• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komunikasi Internal dalam Organisasi

Dalam dokumen BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN (Halaman 36-50)

4.2.2 Analisis Krisis

4.2.2.1 Komunikasi Internal dalam Organisasi

Berada di bawah ADoS, kenyataan yang dilapangan justru praktisi PR seringkali berdikusi langsung dengan Mr B yang memegang peran GM in charge. Peneliti mengamati bahwa ADoS tidak memiliki kemampuan dan pengetahuan yang memadai di bidang marketing khususnya di bidang kehumasan. Di suatu hari pernah terjadi peristiwa dimana peneliti melihat bagaimana ADoS menghambat kerja PR, yakni ketika PR hendak membuat desain kartu ucapan yang akan dikirimkan melalui email keseluruh database baik media, pelanggan, perusahaan maupun hotel-hotel Aston lainnya di Indonesia. ADoS yang melihat hal itu langsung mempertanyakan alasannya mengapa ia membuat itu, ketika PR itu menjawab bahwa hal itu dilakukan untuk memperingati hari besar Tahun Baru China. Saat itu juga, ADoS langsung menyuruhnya menghentikan pekerjaannya dengan mengatakan bahwa hal itu tidak lah penting. PR itu sempat berargumen bahwa hal itu penting karena mayoritas pelanggan hotel dan restoran serta klien lainnya merupakan warga keturunan Chinese, namun hal ini tetap tidak membuat ADoS itu berubah pikiran. Kemudian ia segera menyudahi pekerjaannya karena ia tahu ini akan sia-sia, karena sebelum akhirnya ia dapat mendistribusikannya, ia terlebih dahulu harus mendapat approval melalui email dari ADoS yang kemudian akan diteruskan ke GM. Hal ini jelas menghambat tujuan dari kegiatan komunikasi kehumasan itu sendiri yaitu

memelihara hubungan baik khususnya antara perusahaan dengan publik atau pihak eksternalnya.

PR hotel umumnya memiliki minimal 2 orang di dalam departemennya sehingga PR dapat menjalankan fungsinya secara optimal dan maksimal. Tapi tidak di hotel ini, seluruh tanggung jawab yang dipaparkan sebelumnya dilakukan sendiri oleh seorang praktisi PR yang memegang jabatan sebagai Public Relations Officer, bukan Public Relations Manager. Hal ini dapat dilihat sebagai bukti bahwa PR tidak dipandang sebagai posisi yang khusus dan penting sehingga ia tidak diberikan akses untuk dapat berdiskusi langsung pada morning briefing HOD yang dilaksanakan setiap pagi pukul 9 dan tidak pula diikutsertakan dalam setiap pengambilan keputusan yang sedikit banyak akan mempengaruhi kegiatan komunikasi internal maupun eksternal perusahaan. Hal ini menyulitkan praktisi untuk dapat menumpahkan keluhan dan gagasan yang sifatnya penting dan harus segera diutarakan. Namun dengan begitu, praktisi PR masih dapat menumpahkannya melalui sales and marketing meeting yang dilaksanakan setiap hari jumat setelah morning briefing dan hanya diadakan dua minggu sekali dimana dihadiri oleh Mr A, Mr B, ADoS, PR, SE (Sales Executive), GD (Graphic Designer) dan Chef.

Tidak sekali dua kali Mr B meminta PR untuk mengutarakan opininya dan ia menggunakannya dengan baik yakni mengutarakan apa yang menjadi pendapatnya. Namun sayangnya, hal ini biasanya hanya akan „menguap‟ begitu saja. Mr B selalu membutuhkan masukan dari PR, tapi tidak selamanya Mr B mau mempertimbangkan masukannya. Bahkan tidak sekali dua kali Mr

