• Tidak ada hasil yang ditemukan

KERANGKA TEORI OPTIMASI ZAKAT MELALUI PERUNDANG-UNDANGAN

D. Teori Konstitusi Indonesia

Untuk teori operasional (operational theory) penulis menggunakan Teori

Konstitusi Indonesia dan Teori Penegakan Hukum. Pendekatan

konstitusional transformasi norma-norma hukum Islam tentang zakat ke dalam peraturan dan perundang-undangan pengelolaan zakat merupakan produk interaksi antar elite politik (politisi, penegak hukum, tokoh masyarakat, dan pakar hukum) dengan elite kekuasaan (the rulling elite) yakni kalangan politisi

7 Ibid, hlm. 698

dan pejabat negara. Sebagai contoh, diundangkannya UU N0. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, peranan elite Islam cukup dominan di dalam melakukan pendekatan dengan kalangan elite di tingkat legislatif, sehingga undang-undang tersebut dapat dikodifikasikan.9

Adapun prosedur pengambilan keputusan politik di tingkat legislatif dan eksekutif dalam hal legislasi hukum Islam (legal drafting) mengacu kepada politik hukum yang dianut oleh badan kekuasaan negara secara kolektif. Suatu undang-undang dapat ditetapkan sebagai peraturan tertulis yang dikodifikasikan apabila telah melalui proses politik pada badan kekuasaan negara yaitu, legislatif dan eksekutif, serta memenuhi persyaratan dan rancangan perundang-undangan yang layak.

Pendekatan konsepsional prosedur legislasi hukum, bahwa pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memegang kekuasaan di dalam pembentukan undang-undang. Disebutkan dalam pasal 5 ayat (1) UUD 1945 bahwa “Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”. Sedangkan dalam penjelasan mengenai pasal 5 ayat (1) UUD 1945 dinyatakan bahwa “kecuali executive

power, Presiden bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat menjalankan legislative power dalam negara.”10

Berdasarkan pandangan di atas, DPR dapat memberi persetujuan kepada tiap-tiap rancangan undang-undang yang diajukan oleh pemerintah. Hal ini senada dengan penjelasan pasal 20 ayat (1) UUD 1945, kendati DPR tidak harus selalu menyatakan setuju terhadap semua rancangan undang-undang dari pemerintah. Keberadaan DPR sesungguhnya harus memberikan suatu

consent atau kesepa-katan dalam arti menerima atau menolak Rancangan

Undang-Undang (RUU).

Sudah barang tentu bagi negara yang menganut teori kedaulatan rakyat, maka rakyatlah yang menjadi kebijakan politik tertinggi. Demikian pula negara yang berdasar atas kedaulatan Tuhan, kedaulatan negara/kekuasaan

9 Lihat Jazuni. Legislasi Hukum Islam di Indonesia, hlm. 376-396.

10 A.Hamid S. Attamimi. Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintah

Negara: Suatu Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I-Pelita IV. Disertasi Doktor Universitas Indonesia, (Jakarta: UI, 1990), hlm. 120-135.

(maschtaat) dan negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat), sangat tergantung kepada gaya politik hukum kekuasaan negara itu sendiri. Dengan demikian sikap politik suatu bangsa merupakan cerminan dari cita hukum bangsa itu sendiri.11

Rousseau misalnya dalam teori kedaulatan rakyatnya mengatakan bahwa tujuan negara adalah untuk menegakkan hukum dan menjamin kebebasan dari para warga negaranya, dalam pengertian bahwa kebebasan dalam batas-batas perundang-undangan. Sedangkan undang-undang di sini yang berhak membuat nya adalah rakyat itu sendiri. Atas dasar itu, Rousseau berpendapat bahwa suatu undang-undang itu harus dibentuk oleh kehendak umum (valonte

generale) di mana dalam hal ini seluruh rakyat secara langsung mengambil

bagian dalam proses pembentukan undang-undang itu.12

Dalam konteks kenegaraan di Indonesia, kehendak rakyat secara umum diimplementasikan menjadi sebuah lembaga tertinggi negara, yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perakilan Rakyat (DPR). Dengan kata lain, munculnya pemahaman bahwa lembaga eksekutif dapat membuat sebuah rancangan undang-undang sebelum ditetapkan bagi pemberlakuannya, terlebih dahulu harus disetujui DPR. Inilah salah satu keunikan Indonesia, di mana lembaga eksekutif dan legislatif secara bersama-sama dapat membuat atau menetapkan sebuah undang-undang.

