• Tidak ada hasil yang ditemukan

orang-orang yang membutuhkan bantuan, bukan dipandang sebagai kewajiban yang bersifat ilzami 24 Penggunaan kata zakat pada ayat-ayat

B. Prinsip, Fungsi, dan Tujuan serta Hikmah Zakat

1. Prinsip Zakat

Diantara prinsip-prinsip kewajiban berzakat bagi umat Islam, adalah: pertama, prinsip keyakinan keagamaan (faith). Menurutnya, orang yang membayar zakat yakin, bahwa pembayaran tersebut merupakan salah satu

manifestasi keyakinan agamanya, sehingga jika seseorang belum menunaikan zakatnya, orang tersebut merasa ibadahnya belum sempurna.

Dalam terminologi hukum Islam, prinsip keyakinan keagamaan (faith), selaras dengan teori kredo atau teori syahadah, yang berarti persaksian. Menurut teori kredo, seseorang yang menganut suatu keyakinan atau agama diharuskan tunduk dan patuh kepada hukum agama yang dianutnya. Landasan filosofis lahirnya teori kredo adalah kesaksian seseorang untuk menjadi muslim dengan mengucapkan dua kalimat syahadat sebagai konsekwensi logis dari pengucapan kredonya.108 Seseorang yang telah mengaku dirinya menjadi muslim atau muslimah diharuskan tunduk dan patuh kepada hukum Islam disebabkan ia telah terikat kepada suatu perjanjian hukum untuk mengikuti hukum agama Islam. Dalam ranah kajian filsafat hukum Islam, teori kredo merupakan turunan dari prinsip ketuhanan (al-tauhid), yang mana prinsipnya setiap muslim diharuskan tunduk dan patuh kepada apa-apa yang diperintahkan Allah dalam al-Quran dan Rasul dalam Sunnah-Nya.

Teori lainnya yang mendukung teori kredo adalah teori autoritas hukum yang diperkenalkan oleh H.A.R. Gibb.109 Ia mengatakan bahwa seseorang harus tunduk kepada hukum agama yang dianutnya (someone has an obligation

to obey his own religious rules). Dengan kata lain, makna filosofis yang

terkandung dalam pernyataan tersebut menunjukkan bahwa seseorang yang mengaku dirinya muslim jelas mempunyai kewajiban untuk tunduk, taat, dan patuh kepada hukum agama yang dianutnya. Penekanan teori otoritas hukum memiliki efistimologi yang sama dengan teori kredo, yakni sama-sama menekankan kewajiban untuk tunduk dan patuh kepada hukum agama yang diyakininya. Atas dasar itu, setiap muslim berkewajiban untuk zakat pada harta yang dimiliki sebagai konsekuensi dari keberagamaan yang dianutnya.

Prinsip di atas menggambarkan bahwa zakat merupakan ibadah yang diperintahkan oleh Allah swt. sebagai konsekwensi logis atas kepercayaan makhluk kepada khaliq-Nya. Maka keharusan baginya untuk menunaikan kewa jiban berzakat menjelma dalam tindakan dalam wujud kepatuhan,

108 Juhaya S.Praja. Teori-teori Hukum; Suatu Telaah Perbandingan dengan Pendekatan filsafat (Bandung: UIN Sunan Gunung Djati. 2009), hlm. 107.

penyerahan dan pengabdian kepada Allah sebagai pencipta (tindakan asketik) tanpa dicampuri oleh pertimbangan-pertimbangan dan pilihan-pilihan yang bersifat duniawi. Corak pema haman seperti ini merupakan perwujudan pemahaman zakat dalam ranah teologi atau efistemologi teologisme dengan basis teosentrisme yang memandang manusia sebagai makhluk yang harus tunduk kepada ajaran agamanya.

Kedua, prinsip keadilan. Kewajiban zakat, sesungguhnya tidak hanya untuk kesejahteraan fakir dan miskin, melainkan untuk menciptakan keharmo-nisan dan kebaikan antara muzakki dan mustahik sebagai wujud keadilan. Juga, untuk menciptakan keadilan sosial, dimana distribusi kekayaan dapat berjalan secara adil serta untuk membangun pertumbuhan ekonomi sekaligus pemerataan pendapatan. Teori di atas, didasarkan pada postulat yang diungkap dalam QS.2: 195 dan QS.59: 7.