B dengan tegas mengatakan bahwa masukan itu tidak berarti apa-apa karena Mr B lah yang memiliki kuasa. Hal ini yang terkadang membingungkan tidak hanya PR tapi juga seluruh peserta meeting yang hadir pada saat itu. Tapi hal ini kemudian menjadi biasa dan selalu dimaklumi oleh PR karena tidak hanya sekali atau dua kali terjadi. Kadang kala Mr B mengutarakan idenya yang sering terdengar sedikit aneh dan tidak sesuai dengan image perusahaan, sebagai contoh ketika menu Pastis akan diganti kedalam bentuk yang baru yang lebih praktis dan kecil. Pada meeting itu seluruh peserta meeting membahas mengenai mock up menu baru yang sudah dikirimkan oleh supplier. Mr B lantas meminta GD untuk menghubungi supplier dan menggantinya dengan laminating gloss dimana itu akan menimbulkan efek mengkilap dan terkesan murahan. Mendengar hal itu Mr B lantas menanyakannya kepada PR mengenai opininya, dengan tegas PR menjawab bahwa laminating doft lebih bagus karena terkesan mewah dan cocok untuk target pasar restoran hotel bintang 4. Hal ini membuat Mr B tersudut dan merasa dirinya tidak diakui. Bahkan Mr A sendiri sempat menaikkan volume suaranya agar mempertegas apa yang menjadi pendapat seluruh peserta meeting. Tapi yang terjadi justru sebaliknya, Mr B mengatakan ia akan tetap berjalan dengan pilihannya karena itulah yang menurutnya bagus. Kejadian ini berakhir pada 2 minggu sesudahnya ketika supplier mengirimkan mock up seperti permintaannya dan Mr B menyadari bahwa pilihannya kali ini sangat buruk. Ia lantas memintanya kembali ke awal yakni di laminasi doft.

Lalu sebenarnya apa arti komunikasi di dalam organisasi yang mereka ketahui dan mereka yakini? Peneliti berhasil menguak fakta mengenai kemampuan subyek penelitian dalam memaknai kegiatan komunikasi internal perusahaan. Mr A mendeskripsikan komunikasi dan tujuannya sebagai berikut,

“…Ya komunikasi itu seperti bicara, ya seperti kita ini. Bisa juga lewat media atau alat komunikasi seperti handphone, email, dan sebagainya. Komunikasi perusahaan ya seperti meneruskan informasi bisa langsung pada saat tatap muka, atau pada saat rapat, atau lewat bbm (blackberry messenger), sms, dan sebagainya. Tujuannya supaya kamu tahu apa yang saya tahu soal hotel misalnya, atau soal product knowledge. Terus supaya saya bisa menginformasikan kepada yang lain tentang apa saja mengenai pekerjaan. Ya komunikasi itu penting intinya. Kalau tidak berkomunikasi ya kita tidak akan bisa menjalankan perusahaan…”21

Mengutip pernyataan diatas mengenai tujuan komunikasi menurut Mr A yakni salah satunya adalah agar subyek penelitian bisa menginformasikan kepada orang lain tentang apa saja mengenai pekerjaan. Mari kita bandingkan jawabannya ketika peneliti melontarkan pertanyaaan mengenai alasan kenapa pengangkatannya tidak diinformasikan secara resmi melalui manajemen kepada semua pihak yang berkepentingan dan berhak mengetahui informasi tersebut.

“…ya kita cuma pernah membahas soal ini di morning briefing, kalau soal penjelasan resmi ya yang seperti apa? Di

21 Hasil wawancara dengan Mr A, Manager Departemen Keuangan pada hari Kamis, 19 Juli 2012 di ruang kerja Mr A

email kan begitu? Ya kalau itu saya kurang tahu deh. Awalnya kan saya dan Mr B dipanggil untuk menghadap owner, ternyata untuk membicarakan soal ini. Tadinya saya juga disuruh in house disini, saya bilang saya gak mau. Lha saya punya rumah, punya keluarga, kalau Mr B kan memang tinggalnya di Bandung, disini hanya nge-kost. Saya minta jatah menginap saja yang penting disini sama keluarga saya. Selebihnya saya tidak terlalu memikirkan siapa yang seharusnya menginformasikan ini, kalau memang harus diinformasikan secara resmi ya harusnya HR manajer dong yang melakukannya…”22