Ketika Indonesia dinyatakan kemerdekaannya tanggal 17 Agustus 1945, sebelumnya telah terjadi silang pendapat perihal ideologi yang hendak dianut oleh negara Indonesia. Gagasan Soepomo tentang falsafah negara integralistik dalam sidang BPUPKI tanggal 13 Mei 1945 telah membuka wacana pluralisme masyarakat Indonesia untuk memilih salah satu di antara tiga faham yang ia ajukan, yaitu; (a) Faham Individualisme; (b) Faham Kolektifisme; dan (c) Faham Integralistik.13

11 Maria Farida Indrati Soeprapto. Ilmu Perundang-undangan: Dasar-dasar dan Pemben-tukannya, (Yogyakarta: Kanisius, 1998), hlm. 64-65.

12 Soehino, Ilmu Negara, (Yogyakarta: Liberty, 1980), hlm. 156-160; Bandingkan dengan Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, (Yogyakarta: Kanisius, 1982), Yusril Ihza Mahendra telah

menjelaskan dalam bukunya Dinamika Tata Negara Indonesia: Kompilasi Aktual Masalah Konstitusi Dewan

Perwakilan dan Sistem Kepartaian (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm. 15-18. Bandingkan dengan

Wiryono Prodjodikoro. Asas-asas Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Dian Rakyat, 1989), hlm. 5-7. 13 Moh. Yamin. Naskah Persiapan UUD 1945 (Jakarta: Reproduksi Setneg, t.t.), jilid I, hlm. 26-28; Lihat pula

Sebagaimana dijelaskan dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, kalangan politisi menghendaki faham integralistik sebagai ideologi negara. Pancasila dan UUD 1945 kemudian disepakati sebagai landasan ideal dan landasan struktural Negara Kesatuan Republik Indonesia.14 Implikasinya secara hukum setiap bentuk produk perundang-undangan yang dibuat di Indonesia diharuskan lebih inklusif dan harus mengakomodasikan kepentingan umum masyarakat Indonesia. Inilah yang pada gilirannya pernah melahirkan pergulatan politik Islam di Indonesia dalam menyoal hubungan agama dan negara.15

Demikian halnya dengan pemahaman bahwa undang-undang dinyatakan sebagai peraturan perundang-undangan yang tertinggi, yang mana di dalamnya memuat ketentuan dan sanksi, secara implisit dapat berlaku dan mengikat. Istilah undang-undang dalam arti formil dan materil merupakan terjemahan dari wet in formelezin dan wet in materielezin yang dikenal Belanda. Di Belanda, undang-undang dalam arti formil (wet in formelezin) merupakan keputusan yang dibuat oleh Regering dan Staten Generaal bersama-sama (gejamenlijk) terlepas apakah isinya peraturan (regeling) atau penetapan (beschikking). Hal ini dilihat dari segi pembentukannya atau tergantung kepada siapa yang membentuknya.

dalam tulisan sejenis tentang Naskah Persiapan UUD 1945 jilid I, (Jakarta: Prapanca, 1971), cet ke-2, hlm. 113 dan A. Hamid S. Attamimi, hlm. 82-83.

14 Lihat dalam M. Syafi’i Anwar. Politik Akomodasi Negara dan Cendekiawan Murlim Orde Baru: Sebuah

Retrospeksi dan Refleksi, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 232-235;

