• Tidak ada hasil yang ditemukan

DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN

4.2. Interpretasi Data Penelitian

4.2.4. Hubungan Pawang (Patron) Anak (Klien) Dalam Kesenian Kuda Lumping

Dari hasil pelaksanaan penelitian di lapangan, ternyata adanya hubungan yang saling ketergantungan dan terikat antara pawang dengan anak-anak anggota kuda lumping. Hubungan yang saling ketergantungan dan terikat itu menciptakan sesuatu yang tidak mudah untuk dihindari oleh masing- masing yang membutuhkannya. Rifin (17 tahun) yakni:

“….alasan aku tetap bertahan menjadi anggota kuda lumping di sanggar ini yak arena aku ini senang mbak berada di sanggar ini. Sesama anggota disini saling membantu kalau salah satu diantara kami lagi kesusahan gak itu juga pawang juga kalau aku lagi dimarahin ma bapakku karena maen ajah kuda lumping terus dihukum gak boleh makan aku ya datang ajah ke pawang terus tidur di rumah pawang dah gitu makan juga disitu…“. (Sumber: wawancara pada tanggal 20 Februari 2013).

Hal yang sama diungkapkan oleh Yadi (18 tahun):

“….lebih enak jadi anggota jaranan dari pada harus ngelanjutkan sekolah seperti apa yang maunya orang tua ku itu, la aku udah gak bisa mikir lagi udah mumet otak ku ini mbak masa dipaksa terus untuk sekolah, biarin deh dimarahin terus karena aku terus jadi anggota jaranan yang penting aku di jaranan gak pernah dimarahi pawang,malah aku ini dibutuhkan selalu ma pawang untuk kesurupan,lagian dijaranan itu aku udah senag banget lo mbak dah bisa mandiri dan bisa punya endang yang selama ini aku mau..”. (Sumber: wawancara pada tanggal 8 Februari 2013).

Pernyataan di atas diperkuat oleh Dimas Ari Surya (15 tahun) yakni:

“….biarpun mamak ku itu ngelarang aku jadi jaranan tapi tetapkan ampe sekarang aku masih jadi anggota jaranan, ya kayak mana mau ngelaranglah aku udah terlanjur jauh ikut jaranan.dari pada aku gak sekolah sama sekali kan lebih parah mbak, aku gak bisa baca tulis. Lagian aku itu lebih senang ama peraturn jaranan dari pada peraturan sekolah yang banyak ini itu. Kalau dijaranan cukup ontime ajah kalau mau latihan ataupun mau tampil. Telatpun pawang gak marah atau aku di hokum gitu, coba kalau di sekolah gak ngerjain pr ekh aku disuruh lari-lari dilapangan..”. (Sumber: wawancara pada tanggal 26 Februari 2013).

Dari hasil wawancara di atas dapat digambarkan bahwa anak-anak lebih mengutamakan kegiatan kuda lumping dan patuh terhadap peraturan yang ada di sanggar kuda lumping Turonggo Madyo Budoyo dibandingkan peraturan orang tuanya atau peraturan sekolah. Hal ini menggambarkan adanya hubungan patron-klien. Dimana pawang disebut dengan patron dan anggota atau anak-anak yang menjadi anggota kuda lumping disebut dengan klien.

Pawang (patron) dan anak-anak (klien) memiliki hubungan yang vertikal yaitu memiliki status yang berbeda. Pawang memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak-anak yang memiliki kedudukan lebih rendah. Anak (klien) akan mematuhi segala perintah yang dibuat pawang untuk sanggar kuda lumping pada saat kapanpun.

Pawang (patron) akan selalu memberikan bantuan sekuat kemampuan kepada anak-anak (klien) baik itu bantuan materi atau non-materi yang dibutuhkan oleh klien. Dengan bantuan yang diberikan pawang (patron) kepada anak-anak (klien) akan membuat anak-anak (klien) menjadi segan untuk melakukan sesuatu yang dapat merusak hubungan antara patron dan klien. Meskipun bantuan yang diberikan pawang tidak hanya dalam bentuk materi, dengan melindungi anak dan memberikan kebebasan bagi anak untuk tetap menjadi anggota kuda lumping dianggap anak sudah sangat berharga.

