a. Jika kepemilikan saham tersebut dengan tujuan untuk mendapatkan hasilnya dan investasi, maka tarif zakat yang dikenakannya adalah
D. Hubungan Pajak dengan Zakat
Secara historis, kemunculan pajak diawali dari kebanggaan masyarakat untuk secara sukarela turut serta memelihara kelangsungan hidup negaranya. Jalan pemikiran seperti ini dapat dilihat pada alam pikiran Yunani kuno. Pikiran ini terus berlangsung sampai jatuhnya Romawi Barat pada tahun 476 M., bahkan sampai ditemukannya Benua Amerika, sehingga sampai waktu itu, pajak secara paksa belum dikenal. Artinya, pengeluaran-pengeluaran para raja dan keperluan negara masih dibiayai oleh penghasilan dari harta kekayaan raja sendiri. Akan tetapi ketika negara membutuhkan dana yang cukup besar, sementara diperkirakan bahwa hal itu tidak akan tercukupi hanya dengan mengandalkan harta kekayaan raja semata, maka barulah diminta sumbangan secara sukarela dari rakyat, baik berupa barang maupun uang. Demikian pula rakyat dapat memberikan sumba ngannya merasa bangga dengan memberikan itu. Namun begitu, tatkala negara mengadakan perluasan daerah sehingga rakyat yang berada didaerah taklukan itu tidak mau memberikan sumbangan secara sukarela, maka barulah kemudian negara menga dakan pemaksaan. Untuk menghindari bentuk-bentuk pemaksaan seperti yang terjadi pada masa lalu itu, maka pada saat sekarang ini masalah perpajakan didasarkan kepada undang-undang.180
Pajak dalam berbagai defenisi yang diungkap oleh para ahli diantaranya adalah: Iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat
dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbale (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.181 180 S.T. Marbun dan Moh. Mahfud, MD. Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, (Yogyakarta: Liberty,
2000), hlm. 131. Lihat pula A.A. Miftah, Zakat sebagai Hukum Diyani dan Qada’i dalam Negara Indonesia, (Disertasi) , (Jakarta, Pasca Sarjana UIN Syahida), 2005), hlm. 129-130.
Definisi pajak di atas mengandung arti “iuran”. Beberapa definisi lain menyebutkan bahwa kata “bantuan” (definisi yang diberikan oleh orang Perancis, Leroy Beaulieu, (1906). Kalimat “dapat dipaksakan” terdapat pada semua definisi. Kalimat ini mengandung arti bahwa utang pajak tidak dibayar, ia dapat ditagih dengan menggunakan kekerasan misalnya dengan surat paksa, sita, dan penyan deraan. Agar penggunaan istilah paksaan dapat dihindarkan, maka digunakan kalimat “iuran wajib” untuk mendefinisikan pajak. Dengan kata wajib unsur kesadaran masyarakat ikut diperhatikan.
Sementara pada kalimat “tidak adanya jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat dinikmati (ditujukan) dari pembayaran pajak tersebut. Prestasi dari negara seperti keamanan serta sarana dan prasarana umum dapat dinikmati baik oleh pembayar pajak maupun bukan pembayar pajak. Pengeluaran-pengeluaran pemerintah untuk keamanan, kesejah teraan, pembangunan dan lain-lain tersebut sebagai kontaprestasi yang diberikan pemerintah sebagai akibat pajak yang diterima dari masyarakat.
Pernyataan bahwa pajak yang diterima kas negara hanya digunakan untuk pengeluaran umum, dewasa ini nampaknya kurang tepat. Kelebihan jumlah yang diterima dari jumlah yang dibayarkan untuk pengeluaran umum, yang disebut tabungan masyarakat, dapat digunakan untuk pembangunan proyek-proyek pembangunan. Definisi tersebut, juga mengandung arti bahwa pajak hanya dipandang dari fungsi budgeter nya saja, yaitu sebagai sumber keuangan negara. Misalnya M. Daud Ali,182 menjelaskan bahwa pajak pada hakekatnya adalah kewajiban material dari seorang warga negara pada negaranya untuk dibayar menurut ukuran yang telah ditentukan mengenai kekayaan dan pribadi seseorang dan dipergunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara.