15 Sejarah telah mencatat bahwa dinamika hubungan Islam dan negara pada masa Orde Baru mengalami pergeseran dari yang bersifat antagonistik, resiprokal kritis sampai akomodatif. Hubungan antagonistik (1966-1981) mencerminkan pola hubungan yang hegemonik antara Islam dengan pemerintah Orde Baru. Keadaan negara yang kuat memainkan pengaruh ideologi politik sampai ke tingkat masyarakat bawah telah berlawanan dengan sikap reaktif kalangan Islam sehingga melahirkan konflik ideologi dan sekaligus menempatkan Islam sebagai oposisi. Kemudian pada tahap hubungan resiprokal kritis (1982-1985) kaum santri berupaya merefleksikan kembali cara pandang mereka dan merubah dirinya untuk menampilkan sisi intelektualitas dalam percaturan politik Indonesia. Pada tahap ini pilihan-pilihan rasional-pragmatis telah melahirkan saling pengertian akan kepentingan Islam dan pemerintahan Orde Baru. Dalam kurun waktu 1982-1985 sebagian kalangan Islam mulai menerima asas tunggal dalam landasan ideologi negara serta ormas dan orpol. Sedangkan hubungan akomodatif (1985-2000) hubungan Islam dan negara terasa lebih harmonis di mana umat Islam telah masuk sebagai bagian dari sistem politik elit dan birokrasi. Pola hubungan akomodatif ini sangat terasa berupa tersalurkannya aspirasi umat Islam untuk membangun tatanan sosial, politik, ekonomi dan budaya yang berakar pada nilai-nilai luhur agama (Islam) serta budaya bangsa yang dibingkai dalam falsafah integralistik Pancasila dan UUD 1945. Lihat Fachry Ali dan Bahtiar Effendi. Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru, (Bandung: Mizan, 1985), hlm. 108-110.

Sedangkan undang-undang dalam arti materil (wet in materielezin) adalah setiap keputusan yang mengikat umum (algemeen verbidende voorschriften), baik yang dibuat oleh lembaga tinggi Regering dan Staten Generaal bersama-sama, maupun oleh lembaga-lembaga lain yang lebih rendah seperti Regering

Kroon, Minister, Provincie dan Gameente yang masing-masing membentuk Algemene Maatregel van Bestuur, Ministeriele Verordening, Provinciale Wetten, Gemeetelijkewetten, serta peraturan-peraturan lainnya yang mengikat umum

(Algemeen verbindende voorschriften).16

Jika diterjemahkan dalam kamus bahasa Indonesia, maka pengertian wet di Belanda semakna dengan Presiden dan DPR baik dalam arti formil maupun arti materil adalah kurang tepat. Di Indonesia hanya dikenal istilah undang-undang saja yang disetarakan dengan wet. Dengan kata lain, undang-undang-undang-undang di Indonesia yang ditetapkan oleh presiden dan atas persetujuan DPR disebut setara muatan hukumnya baik secara formil maupun materil hendaknya dapat berlaku umum sesuai tujuannya.

Sementara itu, dalam sistem hukum Indonesia tidak dikenal istilah undang-undang pokok yang terpisah dari konstitusi. Merujuk kepada UUD 1945 sebagai konstitusi negara Indonesia, dalam Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 telah digariskan bahwa semua undang di Indonesia adalah undang-undang pokok yang kedudukannya setara dan berada di bawah hierarki norma hukum serta konstitusi UUD 1945. Atas dasar itu, dapat dipahami bahwa Undang-Undang Dasar (UUD) jelas berbeda dengan undang-undang. Hal ini dapat dilihat dalam sistem hukum Indonesia yang diatur dalam ketetapan MPR No.XX/MPRS/1966 sebagai berikut: UUD 1945, Tap MPR, UU, Perpu, PP, Kepres, Kepmen, Perda Tk. I, Perda Tk. II, dst.17

Di samping itu, berbagai jenis peraturan perundang-undangan di negara Indonesia dalam suatu tata susunan yang hierarki mengakibatkan pula adanya perbedaan fungsi maupun materi muatan berbagai jenis peraturan perundang-undangan tersebut. Secara umum fungsi dari undang-undang adalah: pertama,

16 Maria Farida Indrati Soeprapto. Ilmu Perundang-undangan: Dasar-dasar dan Pembentukannya, (Yogyakarta: Kanisius, 1998), hlm. 93-95 ; A. Hamid S. Attamimi, hlm. 211.

