• Tidak ada hasil yang ditemukan

5.1 Perburuan Satwa Liar oleh Suku Dayak Kenyah .1 Motivasi Berburu

5.1.3 Kegiatan Berburu

5.1.3.4 Teknik berburu

Berdasarkan hasil wawancara, teknik berburu yang digunakan oleh masyarakat suku Dayak Kenyah dibedakan menjadi dua yaitu tradisional dan moderen. Berburu secara tradisional dilakukan masyarakat dengan menggunakan anjing, tombak, sumpit, membuat jebakan, penyamaran serta memanggil satwa.

Sementara itu berburu secara modern dilakukan masyarakat dengan menggunakan senapan. Pada dasarnya dalam melakukan kegiatan berburu, masyarakat tidak hanya menggunakan satu teknik akan tetapi memadukan beberapa teknik berburu dalam satu waktu. Sesuai pernyataan Puri (1999) bahwa setiap berburu merupakan suatu kombinasi unik dari berbagai keterampilan dan teknik dengan fungsi-fungsi mencari, mengejar dan membunuh.

Berburu secara tradisional menggunakan anjing merupakan teknik yang masih sering digunakan sampai sekarang meskipun penggunaan senjata sudah mulai dominan pada masyarakat Dayak Kenyah. Berburu menggunakan anjing ini pada dasarnya anjing yang melakukan kegiatan perburuan dengan mengejar satwa. Saat mendeteksi keberadaan satwa liar, anjing akan segera mengejar dan membunuh satwa dengan menggigit satwa tersebut. Jika satwa tersebut tidak terlalu besar maka biasanya anjing akan membawa satwa buruan tersebut kepada pemburu. Namun jika satwa buruan relatif besar maka saat anjing mengejar satwa, pemburu akan mengikuti arah lari anjing. Jika satwa buruan telah mati kemudian pemburu akan datang ke lokasi tersebut. Teknik menggunakan anjing ini kadang dipadukan dengan penggunaan tombak atau dalam bahasa lokal disebut

bujak. Saat anjing telah berhasil melumpuhkan satwa buruan, pemburu akan membunuh satwa tersebut menggunakan tombak. Dapat dikatakan berburu dengan teknik ini tidak membutuhkan tenaga yang besar untuk pemburu karena anjinglah yang memburu satwa dan pemburu menunggu hingga anjingnya berhasil melumpuhkan satwa buruan atau bahkan membunuh satwa tersebut.

Ketika melakukan kegiatan berburu menggunakan anjing terdapat beberapa pantangan. Pantangan tersebut antara lain menghindari menangkap atau mendapat macan dahan, beruang madu, banteng, ular sawah dengan anjing yang biasa dibawa berburu. Menurut penuturan responden yang menggunakan anjing untuk berburu, hal ini menyebabkan anjing tidak akan bisa berburu dengan baik atau dapat dikatakan kemampuan berburunya berkurang bahkan hilang. Hal ini akan berlangsung sekitar satu minggu. Makanan anjing yang dibawa berburu tidak boleh dicampur dengan bekkai karena akan mengurangi kemampuan anjing ini untuk berburu. Selain itu dilarang memukul anjing dengan semang merah karena akan mengurangi kemampuan anjing untuk berburu. Saat berburu menggunakan

anjing, pemburu juga dilarang mengambil rotan sega (Calamus caesius). Jika pemburu ingin mengambil rotan sega maka sebaiknya tidak berburu dan begitu pula sebaliknya.

Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa penggunaan tombak sebagai teknik berburu merupakan pelengkap saat berburu menggunakan anjing. Namun saat tidak membawa anjing, tombak menjadi senjata utama saat berburu (Gambar 9). Pada beberapa tombak kadang dilengkapi dengan sumpit (Gambar 10). Dengan penggabungan dua alat berburu seperti ini maka kegiatan berburu menjadi lebih efektif karena dengan membawa satu alat tetapi memiliki dua fungsi. Bahan pembuat tombak biasanya dari pohon tema’ (Memecylon garcindes), lapang, dan kayu ulas.

(a) (b)

(a) (b)

Gambar 10 (a) Ujung tombak dilengkapi sumpit (b) pangkal sumpit.

Teknik lain yang digunakan dalam berburu adalah menggunakan sumpit (Gambar 11). Alat ini digunakan dengan cara meniup pangkal sumpit dengan anak sumpit di ujungnya. Penggunaan tombak dan sumpit ini juga dilengkapi dengan penggunaan racun dalam pemakaiannya. Penggunaan racun ini dengan tujuan agar satwa buruan cepat mati.

Penggunaan sumpit sudah mulai jarang belakangan ini karena masyarakat enggan untuk mencari bahan racun. Bahan pembuat racun ini adalah dari getah pohon Salu’ (Antiaris toxicaria), seperti pada Gambar 12. Getah ini diperoleh

dengan cara menyayat pohon Salu’ hingga keluar getahnya. Getah ini ditampung ke dalam bambu. Selanjutnya getah yang telah terkumpul dibungkus dengan daun

Sang (Licuala valida) dan bungkusan ini digantung di atas perapian memasak. Untuk cara memasak atau membuat racun adalah getah yang telah kering dikerok secukupunya sesuai kebutuhan kemudian diencerkan kembali dengan air hingga kering. Racun sumpit tidak boleh terkena garam, bawang, dan penyedap rasa saat memasaknya. Saat digunakan racun tersebut juga tidak boleh terkena pada ular sawah karena racun tersebut akan tawar atau tidak berfungsi. Beberapa orang memiliki cara memasak yang berbeda yaitu dengan menambahkan perasan air tembakau ataupun menambahkan air accu. Kemampuan atau kecepatan membunuh satwa dari racun ini berbeda-beda tergantung dari getah yang diambil. Setiap pohon Salu’ memiliki getah dengan kemampuan membunuh yang berbeda-beda. Kemampuan getah Pohon Salu’ tidak bisa diidentifikasi hanya melihat morfologi pohon sehingga masyarakat lokal mengetahui kemampuan getah racun tersebut melalui proses uji coba.

