• Tidak ada hasil yang ditemukan

Profil Sosial-Ekonomi Orang Tua di Kalangan Anak yang Menjadi Anggota Kuda Lumping

DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN

4.2. Interpretasi Data Penelitian

4.2.1. Profil Sosial-Ekonomi Orang Tua di Kalangan Anak yang Menjadi Anggota Kuda Lumping

Berdasarkan data yang dikutip dari lapangan bahwa sebagian besar orang tua dari anak yang menjadi anggota kuda lumping di sanggar Turonggo Madiyo Budoyo rata-rata memiliki mata pencaharian seperti masyarakat umumnya yaitu bertani sawit dan karet serta memiliki hewan ternak seperti sapi. Bertani sawit ataupun karet menjadi mata pencaharian yang utama bagi orang tua untuk dapat menafkahi keluarga, sedangkan memiliki hewan ternak hanya dijadikan mata pencaharian sampingan serta tabungan untuk keperluan anak yang sewaktu-waktu dibutuhkan.

Hasil dari bertani sawit ataupun karet tergantung dari luas tanah yang dimiliki masing-masing orang tua anak yang menjadi anggota kuda lumping. Ada orang tua yang mampu menghasilkan mata pencaharian

tiap bulan sekitar Rp. 2.000.000,- - Rp. 4.000.000,- dari hasil sawit serta dari hasil karet menghasilkan tiap bulan sekitar Rp. 1.000.000,- - Rp. 2.000.000,-. Dengan hasil mata pencaharian yang dimiliki oleh orang tua, orang tua juga memberikan hasil mata pencaharian tersebut kepada anak untuk memenuhi segala kebutuhannya. Baik itu kebutuhan di dalam rumah, di lingkungan sekolah dan di lingkungan masyarakat sekitar.

Tabel 4.4: Kepemilikan Tanah Orang Tua NO Nama Usia Luas Tanah/Jenis Tanaman

1 Dimah 43 Tahun 3 Ha/Sawit dan 2 Ha/Karet 2 Suratih 36 Tahun 1 Ha/Sawit dan ½ Ha/Karet 3 Ramlan 60 Tahun 1, ½ Ha/Sawit dan 1 Ha/Karet 4 Su’alman 60 Tahun 2, ½ Ha/Sawit

5 Poka 40 Tahun 1 Ha/Sawit dan 1, ½ Ha/Karet Sumber: Wawancara Penelitian

Dengan hasil perekonomian yang dimiliki orang tua, anak tetap saja tidak menghiraukan larangan orang tuanya untuk tidak menjadi anggota kuda lumping. Ibu Dimah (43 Tahun) menuturkan:

“ ya ibu ma bapak inikan memenuhi kebutuhan hidup dengan bertani sawit dan karet. Adekkan tau sendiri semua orang-orang di sini ngasih makan anak-anaknya dengan hasil panen sawitkan. Kami punya ladang sawit tu 3 hektar kalau karetnya 2 hektar gitu, ya adek kalikan sendiri berapa hasil yang diperolehnya, adek kan tau, wong adek orang sini. Tapi biarpun kami ini sudah memenuhi kebutuhan anak, kok masih di anggap kuranglah buat anak ibu itu. Malah ikut jaranan, padahal hasilnya gak seberapa lo”. (Sumber: wawancara pada tanggal 5 Februari 2013 ).”

Hal ini diperkuat oleh penuturan Yadi (18 tahun) yakni:

“ memang sih orang tua ku itu slalu ngasih apa yang aku ma mbak, tapi biarpun gitu kan aku pengen punya uang sendiri, kerja tempat orang gak di kasih ya udah aku ikut jaranan ajah mbak, kalau dijaranankan bisa sekalian jadi pemain terus dapat uang, orang tua pun gak bisa ngelarang, mau ngelarangpun kayak mana aku kan udah masuk duluan tanpa izin dulu.beda loh mbak uang yang di kasih orang tua dengan uang yang di dapat dengan usaha sendiri, lebih enak uang yang di dapat sendiri, mau di

habiskanpun semuanya gak ada yang marah. Lagian jadi anggota jaranan itu b isa terkenal lo mbak,siapa yang gak tau jaranan turongo ini,semua orang tau, ya kalu aku ikut jaranan pasti orang pada kenal aku”

(Sumber: wawancara pada tanggal 8 Februari 2013).