Berdasarkan pengertian pajak di atas, penulis dapat merumuskan bahwa ada beberapa persamaan antara pajak dengan zakat. Dimana keduanya merupakan salah satu sumber pendapatan negara. Namun demikian, terdapat perbedaan-perbedaan yang memperlihatkan ciri-ciri khusus dari pajak dan zakat.
Ciri-ciri khusus dari pajak, yaitu: (a) pajak dipungut berdasarkan ketentuan undang-undang; (b) dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan kontra
prestasi individual oleh pemerintah, 3). Pajak dipungut oleh negara baik oleh pemerintah pusat maupun daerah, dan 4). Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah.
Sementara ciri-ciri yang khusus pada zakat adalah: 1). Zakat adalah kewajiban yang bersifat material, 2). Zakat adalah kewajiban yang bersifat mengikat, artinya membayar zakat bagi seorang muslim yang mukallaf adalah keharusan, 3). Zakat dalam hal penarikan dan pendistribusiannya adalah kewajiban pemerintah, petugas yang diberi kewenangan, 4). Zakat adalah kewajiban yang bersifat muthlak, 5). Zakat adalah kewajiban yang tidak ada imbalannya, tidak ada syarat untuk memperoleh kenikmatan atau fasilitas yang seimbang bagi pembayar zakat, 6). Zakat digunakan untuk membantu delapan golongan (asnaf zakat) yang telah ditetapkan Allah.183
Sementara Jaih Mubarok memandang, bahwa perbedaan mendasar antara pajak dan zakat adalah:
1. Zakat adalah kewajiban agama yang ditetapkan oleh Allah swt., kepada umat Islam, sedangkan pajak adalah kewajiban warga negara baik yang muslim maupun non muslim yang ditetapkan oleh pemerintah;
2. Ketentuan zakat berasal dari Allah swt., dan rasul-Nya, yaitu mengenai penentuan nishab dan penyalurannya. Sedangkan ketentuan pajak sangat tergantung pada kebijakan pemerintah;
3. Zakat adalah kewajiban yang bersifat permanen, terus menerus berjalan selama hidup di bumi ini. Berbeda dengan pajak, suatu saat bisa ditambah, dikurangi atau bahkan dihapuskan sesuai dengan kebijakan pemerintah; 4. Pos-pos penyaluran zakat lebih terbatas, yaitu seperti yang dijelaskan
dalam al-Quran, bila dibandingkan dengan pos-pos penyaluran pajak yang lebih umum;
5. Sanksi tidak membayar zakat adalah dosa, karena tidak memenuhi perintah Allah swt., dan rasul-Nya. Sedangkan sanksi tidak membayar pajak berupa denda atau hukuman;
183 Lihat A.A. Miftah, Zakat sebagai Hukum Diyani dan Qada’i dalam Negara Indonesia, (Disertasi Pasca Sarjana UIN SYAHIDA, Jakarta, 2005) hlm. 131-132.
6. Maksud dan tujuan zakat lebih tinggi dari tujuan pajak yaitu, pembinaan spritual dan moral.184
Mengacu kepada ciri-ciri dan perbedaan antara pajak dan zakat di atas, terdapat pula persamaan antara pajak dan zakat. Diantara persamaan-persamaan tersebut. Pertama, dilihat dari sisi pemaksaan. Bagi seorang muslim yang telah memiliki harta yang telah memenuhi persyaratan zakat, jika melalaikan zakat atau tidak mau menunaikannya, maka penguasa yang diwakili oleh para petugas (amil) zakat, wajib memaksanya. Demikian pula halnya dengan seseorang yang sudah termasuk dalam kategori wajib pajak, dapat dikenakan tindakan paksa padanya, baik secara langsung maupun tidak langsung, jika wajib pajak melalaikannya. Kedua, dari sisi pengelolaannya. Pengelolaan zakat sebagaimana yang diketahui dilakukan oleh lembaga amil zakat. Badan Amil Zakat inilah yang memiliki tugas melakukan sosialisasi kepada masyarakat, melakukan penagihan dan pengam bilan, serta mendistribusikannya secara tepat dan benar. Adapun pengelolaan pajak, jelas harus diatur oleh negara. Hal ini sejalan dengan pengertian pajak di atas. Ketiga, dari sisi tujuan. Pada dasarnya tujuan zakat adalah untuk menciptakan kesejahteraan, keamanan, dan ketentraman masyarakat. Demikian pula dengan pajak yakni untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat.185
Selanjutnya terkait hubungan zakat dan pajak ini, Masdar F. Mas’udi186
mempunyai pendapat lain. Menurutnya, zakat dan pajak adalah satu. Zakat meru pakan ruh dan pajak adalah badannya. Dengan demikian antara zakat dan pajak bisa dibedakan tapi tidak bisa dipisahkan, dipertentangkan, atau diparalelkan, namun sangat tergantung kepada sudut pandang dan tujuannya.
