu dari dua orang yang akhirnya ditunjuk oleh pemilik hotel. Menyandarkan punggungnya di kursi kerjanya, dan meletakkan tangannya di kedua tangan kursi, ia menjawab:

“…ya kamu lihat saja sendiri. Owner lebih sering berada di Pastis. Sekarang yang lebih sering berada di Pastis dan sering

(17)

berbicara dengan owner siapa kalau bukan Mr B? Kalau saya ya, ruang kerja saya disini. Jarang yang namanya saya nongkrong di Pastis, kecuali memang makan siang dan seperlunya saya. Kalau saya banyak menghabiskan waktu di Pastis apa gak namanya nanti saya manggabut? Jelas dari situ saja kamu bisa lihat hubungan kedekatan dengan owner sudah berbeda. Dan owner kan jarang masuk-masuk ke kantor kita kalau enggak karena terpaksa sekali, paling ya kita yang disuruh menghadap ke Pastis. Ya mungkin yang ada seolah-olah terlihat sekali setiap harinya bekerja itu Mr B, padahal mah saya juga kerja kan disini...”9

Secara tersirat, narasumber berusaha memberikan jawaban se-rasional mungkin bahwa Mr B beruntung bisa dipilih karena dari semua HOD yang ada, ia lah yang paling sering menghabiskan waktu dengan pemilik hotel. Dirinya tidak memungkiri jika kenyataannya hubungan yang terjalin antara dirinya dengan pemilik hotel tidak sekuat rekan sepemimpinannya. Namun Mr A juga mencoba membawa alasan rasional ini agar alasan ini lantas tidak dibenarkan jika kenyataannya ini menjadi alasan yang mendasari keputusan manajemen.

Ternyata hal yang sama juga diakui oleh Mr B, justru dengan lebih rinci ia menjabarkan pola pikir pemilik hotel ketika mempertimbangkan keputusan ini.

“…begini lho, dulu owner itu kurang sepaham dengan GM kita terdahulu. Sekarang setelah GM mundur, owner merasa ada kebebasan dalam memilih GM nya sendiri. Karena GM dulu kan dipilih dari head office kita. Nah, kebetulan saya yang memang lebih dekat dengan owner maksudnya saya kan bekerja lebih banyak untuk Pastis dan saya selalu stand by di Pastis sementara kamu lihat sendiri owner lebih sering duduk

9 Hasil wawancara dengan Mr A, Manager Departemen Keuangan pada hari Kamis, 19 Juli 2012

(18)

di Pastis, tidak sekali dua kali kita saling berdiskusi membahas soal Pastis atau soal hotel, mungkin ya dari situ owner merasa “klik” dengan saya begitu. Dan saya lebih bisa berkomunikasi dengan owner, dengan kata lain begini mereka kan sering dulu menyampaikan keinginannya kepada GM kita, tapi tahu sendiri kan GM kita itu dulu amat sangat temperamen dan kurang bisa diajak duduk dan bicara seperti saya dengan owner. Jadi-lah mereka mempercayakan saya untuk memimpin hotel ini. Kalau Mr A jelas lah, kan memang dia yang mengetahui seluk beluk hotel. Kalau Mr A tidak diragukan lagi, dulu sewaktu menjabat di Hotel Sultan juga kan beliau menduduki posisi manajer keuangan sudah sangat lama, bertahun-tahun, jadi kemampuannya dalam mengawasi keuangan hotel tidak diragukan lagi…”10

Sepintas yang terdengar adalah kedekatan hubungan yang mendasari pengangkatan Mr B, sementara Mr A diangkat lebih kepada pengetahuannya yang sudah tidak diragukan lagi mengenai hotel dan restoran dalam urusan keuangan. Dan keduanya diangkat untuk melengkapi satu sama lain.

Jawaban yang lebih bijak keluar dari mulut informan 1. Beliau berusaha untuk memberikan jawaban yang tidak terkesan menghakimi kekurangan keduanya, melainkan mengangkat persepsi dari kacamata sang pemilik hotel. Sambil menghela napas, informan 1 mengangkat sedikit kacamatanya yang turun dan berkata,

“…kalau ditanya kenapa ada dua, saya tidak bisa bilang kenapa, saya hanya bisa berpendapat kenapa, mungkin karena kedua-duanya sebenarnya memiliki kemampuan di bidang yang berbeda. Satu di hotel, satu di restoran. Sedangkan Aston Kuningan dengan Pastis sendiri adalah satu paket yang tidak dapat dipisahkan. Jadilah ada dua pimpinan. Kalau GM dulu

10 Hasil wawancara dengan Mr B, Manager Departemen Makanan dan Minuman pada hari Selasa,

(19)

kan sudah biasa memimpin hotel yang memiliki restoran, bahkan tidak hanya satu restoran…”11

Peneliti melihat bagaimana caranya menempatkan posisinya sebagai pihak pemilik hotel dan mungkin itu kira-kira yang telah dipikirkan oleh pemilik hotel dan memang benar adanya.

Di sisi lain, informan 2 menguak opini yang lebih kontroversial. Dirinya meyakini bahwa pemilik hotel dengan segaja merencanakan pengangkatan Mr A yang dimanfaatkan untuk mem-back up Mr B. Melalui hasil wawancara ia menyiratkan pesan bahwa yang sebenarnya fokus pemilik hotel ada pada Mr B, sedangkan Mr A kurang lebih hanya seorang mentor nantinya bagi Mr B. Berikut petikan wawancara dengan informan 2,

“…saya rasa karena owner memiliki kedekatan khusus dengan Mr B. Mr A sendiri sepertinya diangkat untuk mem-back up Mr B dalam menjalankan pekerjaannya...”12

Peneliti sendiri berusaha mengaitkan analisa informan 2 ini dengan temuan di lapangan yang tidak bisa tergambar melalui hasil wawancara. Peneliti menemukan fakta fakta di lapangan yang memang mendukung opini narasumber diatas, yaitu seberapa besar porsi kekuasaan yang kini dimiliki oleh Mr B dibanding Mr A. Pada banyak kasus, Mr B selalu bertindak sebagai pembicara, pemberi instruksi, pengatur kegiatan operasional, bahkan menjadi pembuat keputusan tunggal, sementara Mr A hanya diam mengurusi uang