Dari data di atas terlihat bahwa perekonomian orang tua yang sudah mapan, ternyata tidak memiliki pengaruh untuk melarang anak menjadi anggota kuda lumping. Bagi anak, menjadi anggota kuda lumping memberikan trance bagi dirinya sehingga anak mudah dikenal oleh masyarakat. Selain itu untuk mencari kebutuhan yang dihasilkan sendiri, anak ikut manjadi anggota kuda lumping dengan tujuan memperoleh uang dan bisa menjadikan kepuasan tersendiri bagi anak. Uang yang diperoleh dari hasil pertunjukan kuda lumping tersebut, membuat anak merasa bangga karena dapat menghasilkan uang dari hasil pekerjaannya.

Sebagian uang yang diperoleh dari hasil pertunjukan kuda lumping ditabung oleh anak. Hal ini bertujuan jika suatu waktu orang tua tidak memberikan uang jajan atau uang yang dibutuhkan anak untuk keperluan tertentu, anak bisa menggunakan uang yang ditabungnya tersebut. Ciplek (11 tahun) menuturkan:

“ kalau saya sudah tampil dan terkadang bapak itu gak sengaja melihat, ya habis tampil jaranan saya pulang ke rumah pasti dimarahi bapak, makanya kalau habis tampil saya jarang pulang ke rumah, malas selalu ribut sama bapak. Udah gitu nanti dihukum lah saya ini ma bapak. Ya hukumannya saya gak dikasih uang jajan kalau gak dikurangi gitu uang jajanya, ya gak apa-apalah mbak. Toh saya juga masih punya sisa uang dari tampil jaranan, jadi gak begitu takutlah untuk kekurangan uang jajan. Apalagi uang yang dikasih pawang kalau habis main jaranan itu sekali tampil saya di kasih Rp. 30.000,- ,kadang kalau yang nyelenggarakan bayar mahal saya di kasih Rp.50.000,-. Kan itu sudah banyak sih mbak, apalagi kalau dalam 1 minggu itu kelompok jaranan kami bisa 2 kali tampil pasti saya punya uang lebih kan mbak.” (Sumber: wawancara pada tanggal 10 Februari 2013)

Seperti yang diungkapkan informan di atas dapat digambarkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara perekonomian orang tua dengan alasan anak menjadi angota kuda lumping. Perekonomian keluarga yang sudah mapan tidak membuat anak untuk mengurungkan niatnya menjadi anggota kuda lumping. Adapun alasan anak yang tetap menjadi anggota anggota kuda lumping meskipun perekonomianya orang tua mereka sudah mapan, dikarenakan anak ingin membangun komunitas yang ada di sanggar kuda lumping Turonggo Madyo Budoyo. Dengan komunitas yang telah terbentuk, anak merasa

memiliki ketenaran di masyarakat karena telah menjadi anggota kuda lumping. Sehingga anak memiliki kepuasan tersendiri bagi dirinya yang tidak didapat dari keluarganya.

Selain itu, latar belakang keluarga berdasarkan kualitas pendidikanya juga memiliki sikap tidak memberikan izin kepada anaknya untuk menjadi anggota kuda lumping.

Tabel 4.5: Pendidikan Orang Tua dan Cara pandang Orang Tua Terhadap Kuda Lumping

No Nama Pendidikan Terakhir

Pandangan Mengenai Kuda Lumping 1 Suratih Sekolah Dasar Merusak masa depan anak,

karena anak jadi malas belajar dan sekolah.