Berbanding terbalik dengan pernyataan sebelumnya, pernyataan diatas mengukuhkan keacuhannya terhadap pentingnya komunikasi internal sebagai cara untuk menyampaikan informasi. Dengan terang-terangan narasumber menyatakan bahwa dirinya tidak mengetahui bahwa sebaiknya informasi ini disampaikan secara resmi. Tidak hanya itu, dirinya justru melempar kesalahan ini kepada manajer HR atas kelalaiannya tidak menyampaikan informasi ini. Peneliti melihat tidak adanya kesadaran diri di dalam diri pemimpin akan informasi sebagai alat komunikasi dalam organisasi. Bagaimana bisa sebuah organisasi memiliki karyawan dengan etos kerja yang baik, produktivitas yang meningkat setiap tahunnya, dukungan internal, kepercayaan karyawan, dan sebagainya jika karyawan merasa tidak lagi memiliki kepercayaan terhadap narasumber akan informasi yang akurat yang ingin diketahui oleh mereka. Pengangkatan keduanya memang jelas menimbulkan isu-isu negatif yang berkembang bebas tidak hanya dikalangan karyawan bahkan dikalangan manajer lainnya. Hal ini sepatutnya sudah dapat diprediksi karena sifatnya krusial. Pergunjingan karyawan terhadap keduanya terus terjadi karena dalam

penjabaran yang sederhana, karyawan memiliki pola pikir yang hampir sama bahwa seorang pemimpin hendaknya memiliki pengetahuan lebih luas dibanding karyawannya.

Mr B dengan nada diplomatis menjabarkan pemahamannya mengenai pentingnya arti komunikasi di dalam perusahaan. meski tidak sepenuhnya benar sesuai teori, namun narasumber menitikberatkan pada pencegahan kesalahpahaman yang mungkin terjadi akibat dari komunikasi yang tidak berjalan dengan seharusnya. Berikut petikan wawancaranya.

“…komunikasi itu penting. Tanpa komunikasi kita semua hanya akan diam mematung. Tidak bicara, tidak berinteraksi. Dalam hubungan personal antar dua orang saja komunikasi sangat penting, apalagi kita yang satu perusahaan dengan begitu banyak orang? Maknanya sendiri untuk menjaga interaksi dari individu yang satu dengan individu yang lainnya. Caranya bisa langsung tatap muka seperti ini (wawancara), atau bisa juga tidak langsung misalnya lewat bbm, sms, telepon, atau email yang paling sering digunakan di kantor. Tujuan nya sendiri supaya satu sama lain yang ada di kantor ini tidak salah paham terhadap informasi yang beredar. Jadi antara satu orang dengan orang yang lainnya harus menerima informasi yang sama, sehingga tidak ada hal-hal yang sifatnya tidak benar…”23

Peneliti melihat bahwa memaknai komunikasi dengan mengaplikasikannya ternyata tidak berbanding lurus sesuai harapan. Pernyataan para narasumber diatas menunjukkan kemampuan memaknai yang cukup baik namun tidak diiringi dengan kemampuan praktek yang baik pula.

23 Hasil wawancara dengan Mr B, Manager Departemen Makanan dan Minuman pada hari Selasa, 9 Oktober 2012 di ruang kerja Mr B

Hasil wawancara juga tidak selalu menyatu dengan fakta yang ada di lapangan.

Peristiwa lainnya terjadi ketika Mr A dan Mr B meminta PR dan EE (event executive) untuk menyusun program Sales Call Goes to Campus. Hal ini sempat menjadi tanda tanya besar ketika keduanya menjelaskan bahwa nantinya kegiatan yang dilakukan adalah mendatangi PR dari universitas-universitas terkemuka yang menjadi target pasar Pastis dan mengajaknya bekerja sama dengan memintanya memasukkan iklan Pastis kedalam bulletin kampus dan ijin peletakan brosur atau flyer di tempat-tempat strategis di kampus. Sebagai kompensasinya, pihak Pastis akan mensponsori acara yang biasanya dilaksanakan berupa potongan harga atau voucher makan. Yang menjadi tanda tanya besar adalah karena Pastis sendiri merupakan restoran dan bar dimana di semua alat promosi flyer nya mencantumkan gambar minuman beralkohol yang menjadi promosi harian restoran ini. Hal ini ditentang dengan tegas oleh PR karena dapat menimbulkan efek negatif dimana kampus merupakan lembaga pendidikan dan tidak pantas dijadikan tempat berjualan minuman beralkohol. Kemudian hal ini menjadi pertimbangan Mr A yang kemudian memiliki rencana untuk membuat desain baru yang hanya berisikan promo makanan. Ternyata hal ini tidak terjadi pada Mr B, beliau bersikeras untuk memasukkan promo alkohol yang berujung pada situasi meeting yang berubah menjadi tidak kondusif. Ia berkata:

“… saya gak mau tahu, bagaimana caranya supaya kita bisa tetap berjualan promo bir kita di kampus. Gak perlu ganti

desain juga, nanti justru makan waktu dan makan biaya untuk cetaknya. Udah gak apa-apa, anak jaman sekarang juga sudah sering minum bir koq. Gak perlu takut. Dulu saya waktu di kuliah juga hampir setiap hari minum bir.”

Mendegar perkataan ini, ADoS langsung memberikan masukan dengan nada sedikit tegas dan marah,

“… bukan begitu, masalahnya ini beda. Dulu kan kita sekolah di sekolah jurusan perhotelan, apalagi Bapak kan kuliah di food and beverage, memang wine atau bir sudah jadi minuman sehari-hari. Tapi ini kan berbeda, kita jangan asal kalo masuk ke lembaga pendidikan, salah salah nanti malah kita apes harus berhubungan dengan pihak kepolisian”

Mr B lantas bertanya kepada PR apa pendapatnya, PR mencoba meyakini Mr BR dengan cara yang lebih halus, ia menjawab,

“… ide Sales Call Goes to Campus ini bisa saja di realisasikan Bapak, tapi kalau menurut saya benar apa yang dikatakan oleh Bapak ADoS, sebaiknya apapun yang berhubungan dengan pihak berwajib harus kita hindari. Ini bukan hanya menyangkut kepentingan publik, ini juga akan mencoreng reputasi perusahaan jika nantinya benar kita tidak beruntung dan harus berurusan dengan pihak berwajib”

Kegiatan Sales Call Goes to Campus ini sendiri pada akhirnya berjalan dengan pasif. PR yang kala itu sudah mendapatkan proposal pengajuan kerjasama full barter dari salah satu universitas swasta di Jakarta, mendapatkan penolakan baik dari Mr A maupun Mr B karena mereka berubah pikiran dengan alasan hal ini tidak memberikan profit bagi restoran. Ketidak

konsistensi-an kedua manajer tersebut dalam menyusun program penjualan memberikan penilaian yang buruk bagi karyawan terhadap kualitas keduanya.

Seharusnya, PR diarahkan kepada aktivitas yang lebih bermanfaat dan lebih soft selling seperti media visit, bukannya sales call. Namun dibawah kepemimpinan keduanya PR dituntut agar dapat memberikan kontribusi nyata berupa revenue atau pendapatan perusahaan. Kerja keras PR memang tidak dapat diukur kecuali melalui media monitoring dan ROI, namun yang menjadi output dari peran PR sendiri adalah hal yang sifatnya tidak dapat dilihat dengan kasat mata, yaitu citra dan reputasi. Kedua hal inilah yang tidak dipahami dengan baik oleh keduanya dan jelas menjadi masalah bagi praktisi PR.

Masalah demi masalah komunikasi terus terjadi antara PR dan Mr B. Memang hubungan komunikasi PR dengan Mr A jarang terjadi karena Mr A menyerahkan hampir seluruh pertanyaan yang diajukan PR kepada Mr B. Masalah yang sering kali terjadi adalah mengenai materi desain promosi. Selama masa kepemimpinan GM sebelumnya materi desain selalu mengikuti aturan atau template yang sudah ditetapkan oleh manajemen pusat. Namun dibawah kuasa Mr B, seluruh materi desain menjadi alat untuk mengeluarkan semua ide kreatifnya. Oleh karenanya seluruh desain tidak lagi mengikuti aturannya. Maka dari itu, PR seringkali mengingatkan Mr B ketika setiap kali melakukan diskusi dengan graphic designer. Sampai suatu ketika manajemen pusat mengirimkan email berupa peringatan kepada PR dan ADoS. ADoS yang menerima email itu bukannya mengadukan ini kepada Mr B, ia lantas

memarahi PR dan GD. Minimnya keterlibatan ADoS dalam pembuatan materi desain membuat PR angkat bicara.