11

Hasil wawancara dengan Informan 1, Manager Departemen Human Resources pada hari Jumat, 27 Juli 2012 di ruang kerja Mr Informan 1

12 Hasil wawancara dengan Informan 2, Executive Chef pada hari Rabu, 1 Agustus 2012 di ruang

(20)

yang harus dia keluarkan atau dia laporkan kepada pemilik hotel. Hal ini jelas terlihat sewaktu Mr A menolak pengajuan dana proposal oleh praktisi PR untuk biaya acara Buka Bersama bulan Juli lalu. Proposal yang ditolak tersebut dikonsultasikan oleh praktisi PR kepada Mr B. Dengan segera Mr B mengajak PR menghampiri ruang kerjanya dan memintanya untuk menyutujui proposal tersebut. Mr A yang kala itu membantah menolak dengan alasan ia meminta PR untuk memeriksa kembali proposal tersebut akhirnya menandatanganinya. Peneliti melihat bahwa power Mr B seiring berjalannya waktu semakin kuat dibanding Mr A. Fakta inilah yang dianggap kemudian mendukung opini bahwa sebenarnya keberadaan Mr A tidak lain hanya untuk mempersiapkan Mr B dalam mengoperasikan hotel dan restoran.

4.2.1.2 Peran Public Relations dalam Organisasi

Seperti halnya yang kita ketahui, industri perhotelan adalah industri yang bergerak di bidang jasa keramah tamahan yang menjunjung tinggi pelayanan terbaik kepada para pengunjungnya. Keramahtamahan ditunjukkan Aston at Kuningan Suites ketika tamu baru memasuki lobi hotel, memesan kamar, memasuki kamar, selama menginap, sampai ketika tamu melakukan check out di keesokan harinya. Namun apakah keramahtamahan juga dijunjung tinggi di dalam internal komunikasi hotel ini?

Praktisi PR hendaknya juga mengambil peran dalam membangun komunikasi yang efektif dan kondusif di dalam kegiatan sehari-hari hotel ini. Namun apakah kegiatan komunikasi internal dibina seiring kegiatan eksternal

(21)

dilakukan? Sebelum membahas lebih lanjut, peneliti ingin menggambarkan posisi dan peran PR hotel Aston at Kuningan Suites.

Sedikit berbeda dengan PR corporate pada umumnya, dimana PR biasanya memiliki departemen sendiri dan memiliki sebutan yang berbeda-beda seperti corporate secretary, corporate communication, media relations, dan sebagainya, di industri perhotelan biasanya posisi PR berada pada naungan departemen sales and marketing. Di Aston at Kuningan Suites ini sendiri PR berada tepat dibawah head of department yang disebut dengan Assistant Director of Sales (ADoS). Hal ini disebabkan karena PR dalam hotel memiliki fungsi selain sebagai praktisi kehumasan juga sebagai praktisi marketing yang bertanggung jawab atas semua aktivitas marketing dan bertanggung jawab untuk melakukan kegiatan publikasi melalui media below the line dan above the line. Untuk lebih memudahkan pembaca dalam memahami struktur di dalam departemen ini, peneliti membuatkan ilustrasi sebagai berikut :

(22)

Bagan 4. Struktur Departemen Sales & Marketing

Dari bagan diatas, dapat dilihat bahwa kedudukan public relations setara dengan sales executive. Selama penelitian posisi tertinggi, yakni Director of Sales (DoS) memang kosong. ADoS membawahi area sales yaitu sales executive (SE) yang bertanggung jawan melaksanakan sales call atau kunjungan ke perusahaan-perusahaan yang memiliki potensi untuk dijadikan klien tetap, sales coordinator (SC) yang mengkoordinir seluruh kebutuhan administrasi baik berupa penyediaan lease agreement bagi long staying guest (minimal waktu menginap adalah selama satu bulan atau empat minggu) serta laporan mingguan dari masing-masing fungsi yang ada di departemen ini, dan yang terakhir adalah reservationist (Rv) yang melayani pemesanan kamar baik secara langsung, melalui telefon, email, atau booking online. Ketiganya

(23)

berkoresponden dengan tamu melalui email sebagai bukti yang akan digunakan sewaktu-waktu jika diperlukan.

Sales merupakan jantung pada operasional perhotelan, tanpa sales penjualan kamar jelas tidak dapat dilakukan. Selama penelitian, peneliti melihat komunikasi tidak berjalan dengan positif dan efektif. SE memiliki gaya komunikasi yang tegas, sementara SC dan Rv menganut gaya komunikasi yang lebih tenang. Namun begitu, SE tidak memiliki gaya kepemimpin yang baik. Keluhan SE mengenai SC dan Rv selalu ditumpahkan langsung kepada ADoS tanpa meminta penjelasan terlebih dahulu kepada bawahannya. Sementara SC dan Rv melihat hal itu sebagai alasan bagi mereka untuk tidak lagi menghargai dan menghormati posisi SE. Keduanya seringkali melakukan hal-hal yang dengan sengaja melanggar peraturan. Namun begitu, ketiganya tetap berusaha untuk bersikap professional selama itu menyangkut perihal pekerjaan. Kondisi diantara ketiganya bisa dengan cepat dirasakan baik itu oleh ADoS sendiri. Meski demikian beliau tidak pernah berusaha untuk memperbaiki hubungan ketiganya.

Di lain sisi, ADoS membawahi area marketing yaitu event executive (EE), public relations (PR) dan graphic designer (GD) yang berada dibawah PR. EE memiliki tanggung jawab dalam menangani seluruh acara yang akan diadakan di restoran Pastis Kitchen & Bar. Hal ini disebabkan Aston sendiri tidak memiliki fasilitas ballroom, meski begitu banyak sekali permintaan dari klien yang hendak merayakan atau menyelenggarakan acara di Pastis. Restoran ini sendiri biasa dijadikan tempat untuk press conference, company

(24)

gathering, talkshow, baby shower, launching product, breakfast meeting, pre-wedding photo shoot, dan yang paling sering diselenggarakan adalah sebagai tempat untuk resepsi pernikahan yang memiliki konsep casual, santai, dan lebih intim.