Hal ini sesuai dengan pernyataan Scoot (1976 dalam Hariadi, 1987:48) dimana teori hubungan patron-client “sekelompok informal yang berkuasa (patron) dan memiliki posisi memberikan rasa aman, pengaruh atau keduanya. Sebagai imbalan, pengikutnya (klien) memberikan loyalitas dan bantuan pribadi kepada patronnya dalam kondisi apa pun, baik patronnya dalam keadaan benar atau salah dan sebaliknya (Scoot, 1976 dalam Hariadi, 1987:48). Imbalan yang diberikan klien bukan imbalan berupa materi melainkan dalam bentuk lainnya. Si patron tidak akan mengharapkan materi atau uang dari klien tapi mengharapkan imbalan lainnya yang dibutuhkan si patron.

Ikatan-ikatan sosial yang khas antara patron dan klien menekankan ide moral, hak-hak, dan kewajiban-kewajiban timbal balik yang memberikan kekuatan sosial kepada ikatan-ikatan itu. Anak-anak (klien) kemudian membalas semua pemberian pawangnya (patron) dengan kesetiannya menjadi anggota kuda lumping, seperti segan untuk keluar dari sanggar atau melanggar paraturan yang ada di sanggar. Anak (klien) merasa memiliki kewajiban untuk membalas budi kepada pawangnya (patron). Dengan membalas budi merupakan salah satu moral bagi hubungan patronase yang terjalin dalam hubungan pawang dan anak-anak pemain yang menjadi anggota kuda lumping.

Rasa persaudaraan juga ditanamkan oleh pawang (patron) kepada anak (klien) bertujuan supaya tercipta keamanan dan kenyamanan bagi anak (klien) sehingga anak (klien) merasa betah dan diperlukan di sanggar kuda lumping Turonggo Madyo Budoyo. Bahkan pawang juga selalu memantau perilaku anak- anak sanggarnya di lingkungan masyarakat.

Hubungan patronase yang terjalin antara pawang dengan anak-anak yang menjadi anggota kuda lumping berbentuk kerja sama. Mereka saling membutuhkan, mereka saling percaya dengan yang lain bahkan mereka telah menganggap saudara. Hal ini sesuai dengan pernyataaan Scoot (dalam Ibrahim, 2003:24) bahwa hubungan patronase merupakan proses kerja sama antar dua orang yang berbeda status dengan ciri-ciri si patron melindungi klien dalam berbagai bentuk transaksi, saling membutuhkan, dan mempercayai kedua belah pihak.

Situasi mengenai anak yang lebih patuh terhadap peraturan sanggar dan lebih banyak meluangkan waktunya untuk kegiatan kuda lumping, ternyata membuat orang tua yang tidak memberikan izin kepada anak untuk menjadi anggota kuda lumping sangat kecewa dan menyesalkan sikap anak tersebut. Orang tua merasa gagal dalam mendidik anaknya, karena orang tua tidak dapat mengarahkan anak untuk dapat menempuh pendidikan yang baik dan menuntun anak untuk belajar sehingga dapat berprestasi di sekolah.

Orang tua hanya mampu menasehati bahwa kesenian kuda lumping tidak akan membawa kehidupan masa depan anak untuk menjadi lebih baik. Namun, anak tetap saja tidak menghiraukan perkataan orang tua dan selalu saja memberikan perlawanan kepada orang tuanya. Ibu Dimah (43 tahun) yakni:

“….malu juga sama tetangga kalau terus-terusan harus berantam terus sama anak ibu sama bapaknya ya mengalah ajahlah, ibu hanya berdo’a saja sama gusti allah agar pikiran anak ibu dapat terbuka dan sadar kalau selama ini perbuatan dia itu udah salah, udah salah dari aturan keluarga dan salah juga telah menentang ajaran agamanya….” (Sumber: wawancara pada tanggal 5 Februari 2013 ).

Hal yang dituturkan oleh Ibu Suratih (36 tahun) :

“…..ibu itu udah capek harus menghukum anak ibu dengan cara apa lagi dari gak ngasih uang jajan, gak nyakapi dia berminggu-minggu sampai bapaknya itu pernah mukul dia pake ikat pinggang tapi tetap saja anak itu gak mempan dan takut sama hukumannya. Ya udah di pikir-pikir gak ada gunanya juga menghukum anak, kalau dianya terus semakin membangkang kan makin gak enak. Ya ibu sekarang tau kenapa anak itu semakin berubah semenjak jadi anggota jaranan ternyata endangnya udah menyatu di jiwa serta pikiran anak, lah kalau udah menyatu gitu berarti separuh hidupnya udah di kuasai setankan.”

(Sumber: wawancara pada tanggal 1 Februari 2013).

