• Tidak ada hasil yang ditemukan

Masyarakat menggantungkan kebutuhan protein hewani maupun kebutuhan lain yang berhubungan dengan pemanfaatan satwa liar kepada hutan di sekitarnya. Kegiatan berburu telah menjadi kegiatan penting bagi Suku Dayak Kenyah di Desa Long Alango. Seperti yang disampaikan oleh Kepala Adat Besar Bahau Hulu bahwa tanpa hutan orang Dayak itu mati. Hal ini menggambarkan besarnya ketergantungan masyarakat Dayak kepada hutan.

Seiring berjalannya waktu maka banyak perubahan terjadi dalam kehidupan masyarakat Dayak di desa ini. Berdasarkan penjelasan dari Kepala Adat Besar Bahau Hulu, masuknya agama sejak tahun 1957 memberi perubahan signifikan terhadap kebiasaan masyarakat. Sebelum masuknya agama, kepercayaan yang umum digunakan oleh masyarakat adalah animisme dan dinamisme. Masyarakat masih sangat mempercayai berbagai mitos-mitos yang diwariskan oleh nenek moyang, misalnya jika akan pergi berburu namun saat keluar rumah melihat burung pijantung kecil (Arachnothera longirostra) atau dalam bahasa Dayak Kenyah disebu dengan burung Isit, terbang ke arah kiri maka sebaiknya tidak melanjutkan berburu karena akan mendapat ketidakberuntungan saat berburu. Jika dilihat lebih jauh, sebenarnya adanya mitos seperti ini dapat dikatakan cukup baik. Mitos ini dapat diposisikan menjadi waktu terlarang untuk berburu. Akan tetapi masuknya agama membuat masyarakat sudah tidak lagi mempercayai mitos seperti ini sehingga masyarakat pergi berburu kapan saja dan tidak ada larangan waktu berburu. Agama tersebut menghapuskan kepercayaan masyarakat terhadap mitos yang dulunya menjadi pengendali kegiatan perburuan tetapi tidak menggantinya dengan pemahaman lain sehingga kontrol tersebut melemah.

Mitos-mitos yang lebih cenderung kepada larangan seperti ini dapat menjadi kontrol kegiatan perburuan sehingga kegiatan perburuan dapat sedikit ditekan. Selain mitos tersebut terdapat mitos lain yang sampai sekarang masih dipegang oleh masyarakat yaitu larangan membunuh beberapa satwa tertentu yang dianggap sebagai jelmaan nenek moyang yaitu buaya (Crocodylus porosus) dan ular kobra (Ophiophagus hannah). Mitos ini dapat menjadi upaya perlindungan

bagi satwa tersebut sehingga terhindar dari ancaman kepunahan. Meskipun demikian belum ada data pasti mengenai populasi satwa-satwa ini.

Teknologi yang semakin berkembang mempermudah berbagai kegiatan keseharian masyarakat, salah satunya adalah senapan yang dimanfaatkan untuk berburu. Pemanfaatan senapan untuk berburu membuat semakin banyak masyarakat yang dapat pergi berburu. Masyarakat yang belum bisa menggunakan senapan akan belajar menggunakan senapan dari orang-orang di sekitarnya. Setelah bisa menggunakannya, berbekal pengalaman berburu secara tradisional selama ini maka mereka dapat berburu dengan lebih mudah. Mereka tidak perlu lagi mencari racun untuk sumpit maupun tombak. Selain itu mereka juga tidak perlu khawatir tidak bisa pergi berburu apabila anjing peliharaan mereka sakit atau mati.

Berdasarkan penuturan responden bahwa dulu mereka tidak perlu berjalan jauh ke dalam hutan untuk memperoleh satwa buruan. Selain itu satwa liar sejenis primata akan mudah ditemui di tepi sungai. Akan tetapi sekarang sudah mulai ada perubahan untuk memperoleh satwa buruan. Saat ini masyarakat harus berjalan lebih jauh ke dalam hutan untuk memperoleh satwa buruan. Primata yang sering dijumpai di pinggir sungai pun sekarang sudah mulai jarang dijumpai. Perubahan ini masih sebatas asumsi dan belum bisa dipastikan penyebabnya karena belum ada penelitian lebih lanjut mengenai perubahan perilaku primata ini maupun jarak tempuh yang jauh ke dalam hutan jika ingin berburu. Perubahan teknik berburu menggunakan senapan juga belum bisa dipastikan menjadi penyebab hal ini.