Adanya pandangan seperti itu, Masdar F. Mas’udi tampaknya melihat pajak sebagai pelembagaan dari zakat. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa pada awalnya antara zakat dan pajak itu adalah satu sebagaimana
184 Lihat Jaih Mubarok. Laporan Akhir Tim Pengkajian Hukum tentang Pengelolaan Zakat oleh Negara bagi
Kepentingan Masyarakat, hlm. 31-32.
185 Dididn Hafidhuddin, Zakat dalam Perekonomian Modern, (jakarta, Gema Insani Press, 2002), hlm. 52-55. 186 Masdar F. Mas’udi, Agama Keadilan Risalah Zakat (pajak), (Jakarta, Pustaka Firdaus, 1991), hlm. 117.
dicontohkan Rasulullah saw., dan khalifah-khalifah sesudahnya. Kebersatuan zakat dan pajak dapat ditelusuri dari konsep upeti yang ada dalam perjalanan sejarah umat manusia. Upeti sebagaimana diketahui adalah penarikan pajak oleh penguasa dari rakyatnya. Upeti yang diambil dari rakyat itu sepenuhnya adalah milik penguasa yang tidak dapat diganggu gugat.
Kehadiran Islam, lanjut Masdar, tidak lah menghapuskan lembaga upeti itu tetapi lembaga upeti itu ditransformasikan menjadi lembaga yang berpihak kepada rakyat. Untuk menjadikan upeti itu sebagai wahana untuk mensejahterakan rakyat, maka dimasukkanlah spirit zakat dalam tubuh upeti itu. Dengan demikian terjadilah kebersatuan antara “zakat” dan “upeti”. Atas dasar ini, maka kecende rungan yang berjalan selama ini untuk memisahkan dan lalu menghadapkan “zakat” dengan lembaga upeti yang kini diperhalus menjadi pajak merupakan cara pandang yang sesat dan menyesatkan.187
Terjadinya keterpisahan antara zakat dan pajak menurut Masdar, hanyalah merupakan kecelakaan sejarah. Di zaman Nabi Muhammad saw, dan seterusnya sampai dengan zaman al-Khulafa al-rasyidun, secara konsisten pengelolaan zakat dalam wujud kelembagaannya tidaklah berbeda dengan pengelolaan pajak. Ia berada di bawah tanggung jawab pemerintah; di pungut oleh pemerintah dan di- tasharruf-kan oleh pemerintah.188
Berdasarkan uraian di atas, penulis dapat merumuskan bahwa di satu sisi antara zakat dan pajak memiliki kesamaan dan perbedaan yang mendasar, yakni sebagai sumber pendapatan negara. Namun di sisi lain antara keduanya dipandang sebagai dua hal yang terpisah, yakni zakat merupakan kewajiban agama, sedangkan pajak adalah kewajiban negara. Idealnya antara zakat dan pajak menjadi dua hal yang menyatu dan diatur dalam satu kesatuan melalui peraturan perundang-undangan negara, agar tidak melahirkan dikotomi di antara keduanya.
Selain itu, penulis juga menemukan fakta bahwa secara yuridis-normatif peraturan perundang-undangan tentang zakat dan pajak terbukti masih memiliki banyak kelemahan, yang mana seolah-olah ada tumpang tindih
187 Masdar F. Mas’udi, Agama Keadilan Risalah Zakat (pajak),hlm. 113 188 Lihat Masdar F. Mas’udi. Agama Keadilan; Risalah Zakat (Pajak), hlm. 59
peraturan yang belum jelas di antara keduanya. Atas dasar itu, salah satu sumbangan penting penelitian ini adalah penulis merekomendasikan kepada pemerintah untuk melakukan amandemen Undang-undang Pengelolaan Zakat dan Undang-undang Pajak untuk mensinergikan beberapa aspek yang menjadi titik temu dan tarik menarik di antara keduanya.