Diskursus tentang keadilan menjadi perdebatan panjang antara Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Perdebatan itu, dilatari oleh perbedaan konsepsi tentang tanggung jawab manusia untuk menegakkan keadilan ilahiyah.110 Dalam teologi Mu’tazilah, keadilan merupakan pokok akidah setelah tauhid. Keadilan dalam teologi Mu’tazilah mengandung dua pengertian. Pertama, keadilan berarti perbuatan; kedua, keadilan yang berarti pelaku perbuatan. Jika yang dimaksud keadilan itu perbuatan, maka berarti setiap perbuatan baik yang dilakukan oleh pelakunya agar dimanfaatkan oleh orang lain. Adapun apabila keadilan itu berarti perbuatan, maka berarti Allah tidak berbuat buruk atau jelek (al-Qubh). 111

Teori keadilan Mu’tazillah tersebut di atas, melahirkan dua teori, yaitu: Teori al-salah wa al-aslah; dan teori al-husn wa al-qubh. Kedua teori tersebut dikembangkan lagi sehingga menjadi dua pernyataan. Pernyataan pertama, “Allah tidak berbuat sesuatu tanpa hikmah dan tujuan”. Perbuatan tanpa tujuan adalah sia-sia dan percuma. Pernyataan kedua; “segala sesuatu dan perbuatan itu mempunyai nilai subyektif, sehingga dalam perbuatan baik, seperti adil dan jujur, terdapat sifat-sifat yang menjadi perbuatan baik. Demikian pula

110 Mumtaz Ahmad (ed). Masalah-masalah Teori Politik Islam, (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 154-155. 111 Juhaya S. Praja. Filsafat Hukum Islam, (Bandung : LPPM UNISBA, 1995), hlm. 75.

dalam perbuatan buruk. Sifat-sifat itu dapat diketahui oleh akal sehingga masalah baik dan buruk adalah masalah akal.112

Asy’ariyah menolak gagasan Mu’tazilah tentang otoritas akal, menurutnya bahwa perbuatan baik dan buruk itu adalah sebagaimana Allah tentukan, dan adalah angkuh menilai Allah berdasarkan kategori-kategori yang diberikan-Nya untuk mengarahkan kehidupan manusia.113

Zakat sebagai mekanisme distribusi kesejahteraan yang berbasis agama, memandang kaum lemah pada posisi yang harus diperhatikan, hal ini memiliki kemiripan dengan teori pembangunan alternatif yang menyuarakan elit tradisional yang terancam terasing oleh industrialisasi (ideologi marxisme).

Ketiga, prinsip solidaritas sosial demi kemanusiaan dan keislaman. Manusia adalah makhluk sosial. Dalam menjalani kehidupannya manusia menga dakan interaksi dengan manusia lain. Mereka hidup saling memerlukan dan membutuhkan antara satu manusia dengan manusia lainnya. Antara satu manusia dengan manusia lainnya selalu terjadi proses take and give. Karena itu manusia tidak dapat hidup tanpa bantuan masyarakatnya. Sekian banyak pengetahuan yang diperoleh oleh manusia adalah ia peroleh dari masyarakatnya.

Tidak dapat dipungkiri pula bahwa zakat mempunyai tujuan-tujuan yang bersifat sosial. Zakat diwajibkan oleh agama dalam rangka untuk membantu orang-orang yang kebetulan mengalami nasib tidak beruntung karena berbagai faktor yang melatarbelakanginya. Dengan zakat itu, diharapkan dapat mengangkat mereka dari ketidak beruntungan itu. Zakat sesungguhnya merupakan jaminan sosial bagi mereka. Dengan adanya jaminan sosial bagi mereka, mereka tidak terlantar atau ditelantarkan begitu saja. Mereka diperlakukan selayaknya sebagai seorang manusia. Mereka tidak perlu sampai menengadahkan tangan untuk meminta ke sana-kemari, apatah lagi menjadikan pengemis sebagai profesi. Mereka adalah tanggung jawab bagi orang-orang kaya melalui kewajiban zakat yang harus dikeluarkan.114

112 Juhaya S. Praja. Filsafat Hukum Islam, (Bandung : LPPM UNISBA, 1995), hlm. 75

113 Lihat Mumtaz Ahmad (ed). Masalah-masalah Teori Politik Islam, (Bandung: Mizan, , 1994), hlm. 156 114 Lihat QS. 70: 24-25, QS. 51: 19, QS. 2:273.