Meskipun perubahan tersebut mulai terjadi, dari penjelasan informan kunci sendiri menyatakan tidak adanya kekhawatiran akan kepunahan satwa liar tersebut. Sampai saat ini belum ada data pasti mengenai populasi satwa-satwa penting ini sehingga belum bisa dipastikan secara angka untuk penurunan jumlah satwa liar di dalam kawasan konservasi ini.

Sampai saat ini masyarakat memandang bahwa satwa liar di dalam hutan merupakan suatu sumberdaya yang tidak terbatas dan akan selalu bisa mereka manfaatkan. Seperti yang disampaikan kepala adat besar bahwa mereka tidak khawatir akan habisnya satwa liar di dalam hutan sebagai sumber pangan mereka. Pandangan ini dikuatkan dengan peraturan atau kesepakatan adat mengenai

perburuan satwa liar. Beberapa peraturan atau kesapakatan adat yang cenderung pada larangan telah menjadi batasan bagi kegiatan perburuan. Sebagai contoh masyarakat hanya boleh berburu sesuai kebutuhan atau tidak boleh berburu melebihi kebutuhannya. Hal ini dapat dilihat sebagai suatu bentuk pembatasan jumlah satwa buruan dengan tujuan utama pemanfaatan jangka panjang. Larangan untuk membunuh satwa liar yang masih anakan juga merupakan suat bentuk usaha konservasi jangka panjang.

Taman Nasional Kayan Mentarang dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 1214/Kpts-II/2002 tentang Penetapan Taman Nasional Kayan Mentarang dikelola secara kolaboratif mengaharuskan TNKM untuk mengelola secara bersama-sama kawasan ini termasuk dalam pengambilan keputusan, dengan berbagai pihak agar kepentingan masyarakat yang telah lebih dulu berada di lokasi tersebut, tetap terakomodir dengan baik. Seperti yang tercantum pada dokumen konsep Rencana Strategis TNKM 2010-2013, salah satu bentuk pengelolaan kolaboratif adalah penetapan zonasi di kawasan TNKM berdasarkan rekomendasi masyarakat adat tersebut dengan mensinergiskan dengan aturan yang ada berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional. Berdasarkan hasil kesepakatan zonasi antara FoMMA dengan Kemenhut (Ditjen PHKA), Balai TNKM dan DP3K dalam dokumen tersebut, TNKM dibagi menjadi Zona Inti (Publik), Zona Rimba (Adat), Zona Pemanfaatan (Adat), Zona Tradisional (Adat) dan Zona khusus (Multi stakeholders).

Zona pemanfaatan (adat) merupakan zona yang letak, kondisi dan potensi alamnya, masih terjaga dan dimanfaatkan untuk kepentingan jasa lingkungan, dikelola oleh BTNKM dan masyarakat adat. Dalam zona ini aktivitas relatif terbatas, seperti penelitian, trekking ekowisata, sumber daya alam oleh masyarakat setempat (terbatas), bioprospecting, PES, dan berburu (terbatas). Zona tradisional (adat) merupakan zona yang ditetapkan untuk kepentingan pengelolaan dan pemanfaatan oleh masyarakat adat yang karena kesejarahan telah mengelola kawasan tersebut serta masih mempunyai ketergantungan dengan sumber daya alam, dikelola oleh BTNKM dan masyarakat adat. Aktivitas yang diizinkan di dalam zona ini antara lain penelitian, pengembangan, dan pendidikan; ekowisata;

pemanfaatan dan usaha sumber daya alam oleh masyarakat lokal; bahan bangunan dan transportasi oleh masyarakat lokal; budidaya dan pembinaan habitat; serta berburu.