17 Maria Farida Indrati Soeprapto. Ilmu Perundang-undangan: Dasar-dasar dan Pembentukannya, hlm. 93-95 ; A. Hamid S. Attamimi, hlm. 92-103.

menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam UUD 1945 secara tegas; kedua, pengaturan lebih lanjut secara umum mengenai penjelasan dalam batang tubuh UUD 1945; ketiga, pengaturan lebih lanjut mengenai Tap MPR; dan keempat, pengaturan di bidang materi konstitusi.18

Sedangkan materi muatan undang-undang telah diperkenalkan oleh A. Hamid Attamimi dengan istilah het eigenaarding orderwerp der wet yang juga digunakan oleh Thorbecke dalam Aantekening op de Grondwet yang diterje-mahkan sebagai berikut:

“Grondwet meminjam pemahaman tentang wet hanyalah dari orang/ badan hukum yang membentuknya. Grondwet membiarkan pertanyaan terbuka mengenai apa yang di negara kita harus ditetapkan dengan wet dan apa yang boleh ditetapkan dengan cara lain. Sebagaimana halnya dengan grondwet-grondwet lainnya, Grondwet (inipun) berdiam diri (untuk) merumuskan materi muatan yang khas bagi wet (het eigenaarding orderwerp der wet).”19

Apabila pendapat Thorbecke ini dibandingkan dengan UUD 1945, maka pandangan ini bisa dianggap benar, karena UUD 1945 ditentukan mengenai siapa pembentuk undang-undang dalam pasal 5 ayat (1) yang menentukan bahwa presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR, dan materi muatan undang-undang sama sekali tidak disebutkan. Kendati demikian, para ahli hukum menyebutkan bahwa materi muatan undang-undang tidak dapat ditentukan ruang lingkup materinya mengingat semua undang-undang adalah perwujudan aspirasi rakyat (kedaulatan rakyat).

Berkenaan dengan kewenangan dalam menetapkan peraturan dan undang, sesungguhnya semua materi hukum dapat dijadikan undang-undang, kecuali jika undang-undang itu tidak berkenan mengatur dan/atau menetapkannya. Namun, seperti banyak dibicarakan dalam diskursus ilmu hukum tata negara, kewenangan untuk menyusun konstitusi dan menetapkan

18 Maria Farida Indrati Soeprapto. Ilmu Perundang-undangan: Dasar-dasar dan Pembentukannya, hlm. 113-115.

19 A. Hamid S. Attamimi, dalam tulisannya tentang Materi Muatan Peraturan Pemerintah Perundang-undangan dalam Majalah Hukum dan Pembangunan (Jakarta : 1979), hlm. 205

perundang-undangan turunannya sangat tergantung kepada pemegang otoritas kekuasaan dalam negara itu sendiri, apakah ia menggunakan teori kedaulatan tuhan, teori kedaulatan raja, atau teori kedaulatan hukum.20

Bila diteliti lebih seksama kekhasan undang-undang dari peraturan lainnya adalah undang-undang dibentuk dan ditetapkan oleh presiden dengan persetujuan DPR. Jadi, muatan materi hukum undang-undang akan menjadi pedoman bagi peraturan-peraturan lain di bawahnya. Pedoman untuk mengetahui materi muatan undang-undang dapat ditentukan melalui tiga pedoman, yaitu: pertama, dari ketentuan dalam Batang Tubuh. kedua, berdasar wawasan negara berdasar atas hukum (rechtstaat) yang dimulai dari kekuasaan absolut negara (polizeistaat, terus pembentukan negara berdasar atas hukum yang sempit/liberal (rechtstaat sempit/liberal), berdasar atas hukum formal (rechtstaat formal), dan negara berdasar atas hukum material/sosial yang modern (rechtstaat material/ sosial); dan ketiga, berdasar wawasan pemerintahan sistem konsitusional, di mana penye-lenggaraan kekuasaan negara dan hukum serta yang lainnya harus mengacu pada norma dasar (groundnorm) dan Undang-Undang Dasar. Dengan kata lain, yang dimaksud adalah Pancasila dan UUD 1945.21

Pembentukan hukum hendaknya diselenggarakan melalui proses secara terpadu dan demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, serta menghasilkan produk hukum hingga tingkat peraturan pelaksanaannya. Dalam pembentukan hukum itu, perlu diindahkan ketentuan yang memenuhi tiga hal:22 (a) nilai filosofis yang berintikan rasa keadilan dan kebenaran; (b) nilai

sosiologis yang sesuai dengan tata nilai budaya yang berlaku di masyarakat, dan

(c) nilai yuridis yang sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang

20 Perihal perbedaan cara pandang tentang teori kekuasaan, Yusril Ihza Mahendra telah menjelaskan dalam bukunya Dinamika Tata Negara Indonesia: Kompilasi Aktual Masalah Konstitusi Dewan Perwakilan dan Sistem

Kepartaian (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm. 15-18. Bandingkan dengan Wiryono Prodjodikoro. Asas-asas Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta: Dian Rakyat, 1989), hlm. 5-7.