Disamping itu, zakat oleh muzakki untuk orang-orang miskin (mustahik) akan memberi keuntungan dan memberi efek positif bagi berbagai pihak (multiplier effect), menumbuhkan kesuburan kehidupan sosial ekonomi masya-rakat secara adil dan merata. Dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi masyarakat, otomatis akan melancarkan perputaran modal dan meningkatkan pertumbuhan perekonomian pada umumnya. Zakat yang diterima oleh fakir miskin, pada gilirannya akan berdampak untuk meningkatkan daya beli masya rakat terhadap produk milik muzakki.

Kelima, pengentasan kemiskinan. Manusia adalah keturunan dari satu

nenek moyang, yaitu Adam dan Hawa. Sehingga antara satu manusia dengan manusia yang lain itu, pada hakekatnya, masih memiliki pertalian darah. Hubungan pertalian darah ini menunjukkan bahwa antara manusia satu dengan manusia yang lain adalah bersaudara. Pertalian darah ini akan lebih kokoh dan kuat lagi jika diikat dengan kesamaan akidah dan kebersamaan dalam kebera gamaan.

Hubungan persaudaraan itu tidak hanya terbatas pada bentuk memberi dan menerima atau pertukaran manfaat, tetapi lebih jauh lagi dari pada itu semua yaitu belas kasih sayang, dan mencintai sesamanya. Karena itu Islam telah menetapkan bahwa menghidupkan seorang manusia saja dipandang sebagai menghidupkan seluruh umat manusia.

Prinsip zakat dalam mengatasi kemiskinan, karena zakat merupakan jalan atau sarana yang dilegalkan oleh agama dalam pembentukan modal. Dalam konteks ini, pembentukan modal tidak semata-mata dari pemanfaatan dan pengem bangan sumber daya alam, tetapi juga berasal dari sumbangan wajib orang kaya yang menyisihkan sebagian kecil harta kekayaannya. Disamping itu, zakat juga berperan penting dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia dan penyediaan sarana dan prsarana produktif.115

Disamping sebagai pilar untuk menumbuhkan kasih sayang, mencintai sesama dan pembentukan modal, zakat juga merupakan salah satu bentuk konkret dari jaminan sosial yang disyariatkan oleh ajaran Islam.116 Melalui

115 A.A. Miftah. Pembaharuan zakat untuk pengentasan kemiskinan di Indonesia, dalam Jurnal Innovatio, Vol. VII. No. 14 (Juli-Desember 2008), hlm. 425-426.

syari’at zakat, kehidupan orang-orang fakir, miskin, dan orang-orang yang

menderita lainnya, akan terperhatikan dengan baik. Teori ini didasarkan pada QS. 5: 2, QS. 51: 19, dan QS. 70:24-25.

Prinsip-prinsip zakat yang diuraikan di atas senada dengan yang dikemu-kakan oleh M.A. Mannan117. Menurutnya, zakat sebagai aktifitas religius, memiliki prinsip-prinsip: (a) prinsip kepercayaan keagamaan (faith), bahwa orang yang membayarkan zakat meyakini pembayarannya itu merupakan salah satu manifestasi dari keyakinan keagamaannya. Sehingga apabila ia belum melunasi zakat, maka akan merasakan ibadahnya belum sempurna; (b) Prinsip pemerataan (equity), dan keadilan yang menggambarkan tujuan zakat, yaitu membagi lebih adil kekayaan yang telah diberikan Tuhan kepada umat manusia; (c) prinsip produktifitas dan kematangan, yang menekankan bahwa zakat harus dibayar sesuai dengan hasil produksi setelah lewat waktu satu tahun, ukuran normal diperolehnya suatu penghasilan; (d) prinsip nalar (reason) dan kebebasan (freedom), menjelaskan bahwa zakat hanya dibayar oleh orang yang sehat jasmani dan rohaninya, yang merasa mempunyai tanggung jawab untuk membayarkannya demi kepentingan bersama. Karenanya, zakat tidak dipungut dari orang yang sedang dihukum atau orang yang sedang sakit jiwa, dan 5). Prinsip etika dan kewajaran, yang menyatakan bahwa zakat tidak bisa ditarik secara semena-mena tanpa memperhatikan akibat yang ditimbulkan oleh penarikan itu.