Berdasarkan kesepakatan tersebut, maka kegiatan berburu masyarakat di akomodir dalam zona tradisional TNKM. Daerah Sungai Enggeng dan Sungai Pande merupakan daerah yang masuk ke dalam zona tersebut. Tidak hanya sungainya saja namun hutan di sekitar sungai-sungai tersebut, yang biasa digunakan masyarakat untuk berburu, juga masuk ke dalam zona tradisional. Selain wilayah tersebut, lokasi hutan dan sungai lain yang bisa digunakan untuk berburu tidak masuk ke dalam kawasan dan hanya berada di sekitar desa. Lokasi lain yang digunakan berburu oleh masyarakat adalah di sekitar jekkau. Lokasi

jekkau ini biasanya berada di pinggir sungai.

Berdasarkan penjelasan dari pihak BTNKM, saat ini jekkau tidak masuk ke dalam kawasan TNKM, namun sedang diwacanakan untuk masuk ke dalam kawasan TNKM yaitu masuk dalam zona khusus. Hal ini berdasarkan pertemuan Dewan Pembina dan Pengendalai Pengelolaan Kolaboratif (DP3K) pada awal 2011, yang mendefininisikan bahwa zona khusus merupakan zona yang telah terjadi pemanfaatan sumberdaya atau telah didiami sejak sebelum ditetapkan sebagai taman nasional. Sampai saat ini dari pihak BTNKM sendiri juga telah melakukan sosialisasi kepada masyarakat bahwa kegiatan berburu untuk kebutuhan pangan masyarakat diakomodir di dalam zona tradisional. Pihak BTNKM menyampaikan bahwa luasan zona tradisional sendiri yang relatif luas, tidak menimbulkan kekhawatiran bagi masyarakat bahwa mereka akan berburu melewati zona tersebut. Keterbatasan masyarakat untuk berjalan ke dalam hutan dan aktivitas bertani serta berladang menjadi pertimbangan dalam hal ini. Masyarakat akan mempertimbangkan kemampuan diri dan waktunya jika terlampau jauh masuk ke dalam hutan saat berburu sehingga dari pihak pengelola tidak terlalu mengkhawatirkan bahwa masyarakat akan berburu melewati zona ini.

6.1 Kesimpulan

1. Kearifan lokal dalam berburu masyarakat lokal Suku Dayak Kenyah antara lain : larangan membunuh satwa liar di dalam hutan tanpa tujuan yang jelas, larangan berburu di daerah asal babi akan bermigrasi, pemilihan satwa buruan dan pemanfaatan beberapa gejala alam untuk berburu satwa liar.

2. Motivasi utama kegiatan berburu masyarakat Dayak Kenyah adalah sebagai pemenuhan kebutuhan pangan (protein).

3. Teknik perburuan telah mengalami perubahan sejak tahun 1980-an dari teknik tradisional yaitu menggunakan anjing, tombak, sumpit, menjadi teknik modern yaitu menggunakan senapan. Masyarakat Dayak Kenyah menganggap penggunaan senapan lebih memudahkan kegiatan perburuan dan tidak ada larangan dari peraturan adat.

4. Pemanfaatan satwa buruan adalah untuk konsumsi individu atau rumah tangga maupun konsumsi untuk kepentingan masyarakat (nyamat). Konsumsi individu dapat diperoleh dari berburu secara langsung maupun membeli dari hasil buruan orang lain.

5. Pemanfaatan lain satwa hasil buruan antara lain pemanfaatan sebagai obat (16 jenis), hiasan, upacara adat, kerajinan tangan (8 jenis) dan pemanfaatan bahan makanan lain (3 jenis).

6.2 Saran

1. Setelah adanya penelitian ini diharapkan diadakan kegiatan inventarisasi satwa liar khususnya satwa buruan serta monitoring populasi satwa buruan berdasarkan skala perburuan yang dilakukan oleh masyarakat di sekitar Taman Nasional Kayan Mentarang. Kegiatan ini penting karena hasilnya dapat mengetahui populasi riil satwa buruan sehingga dapat diambil upaya perlindungan yang tepat.

2. Perlu adanya kesepakatan lebih lanjut antara wilayah adat di dalam taman nasional dengan Balai Taman Nasional Kayan Mentarang mengenai lokasi yang diizinkan untuk berburu.