Gambar 12 Getah Kayu Salu’.

Teknik berburu secara tradisional lain yang saat praktiknya dipadukan dengan teknik menombak adalah melakukan penyamaran. Teknik menyamar dilakukan pemburu dengan cara telanjang badan kemudian melumuri badannya dengan lumpur dari kubangan babi. Hal ini bertujuan untuk meghilangkan aroma manusia sehingga tidak terdeteksi oleh satwa. Selanjutnya pemburu dapat mendekati satwa dengan jarak yang cukup dekat dan saat satwa lengah satwa

tersebut ditombak. Teknik ini biasanya dilakukan untuk memburu babi berjenggot. Selain teknik tersebut, pemburu biasanya memanggail satwa buruan dengan cara meniup daun. Satwa yang sering datang dengan menggunakan teknik ini adalah kijang dan rusa.

Teknik tradisional lainnya adalah dengan memasang jebakan. Teknik ini mulai jarang digunakan karena membutuhkan waktu yang relatif lama untuk memperoleh satwa buruan. Salah satu jebakan yang digunakan adalah belatek. Jebakan ini terbuat dari bambu yang dibuat menyerupai tombak dan berfungsi mirip dengan tombak. Belatek dipasang pada jalur lintasan satwa. Pemasangan jebakan ini harus ditunggu oleh pemasang karena jebakan dapat membahayakan orang lain yang melintas pada tempat ini.

Teknik berburu lebih moderen menggunakan senapan saat ini lebih dominan digunakan oleh masyarakat lokal (Gambar 13). Penggunaan senapan untuk berburu mulai banyak digunakan pada awal tahun 1980-an. Awalnya senapan hanya dimiliki oleh kepala adat besar, namun seiring berjalannya waktu dan masuknya pengaruh dari kota maka masyarakat mulai memiliki senapan atau membuat sendiri senapan tersebut. Pada zaman dulu dan bahkan sampai sekarang beberapa masyarakat masih ada yang merakit sendiri senapan dan membuat sendiri peluru yang digunakan untuk berburu. Senapan hasil rakitan masyarakat dapat terlihat pada Gambar 14.

Gambar 14 Senapan rakitan untuk berburu.

Saat musim kemarau, masyarakat sering berburu dengan teknik menunggu satwa di sumber air asin atau dalam bahasa lokal disebut dengan sungan. Teknik ini hanya dilakukan saat musim kemarau karena jika musim hujan sumber air asin ini tidak terasa asin sehingga tidak didatangi oleh satwa. Sumber air asin ini merupakan sumber mineral bagi satwa liar. Satwa yang sering datang minum di sumber air asin ini antara lain kijang (Muntiacus muntjak), rusa sambar (Cervus unicolor), dan kadang juga babi berjenggot (Sus barbatus) maupun beberapa primata.

Sementara itu saat tiba musim buah, biasanya masyarakat berburu dengan menunggu di sumber pakan satwa buruan. Teknik ini dilakukan dengan melakukan pengintaian satwa buruan dari jarak tertentu kemudian menembak ataupun menombak satwa tersebut untuk melumpuhkannya. Lokasi sumber pakan yang sering dipergunakan untuk lokasi perburuan adalah di sekitar pohon sumber pakan babi berjenggot dan sumber pakan kijang. Pohon-pohon yang buahnya dimakan oleh babi berjenggot antara lain palan (Lithocarpus sundaicus), tekalet, binjai, nanga (Eugeissona utilis), kapur (Dryobalanops aromatica), nyelewai,

beringin (Ficus benjamina), aren (Arenga undulatifolia), bertam (Eugeissona utilis), rambutan hutan (Nephelium lappaceum), la’dan, langsat, maritam, mata kucing, mbu nangau, kara’, bangan, durian hutan (Durio sp.), dan laran babui

(Shorea spp.). Selain sumber pakan babi, sumber pakan kijang juga dijadikan lokasi perburuan. Buah yang biasa menjadi pakan kijang antara lain bangan dan beringin (Ficus benjamina).

Semua kegiatan perburuan, selalu memperhatikan arah angin saat berburu. Arah angin yang baik saat berburu adalah arah angin yang berlawanan dengan arah berjalan pemburu yang sedang mengejar atau mengintai satwa. Jika arah angin searah dengan arah berjalan pemburu yang sedang mengejar ataupun mengintai satwa maka satwa akan pergi karena mendeteksi aroma manusia dan begitu pula sebaliknya.

Burung rangkong sering ditemukan mencari makan di pohon beringin sehingga pohon beringin yang sedang berbuah menjadi lokasi perburuan burung rangkong gading maupun rangkong badak. Dengan mengetahui perilaku burung rangkong yang mencari makan di pohon beringin ini, hal ini memudahkan masyarakat ketika akan berburu rangkong. Selain itu, masyarakat biasanya memasang jerat untuk burung-burung ini pada pohon beringin. Jerat tersebut dinamakan pulut. Pulut terbuat dari getah. Sebatang kayu kecil ujungnya dilengkapi pulut kemudian dipasang di pohon beringin. Saat burung datang dan salah hinggap maka bisa tertancap pada kayu tersebut sehingga burung dapat ditangkap dengan lebih mudah. Namun teknik ini juga sudah mulai jarang dipergunakan karena sudah digantikan dengan teknik berburu menggunakan senapan.

Dokumen terkait