2 Su’alman Sekolah Rakyat Kekuatan supranatural atau endang yang dimiliki anak dapat menguasai pikiran anak

3 Bejo Sekolah Menengah Pertama

Seharusnya anak-anak hanya dijadikan penari pembuka saja jangan yang jadi kesurupan,biar anak itu bisa sama-sama patuh dengan peraturan sanggar dan peraturan di keluarga. 4 Kariman Sekolah Rakyat kesenian kuda lumping

yang sekarang lebih banyak mengandung unsur uangnya

5 Paenem Sekolah Menengah Pertama

Tidak menecerminkan nilai yang menghormati peninggalan para leluhur. Sumber: Wawancara Penelitian

Ibu Suratih (36 tahun) mengatakan:

“…. Biarpun Ibu ini berasal dari suku Jawa, ibu tetap tidak mendukung anak ibu menjadi anggota jaranan. bukan ibu tidak mau melestarikan kesenian jawa, toh kesenian jawa sekarang ini lebih banyak main-mainnya. Apalagi ibu tidak mau anak ibu itu seperti ibu yang hanya tamatan Sekolah Dasar ajah, ibu kan kepengen anak ibu itu lebih baik dari ibu, kalau bisa sekolahnya ampe kuliah. Bisa punya kerjaan yang lebih baik dari bapaknya juga, dan bisa membanggakan keluarga dengan prestasi belajarnya. Tapi

belum juga dewasa, waktu belajar anak ibu saja sudah diganggu dengan jaranan, anak ibu jadi malas sekolah loh dek, malas belajar, kayak gitu bagaimana anak ibu bisa maju, apalagi sekarang dunia itu

semakin keras, kadang juga tamatan S1 pun bisa jadi pengangguran kan.” (Sumber: wawancara pada

tanggal 1 Februari 2013).

Hal ini dipertegas oleh pernyataan Bapak Su’alman (60 tahun) yakni:

“ biarpun kita ini tinggal di desa tapi kita juga harus punya pemikiran yang maju biar gak di bodoh-bodohin orang. Bapak sangat miris melihat anak sekarang ini, disuruh belajar banyak kali alasannya,yang capeklah yang ngantuklah ada saja jawabanya. Bapak itu maunya anak bisa sekolah yang benar yang serius jangan maen-maen kayak sekarang ini, maunya maen saja gak mikirin masa depan kayak mana. Udah bapaknya gak bisa baca tulis masa iya anaknya mau sengsara juga gak bisa baca tulis.

Nanti mau jadi orang yang sukses dan benar gak punya ijazah kayak mana, baru nyesal.” (Sumber:

wawancara pada tanggal 14 Februari 2013 )

Dari data di atas, terlihat jelas bahwa semakin tinggi tingkat rasionalitas keluarga terhadap pendidikan anak, maka semakin rendahnya izin yang diberikan keluarga terhadap anak untuk menjadi anggota kuda lumping. Sebaliknya semakin rendahnya kepedulian keluarga terhadap pendidikan dan perkembangan anak, dapat menjadikan anak tidak berpikir secara baik untuk menyeleksi perbuatan yang baik atau buruk untuk dilakukan dalam proses interaksi. Keluarga tidak menginginkan hal yang sama terjadi pada anaknya, keluarga berusaha memberikan yang terbaik untuk masa depan anaknya.

Hal ini sudah sangat berbeda dengan orang-orang tua terdahulu yang mendukung kuda lumping, di mana mereka berpandangan dengan menjadi anggota kuda lumping mereka dapat lebih terlindungi dari marabahaya. Budiono (1984: 127) menjelaskan, bahwa perkembangan ilmu pengetahuan teknologi modern berpengaruh terhadap pandangan hidup orang Jawa dalam melanjutkan tradisi nenek moyangnya. Penghayatan akan makna simbolis tradisional dan religius sudah berubah, sekarang lebih rasional dan daya simboliknya sudah berubah makna.

Perkembangan ilmu pengetahuan tersebut membuat para orang tua ingin anaknya dapat sekolah lebih maju. Ada kekhawatiran dengan berhubungan dengan makhluk halus dapat mengganggu pikiran

anaknya. Hal ini sudah sangat berbeda dengan orang-orang tua terdahulu yang mendukung kuda lumping, di mana mereka berpandangan dengan menjadi anggota kuda lumping mereka dapat lebih terlindungi dari marabahaya

Selain itu, sebagian besar keluarga tidak memberikan izin kepada anak untuk menjadi anggota kuda lumping karena anak yang menjadi anggota kuda lumping sekarang ini sudah dijadikan sebagai anggota yang kesurupan sehingga mengganggu pola pikir anak, waktu belajar anak, dan anak-anak lebih banyak meluangkan waktunya untuk kesenian kuda lumping.