“… Bapak, soal ini sudah sering kami utarakan kepada Mr B, bahwa dengan tidak mengikuti aturan yang sudah dibuat oleh head office dan kita tidak mengacu kepada desain-desain sebelumnya, kita pasti akan bermasalah dengan head office. Namun beliau tidak mengindahkannya. Menurutnya selama ini desain yang sudah ada kurang menarik.”

Hal itu cukup membuat Mr B mempertimbangkan kembali mengenai desain yang masih sedang dalam proses pembuatan. Pada akhirnya seluruh materi desain di-review kembali dan mengalami re-design.

Tidak hanya berhenti sampai disitu, peneliti melihat bahwa Mr B cenderung lebih memilih untuk menghindari kontak langsung dengan pihak manajemen pusat. Sebuah email dilayangkan dari pimpinan tertinggi Director of Sales Aston International kepada Mr A, Mr B, dan di-cc kan ke PR. Mr B kemudian meminta PR untuk membalas email tersebut. Hal itu dengan tegas ditolak oleh PR karena ia merasa tidak berada di level yang sama dan tidak memiliki kapasitas untuk menjawab email tersebut. Mr B berkata lebih tegas lagi dan dengan nada yang sedikit marah ia berkata, “Yang harus balas kamu-lah, kan kamu yang lebih ngerti sama pokok permasalahannya, masa saya?”. PR yang bingung lalu mengkonsultasikannya terlebih dahulu kepada ADoS karena ia mengetahui bahwa GM sebelumnya tidak pernah memperbolehkan dia membalas email yang tidak ditujukan kepadanya terlebih lagi email tersebut datangnya dari manajemen pusat. ADoS yang mendengar berita ini

kemudian meminta PR tersebut untuk tidak membalasnya. Namun, hal yang sangat disayangkan kembali terjadi, peneliti melihat ADoS cenderung menghindarik konflik dengan kedua manajer tersebut. Peristiwa ini berakhir dengan Mr A yang membalasnya setelah ADoS melaporkan kejadian ini kepadanya. Kasus ini bisa saja dianggap sepele oleh sebagian pihak seperti Mr B, namun dalam struktur organisasi yang jelas alur komunikasi vertikal baik upward maupun downward communication hendaknya dipatuhi dan dijalankan dengan baik, sehingga komunikasi yang terjadi berjalan dengan efektif.

Ini adalah bukti nyata bahwa tidak adanya pemimpin yang tunggal sekaligus tidak memiliki pemahaman akan fungsi serta tanggung jawabnya daapt menimbulkan masalah-masalah komunikasi yang sulit untuk diselesaikan. Alur pekerjaan yang dulunya bersifat terstruktur kini tidak lagi mengalur. Acara tahunan seperti perayaan Natal dan Tahun Baru merupakan agenda tahunan hotel dimana pimpinan akan mengumpulkan seluruh manajer dari masing-masing divisi termasuk PR untuk membahas mengenai ide acara dan seluruh kelengkapan yang dibutuhkan. Namun dibawah kepemimpinan Mr A dan Mr B, PR lah yang wajib untuk mencetuskan ide acara dan bertanggung jawab atas keseluruhan acara. Tidak ada sinergi yang terbangun antara masing-masing divisi. Padahal pada acara tahun sebelumnya, seluruh manajer dituntut untuk memberikan ide dan masukannya sehingga dituntut secara aktif dalam rapat yang diadakan GM secara rutin.

Awal mula ide acara sudah menjadi hal yang terus diperdebatkan dalam meeting. PR yang sebelumnya berdiskusi dengan rekan kerja lainnya di dalam divisi sales and marketing memutuskan mengambil tema yang tidak berbeda dari sebelumnya. Kemudian PR mengutarakan yang menjadi ide acaranya atas permintaan Mr A dan Mr B, namun yang terjadi justru sebaliknya. Mr B menginginkan acara yang sudah menjadi konsep-konsep acara sebelumnya seperti pada saat hari Valentine, company gathering, dan sebagainya. Tidak hanya itu perdebatan demi perdebatan mengenai acara yang terkesan kurang tematik ini bagi para peserta rapat yang lainnya hanya menjadi hal yang sia-sia karena Mr B sudah menentukan dan memutuskan apa yang menjadi kehendaknya. Dalam hal seperti ini, Mr A memang lebih memilih untuk berdiam diri dan mendengarkan percakapan yang terjadi, bahkan tidak sering pula beliau memutuskan untuk tidak ikut dalam rapat karena merasa dirinya tidak dibutuhkan dalam sumbang saran ide. Melalui wawancara, Mr A menyampaikan keluhannya seputar alasan terkait pasifnya subyek dalam meeting yang diadakan.