Affandi O. 2002. Tinjauan antropologi pelibatan masyarakat lokal dalam pembangunan kehutanan. Medan : USU Digital Library

Aliadi A. 2002. Pengetahuan lokal untuk konservasi sumberdaya hutan. Makalah Seminar Nasional Pengembangan Teknologi dan Budaya Lokal Sebagai Basis Pembangunan dan Berkelanjutan, dalam rangka Dies Natalis Ke-39 Institut Pertanian Bogor. Bogor 24 September.

Bungin B. editor 2006. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada.

Damanik SE. 2010. Perspektif pelibatan masyarakat lokal dalam sosial dan pembangunan kehutanan di Indonesia. Jurnal Habonaron do Bona (1).

[Dephut] Departemen Kehutanan. 2011. http://www.dephut.go.id/ halaman/pranalogi_kehutanan/definisi.pdf 2011 [8 Juni 2011]

Devung GS. 1998. Adat dan Kelestarian Alam di Daerah Sungai Bahau Kawasan Taman Nasional Kayan Mentarang. Samarinda : Pusat Kebudayaan dan Alam Kalimantan WWF/IP Kayan Mentarang.

Eghenter C, Sellato B. 1999. Kebudayaan dan Pelestarian Alam : Penelitian Interdisipliner di Pedalaman Kalimantan. Jakarta : WWF Indonesia.

Hansen SA, VanFleet JW. 2003. Traditional Knowledge and Intellectual Property: A Handbook on Issues and Options for Traditional Knowledge Holders in Protecting their Intellectual Property and Maintaining Biological Diversity. New York : American Association for the Advancement of Science.

Henriksen JB. 2008. Key Principles in Implementing ILO Convention No. 169

Hladik CM, Hladik A, Linares OF, Pagezy H, Semple A, Hadley M. 1993.

Tropical Forest, People and Food : Biocultural Interaction and Application to Development. Paris : The Parthenon Publishing Group.

Ihromi T.O.1999. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Keraf AS. 2002. Etika Lingkungan. Jakarta : Penerbit Buku Kompas

Koentjaraningrat. 2002. Penagantar Ilmu Antropologi. Jakarta : PT Rineksa Cipta.

Mitchell B, Setiawan B, Rahmi DH. 2000. Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Moran EF. 1982. Human Adaptability : An Introduction to Ecological Antropology. Colorado : Westview Press.

Nasution S. 2007. Metode Research (Penelitian Ilmiah). Jakarta : PT Bumi Aksara.

Ngindra F. 1999. Pemenuhan kebutuhan pangan pada mayarakat Suku Kenyah Bakung di Desa Long Aran. dalam : Eghenter C, Sellato B. Kebudayaan dan Pelestarian Alam Penelitian Interdisipliner di Pedalaman Kalimantan. Jakarta: WWF Indonesia.

Nieuwenhuis AW. 1994. Di Pedalaman Borneo Perjalanan dari Pontianak ke Samarinda 1894. Jakarta : Gramedia

Pattiselanno F, Mentansan G. 2010. Kearifan tradisional suku maybrat dalam perburuan satwa sebagai penunjang pelestarian satwa. Makara, Sosial Humaniora (2) 14 : 75-82.

Puri RK. 1999. Teknik-teknik perburuan pada masyarakat Penan dan Kenyah di kawasan Sungai Lurah. Di dalam : Eghenter C, Sellato B. Kebudayaan dan Pelestarian Alam Penelitian Interdisipliner di Pedalaman Kalimantan. Jakarta: WWF Indonesia.

Sanderson SK. 2010. Makrososiologi : Sebuah Pendekatan terhadap Realitas Sosial. Jakarta : Raja Grafindo.

Sartini. 2004. Menggali kearifan lokal nusantara sebuah kajian filsafat. Jurnal Filsafat (2) 37.

Siregar L. 2002. Antropologi dan konsep kebudayaan. Jurnal Antropologi Papua

(1) 1.

Sirait E. 2005. Pengelolaan sumber daya berbasis kemasyarakatan dan kearifan lokal: kasus pengelolaan cendana di Kabupaten Timor Tengah Selatan Provinsi Nusa Tenggara Timur [disertasi]. Bogor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Soendjoto MA, Wahyu, editor. 2007. Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Pemberdayaan Masyarakat dalam Perspektif Budaya dan Kearifan Lokal. Banjarmasin : Universitas Lambung Mangkurat Press.