Hal ini diperkuat oleh Ibu Sunarti (50 tahun) menuturkan:

“….ibu gak mau bersikap keras lagi sama anak ibu dari pada dia terus ngelawan sama ibu kan kasihan dianya juga jadi semakin berdosa dan durhaka sama orang tuanya. Ya biarkanlah dia itu hidup semaunya gitu, paling-paling kalau udah nyesal dia minta maaf ma kami ini orang tuanya. Lagian kita kan hidup bertetangga dan saling tolong-menolong sesama jadi gak enak juga kalau harus berantam sama pawangnya. Pawangnya kan juga banyak disegani orang, lah kalau berantam ma pawang semuanya warga yang berpihak sama dia juga ikut musuhi kami..” (Sumber: wawancara pada tanggal 22 Februari 2013)

Dari penjelasan di atas dapat digambarkan bahwa orang tua yang anaknya menjadi anggota kuda lumping hanya mampu menerima begitu saja dengan sikap anak yang membantah dan melakukan perlawanan ketika dilarang menjadi anggota kuda lumping. Situasi ini dikarenakan orang tua tidak mampu lagi berbuat apa-apa untuk menuntun anaknya keluar dari kuda lumping. Orang tua menyadari bahwa pikiran anak telah dipengaruhi oleh endang yang menyatu di jiwa dan pikiran anaknya. Itu sebabnya anak selalu membantah dan melanggar peraturan di keluarga.

Orang tua juga tidak dapat menyalahkan pihak sanggar atau pawang terhadap sikap anaknya, karena keinginan anak sendiri untuk menjadi anggota kuda lumping. Selain itu, faktor lingkungan yang sangat menghormati keberadaan pawang di tengah-tengah masyarakat, membuat orang tua untuk tidak menegur pawang agar anaknya di keluarkan dari sanggar kuda lumping. Status pawang yang sangat berarti di lingkungan masyarakat juga melindungi keberadaan pawang dan sanggar kuda lumping Turonggo Madyo Budoyo dari gangguan luar.

Hal di atas menguatkan pernyataan bahwasanya dalam patron klien, hubungan dibangun tidak berdasarkan pemaksaan atau kekerasan. Hubungan ini identik terjadi dalam bentuk hubungan pertemanan atau hubungan yang sama-sama menguntungkan (simbiosis mutualisme). Seperti yang disampaikan oleh Scott (1972) yang mengatakan bahwa hubungan patronase mengandung dua unsur utama yaitu pertama adalah bahwa apa yang diberikan oleh satu pihak adalah sesuatu yang berharga di mata pihak lain, entah pemberian itu berupa barang ataupun jasa, dan bisa berbagai ragam bentuknya.

Hal ini yang membuat orang tua lebih baik mengalah terhadap anak dari pada harus bertentangan dengan masyarakat di lingkungan sekitar. Orang tua menyadari bahwa kita hidup saling membutuhkan antara yang satu dengan yang lain. Jika orang tua memberikan kesan yang buruk terhadap sanggar kuda lumping atau pawang, maka masyarakat di lingkungan sekitar juga akan memberikan kesan yang buruk kepada orang tua bukan kepada pawang. Dengan demikian, jika kita membutuhkan bantuan masyarakat sekitar, tentunya tidak akan menolong karena dari awalnya sudah memiliki kesan yang buruk.

BAB V PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan temuan-temuan data yang diperoleh peneliti di lapangan, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1. Latar belakang keluarga berdasarkan nilai pendidikan orang tua tidak memberikan izin kepada anak untuk menjadi anggota kuda lumping. Orang tua tidak menginginkan hal yang sama terjadi pada anak. Orang tua menginginkan agar anak bisa menempuh pendidikan setinggi- tingginya sehingga dapat menuntun masa depan anak yang lebih baik di bandingkan orang tuanya yang hanya lulusan SR (Sekolah Rakyat), Sekolah Dasar atau Sekolah Menengah Saja. 2. Meskipun profil sosial-ekonomi orang tua yang sudah mapan untuk memenuhi kebutuhan

sehari-hari anak dan keluarga, anak tetap saja menjadi anggota kuda lumping sebagai sarana untuk memiliki komunitas yang dapat menjadikan trance bagi anak.

3. Faktor-faktor anak menjadi anggota kuda lumping sangat bervariasi, namun yang paling utama faktor anak menjadi anggota kuda lumping karena ingin memiliki endang.Endang merupakan istilah dalam kuda lumping untuk memiliki roh halus yang diyakini anggota kuda lumping sebagai penjaga diri, membuat diri menjadi hebat dan bisa memanggil roh halus. Hal ini yang membuat anak mendapatkan status yang berbeda dibandingkan anak-anak yang tidak menjadi anggota kuda lumping. Mereka beranggapan bahwa diri mereka hebat dan dapat ditakuti oleh masyarakat di sekitar.