Praktisi PR pada sebuah hotel termasuk dalam kategori marketing public relations dimana ia tidak hanya sekedar menjalankan fungsinya kehumasannya namun juga melakukan beberapa aktivitas pemasaran produk dan jasanya. Begitu pula dengan PR Aston at Kuningan Suites, ia bertanggung jawab atas brand awareness hotel dan restoran baik secara eksternal maupun internal melalui liputan media yang bisa diukur melalui ROI (return of investment) yang dicantumkan di setiap laporan bulanannya. Umumnya seorang praktisi PR juga selalu mempersiapkan press release atau siaran pers dalam dua bahasa yakni bahasa Indonesia dan bahasa inggris sekurang-kurangnya 2 kali dalam sebulan yang bertujuan untuk menyebarluaskan informasi yang memiliki nilai berita bagi para media mengenai aktivitas perusahaan seperti acara tahunan, promosi restoran, paket promosi kamar hotel, acara yang akan dilakukan, perkenalan chef baru, penghargaan hotel atau retoran, paket perayaan pernikahan, dan sebagainya yang didistribusikan melalui email blast ke seluruh media yang ada di database perusahaan.

Selain itu, praktisi PR juga bertanggung jawab untuk terus memperbaharui informasi baik berupa status, acara, atau foto di semua akun sosial media seperti facebook dan twitter. Membawahi seorang graphic designer, praktisi PR ini juga harus berkontribusi melalui ide ide yang

(25)

inovatif, baru, dan segar di dalam keseluruhan alat-alat promosi seperti flyer, poster, billboard, tent card, dan iklan yang ada di media cetak, media elektronik, dan media online. PR akan berkoordinasi oleh seluruh departemen yang ada, khususnya dengan Chef. PR biasanya melakukan diskusi rutin baik dalam situasi formal maupun non formal dalam pembaharuan ide ide promo makanan dan minuman. Salah satunya kegiatan yang paling sering dilakukan bersama dengan Chef adalah ketika PR menerima undangan atau sebaliknya mengundang para jurnalis dari berbagai media yang bermaksud meliput Pastis Kitchen & Bar, menu makanan, promo yang sedang berlangsung, hotel, atau bermaksud untuk meliput profil Chef. Untuk itu PR akan selalu berkoordinasi dengan Chef dan mendampinginya selama proses interview dengan media berlangsung. PR juga melayani permintaan media yang hendak mengajukan proposal pengajuan lokasi foto sesi atau syuting. PR Aston at Kuningan Suites disini juga menjalankan fungsinya sebagai event management yakni menjadi pencetus ide acara, perencana, pelaksana sekaligus tidak jarang juga menjadi master of ceremony atau yang lebih dikenal dengan sebutan MC. Maka beberapa acara yang pernah dilakukan praktisi PR selama penelitian berlangsung adalah program corporate social responsibility perusahaan yakni

Buka Bersama Aston at Kuningan Suites dengan Yayasan Anak Yatim dan Media yang diselenggarakan di restoran Pastis Kitchen & Bar. Acara lainnya bertajuk Masquerade Party yang berlangsung pada tanggal 31 Mei 2012 lalu merupakan acara company gathering dimana Aston mengundang para media, perusahaan yang sudah menjadi klien tetap hotel, serta puluhan

(26)

wedding organizer yang selama ini telah bekerjasama dengan Aston at Kuningan Suites. Baru-baru ini PR juga menyelenggarakan konferensi pers untuk memperkenalkan menu baru yang berjudul “The Menu” sekaligus memperkenalkan Chef baru yang mengusung cita rasa makanan ala bintang 5.

Kegiatan hard selling yang dilakukan oleh PR adalah menyusun pertemuan dengan account executive dari media yang bermaksud menawarkan halaman iklan yang biasanya dapat diwujudkan melalui kerjasama semi barter atau full barter (iklan dibayarkan dengan voucher). Selanjutnya jika proses negosiasi harga sudah disepakati kedua belah pihak, maka PR harus melengkapi seluruh berkas yang harus ditanda-tangani oleh kedua belah pihak. Selebihnya PR akan mempersiapkan materi desain yang terlebih dahulu harus mendapatkan persetujuan dari Mr B dan juga dari manajemen pusat, kemudian melakukan media monitoring setiap harinya guna mengontrol bukti iklan diterima dengan baik dan sesuai dengan materi desain yang dikirimkan ke pada pihak media.

Dewasa ini kedudukan PR dalam perusahaan sudah semakin kuat, top management mulai meyakini bahwa PR tidak hanya berperan dalam menjaga image, namun juga mengokohkan perusahaan sebagai perusahaan yang ramah lingkungan, peduli dengan komunitas sekitar, berperan aktif dalam pembinaan hubungan dengan para investor, juga mengikuti peraturan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Namun bagaimana dengan Aston at Kuningan Suites sendiri? Memiliki praktisi PR bukan berarti memberikannya posisi

(27)

yang kuat dalam jajaran top management. Mr A melalui wawancara yang dilakukan menjelaskan peran dan fungsi PR sebagai berikut:

“…ya PR itu yang ketemu media, entertain media, terus kalau hotel kita ada berita yang kurang enak, PR yang bertemu dengan media…”13

Lebih lanjut lagi Mr A menjelaskan pandangannya mengenai peran dan fungsi PR:

“…ya penting lah, kalau tidak ada PR nanti siapa yang akan mengurus media? Yang buat acara misalnya seperti press conference? Atau buka bersama seperti acara mendatang? Nanti yang akan mengurus iklan kita juga siapa? Yang buat desain iklan? Itu semua kan PR. Kalau misalnya kita ada masalah, dan media banyak yang datang untuk meliput, kalau bukan PR siapa yang akan jadi juru bicara perusahaan?...”14

Tidak seperti apa yang kita ketahui di teori maupun pada praktiknya, penjelasan Mr A diatas dapat dikatakan sangat terbatas atau sangat sempit. PR tidak hanya bekerja sebagai staf administrasi atau sekedar menjadi guest relations officer, tidak hanya sekedar menjamu media, PR juga membina dan meningkatkan kualitas dari hubungan itu sendiri. Maka tidak sedikit PR yang akhirnya menjadikan rekan medianya sebagai teman ngobrol begitu pada saat senggang di akhir pekan atau selepas pulang kantor. Tidak sedikit pula yang membawa hubungan professional tersebut ke arah yang lebih santai seperti pertemanan, bahkan tidak menutup kemungkinan pula berubah menjadi