21 Konsepsi negara berdasarkan atas hukum (rechtstaat) memiliki muatan ciri-ciri berikut: (1) prinsip perlindungan hak asasi manusia; (2) prinsip pemisahan/pembagian kekuasaan ; (3) Pemerintah berdasar undang-undang ; (4) prinsip keadilan ; dan (5) Prinsip kesejahteraan rakyat. Untuk menemukan penjelasan ini dapat dilihat dalam naskah Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4. Lihat dalam Maria Farida Indrati Suprapto, hlm. 124-130.

22 Amiroedin Syarif. Perundang-undangan: Dasar, Jenis, dan Teknik Membuatnya (Jakarta: Bumi Aksara, 1987), hlm. 91-95.

berlaku. Dengan demikian, maka hukum zakat pada gilirannya menempati kedudukan tertinggi dalam konstitusi dan menjadi bagian sistem hukum yang berlaku secara formal dalam peraturan dan perundang-undangan.

Peluang norma-norma hukum zakat untuk dimuat ke dalam konstitusi sangat terbuka ketika terdapat tuntutan realitas sosial dan politik yang menghen-daki terwujudnya cita-cita keadilan dan kesejahteraan sosial, terjaminnya hak asasi setiap orang yang berzakat, pengelolanya, penerimanya serta terjaminnya stabilitas politik suatu negara.23 Maka konstitusi yang dibuat hendaknya merupakan norma dasar (groundnorm) yang ditujukan untuk menghindarkan berbagai bentuk penyelewengan, berlaku untuk semua pihak dan sekaligus menjadi pedoman hukum untuk memperoleh hak-hak hukum masyarakat serta kewajiban mentaati hukum dalam penyelenggaraan negara.

Istilah konstitusi itu sendiri pertama kali lahir dan dikenalkan oleh Carl Scmith yang dikaitkan dengan ajaran Dezionismus (ajaran tentang putusan) yang diambil dari perubahan UUD Weimar di Jerman tahun 1919 yang mengubah sistem monarchi menjadi sistem parlementer. Istilah konstitusi berkembang pasca revolusi Perancis tahun 1798 sebagai hasil dari perjuangan kaum borjuis liberal yang ingin mendapatkan hak-haknya dalam negara.24

Konstitusi itu sendiri merupakan hukum tertinggi yang menjadi dasar bagi segala macam undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang akan datang sebagai undang-undang yang tertinggi, konstitusi tidak meluluskan penyanggahan atau perlawanan oleh undang-undang lain yang lebih rendah martabatnya.25

Teori hukum yang menjelaskan konstitusi adalah ajaran hukum murni yang dikemukakan oleh Hans Kelsen. Inti ajarannya menyebutkan bahwa hukum harus dibersihkan dari anasir-anasir yang tidak yuridis, seperti etis, sosiologis, politis dan sebagainya. Hans Kelsen menyebut konstitusi sebagai

groundnorm. Dalam ajaran Stufentheorie mazhab Wina, Adolph Merkel

mengatakan bahwa sistem hukum merupakan sistem piramidal dan hierarkis,

23 Muhammad Husein Na`ini. “Islam dan Pemerintahan Konstitusional” dalam John L. Esposito dan John L. Donohue, Islam dan Pembaharuan (terj.), (Jakarta: PT RajaGrafindo, 1994), hlm. 537-538.

24 Lihat Subondo. Hukum dan Tata Negara, (Jakarta: Rajawali Press, 1998), hlm. 118-123.

25 Sri Seomantri. “Konstitusi Sebuah Sketsa Sepintas”, dalam Jurnal Mimbar Hukum (Yogyakarta: Gajah Mada Press, 1954), hm. 13.

di mana suatu hukum harus bersumber pada ketentuan hukum lain yang lebih tinggi.26 Lebih lanjut dijelaskan, hukum terbentuk melalui proses yang graduil dari norma-norma yang tertinggi, yang merupakan norma yang paling abstrak, umum, dan semata-mata menerapkan norma, hingga yang lain lebih rendah dan selanjutnya individualis, konkret, eksekutif, dan aplikatif.