4. Latar belakang keluarga berdasarkan nilai kultural sangat mendukung anak menjadi anggota kuda lumping. Hal ini bertujuan agar kesenian kuda lumping dapat terus diwarisi sejak dini dan menanamkan nilai budaya tradisional kepada anak untuk dapat mengenal kebudayaan sendiri meskipun zaman yang semakin modern.

5. Pendidikan bagi anak-anak anggota kuda lumping tidak memiliki peranan yang berarti untuk masa depan mereka. Oleh karena itu, anak-anak lebih banyak meluangkan waktu untuk kegiatan kuda lumping dibandingkan kegiatan belajar di sekolah.

6. Di sangar Turonggo Madyo Budoyo anggota yang masih anak-anak tidak hanya dijadikan anggota penari saja tetapi menjadi anggota kuda lumping yang kesurupan saat pertunjukan kuda lumping berlangsung. Menjadi yang kesurupan, anak sudah beranggapan bahwa mereka sudah hebat dan kuat sehingga masyarakat di lingkungan sekitar akan tunduk kepada mereka.

7. Anak-anak yang menjadi anggota kuda lumping lebih banyak mementingkan waktunya untuk kegitan kuda lumping dibandingkan waktu untuk kegiatan sekolah atau mematuhi peraturan di keluarga. Hal ini mengakibatkan adanya konflik yang terjadi antara anak-anak yang tidak diberi izin oleh orang tuanya untuk menjadi anggota kuda lumping dengan orang tua mereka.

8. Orang tua hanya bisa menerima sikap anak yang membantah perintahnya, meskipun terkadang bantahan anak sudah membuat malu keluarga di lingkungan masyarakat. Hal ini dikarenakan orang tua menyadari bahwa diri anak telah dikuasai oleh roh halus sehingga merusak pikiran anak.

9. Orang tua juga tidak dapat dapat menyalahkan sanggar atau pawang atas sikap anak yang berubah menjadi buruk. Karena menjadi anggota kuda lumping merupakan kemauan sendiri dari anak-anak mereka. Selain itu juga, keberadaan pawang yang dihormati oleh masyarakat sekitar memberikan status lebih bagi pawang. Sehingga keberadaan pawang dan sanggar kuda lumping di lindungi oleh masyarakat sekitar dari gangguan luar.

10. Adanya hubungan patron-klien yang tercipta antara pawang dengan anak-anak di dalam sanggar kuda lumping. Dimana anak-anak lebih mematuhi peraturan yang ada di sanggar dibandingkan peraturan yang ada di keluarga, karena anak merasa di dalam sanggar anak lebih dihargai keberadaanya oleh pawang. Sementara pawang memberikan perlindungan bagi anak- anak yang ingin anggota kuda lumping sebagai sarana agar anak-anak tetap menjadi anggota kuda lumping dan memiliki kontribusi yang cukup menguntungkan bagi pawang. Tidak saja dapat melestarikan agar kesenian kuda lumping tersebut tetap bertahan tetapi semakin banyak anak-anak yang menjadi anggota kesurupan akan menghasilkan nilai materi yang cukup menguntungkan bagi pawang dan sanggar.

5.2. Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh selama penelitian, maka peneliti memiliki beberapa saran, yaitu :

1. Hendaknya anak dapat menyeimbangkan waktu untuk belajar kesenian kuda lumping dengan waktu belajar di sekolah, sehingga anak dapat mencapai pendidikan formal yang dapat menuntun kehidupan masa depan mereka yang lebih baik seperti harapan para orang tua mereka.

2. Anak yang lebih patuh terhadap peraturan yang ada di sanggar, maka bagi orang tua seharusnya dapat bekerja sama dengan pawang untuk mengarahkan anak agar dapat berperilaku secara sopan sesuai dengan norma dan nilai yang ada di lingkungan masyarakat. Meminta kepada pawang agar anak-anak dapat menyeimbangi waktu sekolah dengan waktu di kegiatan kuda lumping. Bahkan anak harus lebih fokud di pendidikan dan menjadikan kesenian kuda lumping sebagai hiburan saja.

3. Bagi pawang dalam merekrut anak-anak menjadi anggota kuda lumping wajar saja dilakukan. Akan tetapi anak-anak tersebut tidak diperbolehkan menjadi anggota yang kesurupan, sehingga anak-anak tidak memiliki endang yang dapat menguasai jiwa dan pikiran anak.