13 Hasil wawancara dengan Mr A, Manager Departemen Keuangan pada hari Kamis, 19 Juli 2012

di ruang kerja Mr A

(28)

persahabatan. Semakin kuat hubungan antara praktisi PR dengan awak media, akan semakin mudah pula pekerjaan PR ketika ia membutuhkan liputan untuk perusahaannya. Inilah yang seharusnya dilakukan dan didukung sepenuhnya oleh manajemen. Pada level tertentu pula media tidak lagi katakanlah menunggu “entertain” begitu untuk sekedar berkunjung atau meliput perusahaan atau bahkan memasukkan press release kedalam bentuk artikel medianya. Hal ini lah yang tidak dilihat peneliti sebagai fokus manajemen terhadap peran dan fungsi PR itu sendiri. Memang pada kenyataannya peran dan fungsi PR itu mengikuti tempatnya, sebagai contoh PR hotel tidak mungkin bisa disamakan dengan PR BUMN. Di banyak perusahaan BUMN, PR tidak boleh menyentuh ranah marketing. Apapun yang berhubungan dengan marketing atau hard selling pasti akan langsung dilimpahkan ke bagian lainnya. Sedangkan di hotel sendiri, PR masuk kedalam kategori MPR atau yang biasa kita kenal dengan Marketing Public Relations, di mana PR tetap menjalankan fungsinya sebagai praktisi kehumasan, namun ia juga dituntut untuk bertanggung jawab atas pekerjaan marketing yang bermuara pada satu titik yakni revenue. Itu sebabnya pada penjelasan diatas, Mr A mengaitkan peran PR dengan tanggung jawab iklan dengan sangat kuat. Sementara Mr A menjelaskan pandangannya mengenai PR dengan keterbatasan pengetahuan mengenai fungsi PR itu sendiri, Mr B mencoba memberikan penjelasan yang lebih luas, yakni:

“… ya PR rata-rata harus bisa mengerjakan semuanya. Harus pintar dan gak malu-maluin lah kalau ketemu media sewaktu-waktu. PR itu harus bisa foto juga, seperti kenalan saya PR

(29)

juga. Dan yang jelas PR harus bisa kasih ide untuk desain iklan majalah. Ya fungsi PR menjaga image perusahaan dan image brand juga. Kalau PR nya katakanlah ecek-ecek begitu, ya bagaimana hotelnya mau dianggap bagus oleh media dan konsumen. Intinya seorang PR harus serba bisa…”15

Jika bisa dirangkum dalam kalimat yang sederhana, Mr B mencoba untuk memberi gambaran fungsi PR kurang lebih sebagai “pemanis” perusahaan. Mengapa dikatakan pemanis perusahaan? Karena Mr B dengan gamblang mengatakan bahwa PR tidak boleh malu-maluin dan ecek-ecek. Tidak melihat PR dari sisi yang lebih kompleks, namun meluas ke arah yang salah. PR dipandang sebagai sebuah kemasan. Tidak peduli seperti apa, namun seorang PR harus tampak apik dulu dalam kemasannnya. Namun begitu, Mr B tidak menampik pentingnya peran PR melalui hasil wawancara berikut:

“…ya sangat penting, kalau tidak ada PR siapa nanti yang fokus mengurusi image dan brand kita? Kalau tidak ada PR juga siapa yang fokus melayani media yang ingin meliput atau menawarkan iklan ke kita. Kalau tidak ada PR siapa yang fokus mengurusi iklan di majalah kita. Dan PR juga harus punya selera yang baik lho. Karena PR itu harus memberikan ide terhadap materi desain iklan kita. Kalau buruk seleranya, buruk juga hasilnya nanti…”16

Kesadaran Mr B akan pentingnya peran PR di perusahaan belum didukung dengan kesadarannya terhadap kompleksitas tanggung jawab yang harus diemban oleh praktisi PR. Hal ini dapat dilihat dari praktisi PR sendiri yang sampai saat ini tidak memiliki manager atau staf. PR bekerja seorang diri

15 Hasil wawancara dengan Mr B, Manager Departemen Makanan dan Minuman pada hari Selasa,

9 Oktober 2012 di ruang kerja Mr B

(30)

tidak dibawahi departemen sendiri. Jadilah pentingnya peran PR hanya sebatas pentingnya posisi tersebut diisi. PR tidak juga difokuskan atau didukung agar melakukan gerakan yang lebih nyata lagi bagi perusahaan.

Beda key informan beda pula dengan informan. Informan 1 menjawab dengan lebih diplomatis dengan mengangkat fungsi komunikasi praktisi PR. Informan 1 yang pernah menjabat selama kurang lebih satu tahun enam bulan sebagai Human Resources Department, menjabarkan fungsi dengan peran PR sebagai berikut:

“…PR itu ada di hotel untuk difokuskan kepada mempertahankan citra perusahaan, dan meningkatkannya. PR itu satu-satunya orang yang harus bertemu dengan media. PR yang mengelola bahasa agar tidak terjadi kesalahpahaman antara perusahaan dengan media. Kalau kita yang menghadapi media, bisa jadi kita asal dalam menjawab pertanyaan media, nah kalau PR, dia harus bisa menjaga komunikasi yang baik dengan media. Apalagi media sangat penting bagi pertumbuhan perusahaan. Makanya hubungan dengan media harus dijaga dan dibina dengan sebaik-baiknya. Nah disitulah PR berperan penting. Tidak hanya sampai disitu, PR juga bertanggung jawab atas iklan kita, dari mulai bernegosiasi harga dengan media, sampai kepada memantau iklan kita yang sudah dipasang di media apakah sesuai atau tidak. Seperti itu…. “17

Sebagai seorang manajer HR, informan 1 tentunya memiliki pengetahuan yang lebih baik mengenai tugas pokok dan fungsi praktisi PR, sebab ia yang memutuskan pertama kali apakah pelamar kerja layak untuk dipanggil dan menjalani tes calon karyawan berdasarkan wawancara tahap awal dan hasil tes

17 Hasil wawancara dengan Informan 1, Manager Departemen Human Resources pada hari Jumat,

(31)

yang didapat. Tentunya informan 1 sudah memiliki dasar pengetahuan yang kuat dalam menjabarkan kepada calon karyawan apa yang menjadi tanggung jawabnya jika diterima oleh perusahaan. Ditanya mengenai pentingnya peran PR, informan 1 menjawab dengan tegas, yakni:

“… Sangat. Memang terkadang pekerjaan PR itu suka dianggap pekerjaan yang hura-hura. Kebanyakan karena hanya terlihat menjamu media di Pastis, dan seolah-olah tidak terlalu berpengaruh dengan revenue perusahaan. Tapi hanya segelintir orang yang memang jarang bekerjasama dengan PR secara langsung dalam pekerjaannya. Kalau yang jarang kerja bareng ya susah… “18

Informan 2 yang juga pernah menjabat sebagai Executive Chef sebelum pengunduran dirinya pada bulan Agustus 2012 lalu menggambarkan dengan sangat intim mengenai peran PR dalam pekerjaannya sehari-hari, sebagai berikut:

“…oh soal itu tidak perlu dibantah lagi. Seorang Chef dimanapun dia berada akan selalu berkoordinasi dengan yang namanya PR. Chef harus memiliki chemistry dengan PR. Bagi Chef, PR itu gerbang menuju media. Agar baik hotel maupun restoran bisa dikenal lebih luas lagi melalui media, bahkan tidak sering ya, seorang Chef bisa dikenal oleh media, masuk ke media, dan akhirnya dianggap oleh Chef yang lainnya itu melalui usaha dan kerja keras PR juga yang selalu mengenalkan Chef ke media. Chef dan PR itu harus saling melengkapi…”19

18 Ibid

19 Hasil wawancara dengan Informan 2, Executive Chef pada hari Rabu, 1 Agustus 2012 di ruang

(32)

Peneliti menyadari bahwa definisi PR berikut peran dan fungsinya bisa diartikan berbeda antara yang satu dengan yang lain. Masing-masing tergantung jabatannya dalam struktur organisasi dan intensitas kerjasama yang dilakukan dalam pekerjaannya. Seperti yang dikatakan informan 1, semakin rendah intensitasnya semakin minim pengetahuannya terhadap peran dan fungsi PR dalam organisasi begitu pula sebaliknya. Ini terlihat pada masing-masing jawaban yang diberikan oleh narasumber bagaimana keempatnya memandang PR dari kacamata yang berbeda. namun seharusnya hal ini tidak berlaku pada Mr A dan Mr B. Sebab, mereka berada pada posisi tertinggi di dalam struktur. Informan 2 menggambarkan mengenai chemistry atau yang dimaksud dengan “ikatan” antara keduanya. Informan 2 juga mendeskripsikan PR sebagai gerbang utama perusahaan dapat dikenal oleh media, oleh khalayak luas yang tidak mungkin terjangkau dengan kegiatan sales call dan sejenisnya. Begitu bermanfaatnya PR bagi perusahaan, namun sayangnya tidak semua narasumber memiliki pemikiran yang sama.

Dan Lattimore mengemukakan dalam bukunya bahwa ada empat hal yang mendasari terjadinya sebuah krisis. Salah satunya yang jelas terjadi di hotel ini adalah keputusan manajamen. Manajemen terkadang tidak menganggap serius hal yang sedang terjadi, bahkan mereka menganggapnya ini tidak akan diketahui oleh seorangpun. Terlebih jika keputusan tersebut tidak didukung sepenuhnya oleh pihak internal perusahaan. Terkadang pula manajemen tidak mampu melihat potensi krisis yang dapat ditimbulkan dari keputusan tersebut. Besar kecilnya dampak tersebut tergantung pula oleh besar

(33)

kecilnya keputusan yang dibuat. Semakin besar dan semakin memperngaruhi hajat hidup karyawan banyak, maka semakin besar pula dampak yang akan muncul.

Dari paparan hasil observasi sebelumnya dengan jelas peneliti menguak bahwa apa yang menjadi awal dari krisis komunikasi dalam badan PR terjadi karena adanya keputusan manajemen yang disini lebih dimaksudkan pada keputusan pemilik hotel yang pada akhirnya menjadi keputusan manajemen di mata karyawan. Pengangkatan kedua manajer yang jelas tidak memiliki pengalaman yang cukup dan tidak memenuhi kualifikasi inilah yang kemudian memunculkan polemik polemik baru dalam kegiatan komunikasi internal baik antara keduanya maupun kaitannya dengan tugas dan fungsi PR.

Krisis dapat tercipta akibat dari kelemahan atau kesalahan suatu sistem manajemen, operasional, pelayanan dan kebijakan yang dikeluarkan lembaga atau perusahaan. Bidang pelayanan jasa pada umumnya lebih rentan terhadap munculnya krisis karena bergantung penuh pada rasa kepercayaan dan kualitas pelayanan yang ditentukan oleh konsumennya, meskipun dalam hal ini tidak ada konsumen (tamu hotel dan restoran) yang dirugikan akibat adanya keputusan ini, namun kerugian yang dirasakan karyawan dalam bentuk berkurangnya kepercayaan terhadap perusahaan dan hilangnya sense of belonging terhadap pekerjaan, dan yang tidak dapat dielakkan lagi adalah tingginya grafik keluar masuk karyawan. Menurut hasil wawancara dengan manajer HRD yang menjabat lebih dari setahun di hotel ini mengatakan

(34)

bahwa sekurang-kurangnya, 5 – 6 karyawan mengajukan surat pengunduran diri setiap bulannya dengan alasan yang bervariasi namun merucut pada ketidakpuasan karyawan terhadap kebijakan, kepemimpinan, dan tidak dipenuhinya hak hak karyawan secara adil dan konsisten.

“…Anda bisa lihat sendiri di papan tulis di ruangan HR admin. Kalau saya bisa kasih gambaran, memang turn over di hotel sangat tinggi. Tapi di hotel ini sendiri sangat luar biasa. Rata-rata 5-6 orang mengundurkan diri setiap bulannya. Melihat karyawan kita yang hanya 114 karyawan, 5-6 itu merupakan angka yang tinggi. Pengalaman saya kerja di hotel, hanya disini lah yang buat saya kewalahan. Mencari karyawan tidak mudah, harus lebih cermat. Harus cari karyawan dengan mental dan kemauan kerja yang keras. Kalau tidak, 5-6 orang setiap bulannya akan terjadi terus menerus…”20

Hasil penelitian di lapangan pun menunjukkan bahwa pembicaraan mengenai pengunduran diri karyawan sudah menjadi pembicaraan yang lumrah terjadi bahkan tidak jarang pula dijadikan sebagai ajang bercanda antara karyawan yang satu dengan karyawan yang lainnya. Tidak seperti perusahaan pada umumnya yang memiliki jejak rekam yang baik terhadap kesejahteraan karyawannya, perihal pengunduran diri sering dianggap sebagai hal yang tabu untuk dibicarakan terlebih lagi dijadikan bahan lelucon.