“…ya saya kan diundang di meeting, bukan sebagai pemimpin meeting. Yang punya acara kan juga dia, bukan saya. Kalau dia menganggap saya gak mengerti soal seperti ini, ya terserah. Saya paling hanya melihat saja budget nya berapa, berapa yang akan kita keluarkan. Itu hal yang dia tidak pikirkan. Dia bisa buat acara seenaknya saja, yang mengeluarkan uang kan departemen saya. Yang mengurus ke pusat kan accounting. Dia pikir mudah mengajukan uang tunai ke pusat. Saya kan yang harus menjelaskan itu budget akan

digunakan untuk apa saja. Nanti kalau uang datangnya telat, dia berpikir saya kurang nge-push pusat…”24

Bagi seorang GM in charge, unek-unek seperti ini saja dipilih untuk dipendam. Kenyataannya, Mr B tidak pernah mengetahui soal ini. Bisa dibayangkan apabila karyawan memiliki keluhan atau protes mengenai manajemen, sudah bisa dipastikan komunikasi upward hanya berkisar soal laporan kerja.

Mr B memiliki kecenderungan sifat yang susah ditebak. Sepengamatan peneliti, beliau memiliki inkonsistensi terhadap apa yang sudah menjadi keputusannya. Sifat ini semakin jelas terlihat begitu beberapa waktu kemudian ia menyadari bahwa ide acara ini sama sekali tidak menarik. Tanpa melalui rapat resmi, ia kemudian menghampiri PR untuk mengganti seluruh konten pada materi promosi agar mengacu kepada ide acara yang baru. Kejadian ini menegaskan bahwa iklim komunikasi yang dibangun oleh para pimpinan dengan PR tidak berjalan dengan efektif. Posisi PR dipandang tidak lebih dari sekedar sekretaris yang harus mengikuti apa yang menjadi perintah pimpinan. PR tidak dipandang sebagai posisi yang strategis dimana saran dan pendapatnya harus menjadi bahan pertimbangan sebelum pimpinan pada akhirnya mengambil keputusan. Terlebih lagi jika merujuk kepada struktur organisasi yang sebelumnya sudah dijelaskan, PR berada tidak jauh dari posisi pimpinan. Bahkan pada prakteknya PR akan melaporkan seluruh hasil pekerjaannya langsung kepada GM. Sebelum kepemimpinan kedua manajer

24 Hasil wawancara dengan Mr A, Manager Departemen Keuangan pada hari Kamis, 19 Juli 2012 di ruang kerja Mr A

ini, GM terdahulu memandang PR sebagai praktisi ahli dibidangnya. Jadi PR bukan hanya sebagai eksekutor namun juga sebagai kreator. Selama kurun waktu penelitian, peneliti melihat bahwa proses pengambilan keputusan ternyata menjadi hal yang bisa dikatakan kurang serius. Karena tidak melalui proses pertimbangan yang matang dan bisa terjadi berkali-kali tergantung perubahan yang terjadi pada pada kedua pimpinan tersebut.

Dari hasil wawancara, tanggapan Mr B terhadap kesulitan praktisi PR dalam mengarahkan media yang bermaksud untuk meliput profil GM atau sekedar bertemu sapa adalah PR dituntut harus mampu untuk mengalihkan rekan media untuk meliput profil Chef saja. Kesulitan ini pun ditampik olehnya karena menurutnya hal ini tidak perlu menjadi rumit jika media setuju dengan kesempatan untuk meliput Chef. Dengan ekspresi acuh, Mr B mengatakan, “Ya jangan bingung. Seperti yang tadi saya bilang, arahkan saja ke Chef atau liput restoran saja atau menu makanan kita kan banyak”. Sementara pada prakteknya, banyak media yang sudah meliput baik itu Chef,

Dalam dokumen BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN (Halaman 36-50)