• Tidak ada hasil yang ditemukan

KERANGKA TEORI OPTIMASI ZAKAT MELALUI PERUNDANG-UNDANGAN

E. Teori Penegakan Hukum

Teori ini dalam pengertian luas mencakup segala aktifitas yang dimaksudkan agar hukum sebagai perangkat kaedah normatif yang mengatur dan mengikat subyek hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara benar-benar ditaati dan sungguh-sungguh dijalankan sebagaimana mestinya. Dalam hukum sebagai suatu kesatuan sistem terdapat elemen-elemen: (1). Kelembagaan (institusional), (2). Kaedah aturan (instru mental), (3). Prilaku para subyek hukum yang menyandang hak dan kewajiban yang ditentukan oleh norma aturan itu (subyektif dan cultural). Selanjutnya, ketiga elemen sistem hukum tersebut mencakup a). Kegiatan pembuatan hukum (law marking), b). Kegiatan pelaksanaan atau penerapan hukum (law adminis trating), dan c). Kegiatan peradilan atas pelanggaran hukum (law adjudicating). Kegiatan terakhir lazim disebut sebagai kegiatan penegakan hukum dalam arti sempit (law

enforcement).

Di samping hal-hal di atas, kegiatan lain dalam penegakan hukum meliputi: (a). Pemasyarakatan dan pendidikan hukum (law socialization and law education) dalam arti seluas-luasnya, (b). Pengelolaan informasi hukum (law information

management) sebagai kegiatan penunjang.27 Dalam pada itu terdapat lima faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, yaitu : (1). Faktor hukumnya sendiri,

26 Lili Rasjidi. Dasar-dasar Filsafat Hukum ( Bandung: Alumni 85, 1985), hlm. 43-44 dan hlm. 120-123. Penulis berpendapat bahwa syari’at dalam penerapannya telah bergeser kepada ketentuan yang lebih khusus yakni fikih. Dan fikih tersebut ditransformasikan secara konkrit dalam bentuk perundang-undangan melalui proses taqnin.

27 Montesquei. The Spirit of The Laws, Translated by Thomas Nugent, (London: G. Bell & Sons, Ltd, 1914),

(2). Faktor penegak hukum, (3). Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung pene gakan hukum, (4). Faktor masyarakat, dan (5). Faktor kebudayaan.28

Selain itu, penulis juga mengadopsi teori perubahan hukum dari Lawrence Meir Friedman. Penulis melihat dalam kenyataan di Indonesia, perubahan hukum setelah era reformasi bergulir kurang lebih 16 (enam belas) tahun, kekuatan kelompok status quo cenderung masih mendominasi sistem politik dan kekuasaan yang sedang berjalan termasuk dalam penegakan hukum. Keter purukan hukum di Indonesia sejak masa Orde Baru hingga sekarang meliputi tiga unsur sistem hukum, sebagaimana dikemukakan oleh Lawrence Meir Friedman, yaitu struktur (structure), substansi (substance), dan kultur hukum (legal culture).29

Pertama, Struktur. Makna yang dimaksud dengan struktur dalam sistem hukum Indonesia adalah institusi-institusi penegakan hukum, seperti: Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan, serta hierarki peradilan dari yang terendah (Penga dilan Negeri, Pengadilan Agama, dan lain-lain) hingga yang tertinggi (Mahkamah Agung), begitu juga aparat penegak hukum yang bekerja pada institusi-institusi penegakan hukum tersebut. Problem yang terjadi berkenaan dengan struktur ini adalah belum adanya kemandirian yudisial yang menjamin resistensi institusi institusi penegakan hukum terhadap intervensi pihak lain serta rendahnya kualitas moralitas dan integritas personal aparat penegak hukum sehingga hukum tidak dapat bekerja secara sistemik dan proporsional, termasuk dalam menerima hakim perempuan di pengadilan sebagai satu kesatuan dengan pengakuan hak asasi manusia.

Kedua, Substansi. Yaitu aturan, norma, dan perilaku nyata manusia yang ada dalam sistem itu atau produk produk yang dihasilkannya berupa keputusan keputusan yang mereka keluarkan dan mencakup pula hukum yang hidup (living law) dan bukan hanya aturan-aturan yang ada dalam kitab undang undang (law books). Hal yang menjadi masalah dari substansi ini

28 Soerjono Soekanto. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 8

29 Lawrence Meir Friedman sebagaimana dikutip oleh Ahmad Ali menjelaskan tiga unsur sistem hukum, yaitu struktur (structure), substansi (substance), dan kultur hukum (legal culture). Lihat Ahmad Ali.

adalah kuatnya pengaruh positivisme dalam tatanan hukum di Indonesia yang memandang hukum sebagai sesuatu yang muncul dari otoritas yang berdaulat ke dalam bentuk undang undang dan mengabaikan sama sekali hukum di luar itu serta memandang bahwa prosedur hukum sebagai segala-galanya dalam penegakan hukum tanpa melihat apakah hal tersebut dapat mewujudkan keadilan dan kebenaran.

Ketiga, Kultur Hukum. Yaitu suasana pikiran dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum itu digunakan, dihindari, dan disalahgunakan. Kultur hukum juga merupakan suatu ekspresi dari tingkat kesadaran hukum masyarakat yang belum kondusif bagi bekerjanya sistem hukum secara proporsional dan berkeadilan.

Berdasarkan penjelasan berbagai kajian pustaka di atas, maka dapat dirumuskan sebagai berikut: a). Bahwa hukum yang hidup harus memenuhi 3 dimensi, yaitu : dimensi filosofis, yuridis, dan sosiologis, b). Penegakan hukum di pengaruhi oleh tiga faktor, yaitu: substansi, struktur, dan cultur hukum, c). Substansi hukum itu akan efektif, jika sesuai dengan substansi hukum yang lebih tinggi atau sederajat. (Teori Hukum Murni Hans Kelsen). Struktur hukum yang ditunjang oleh kelembagaan hukum atau aparat hukum yang memiliki peran optimal (Teori Robert B. Seidman) dan adanya kesadaran hukum menjadi penting dari proses penegakan hukum, d). Institusi hukum atau aparat hukum berperan penting dan sangat strategis dalam menjalankan ketentuan hukum, dan e). Bahwa hukum dalam buku (law in book) tidak selalu sama hukum dalam tindakan (law in action) sehingga perlu adanya politik hukum.

Perumusan di atas, dalam kaitannya dengan masalah penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut

Hipotesis :

1. Terdapat beberapa alasan-alasan filosofis, yuridis, sosiologis, historis dan idiologis, Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat baru dilegislasi pada pada satu tahun reformasi di Indonesia dan diamandemen pada tahun 2011 dengan lahirnya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat; dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat akan dapat ditegakkan, jika substansi hukum undang-undang tersebut serasi dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi maupun sederajat, ditunjang oleh struktur hukum yang memadai dan kesadaran hukum masyarakat untuk melaksanakan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat;

2. Keberadaan lembaga-lembaga pengelola zakat yang diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat seperti, Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) dan struktur hukum terkait lainnya mampu memberikan kesejahteraan pada fakir miskin, jika terjadi integrasi dan sinergitas antar lembaga dan tepat yang meliputi; sasaran, waktu, lokasi, jumlah dan kualitas;

3. Ketentuan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat baru akan bisa dilaksanakan dengan baik, jika adanya politik hukum, yang mengharuskan sosialisasi undang-undang, dukungan aparat hukum, Sumber Daya Manusia yang memiliki kinerja tinggi, dan struktur birokrasi yang memadai.

BAB III

MANAJEMEN ZAKAT