Praktisi PR melihat bahwa keputusan manajemen untuk menyetujui atau menyepakati pengangkatan kedua manajer yang dipilih secara pribadi oleh pemilik hotel menjadi identifikasi awal terjadi krisis ini. Seperti halnya sebuah keputusan, maka keputusan ini pun bersifat memaksa atau dengan kata

20 Hasil wawancara dengan Informan 1, Manager Departemen Human Resources pada hari Jumat,

(35)

lain tidak dapat di ganggu gugat. Bahkan head office yang menjadi manajemen resmi dan terikat kontrak dengan pemilik hotel pun tidak dapat berbuat banyak, maka krisis terjadi akibat adanya perubahan struktur organisasi dalam tingkatan General Manager dan terjadi pada lapisan dimana PR tidak dapat dengan mudah menyentuh atau menyumbangkan pendapatnya. Hal ini diperparah dengan keberadaan PR sebagai praktisi strategis yang tidak diakui dengan baik oleh manajemen.

Selanjutnya, fokus mulai diarahkan kepada kedua manajer tersebut. Tidak memenuhi kualifikasi untuk menggantikan posisi GM serta minimnya pemahaman terhadap peran dan fungsi PR hotel menjadikan keduanya tidak memiliki langkah-langkah strategis dalam melakukan perbaikan-perbaikan serta pembaharuan-pembaharuan di seluruh departemen khususnya di badan PR sendiri. Kurang beruntungnya peran PR dalam komunikasi ke atas (upward communication) tidak memberikannya ruang yang cukup leluasa dalam mengajukan gagasan, ide, menyumbang saran, member masukan, dan sebagainya. Kondisi buruk ini didukung dengan sifat-sifat alami yang dimiliki oleh kedua manajer yaitu tidak mampu berkomunikasi secara efektif dan baik dengan PR. Meskipun iklim komunikasi yang tercipta diantara mereka adalah iklim komunikasi yang santai, tidak kaku, tidak formal, namun tetap tidak memberikan keuntungan dalam komunikasi kerja ketiganya.

(36)

4.2.2 Analisis Krisis

4.2.2.1 Komunikasi Internal dalam Organisasi

Berada di bawah ADoS, kenyataan yang dilapangan justru praktisi PR seringkali berdikusi langsung dengan Mr B yang memegang peran GM in charge. Peneliti mengamati bahwa ADoS tidak memiliki kemampuan dan pengetahuan yang memadai di bidang marketing khususnya di bidang kehumasan. Di suatu hari pernah terjadi peristiwa dimana peneliti melihat bagaimana ADoS menghambat kerja PR, yakni ketika PR hendak membuat desain kartu ucapan yang akan dikirimkan melalui email keseluruh database baik media, pelanggan, perusahaan maupun hotel-hotel Aston lainnya di Indonesia. ADoS yang melihat hal itu langsung mempertanyakan alasannya mengapa ia membuat itu, ketika PR itu menjawab bahwa hal itu dilakukan untuk memperingati hari besar Tahun Baru China. Saat itu juga, ADoS langsung menyuruhnya menghentikan pekerjaannya dengan mengatakan bahwa hal itu tidak lah penting. PR itu sempat berargumen bahwa hal itu penting karena mayoritas pelanggan hotel dan restoran serta klien lainnya merupakan warga keturunan Chinese, namun hal ini tetap tidak membuat ADoS itu berubah pikiran. Kemudian ia segera menyudahi pekerjaannya karena ia tahu ini akan sia-sia, karena sebelum akhirnya ia dapat mendistribusikannya, ia terlebih dahulu harus mendapat approval melalui email dari ADoS yang kemudian akan diteruskan ke GM. Hal ini jelas menghambat tujuan dari kegiatan komunikasi kehumasan itu sendiri yaitu

(37)

memelihara hubungan baik khususnya antara perusahaan dengan publik atau pihak eksternalnya.

PR hotel umumnya memiliki minimal 2 orang di dalam departemennya sehingga PR dapat menjalankan fungsinya secara optimal dan maksimal. Tapi tidak di hotel ini, seluruh tanggung jawab yang dipaparkan sebelumnya dilakukan sendiri oleh seorang praktisi PR yang memegang jabatan sebagai Public Relations Officer, bukan Public Relations Manager. Hal ini dapat dilihat sebagai bukti bahwa PR tidak dipandang sebagai posisi yang khusus dan penting sehingga ia tidak diberikan akses untuk dapat berdiskusi langsung pada morning briefing HOD yang dilaksanakan setiap pagi pukul 9 dan tidak pula diikutsertakan dalam setiap pengambilan keputusan yang sedikit banyak akan mempengaruhi kegiatan komunikasi internal maupun eksternal perusahaan. Hal ini menyulitkan praktisi untuk dapat menumpahkan keluhan dan gagasan yang sifatnya penting dan harus segera diutarakan. Namun dengan begitu, praktisi PR masih dapat menumpahkannya melalui sales and marketing meeting yang dilaksanakan setiap hari jumat setelah morning briefing dan hanya diadakan dua minggu sekali dimana dihadiri oleh Mr A, Mr B, ADoS, PR, SE (Sales Executive), GD (Graphic Designer) dan Chef.