Soekanto S. 1982. Sosiologi Sebagai Pengantar. Jakarta : Rajawali.

Suhartini. 2009. Kajian kearifan lokal masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta.

Yogyakarta 16 Mei. Yogyakarta : Universitas Negeri Yogyakarta. hlm B-206 – B218.

Sutedja IGNN. 2005. Kayan Mentarang National Parks In The Heart of Borneo. Di dalam : Topp L, Eghenter C, editor. Jakarta: WWF

Syafaat R. 2008. Kearifan lokal ada masyarakat adat di Indonesia. Publica (IV) 1 : 8-15

Tim Penyusun. 2002a. Rencana Pengelolaan Taman Nasional Kayan Mentarang 2001-2025 Buku I, Rencana Pengelolaan. Tarakan: Departemen Kehutanan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam.

Tim Penyusun. 2002b. Rencana Pengelolaan Taman Nasional Kayan Mentarang 2001-2025 Buku II Data, Proyeksi dan Analisis. Tarakan: Departemen Kehutanan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam.

Wollenberg E, Uluk A, Sudana M. 2001. Ketergantungan Masyarakat Dayak Terhadap Hutan di Sekitar Taman Nasional Kayan Mentarang. Bogor : CIFOR.

World Bank. 1991. The world bank operational manual : operational directive indigenous people.

68

Kerajinan Tangan Mamalia

1 Beruang madu (Helarctos malayanus) Ursidaes

2 Binturong (Arctictis binturong) Viverridae

3 Landak raya (Hystrix brachyura) Hystricidae

4 Landak butun (Hystrix crassispinis) Hystricidae

5 Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) Cercopithecidae

6 Babi berjenggot (Sus barbatus) Suidae

7 Beruk (Macaca nemestrina) Cercopithecidae

8 Musang pisang (Mustela nudipes) Mustelidae

9 Pelanduk Kancil (Tragulus javanicus) Tragulidae

10 Rusa sambar (Cervus unicolor) Cervidae

11 Kijang (Muntiacus muntjak) Cervidae

12 Rindil bulan (Echinosorex gymnurus) Erinaceidae

13 Macan dahan (Neofelis nebulosa) Felidae

14 Banteng (Bos javanicus) Bovidae

Aves

15 Rangkong gading (Rhinoplax vigil) Bucerotidae

16 Bubut teragop (Centropus rectunguis) Cuculidae

17 Rangkong Badak (Buceros rhinoceros) Bucerotidae

18 Kuau raja (Argusianus argus) Phasianidae Reptil dan Amfibi

19 Biawak (Varanus salvator) Varanidae

69

IUCN PP NO. 7 TAHUN 1999 Mamalia

1 Beruang madu (Helarctos malayanus) Ursidaes VU

2 Binturong (Arctictis binturong) Viverridae VU

3 Landak raya (Hystrix brachyura) Hystricidae LC

4 Landak butun (Hystrix crassispinis) Hystricidae LC - 5 Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) Cercopithecidae LC - 6 Babi berjenggot (Sus barbatus) Suidae VU - 7 Beruk (Macaca nemestrina) Cercopithecidae VU - 8 Musang pisang (Mustela nudipes) Mustelidae LC - 9 Pelanduk Kancil (Tragulus javanicus) Tragulidae DD

10 Rusa sambar (Cervus unicolor) Cervidae VU

11 Kijang (Muntiacus muntjak) Cervidae LC

12 Rindil bulan (Echinosorex gymnurus) Erinaceidae - - 13 Macan dahan (Neofelis nebulosa) Felidae VU

14 Banteng (Bos javanicus) Bovidae EN -

Aves

15 Rangkong gading (Rhinoplax vigil) Bucerotidae NT 16 Rangkong Badak (Buceros rhinoceros) Bucerotidae NT 17 Bubut teragop (Centropus rectunguis) Cuculidae VU 18 Kuau raja (Argusianus argus) Phasianidae NT

Reptil dan Amfibi

19 Biawak (Varanus salvator) Varanidae LC 20 Ular sawah (Python reticulatus) Pythonidae -

Dokumen terkait