Tidak sekali dua kali Mr B meminta PR untuk mengutarakan opininya dan ia menggunakannya dengan baik yakni mengutarakan apa yang menjadi pendapatnya. Namun sayangnya, hal ini biasanya hanya akan „menguap‟ begitu saja. Mr B selalu membutuhkan masukan dari PR, tapi tidak selamanya Mr B mau mempertimbangkan masukannya. Bahkan tidak sekali dua kali Mr

(38)

B dengan tegas mengatakan bahwa masukan itu tidak berarti apa-apa karena Mr B lah yang memiliki kuasa. Hal ini yang terkadang membingungkan tidak hanya PR tapi juga seluruh peserta meeting yang hadir pada saat itu. Tapi hal ini kemudian menjadi biasa dan selalu dimaklumi oleh PR karena tidak hanya sekali atau dua kali terjadi. Kadang kala Mr B mengutarakan idenya yang sering terdengar sedikit aneh dan tidak sesuai dengan image perusahaan, sebagai contoh ketika menu Pastis akan diganti kedalam bentuk yang baru yang lebih praktis dan kecil. Pada meeting itu seluruh peserta meeting membahas mengenai mock up menu baru yang sudah dikirimkan oleh supplier. Mr B lantas meminta GD untuk menghubungi supplier dan menggantinya dengan laminating gloss dimana itu akan menimbulkan efek mengkilap dan terkesan murahan. Mendengar hal itu Mr B lantas menanyakannya kepada PR mengenai opininya, dengan tegas PR menjawab bahwa laminating doft lebih bagus karena terkesan mewah dan cocok untuk target pasar restoran hotel bintang 4. Hal ini membuat Mr B tersudut dan merasa dirinya tidak diakui. Bahkan Mr A sendiri sempat menaikkan volume suaranya agar mempertegas apa yang menjadi pendapat seluruh peserta meeting. Tapi yang terjadi justru sebaliknya, Mr B mengatakan ia akan tetap berjalan dengan pilihannya karena itulah yang menurutnya bagus. Kejadian ini berakhir pada 2 minggu sesudahnya ketika supplier mengirimkan mock up seperti permintaannya dan Mr B menyadari bahwa pilihannya kali ini sangat buruk. Ia lantas memintanya kembali ke awal yakni di laminasi doft.

(39)

Lalu sebenarnya apa arti komunikasi di dalam organisasi yang mereka ketahui dan mereka yakini? Peneliti berhasil menguak fakta mengenai kemampuan subyek penelitian dalam memaknai kegiatan komunikasi internal perusahaan. Mr A mendeskripsikan komunikasi dan tujuannya sebagai berikut,

“…Ya komunikasi itu seperti bicara, ya seperti kita ini. Bisa juga lewat media atau alat komunikasi seperti handphone, email, dan sebagainya. Komunikasi perusahaan ya seperti meneruskan informasi bisa langsung pada saat tatap muka, atau pada saat rapat, atau lewat bbm (blackberry messenger), sms, dan sebagainya. Tujuannya supaya kamu tahu apa yang saya tahu soal hotel misalnya, atau soal product knowledge. Terus supaya saya bisa menginformasikan kepada yang lain tentang apa saja mengenai pekerjaan. Ya komunikasi itu penting intinya. Kalau tidak berkomunikasi ya kita tidak akan bisa menjalankan perusahaan…”21

Mengutip pernyataan diatas mengenai tujuan komunikasi menurut Mr A yakni salah satunya adalah agar subyek penelitian bisa menginformasikan kepada orang lain tentang apa saja mengenai pekerjaan. Mari kita bandingkan jawabannya ketika peneliti melontarkan pertanyaaan mengenai alasan kenapa pengangkatannya tidak diinformasikan secara resmi melalui manajemen kepada semua pihak yang berkepentingan dan berhak mengetahui informasi tersebut.

“…ya kita cuma pernah membahas soal ini di morning briefing, kalau soal penjelasan resmi ya yang seperti apa? Di

21 Hasil wawancara dengan Mr A, Manager Departemen Keuangan pada hari Kamis, 19 Juli 2012

(40)

email kan begitu? Ya kalau itu saya kurang tahu deh. Awalnya kan saya dan Mr B dipanggil untuk menghadap owner, ternyata untuk membicarakan soal ini. Tadinya saya juga disuruh in house disini, saya bilang saya gak mau. Lha saya punya rumah, punya keluarga, kalau Mr B kan memang tinggalnya di Bandung, disini hanya nge-kost. Saya minta jatah menginap saja yang penting disini sama keluarga saya. Selebihnya saya tidak terlalu memikirkan siapa yang seharusnya menginformasikan ini, kalau memang harus diinformasikan secara resmi ya harusnya HR manajer dong yang melakukannya…”22

Berbanding terbalik dengan pernyataan sebelumnya, pernyataan diatas mengukuhkan keacuhannya terhadap pentingnya komunikasi internal sebagai cara untuk menyampaikan informasi. Dengan terang-terangan narasumber menyatakan bahwa dirinya tidak mengetahui bahwa sebaiknya informasi ini disampaikan secara resmi. Tidak hanya itu, dirinya justru melempar kesalahan ini kepada manajer HR atas kelalaiannya tidak menyampaikan informasi ini. Peneliti melihat tidak adanya kesadaran diri di dalam diri pemimpin akan informasi sebagai alat komunikasi dalam organisasi. Bagaimana bisa sebuah organisasi memiliki karyawan dengan etos kerja yang baik, produktivitas yang meningkat setiap tahunnya, dukungan internal, kepercayaan karyawan, dan sebagainya jika karyawan merasa tidak lagi memiliki kepercayaan terhadap narasumber akan informasi yang akurat yang ingin diketahui oleh mereka. Pengangkatan keduanya memang jelas menimbulkan isu-isu negatif yang berkembang bebas tidak hanya dikalangan karyawan bahkan dikalangan manajer lainnya. Hal ini sepatutnya sudah dapat diprediksi karena sifatnya krusial. Pergunjingan karyawan terhadap keduanya terus terjadi karena dalam

(41)

penjabaran yang sederhana, karyawan memiliki pola pikir yang hampir sama bahwa seorang pemimpin hendaknya memiliki pengetahuan lebih luas dibanding karyawannya.

Mr B dengan nada diplomatis menjabarkan pemahamannya mengenai pentingnya arti komunikasi di dalam perusahaan. meski tidak sepenuhnya benar sesuai teori, namun narasumber menitikberatkan pada pencegahan kesalahpahaman yang mungkin terjadi akibat dari komunikasi yang tidak berjalan dengan seharusnya. Berikut petikan wawancaranya.

“…komunikasi itu penting. Tanpa komunikasi kita semua hanya akan diam mematung. Tidak bicara, tidak berinteraksi. Dalam hubungan personal antar dua orang saja komunikasi sangat penting, apalagi kita yang satu perusahaan dengan begitu banyak orang? Maknanya sendiri untuk menjaga interaksi dari individu yang satu dengan individu yang lainnya. Caranya bisa langsung tatap muka seperti ini (wawancara), atau bisa juga tidak langsung misalnya lewat bbm, sms, telepon, atau email yang paling sering digunakan di kantor. Tujuan nya sendiri supaya satu sama lain yang ada di kantor ini tidak salah paham terhadap informasi yang beredar. Jadi antara satu orang dengan orang yang lainnya harus menerima informasi yang sama, sehingga tidak ada hal-hal yang sifatnya tidak benar…”23

Peneliti melihat bahwa memaknai komunikasi dengan mengaplikasikannya ternyata tidak berbanding lurus sesuai harapan. Pernyataan para narasumber diatas menunjukkan kemampuan memaknai yang cukup baik namun tidak diiringi dengan kemampuan praktek yang baik pula.

23 Hasil wawancara dengan Mr B, Manager Departemen Makanan dan Minuman pada hari Selasa,

(42)

Hasil wawancara juga tidak selalu menyatu dengan fakta yang ada di lapangan.

Peristiwa lainnya terjadi ketika Mr A dan Mr B meminta PR dan EE (event executive) untuk menyusun program Sales Call Goes to Campus. Hal ini sempat menjadi tanda tanya besar ketika keduanya menjelaskan bahwa nantinya kegiatan yang dilakukan adalah mendatangi PR dari universitas-universitas terkemuka yang menjadi target pasar Pastis dan mengajaknya bekerja sama dengan memintanya memasukkan iklan Pastis kedalam bulletin kampus dan ijin peletakan brosur atau flyer di tempat-tempat strategis di kampus. Sebagai kompensasinya, pihak Pastis akan mensponsori acara yang biasanya dilaksanakan berupa potongan harga atau voucher makan. Yang menjadi tanda tanya besar adalah karena Pastis sendiri merupakan restoran dan bar dimana di semua alat promosi flyer nya mencantumkan gambar minuman beralkohol yang menjadi promosi harian restoran ini. Hal ini ditentang dengan tegas oleh PR karena dapat menimbulkan efek negatif dimana kampus merupakan lembaga pendidikan dan tidak pantas dijadikan tempat berjualan minuman beralkohol. Kemudian hal ini menjadi pertimbangan Mr A yang kemudian memiliki rencana untuk membuat desain baru yang hanya berisikan promo makanan. Ternyata hal ini tidak terjadi pada Mr B, beliau bersikeras untuk memasukkan promo alkohol yang berujung pada situasi meeting yang berubah menjadi tidak kondusif. Ia berkata:

“… saya gak mau tahu, bagaimana caranya supaya kita bisa tetap berjualan promo bir kita di kampus. Gak perlu ganti

(43)

desain juga, nanti justru makan waktu dan makan biaya untuk cetaknya. Udah gak apa-apa, anak jaman sekarang juga sudah sering minum bir koq. Gak perlu takut. Dulu saya waktu di kuliah juga hampir setiap hari minum bir.”

Mendegar perkataan ini, ADoS langsung memberikan masukan dengan nada sedikit tegas dan marah,

“… bukan begitu, masalahnya ini beda. Dulu kan kita sekolah di sekolah jurusan perhotelan, apalagi Bapak kan kuliah di food and beverage, memang wine atau bir sudah jadi minuman sehari-hari. Tapi ini kan berbeda, kita jangan asal kalo masuk ke lembaga pendidikan, salah salah nanti malah kita apes harus berhubungan dengan pihak kepolisian”

Mr B lantas bertanya kepada PR apa pendapatnya, PR mencoba meyakini Mr BR dengan cara yang lebih halus, ia menjawab,

“… ide Sales Call Goes to Campus ini bisa saja di realisasikan Bapak, tapi kalau menurut saya benar apa yang dikatakan oleh Bapak ADoS, sebaiknya apapun yang berhubungan dengan pihak berwajib harus kita hindari. Ini bukan hanya menyangkut kepentingan publik, ini juga akan mencoreng reputasi perusahaan jika nantinya benar kita tidak beruntung dan harus berurusan dengan pihak berwajib”

Kegiatan Sales Call Goes to Campus ini sendiri pada akhirnya berjalan dengan pasif. PR yang kala itu sudah mendapatkan proposal pengajuan kerjasama full barter dari salah satu universitas swasta di Jakarta, mendapatkan penolakan baik dari Mr A maupun Mr B karena mereka berubah pikiran dengan alasan hal ini tidak memberikan profit bagi restoran. Ketidak

Referensi

Dokumen terkait

Akhlak terhadap tetangga diwujudkan dalam bentuk saling mengunjungi, membantu di waktu senang terlebih di waktu susah, saling beri-memberi, saling hormat

Jadi dalam penelitian ini fenomena yang akan diteliti adalah mengenai keadaan penduduk yang ada di Kabupaten Lampung Barat berupa dekripsi, jumlah pasangan usia

Abstrak 1) Dibuat dalam bahasa Indonesia dan Inggris disertai kata kunci (keywords) yang memuat 3–5 kata (atau frasa). 2) Artikel asli / laporan hasil penelitian

Hasil uji reliabilitas memperlihatkan nilai Cronbach’s Alpha semua variabel di atas 0,60, sehingga dapat disimpulkan bahwa indikator yang digunakan oleh variabel citra

1) Suasana pembelajaran sudah lebih mengarah kepada metode drill. Siswa kelihatan lebih antusias mengikuti proses belajar mengajar yang disampaikan guru. 2) Hampir

Dalam pelaksanaan pekerjaannya, seorang praktisi humas akan menggunakan konsep-konsep manajemen untuk mempermudah pelaksanaan tugas-tugasnya. Manajemen PR dapat

Pada Stasiun 2 hanya ditemukan genus lamun Thalassia dengan helaian daun yang relatif kecil, dan jumlah tegakannya sedikit sehingga pada stasiun ini memiliki

diterapkan karena di lapangan menunjukkan kenyataan-kenyataan bahwa, manajemen berbasis pusat yang selama ini telah dipraktekkan memiliki banyak kelemahan, antara lain: