• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kearifan Lokal dalam Perburuan Satwa Liar Suku Dayak Kenyah di Taman Nasional Kayan Mentarang, Kalimantan Timur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kearifan Lokal dalam Perburuan Satwa Liar Suku Dayak Kenyah di Taman Nasional Kayan Mentarang, Kalimantan Timur"

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

MENTARANG, KALIMANTAN TIMUR

RETNO DWI HASTITI

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

(2)

Suku Dayak Kenyah di Taman Nasional Kayan Mentarang, Kalimantan Timur. Di bawah bimbingan : Haryanto R. Putro.

Berburu merupakan salah satu kegiatan penting dalam pemenuhan kebutuhan hidup serta suatu bentuk dari penyesuaian diri manusia terhadap sumberdaya alam bagi masyarakat sekitar hutan yang menggantungkan hidupnya terhadap hutan. Penelitian ini dilaksanakan untuk menggali kearifan lokal masyarakat Suku Dayak Kenyah tentang perburuan satwa liar dan pemanfaatannya dalam kehidupan sehari-hari di sekitar Taman Nasional Kayan Mentarang, Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur.

Hasil penelitian ini diharapkan sebagai bentuk dokumentasi tertulis kearifan lokal Suku Dayak Kenyah terkait perburuan satwa liar sehingga dapat terus diwariskan kepada generasi berikutnya, serta bahan masukan pengelolaan satwa liar bagi Taman Nasional Kayan Mentarang. Penelitian dilakukan di Desa Long Alango, Kecamatan Bahau Hulu, Kabupaten Malinau, pada bulan Maret-April 2011. Metode pengumpulan data dilakukan dengan wawancara secara mendalam kepada responden yang telah ditentukan secara sengaja (purposive sampling). Orang-orang yang dipilih ini merupakan informan kunci yang dianggap banyak mengetahui tentang kajian penelitian ini. Data yang diperoleh diolah dengan metode triangulasi, disajikan secara tabulatif dan dianalisis secara deskriptif.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa motivasi utama kegiatan perburuan adalah sebagai pemenuhan kebutuhan protein. Kegiatan perburuan hanya diizinkan bagi masyarakat lokal yang memang sejak dahulu menggantungkan hidupnya pada hutan. Satwa buruan utama adalah babi berjenggot (Sus barbatus), rusa sambar (Cervus unicolor), kijang (Muntiacus muntjak) dan pelanduk kancil (Tragulus javanicus).

Kearifan lokal dalam berburu masyarakat lokal Suku Dayak Kenyah antara lain : larangan membunuh satwa liar di dalam hutan tanpa tujuan yang jelas, larangan berburu di daerah asal babi akan bermigrasi, pemilihan satwa buruan dan pemanfaatan beberapa gejala alam untuk berburu satwa liar. Pewarisan keterampilan berburu dilakukan kepada generasi berikutnya secara lisan dan praktik secara langsung di dalam hutan. Pemanfaatan satwa liar utama sebagai pemenuhan kebutuhan sumber protein, selain itu merupakan pemanfaatan sebagai obat (16 jenis), hiasan, upacara adat, kerajinan tangan (8 jenis) dan pemanfaatan bahan makanan lain (3 jenis).

(3)

Kenyah in Kayan Mentarang National Park, East Kalimantan. Supervised by Haryanto R. Putro.

Hunting is one of important activities for subsistence and human adaptation to natural resources for communities around the forest who depend on forests. The study was conducted to explore the indigenous Dayak Kenyah of about local wisdom of wildlife hunting and its utilization in daily life around the Kayan Mentarang National Park, Malinau District, East Kalimantan.

The results of this study are expected as a written documentation of the Dayak Kenyah’s local wisdom of wildlife hunting so it can continue transmitted to subsequent generations. It is also as input for wildlife management in Kayan Mentarang National Park. This research implemented in Long Alango village, Bahau Hulu district, Malinau, East Kalimantan, during March-April 2011. Data collecting method was interview to key informant who deliberately appointed (purposive sampling). The selected respondents were key informant who considered know relevant information about this research. Then, datas were processed by triangulation method, tabulatif presented and analysed descriptively.

Results of the research indicated that the main motivation of hunting was as fulfillment for protein requirements. Hunting was allowed only for local communities who had long dependency on forest. Main game animals included bearded pig (Sus barbatus), sambar deer (Cervus unicolor), barking deer (Muntiacus muntjak) and lesser mouse-deer (Tragulus javanicus).

Local wisdoms in wildlife hunting Dayak Kenyah include: prohibition of killing wildlife in the forest without clear purposes, pig hunting ban in the area where it will migrate, selection of game animals and use of some natural phenomenas which help them on wildlife hunting. Skills of hunting heritage is transmitted to subsequent generations orally and directly practice in the forest. Use of wild animals as the main source of protein needs. Another utilisation are additional use, such as traditional medicine (16 specieses), jewellery, ceremonies, handicrafts (8 specieses) and other food products (3 specieses).

(4)

MENTARANG, KALIMANTAN TIMUR

RETNO DWI HASTITI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

(5)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kearifan Lokal dalam Perburuan Satwa Liar Suku Dayak Kenyah di Taman Nasional Kayan Mentarang, Kalimantan Timur adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, September 2011

(6)

Kalimantan Timur Nama : Retno Dwi Hastiti

NIM : E34070050

Menyetujui : Dosen Pembimbing,

Ir. Haryanto R. Putro, MS NIP. 196009281985031004

Mengetahui,

Ketua Departemen

Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB

Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS. NIP. 19580915 1984031003

(7)

Alhamdulillahirabbil’alamin, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas segala berkah dan rahmat-Nyalah penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kearifan Lokal Dalam Perburuan Satwa Liar Suku Dayak Kenyah, di Taman Nasional Kayan Mentarang, Kalimantan Timur”. Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Maret-April 2011. Skripsi ini merupakan syarat dalam menyelesaikan studi untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menggali kearifan lokal masyarakat Suku Dayak Kenyah tentang perburuan satwa liar dan pemanfaatannya dalam kehidupan sehari-hari di sekitar Taman Nasional Kayan Mentarang, Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur. Penelitian diharapkan dapat bermanfaat khususnya bagi TNKM sebagai masukan upaya pengelolaan kawasan dan bagi masyarakat Suku Dayak Kenyah sebagai suatu bentuk dokumentasi tertulis dari kearifan lokal perburuan satwa dalam kehidupan mereka.

Bogor, September 2011

(8)

Penulis dilahirkan di Trenggalek, 10 September 1988 sebagai anak kedua dari dua bersaudara pasangan Bapak Subari dan Ibu Sri Sudarti. Pada tahun 1995 penulis menyelesaikan pendidikan formal di Bustanul Athfal Aisyah Salamrejo dan pada tahun yang sama penulis melanjutkan jenjang pendidikan di MI Muhammadiyah Salamrejo dan lulus pada tahun 2001. Pada tahun 2001 penulis melanjutkan pendidikan di MTsN (MODEL) Trenggalek dan lulus pada 2004. Penulis melanjutkan pendidikan ke SMA Negeri 1 Trenggalek pada tahun 2004 dan lulus pada tahun 2007. Pada tahun 2007 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada Fakultas Kehutanan, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata.

Penulis aktif dalam Himpunan Profesi Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) dan tergabung dalam Kelompok Fotografi Konservasi (FOKA) dan Kelompok Pemerhati Flora (KPF). Selain itu penulis aktif dalam Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Kehutanan pada 2009 dan 2010. Penulis pernah mengikuti kegiatan RAFFLESIA (Eksplorasi Flora Fauna Indonesia)di Cagar Alam Rawa Danau, Banten pada 2009 dan Cagar Alam Gunung Burangrang Purwakarta pada 2010. Pada tahun 2010 penulis juga mengikuti Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) di Taman Nasional Sebangau, Kalimantan Tengah. Pada tahun 2009, penulis mengikuti Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) di Gunung Burangrang-Cikiong dan tahun 2010, mengikuti Praktek Pengelolaan Hutan (P2H). Pada tahun 2011, penulis mengikuti Praktik Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Kayan Mentarang, Kalimantan Timur.

(9)

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena berkat rahmat dan anugerah-Nya penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada :

1. Keluarga tercinta, Bapak, Ibu, dan Mas Rendra atas doa dan dukungannya 2. Ir. Haryanto R.Putro, MS yang telah memberikan bimbingan dan arahan serta

dukungan

3. Dr. Ir. Sucahyo Sadiyo, MS selaku dosen penguji

4. Balai Taman Nasional Kayan Mentarang, Tanoto Foundation, Himpunan Alumni Fakultas Kehutanan IPB, WWF Kayan Mentarang Project, Badan Pengelola Tana’ Ulen atas bantuan moriil, tenaga dan materi sehingga penelitian dapat terlaksana dengan baik

5. Kepala Balai TNKM , Ir. Helmy dan Project Leader WWF Kayan Mentarang National Park Project, Ir. Dody Rukman, M.Sc.

6. Seluruh Staff Balai Taman Nasional Kayan Mentarang dan khususnya Teh Eva Setivani, Kepala SPTN Wilayah II Long Alango Bapak Farhani Aini beserta Polisi Kehutanan SPTN Wilayah II Long Alango, Mas Ginanjar Nugraha, Om Hendra, Mas Irsyad, Okto Bari atas bantuannya sehingga pengambilan data dapat terlaksana dengan lancar

7. Seluruh Staff WWF KMNP Project, khususnya Merzyta Septiyani, S.Hut, M. Irfansyah Lubis, S.Hut, Dede Hendra Setiawan, S.Hut

8. Kepala Adat Besar Bahau Hulu, Bapak Anyie Apuy dan keluarga serta masyarakat Long Alango atas keramahan, keteladanan dan ilmu yang diberikan

(10)
(11)

Halaman

2.3 Perburuan Satwa Liar Suku Dayak ... 7

2.4 Adaptasi Kebudayaan ... 10

III. METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 13

3.2 Alat ... 13

3.3 Metode Pengumpulan Data ... 13

3.4 Metode Analisis Data ... 16

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Taman Nasional Kayan Mentarang ... 17

4.2 Desa Long Alango ... 21

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Perburuan Satwa Liar Suku Dayak Kenyah ... 24

5.1.1 Motivasi Berburu ... 24

5.1.2 Karakteristik Pemburu ... 25

5.1.3 Kegiatan Berburu ... 27

(12)

5.3 Hubungan Perburuan Satwa Liar dengan Konservasi ... 56

VI. KESIMPULAN 6.1 Kesimpulan ... 62

6.2 Saran ... 63

DAFTAR PUSTAKA ... 64

(13)

No. Halaman 1. Substansi berburu secara umum dan berdasarkan adat-istiadat... 14 2. Pemanfaatan satwa liar sebagai obat ... 47 3. Pemanfaatan satwa liar untuk hiasan, upacara adat dan kerajinan

(14)

No. Halaman

1. Kerangka pemikiran ... 3

2. Motivasi utama kegiatan berburu oleh masyarakat ... 26

3. Penjualan hasil buruan ... 27

4. Karakteristik umur pelaku berburu ... 28

5. Frekuensi kegiatan perburuan oleh masyarakat ... 29

6. Parang dan pisau raut ... 31

7. Ki’ba ... 31

8. Belanyat ... 31

9. Tombak dan ujung tombak ... 35

10. Ujung tombak dilengkapi sumpit dan pangkal sumpit ... 36

11. Sumpit dan anak sumpit ... 36

12. Getah Kayu Salu’ ... 37

13. Senapan angin untuk berburu ... 38

14. Senapan rakitan untuk berburu ... 39

15. Pemanfaatan kebutuhan protein hewani dari Babi Berjenggot ... 45

16. Tengkorak Rangkong Gading ... 46

17. Jumlah jenis satwa per-kelas satwa liar... 46

18. Baju tari dari Bulu Rangkong, parang dengan ukiran ranggah Rusa/ Kijang, kulit Macan Dahan, bening dengan gigi satwa, kepala dan bulu Rangkong Gading ... 51

(15)
(16)

1.1 Latar Belakang

Kawasan Taman Nasional Kayan Mentarang (TNKM) merupakan kawasan konservasi yang di dalamnya dihuni oleh masyarakat adat Suku Dayak sejak tiga abad yang lalu. Suku Dayak adalah pengelola hutan yang bijak, yang telah mengelola hutan selama berabad-abad tanpa menimbulkan kemusnahan hutan sehingga secara turun temurun dapat diwariskan dan dinikmati oleh generasi sekarang. Hutan telah menjadi tumpuan hidup bagi masyarakat yang ada di dalamnya karena hutan merupakan sumber makanan dan perlindungan berbagai jenis satwa yang membentuk interaksi yang saling terkait (Wollenberg et.al 2001).

Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, masyarakat berinteraksi dengan lingkungan dan sumberdaya alam secara terus menerus. Dengan berjalannya waktu masyarakat memiliki hubungan yang dekat dengan lingkungannya dan melalui uji-coba masyarakat telah mengembangkan pemahaman terhadap sistem ekologi dimana mereka tinggal (Mitchell et. al 2000). Interaksi masyarakat dengan lingkungan yang terus menerus ini menghasilkan pengalaman yang beradaptasi dengan budaya lokal dan lingkungan, serta terus berkembang dari waktu ke waktu hingga melahirkan suatu sistem pengetahuan tradisional (Hansen dan VanFleet 2003). Pengetahuan tradisional ini secara turun temurun dimanfaatkan dan diwariskan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, salah satunya dalam kegiatan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya hutan. Salah satu bentuk pemanfaatan sumberdaya hutan adalah pemanfaatan satwa liar yang diperoleh masyarakat lokal di sekitar hutan melalui kegiatan berburu.

(17)

Kearifan tradisional masyarakat adat dalam hal berburu dan pemanfaatan sumberdaya hutan ini juga perlu dikaji karena banyak diantara pengetahuan tersebut memiliki manfaat yang positif bagi pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan. Pemanfaatan sumberdaya alam diatur dengan berbagai aturan religius maupun budaya agar keseimbangan ekosistem tetap terjaga. Aturan religius maupun budaya ini sekaligus dapat berfungsi sebagai sistem kontrol pada masyarakat lokal. Pemahaman masyarakat tentang sistem alam yang terakumulasi biasanya diwariskan secara lisan, serta biasanya tidak dapat dijelaskan melalui istilah-istilah ilmiah (Mitchell et. al 2000).

1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk menggali kearifan lokal masyarakat Suku Dayak Kenyah tentang perburuan satwa liar dan pemanfaatannya dalam kehidupan sehari-hari di sekitar Taman Nasional Kayan Mentarang, Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur.

1.3 Kerangka Pemikiran

Hutan dengan segala sumberdaya yang ada di dalamnya, menyediakan kebutuhan untuk keberlangsungan hidup dan kesejahteraan masyarakat yang ada di sekitar hutan. Ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya dari hutan ini tidak terlepas dari pengetahuan tradisional yang diperoleh secara turun temurun sehingga hutan dan sumberdaya yang ada di dalamnya masih terus dapat dimanfaatkan. Begitu pula Suku Dayak yang berada di sekitar kawasan Taman Nasional Kayan Mentarang, yang secara turun temurun memiliki pengetahuan praktis dalam memanfaatkan sumberdaya hutan untuk mempertahankan hidup. Pengetahuan praktis ini bermanfaat untuk pemanfaatan sumberdaya hutan sebagai bentuk pemenuhan kebutuhan hidup mereka.

(18)

masyarakat Suku Dayak yang terkait dengan perburuan satwa. Selanjutnya adalah menggali pengetahuan masyarakat mengenai perburuan satwa sehingga pemanfaatannya dapat berkelajutan.

Penggalian pengetahuan ini dimaksudkan agar sistem pengetahuan lokal dan nilai-nilai kearifan yang ada didalamnya dapat teridentifikasi dan terdokumentasi dengan baik. Upaya pendokumentasian ini diharapkan mampu mencegah hilangnya pengetahuan tradisional yang dimiliki masyarakat adat sehingga dapat terus diturunkan ke generasi berikutnya. Dari penjabaran diatas maka dapat dirangkum dalam kerangka pemikiran berikut (Gambar 1).

Gambar 1 Kerangka pemikiran. Kawasan Taman Nasional Kayang

Mentarang

Potensi Sumberdaya Hutan - Potensi Satwaliar

Masyarakat Suku Dayak di Sekitar TNKM

Kondisi Sosial, Ekonomi dan Budaya Masyarakat

Perburuan Satwaliar Pengetahuan Lokal Masyarakat

Kearifan Pemanfaatan Satwaliar

(19)

1.4 Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk berbagai pihak terkait dengan penelitian ini, antara lain :

1. Untuk Taman Nasional Kayan Mentarang diharapkan penelitian ini bermanfaat sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi upaya pengelolaan satwa liar,

2. Untuk masyarakat lokal setempat sebagai suatu bentuk dokumentasi kearifan lokal mereka sehingga kearifan lokal perburuan satwa liar ini dapat dipertahankan secara baik dan dapat terus diwariskan kepada generasi berikutnya baik melalui penyampaian secara lisan maupun melalui tulisan dengan memanfaatkan hasil penelitian ini,

3. Untuk pemerintah daerah setempat, diharapkan penelitian ini bermanfaat untuk mengambil keputusan lebih lanjut dalam upaya pengelolaan kolaboratif TNKM dengan pemerintah daerah setempat,

(20)

2.1 Masyarakat Lokal

Menurut Hendriksen (2008) berdasarkan definisi The International Labor Organization (ILO) di dalam Konvensi ILO Nomor 169, masyarakat lokal adalah mereka yang memiliki kontinuitas historis dengan masyarakat sebelum penjajahan, menganggap diri mereka berbeda dengan masyarakat yang lebih umum pada suatu wilayah yang sebenarnya juga bagian dari masyarakat lokal tersebut. Mereka bertekad untuk melestarikan, mengembangkan dan meneruskan kepada generasi mendatang wilayah leluhur mereka. Identitas etnik mereka sebagai dasar untuk keberadaan mereka sebagai masyarakat, sesuai dengan sistem budaya, sosial dan hukum mereka sendiri. Dalam konvensi tersebut juga dijelaskan bahwa masyarakat lokal didefinisikan sebagai komunitas yang leluhurnya dianggap pemula, tinggal di suatu wilayah tertentu, memperoleh penghidupan dari sumberdaya lokal. Mereka merupakan satu kesatuan berdasarkan kesamaan keturunan, adat, bahasa, hukum, pola hidup yang diwarisi dari kearifan leluhurnya. Tidak selalu mengenal kepemimpinan struktural, tidak harus dipimpin oleh kepala adat, tidak selalu mengenal konsep pemerintahan adat.

(21)

sumberdaya secara berkelompok (Mitchell et.al 2000).

Sementara itu menurut Word Bank (1991) masyarakat lokal dapat diidentifikasi di wilayah geografis tertentu dari karakteristik berikut: (a) keterikatan yang dekat dengan nenek moyang dan sumber daya alam di wilayahnya, (b) identifikasi diri sendiri dan identifikasi oleh orang lain sebagai anggota dari kelompok budaya yang berbeda, (c) bahasa asli, sering berbeda dari bahasa nasional, (d) kehadiran lembaga sosial dan politik adat, dan (e) terutama berorientasi pada produksi untuk pemenuhan kebutuhan hidup.

2.2 Kearifan Lokal

Menurut Syafaat (2008) konsep kearifan lokal berakar dari sistem pengetahuan tradisional. Pengetahuan tradisional merupakan informasi dalam suatu masyarakat, berdasarkan pengalaman dan adaptasi terhadap budaya lokal dan lingkungan, telah dikembangkan dari waktu ke waktu, dan terus berkembang. Pengetahuan ini digunakan untuk mempertahankan masyarakat dan budayanya serta untuk mempertahankan sumber daya genetik yang diperlukan untuk kelangsungan hidup masyarakat (Hansen dan VanFleet 2003). Pengetahuan tradisional juga mencakup sistem kepercayaan yang memainkan peran mendasar dalam kehidupan masyarakat. Pengetahuan lokal juga memiliki sifat yang dinamis dan mencakup eksperimen baru (Hansen dan VanFleet 2003).

Pengetahuan tradisional bersifat kolektif di alam dan sering dianggap sebagai milik seluruh komunitas, dan tidak dimiliki secara individu. Hal ini diteruskan melalui budaya tertentu dan mekanisme pertukaran informasi tradisional, misalnya, dipelihara dan diteruskan secara oral melalui sesepuh atau nenk moyang ataupun spesialis (Hansen dan VanFleet 2003).

(22)

alam. Dalam penerapannya, kearifan lokal bisa dalam bentuk hukum, pengetahuan, keahlian, nilai dan sistem sosial dan etika yang hidup dan berkembang dari satu generasi ke generasi berikutnya (Pattiselanno dan Mentansan 2010).

Sementara itu, Suhartini (2009) menjelaskan bahwa kearifan lokal merupakan suatu bentuk tata nilai atau perilaku hidup masyarakat lokal dalam berinteraksi dengan lingkungannya pada suatu suatu tempat atau daerah. Oleh karena itu kearifan lokal menjadi tidak sama pada tempat, waktu dan suku yang berbeda. Perbedaan ini disebabkan oleh tantangan alam dan kebutuhan hidupnya berbeda-beda, sehingga pengalamannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya memunculkan berbagai sistem pengetahuan baik yang berhubungan dengan lingkungan maupun sosial. Sebagai salah satu bentuk perilaku manusia, kearifan lokal bukanlah suatu hal yang statis melainkan berubah sejalan dengan waktu, tergantung dari tatanan dan ikatan sosial budaya yang ada di masyarakat. Sesuai pula dengan pendapat Dove (1985) dalam Soendjoto dan Wahyu (2007) bahwa sistem budaya tradisional tidak bersifat statis, tetapi selalu mengalami perubahan dan tidak bertentangan dengan proses pembangunan.

(23)

Oleh karena itulah pengetahuan tradisional menjadi akar dari konsep kearifan lokal. Dalam konteks konservasi sumberdaya hutan, kearifan lokal memiliki posisi yang terkait dengan upaya masyarakat lokal dalam memanfaatkan sumberdaya hutan secara lestari, walaupun sulit dijelaskan secara terpisah (Aliadi 2002).

2.3 Perburuan Satwa Liar Suku Dayak

Kegiatan berburu menjadi aktivitas penting untuk pemenuhan kebutuhan protein di berbagai negara khususnya negara yang memiliki hutan tropis (Redford 1993). Berburu menjadi kegiatan kesukaan bagi para laki-laki, begitu pula bagi Suku Dayak (Ngindra 1999). Akan tetapi, berburu menjadi kegiatan sampingan setelah mata pencaharian bertani bagi masyarakat pedalaman Kalimantan karena ketika para kaum lelaki berjalan melintasi hutan selalu membekali diri dengan berbagai alat untuk menangkap binatang atau berburu (Nieuwenhuis 1994).

Satwa liar yang menjadi kesukaan Suku Dayak saat berburu antara lain Babi berjenggot (Sus barbatus), Rusa sambar (Cervus unicolor) dan Kijang (Muntiacus muntjac). Selain jenis-jenis diatas, jenis lain yang menjadi sumber protein bagi masyarakat lokal Suku Dayak adalah landak dan biawak. Sementara itu untuk karnivora maupun primata untuk konsumsi biasanya tertangkap karena tidak sengaja bertemu saat memburu satwa buruan penting (Puri 1999). Berdasarkan Nieuwenhuis (1994) satwa yang menjadi buruan utama Suku Dayak dalam penelitiannya adalah babi hutan, jenis-jenis kucing hutan, dan binatang menyusui yang kecil.

Ada beberapa teknik berburu yang biasa digunakan oleh Suku Dayak antara lain menunggu babi berenang atau dalam bahasa Dayak Kenyah disebut

(24)

nedok. Teknik berburu berikutnya adalah dengan menyumpit atau dalam bahasa Dayak Kenyah disebut dengan ngeleput. Berburu dengan teknik ini dilakukan dengan cara mengejar baik dari atas perahu ataupun berjalan kaki, serta pengintaian dan penyergapan dari tempat persembunyian di dekat sumber garam. Selain itu, masyarakat juga menggunakan senapan lantak dan senapan angin dalam teknik berburunya. Teknik berburu ini dilakukan dengan melacak atau mengintai satwa buruan dan kemudian ditembak. Teknik ini dalam bahasa dayak dikenal dengan istilah nyalapang. Nyalapang baru berkembang belakangan ini sebagai jenis teknik berburu yang khas. Teknik terakhir yang digunakan masyarakat Suku Dayak adalah dengan memasang jerat atau biasa dikenal dengan istilah nyaut (Puri 1999).

Masih menurut Puri (1999) dalam memilih teknik berburu, masyarakat mempertimbangkan berbagai faktor, diantaranya :

Karakteristik umur : bagi pemburu tua maka akan lebih memilih berburu dengan teknik menunggu babi berenang, menyumpit dan menirukan perilaku beruk karena lebih membutuhkan kesabaran dan kemampuan menyelinap. Sementara itu kaum muda lebih memilih dengan menggunakan anjing yang membutuhkan kecepatan gerak, kekuatan dan ketahanan tubuh. Waktu berburu : saat berburu pada siang hari maka satwa buruan yang akan menjadi tujuan adalah babi berjenggot, kijang, monyet, biawak, ular, burung enggang. Sementara itu jika berburu saat malam hari maka satwa yang menjadi tujuan adalah rusa, pelanduk kancil, kucing hutan, dan beberapa jenis musang.

Perilaku satwa buruan : dengan pengetahuan mengenai perilaku bermanfaat bagi pemburu untuk menentukan posisi saat berburu serta menghindari dari serangan satwa.

(25)

Topografi : akan mempengaruhi visibilitas satwa buruan dan predator serta mempengaruhi arah angin.

Alat tradisional seperti sumpit, sekarang ini jarang digunakan dan digantikan oleh senjata. Akan tetapi berburu menggunakan anjing serta pemakaian jebakan masih dimanfaatkan oleh masyarakat (Sutedja 2005). Dalam kegiatan berburu anjing dimanfaatkan untuk melacak dan mengurung binatang buruan (Nieuwenhuis 1994).

Dalam pembagian hasil berburu, Suku Dayak Kenyah menghadiahkan daging hasil buruan kepada tetangga serta kerabat dekat. Selain itu semua orang yang turut serta dalam kegiatan perburuan seperti orang-orang yang meminjamkan alat untuk berburu juga mendapat pembagian hasil buruan (Puri 1999). Saat kegiatan berburu babi berenang, sistem pembagian hasil agak berbeda. Orang yang pertama kali menemukan babi berenang dan berhasil memburunya maka harus mengundang semua penduduk desa, paling tidak para kepala keluarga yang ada untuk makan bersama menikmati hasil buruan tersebut. Pada saat itu juga diumumkan bahwa musim babi berenang telah tiba dan bagi masyarakat yang ingin pergi menunggu babi berenang harus mematuhi aturan yang berlaku (Devung 1998).

Perburuan satwa liar juga diadakan oleh serombongan pemburu yang ditugaskan berburu pada saat-saat tertentu seperti saat diadakan pesta atau gotong royong (nyamat). Untuk perburuan seperti ini juga memiliki aturan khusus dalam pembagian hasilnya. Bagi pemilik alat berburu seperti anjing, senapan, dan peluru mendapat bagian dari hasil buruan tersebut. Bagi pemilik anjing, senapan, dan peluru yang digunakan dalam kegiatan berburu tersebut mendapat bagian kepala dan ekor dari binatang hasil buruan, juga pembagian dari sisanya. Peserta berburu lainnya mendapat bagian jeroan dari binatang buruan. Sementara itu seluruh bagian lainnya diserahkan kepada penyelenggara pesta atau pelaksana kegiatan gotong royong (Devung 1998).

2.4 Adaptasi Kebudayaan

(26)

masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Dari definisi ini maka dapat diketahui bahwa hampir seluruh tindakan manusia merupakan kebudayaan karena segala tindakan tersebut diperoleh manusia melalui belajar. Menurut Ihromi (1999) kebudayaan menunjuk kepada berbagai aspek dalam kehidupan yang meliputi cara-cara berlaku, kepercayaan, sikap, hasil dari kegiatan manusia yang khas pada suatu masyarakat atau kelompok penduduk tertentu.

Kebudayaan bersifat dinamis dan adaptif, karena kebudayaan melengkapi manusia dengan cara -cara penyesuaian diri pada kebutuhan-kebutuhan fisiologis dari badan mereka, dan penyesuaian pada lingkungan yang bersifat fisik -geografis maupun pada lingkungan sosialnya. Banyak cara yang wajar dalam hubungan tertentu pada suatu kelompok masyarakat memberi kesan janggal pada kelompok masyarakat yang lain, tetapi jika dipandang dari hubungan masyarakat tersebut dengan lingkungannya, baru hubungan tersebut bisa dipahami. Kebiasaan-kebiasaan yang ada dalam masyarakat tertentu merupakan cara penyesuaian masyarakat itu terhadap lingkungannya, akan tetapi cara penyesuaian tidak akan selalu sama (Siregar 2002). Siginifikansi riel dari kebudayaan adalah sifatnya adaptif. Kebudayaan telah menciptakan alat adaptasi baru bagi manusia terhadap kondisi kehidupan. Pola adaptasi ini jauh melebihi adaptasi biologis (Sanderson 2010).

Kenyataan bahwa banyak dari kebudayaan bertahan dan berkembang telah menunjukkan bahwa kebiasaan yang dikembangkan oleh masyarakat disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan tertentu dari lingkungannya. Hal ini dikarenakan jika sifat kebudayaan tidak disesuaikan dengan keadaan tertentu maka kemungkinan masyarakat untuk bertahan akan berkurang. Tiap adat yang meningkatkan ketahanan suatu masyarakat dari lingkungan tertentu merupakan adat yang dapat disesuaikan sehingga kebudayaan bersifat adaptif. Adaptif dalam konteks ini dimaknai dengan kebudayaan melengkapi manusia dengan cara penyesuaian diri pada kebutuhan-kebutuhan fisiologis, penyesuaian pada lingkungan yang bersifat fisik-geografis maupun penyesuaian lingkungan sosial (Ihromi 1999).

(27)
(28)

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di SPTN Wilayah II Long Alango Taman Nasional Kayan Mentarang, Provinsi Kalimantan Timur, khususnya Desa Long Alango, Kecamatan Bahau Hulu. Pengambilan data dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan April 2011.

3.2 Alat

Alat yang digunakan dalam pengambilan data penelitian ini adalah pedoman wawancara, kamera, perekam suara, alat tulis. Sementara itu untuk subyek dari penelitian ini adalah masyarakat lokal Suku Dayak Kenyah, kelompok anak suku Leppo’ Maut di Desa Long Alango, Kecamatan Bahau Hulu.

3.3 Metode Pengumpulan Data 3.3.1 Jenis Data

Jenis data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara dan pengamatan secara langsung di lapangan. Sedangkan data sekunder diperoleh dari data-data desa yang menjadi lokasi penelitian, serta literatur terkait.

Adapun data yang dikumpulkan antara lain : 1. Data Primer

a. Data kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat - Jumlah penduduk

- Mata Pencaharian - Tingkat Pendidikan b. Motivasi berburu

- Alasan berburu c. Karakteristik pemburu

(29)

- Perburuan dilakukan secara individu atau berkelompok - Hubungan antar anggota kelompok

- Kelas umur pemburu - Posisi sosial pemburu

d. Kegiatan perburuan satwa liar berdasarkan substansi secara umum dan berdasarkan aturan adat-istiadat

Tabel 1 Substansi Berburu Secara Umum dan Berdasarkan Adat-istiadat Perburuan Substansi berburu Adat-istiadat/kepercayaan

Frekuensi berburu dalam periode waktu tertentu

Lokasi berburu Alat berburu

Gejala alam sebagai indikator dimulainya berburu

- Kondisi umum Taman Nasional Kayan Mentarang - Data pendukung sosial, ekonomi dan budaya masyarakat

(30)

3.2.1 Teknik Pengambilan Sampling

Pemilihan sampling pada penelitian ini dilakukan dengan teknik purposive sampling. Menurut Nasution (2007) purposive sampling dilakukan dengan mengambil orang-orang yang terpilih menurut ciri-ciri spesifik yang dimiliki oleh sampel tersebut. Penentuan sampel ini dipilih dengan cermat sehingga relevan dengan desain penelitian. Orang-orang yang dipilih ini merupakan informan kunci (key informan) yang dianggap banyak mengetahui tentang kajian penelitian ini dan mempunyai pengaruh di masyarakat dalam hal ini bisa seorang kepala suku atau pemangku adat di lokasi penelitian, pelaku berburu serta pengguna hasil buruan.

3.2.2 Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data dalam penelitian ini, metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara yang dilakukan dengan teknik wawancara mendalam (depth interviewe). Wawancara secara mendalam ini dilakukan kepada informan kunci antara lain Kepala Adat Besar Bahau Hulu dan Ketua Adat Desa Long Alango.

Untuk memperluas informasi dilakukan pula wawancara kepada masyarakat yang melakukan kegiatan perburuan satwa. Wawancara dilakukan kepada 30 responden pelaku berburu dengan teknik wawancara secara terbuka. Berdasarkan penjelasan Koentjaraningrat (1986) dalam Bungin (2006) dipandang dari sudut pertanyaan wawancara dapat dibedakan menjadi wawancara tertutup dan terbuka. Perbedaan dari teknik ini apabila jawaban yang dikehendaki terbatas maka wawancara tersebut disebut tertutup sedangkan apabila jawaban yang dikehendaki tidak terbatas maka termasuk wawancara terbuka.

(31)

3.4 Metode Analisis Data

(32)

4.1 Taman Nasional Kayan Mentarang 4.1.1 Sejarah Kawasan

Kayan Mentarang awalnya ditunjuk sebagai cagar alam seluas 1,6 juta hektar berdasarkan SK No. 84 Kpts/Um/II/25 November 1980, mengingat tingginya keanekaragaman hayati di lokasi tersebut. Pada tahun 1989, PHPA, LIPI serta WWF Indonesian Programme menandatangani MoU untuk memulai proyek kerjasama penelitian dan pengembangan untuk Kayan Mentarang yang bertujuan untuk mengembangkan sistem pengelolaan yang mengintegrasikan konservasi dengan pembangunan ekonomi yang berkesinambungan bagi masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar cagar alam. Dengan statusnya sebagai cagar alam maka terdapat hambatan secara hukum bagi mayarakat adat untuk melanjutkan cara hidup trsdisional mereka yang telah berlangsung selama berabad-abad.

Pada tahun 1992, WWF mengusulkan perubahan status Kayan Mentarang menjadi taman nasional mengingat status taman nasional memungkinkan pemanfaatan sumberdaya alam secara tradisional di zona yang telah ditentukan. Departemen Kehutanan membentuk tim unutk mengevaluasi rekomendasi WWF tersebut. Akhirnya pada tanggal 7 Oktober 1996, Menteri Kehutanan menyetujui dan menunjuk Kayan Mentarang sebagai taman nasional melalui SK Menteri Kehutanan no. 631/Kpts-II/1996. Melalui keputusan ini pemerintah Indonesia memberi hak secara khusus bagi masyarakat adat untuk memanfaatkan sumberdaya alam secara tradisional di zona taman nasional yang telah ditunjuk (Tim Penyusun 2002a).

4.1.2 Letak dan Luas

(33)

menyempit, dan mengikuti batas internasional dengan negara bagian Sabah dan Serawak, Malaysia (Tim Penyusun 2002b).

4.1.3 Iklim

Berdasarkan sistem Koppen, iklim bagian kawasan taman nasional yang memiliki elevasi rendah diklasifikasikan sebagai tipe A atau iklim tropis hujan tanpa musim kemarau serta suhu tinggi disepanjang tahun. Sementara itu di daerah elevasi tinggi diperkirakan memiliki iklim C atau iklim temperatur hangat dengan hujan tanpa musim kemarau. Secara keseluruhan wilayah taman nasional termasuk tipe A atau agroklimatik paling basah di Indonesia sehingga iklim tersebut terlalu basah dan berawan untuk pertumbuhan tanaman pertanian (Tim Penyusun 2002b).

Penyebaran curah hujan di dalam taman nasional sangat kompleks. Daerah paling kering terdapat di pedalaman dan lembah-lembah di sepanjang hulu Sungai Kayan dengan curah hujan kurang dari 2500 mm/tahun. Sedangkan di daerah lain di dalam kawasan tersebut curah hujan berkisar antara 3000-4000 mm/tahun. Secara umum dari bagian barat ke bagian timur kawasan, curah hujannya makin berkurang (Tim Penyusun 2002b).

Keadaan angin di wilayah ini relatif kecil dan tidak terpengaruh oleh topan tropis karena lokasinya berdekatan dengan garis khatulistiwa. Pada daerah yang berbukit biasanya tertutup awan hampir sepanjang tahun sehingga jumlah radiasi matahari untuk fotosintesis berkurang.

4.1.4 Hidrologi

(34)

Puncak aliran permukaan sungai terbesar terjadi pada bulan November, Desember dan Mei. Sementara itu aliran permukaan terendah terjadi pada bulan Juni sampai dengan September. Volume aliran dan tinggi air sungai naik dan turun dengan cepat tergantung dari tingkat kekeringan dan curah hujan yang terjadi pada bagian hulu sungai di kawasan (Tim Penyusun 2002b).

4.1.5 Topografi

Taman Nasional Kayan Mentarang terletak di punggung pegungungan yang membentang dari timur ke barat sepanjang perbatasan Malaysia-Indonesia. Taman nasional ini berada pada ketinggian 300-2500 mdpl. Kemiringan lereng di kawasan ini umunnya lebih dari 40%. Secara geomorfologis ada dua bagian kawasan taman nasional yang menarik. Di wilayah kecamatan Long Pujungan terdapat formasi endapan yang tertutup dengan lapisan vulkanik dasar. Di sebelah utara wilayah kecamatan Krayan, merupakan dataran tinggi (1000-11000) yang memiliki strata endapan yang sama seperti Long Pujungan tetapi tidak tertutupi oleh lapisan batuan vulkanik.

4.1.6 Potensi Flora

Di dalam kawasan taman nasional terdapat beberapa tipe hutan, dari hutan pegunungan dataran rendah sampai hutan kerangas. Pada hutan pegunungan dataran rendah, tumbuhan didominasi oleh famili Dipterocapaceae. Salah satu sifat hutan di Kalimantan adalah fenomena panen raya, yaitu famili Dipterocarpaceae berbuah pada saat yang sama. Berdasarkan penelitian Puri (1999) fenomena ini terjadi antar bulan Juli dan November. Perkecambahan biji yang terjadi secara bersamaan ini membanjiri satwa pemangsa dan membantu kelangsungan hidup sebagian anakan pohon. Dengan fenomena ini secara bergantian Babi hutan dan satwa pemakan buah lainnya mengikuti kejadian tersebut sehingga melakukan migrasi dan akhirnya menjadi kebiasaan. Pohon Ara dari genus Ficus kemungkinan besar adalah jenis makanan utama dan penting bagi kelangsungan hidup satwa di hutan.

(35)

Guttiferae. Beberapa jenis konifer khususnya Agathis borneensis merupakan jenis dominan di punggungan gunung. Sementara itu di hutan pegunungan tinggi famili yang paling penting adalah Myrtaceae dan Fagaceae sera semak Ericaceae.

Padang rumput di TNKM terdapat di hulu Sungai Bahau yaitu di utara desa Apau Ping dan di hulu Sungai Iwan. Padang rumput ini kemungkinan terjadi akibat perladangan secara periodik oleh masyarakat setempat dengan melakukan pembakaran berkali-kali. Munculnya padang rumput dan semak ini menarik kehadiran satwa-satwa besar seperti Banteng dan Kijang sehingga memungkinkan kegiatan perburuan. Untuk di hutan kerangas, vegetasi bervariasi dari pohon sampai semak terbuka. Pohon dari genus Agathis merupakan jenis yang umum dalam komunitas kerangas. Pada hutan riparian atau tepian sungai, umumnya dapat mencerminkan komposisi jenis yang terdapat pada hutan di pedalaman.

4.1.7 Potensi Fauna

Berdasarkan data dari dokumen Rencana Pengelolaan Taman Nasional Kayan Mentarang 2001-2025 terdapat berbagai potensi fauna. Dari 228 jenis mamalia yang berada di pulau Kalimantan, diperkirakan 150 jenis diantaranya berada di kawasan taman nasional, diantaraya Lutung banggat (Presbytis hosei), javanicus), berbagai jenis kelelawar dan tikus dan lain-lain. Sementara itu dari 44 jenis mamalia endemik Kalimantan, sedikitnya 14 jenis diantaranya dilaporkan berada di dalam kawasan TNKM. Jenis primata yang ada di TNKM antara lain Lutung (Presbytis spp.), Owa kalawat (Hylobates muelleri), dan bekantan

(Nasalis larvatus). Jenis endemik lain adalah Kucing merah (Felis badia), Kijang kuning (Muntiacus atherodes) dan lain-lain.

(36)

kinabalu (Zoothera everetti), Pijantung kalimantan (Arachnothera everetti) dan masih banyak jenis lain. sementara itu untuk jenis dilindungi antara lain Kuau raja

(Argusianus argus), Julang jambul hitam (Acceros corrugatus), Enggang badak

(Buceros rhinoceros), Enggang gading (Buceros virgil), Cucak rawa (Pycnonotus zeylanicus) dan lain-lain.

Data mengenai reptil dan amfibi sejauh ini terdapat 26 jenis reptil dan 27 jenis amfibi. Jenis-jenis tersebut antara lain Biawak (Varanus salvator), (Python reticulatus), Ular kobra (Ophiophagus hannah), Ranna kuhlii, Rana calconata, Ansonia leptopus, Pedosbites hosii dan lain-lain.

4.2 Desa Long Alango 4.2.1 Letak

Desa Long Alango merupakan ibukota kecamatan Bahau Hulu dan termasuk ke dalam Kabupaten Malinau, Provinsi Kalimantan Timur. Di dalam Kecamatan Bahau Hulu terdapat enam desa yaitu, Long Uli, Long Tebulo, Long Alango, Long Kemuat, Long Berini dan Apau Ping. Dahulu, Kecamatan Bahau Hulu ini menjadi satu wilayah administratif ke dalam Kecamatan Pujungan namun akhirnya memisahkan diri menjadi kecamatan tersendiri.

Secara wilayah adat kecamatan ini termasuk dalam wilayah adat Bahau Hulu yang juga berkedudukan di Long Alango. Desa ini berada di luar taman nasional tetapi tepat berada di batas taman nasional.

4.2.2 Aksesibilitas

Desa Long Alango dapat dicapai melalui transportasi udara dan sungai. Transportasi melalui udara dapat menggunakan pesawat perintis dari MAF (Mission Aviation Fellowship) dan Susi Air, yang berangkat dari Malinau ke Long Alango. Waktu tempuh menggunakan pesawat ini sekitar 30 menit. Sementara itu, dengan transportasi sungai dapat menggunakan long boat dari Tanjung selor ke Long Pujungan, kemudian bermalam terlebih dahulu di tempat ini. Kemudian keesokan harinya perjalanan dilanjutkan Long Alango menggunakan long boat

(37)

tempuh menggunakan transportasi sungai ini sangat relatif karena tergantung pada kondisi aliran air sungai sehingga waktu tempuh relatif lebih lama.

4.2.3 Kependudukan

Menurut data dari Kecamatan Bahau Hulu yang berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik per Juni 2010 Desa Long Alango, jumlah penduduk di desa ini adalah 558 jiwa dengan 296 jiwa berjenis kelamin laki-laki dan 262 jiwa berjenis kelamin perempuan.

Masyarakat di Desa Long Alango merupakan Suku Dayak Kenyah dan merupakan kelompok anak suku Leppo’ Maut. Meskipun telah ada sistem pemerintahan desa, namun di desa ini juga masih berlaku pemerintahan berdasarkan adat. Setiap desa di dalam wilayah adat ini memiliki ketua adat desa. Ketua adat dari enam desa di wilayah adat ini diketuai oleh kepala adat besar wilayah adat. Dengan kedudukannya sebagai pusat wilayah adat Bahau Hulu, maka di desa ini terdapat ketua adat desa dan Kepala Adat Besar Wilayah Adat Bahau Hulu.

Sebagian besar mayarakat Desa Long Alango memiliki tingkat pendidikan sekolah dasar dan hanya sedikit sekali yang bertingkat pendidikan diploma dan sarjana. Di desa ini mayoritas agama yang dianut adalah Kristen Protestan yang masuk sejak tahun 1957. Mayoritas penduduk bermatapencaharian sebagai petani dan setiap kepala keluarga memiliki lahan pertanian untuk diolah.

4.2.4 Fasilitas

(38)

masyarakat jarang beraktivitas di rumah yang membutuhkan tenaga listrik sehingga listrik dimatikan oleh petugas pembangkit listrik pada pagi hari.

(39)

5.1 Perburuan Satwa Liar oleh Suku Dayak Kenyah 5.1.1 Motivasi Berburu

Berdasarkan hasil wawancara dengan responden baik informan kunci maupun responden pelaku berburu sebagai penelusuran data lebih dalam, kegiatan berburu dalam kehidupan sehari-hari masyarakat suku Dayak Kenyah, Leppo’ Maut, pada dasarnya bukan merupakan kegiatan utama. Berburu merupakan kegiatan sampingan setelah mata pencaharian utama mereka sebagai petani. Meskipun berburu bukan merupakan kegiatan utama, berburu menjadi salah satu kegiatan penting dalam kehidupan suku Dayak Kenyah. Hal ini dikarenakan daging hasil buruan merupakan sumber protein hewani utama untuk mereka. Sesuai dengan penyataaan dari Moran (1982) dan Eghenter dan Sellato (1999) bahwa di daerah tropis, berburu merupakan salah satu kegiatan penting dan bentuk gambaran dari penyesuaian diri manusia terhadap sumberdaya alam demi subsistensi.

Pada zaman dahulu, motivasi utama masyarakat Dayak saat berburu benar-benar dilakukan untuk memenuhi kebutuhan protein hewani untuk keluarga mereka. Saat mereka pergi berburu dan membawa pulang hasil buruan yang banyak, mereka akan membagikan daging tersebut kepada orang-orang terdekat, baik saudara maupun tetangga, secara sukarela. Membagikan hasil buruan kepada orang terdekat seperti ini merupakan kebiasaan yang telah turun temurun dari nenek moyang. Menurut penjelasan Devung (1998) jika ada mayarakat yang melanggar kebiasaan membagikan hasil buruan ini, maka dianggap sebagai orang yang kikir.

(40)

hasil buruan. Menurut Devung (1998) meskipun masyarakat mendapatkan hasil buruan cukup banyak, selain untuk konsumsi sendiri, masyarakat akan membagikan hasil buruan tersebut. Tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan kepada Suku Kenyah di Kecamatan Long Pujungan, oleh Ngindra yang dipublikasikan tahun 1995 dan penelitian Puri pada tahun 1991 dan 1993, tidak dilaporkan adanya kegiatan penjualan hasil buruan. Di dalam penelitian tersebut menjelaskan bahwa hasil buruan sepenuhnya dimanfaatkan untuk konsumsi dan tidak ada kegiatan penjualan daging hasil buruan, sekalipun berskala lokal. Berdasarkan pengamatan di lapangan kebiasaan untuk membagikan daging hasil buruan mulai berkurang karena selain sebagai pemenuhan kebutuhan protein, motivasi berburu juga mulai berubah menjadi motif pemenuhan kebutuhan ekonomi. Pada orang-orang tertentu, misalnya para pejabat desa maupun petinggi adat, kebiasaan membagi daging hasil buruan kepada orang terdekat masih dilaksanakan.

(41)

Gambar 2 Motivasi utama kegiatan berburu oleh masyarakat.

Hasil wawancara pada beberapa responden menyampaikan bahwa apabila mendapatkan hasil buruan yang banyak maka sekitar 50-80% daging hasil buruan, dijual kepada masyarakat di dalam desa dan konsumsi daging hasil buruan maksimal hanya 50% dari hasil buruan. Hal ini disebabkan oleh belum adanya proses pengawetan hasil buruan secara baik, hanya sebatas memanggang, sehingga tidak memungkinkan masyarakat untuk mengonsumsi sendiri hasil buruan tersebut. Meskipun mencapai 80% hasil buruan dijual kepada masyarakat, para pemburu tersebut masih mendahulukan untuk kebutuhan protein karena persentase penjualan mencapai persentase ini hanya dilakukan saat pemburu mendapat hasil buruan yang banyak atau satwa dengan ukuran tubuh relatif besar. Ketika mendapat hasil buruan yang tidak terlalu banyak atau ukuran tubuh satwa sedang saja, maka pemburu mengutamakan untuk mengonsumsi sendiri hasil buruan tersebut.

Besarnya kontribusi penjualan hasil buruan terhadap pendapatan rumah tangga pemburu belum dapat dipastikan karena pada dasarnya kegiatan berburu merupakan kegiatan sampingan. Masyarakat tidak setiap hari melakukan perburuan. Saat berburupun hasil buruan tidak dapat dipastikan, bisa jadi mendapat satwa dengan ukuran tubuh yang besar dan sebaliknya. Hasil buruan yang tidak pasti ini menyebabkan hasil penjualan daging buruan dapat dikatakan belum berkontribusi signifikan terhadap penambahan pendapatan rumah tangga.

(42)

memang ada yang menawar. Hasil buruan khususnya daging (Gambar 3), dijual para pemburu kepada masyarakat di dalam desa itu saja atau bersifat lokal. Penjualan daging jarang atau bahkan tidak pernah dilakukan sampai keluar desa karena jarak antar desa yang relatif jauh sehingga hanya akan menambah pengeluaran untuk transportasi jika dijual keluar desa. Berdasarkan peraturan adat, harga jual daging buruan sama untuk semua jenis satwa yaitu Rp 15.000/kg.

(a) Daging rusa (b) Daging Babi berjenggot Gambar 3 Penjualan hasil buruan.

5.1.2 Karakteristik Pemburu

Pada dasarnya kegiatan berburu boleh dilakukan oleh siapa saja yang bisa berburu. Secara adat pun tidak ada batasan tentang orang-orang yang boleh atau dilarang berburu. Bahkan tidak ada larangan bagi perempuan untuk pergi berburu selama mereka mampu. Akan tetapi, kegiatan berburu pada masyarakat di desa ini semuanya dilakukan oleh kaum laki-laki. Kegiatan berburu hanya diperbolehkan bagi masyarakat lokal di sekitar kawasan taman nasional yang memang menggantungkan hidupnya pada hutan. Para pendatang atau bukan warga di sekitar taman nasional yang datang hanya untuk berburu satwa liar tidak diperbolehkan untuk berburu.

(43)

Data karakteristik umur pemburu menunjukkan bahwa sebagian besar adalah para kepala keluarga (82,35%) yang melakukan perburuan memenuhi kebutuhan pangan keluarganya. Sementara itu 17,64% sisanya adalah para anak yang sedang belajar berburu dari orang tuanya maupun pemuda yang sudah cukup umur dan diperbolehkan melakukan kegiatan berburu secara mandiri tanpa pendampingan dari orang tuanya dan belum berkeluarga.

Gambar 4 Karakteristik umur pelaku berburu.

Kegiatan berburu dilakukan oleh para laki-laki baik secara individu maupun secara berkelompok. Berburu untuk kepentingan pribadi atau dikonsumsi rumah tangga, lebih sering dilakukan oleh para pemburu secara individu. Namun tidak menutup kemungkinan untuk berburu bersama orang lain. Berburu untuk kepentingan pribadi yang dilakukan secara berkelompok biasanya dilakukan oleh 3-5 orang.

(44)

5.1.3 Kegiatan Berburu

5.1.3.1 Frekuensi dan waktu berburu

Masyarakat pergi berburu saat membutuhkan konsumsi daging. Untuk pemenuhan kebutuhan protein seperti ini, frekuensi berburu masyarakat cukup bervariasi dalam satu minggu. Berdasarkan hasil wawancara, sebanyak 38,63% responden melakukan kegiatan berburu dengan frekuensi 1-3 kali dalam satu minggu (Gambar 5). Frekuensi berburu dipengaruhi oleh musim banyak binatang. Saat musim banyak binatang, yaitu saat musim buah di dalam hutan, masyarakat akan lebih sering pergi berburu.

Gambar 5 Frekuensi kegiatan perburuan oleh masyarakat.

Berdasarkan keterangan dari informan kunci, untuk melakukan kegiatan perburuan tidak ada batasan waktu. Berdasarkan aturan adat pun tidak ada larangan khusus mengenai waktu untuk melakukan kegiatan berburu. Beberapa orang memilih untuk tidak berburu pada hari minggu karena menurut mereka hari minggu merupakan hari untuk ibadah dan beristirahat. Akan tetapi pada beberapa orang tetap pergi berburu jika memang merasa sedang membutuhkan daging untuk konsumsi.

Dalam hal pemilihan waktu berburu, beberapa responden lebih menyukai berburu saat malam hari karena menurut mereka berburu satwa menjadi lebih mudah dan satwa relatif jinak. Saat berburu di malam hari, satwa tidak mengetahui keberadaan pemburu secara langsung dan sebaliknya pemburu dapat mengintai dengan mudah keberadaan binatang sehingga satwa lebih mudah

(45)

ditangkap. Dengan pemilihan waktu malam sebagai waktu berburu maka biasanya pemburu berangkat pada sore hari setelah senja dan baru pulang pada dini hari bahkan pada pagi hari.

Namun waktu utama yang dipilih para pemburu selain berburu pada malam hari adalah pagi hari. Beberapa pemburu memilih berangkat berburu pada pagi hari sekitar pukul 06.00 dan pulang pada sore hari sekitar pukul 18.00 waktu setempat. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Puri pada tahun 1991 dan 1993 bahwa masyarakat biasa memulai berburu pada pagi hari bahkan saat masih fajar hingga sore hari.

Selain berburu dari pagi sampai sore hari, masyarakat juga kadang menginap beberapa malam di dalam hutan. Hal ini dilakukan jika perburuan dari pagi sampai sore belum memberikan hasil. Namun selain itu, berburu hingga menginap di dalam hutan memang direncanakan para pemburu.

5.1.3.2 Perbekalan berburu

Ketika perburuan direncanakan untuk menginap di dalam hutan, berbagai alat dan perbekalan dibawa oleh para pemburu untuk memenuhi kebutuhan mereka selama di dalam hutan. Perbekalan yang selalu dibawa oleh pemburu antara lain beras, garam, gula, penyedap rasa, kopi, minyak. Jumlah perbekalan yang dibawa disesuaikan dengan jumlah hari yang direncanakan untuk menginap. Jika saat menginap di dalam hutan mengalami kekurangan bahan makanan, maka hasil buruan yang telah diperoleh dimanfaatkan untuk kebutuhan pangan selama di dalam hutan selain juga memanfaatkan berbagai tumbuhan di dalam hutan untuk bertahan hidup.

Selain perbekalan untuk bermalam di dalam hutan, para pemburu juga membawa peralatan penunjang perburuan yaitu parang, pisau raut (Gambar 6), periuk, terpal, jala ikan, senter, ki’ba (Gambar 7 a), korek api, tali dan belanyat

(Gambar 7 b). Ki’ba dipergunakan untuk mengangkut hasil buruan sementara

(46)

ini tahan terhadap air. Jika perburuan dilakukan oleh beberapa orang atau berburu berkelompok maka perbekalan dan peralatan disiapkan secara bersama-sama oleh anggota kelompok tersebut.

Gambar 7 Ki’ba Gambar 8 Belanyat

Selain alat-alat yang selalu dibawa tersebut, juga terdapat beberapa perbekalan dan peralatan yang tidak boleh dibawa saat berburu. Saat berburu, pemburu dilarang membawa setrum ikan dan racun untuk membunuh ikan. Hal ini dikarenakan aturan adat melarang membunuh ikan dengan dua cara tersebut. Menangkap ikan merupakan kegiatan sampingan yang dilakukan saat berburu. Saat pergi berburu kadang pemburu juga memasang jala ikan di sungai yang dilewati. Kegiatan ini dilakukan sebagai alternatif hasil buruan jika saat berburu tidak mendapatkan hasil buruan sehingga pemburu tidak pulang dengan tangan kosong. Perbekalan lain yang dilarang untuk dibawa adalah ciu, semacam arak

(47)

atau minuman beralkohol khas Dayak Kenyah. Membawa minuman ini saat berburu dianggap tidak baik karena dapat mengganggu kegiatan berburu sehingga pemburu tidak dapat fokus dalam melakukan kegiatan perburuan.

5.1.3.3 Lokasi dan alat transportasi berburu

Dalam melakukan kegiatan berburu, masyarakat diperbolehkan untuk berburu di semua lokasi, akan tetapi terdapat beberapa aturan adat mengenai berburu di luar desa Long Alango itu sendiri. Untuk pemenuhan kebutuhan sendiri masyarakat disarankan untuk tidak berburu di desa lain. Namun jika dipergunakan untuk kepentingan bersama maka boleh berburu sampai desa lain dan meminta izin kepada masyarakat desa tersebut. Selain itu, berburu di tana’ ulen juga memiliki batasan, yaitu untuk konsumsi sendiri dan bukan untuk kepentingan bersama. Tana’ ulen merupakan hutan yang dilindungi secara adat dan pemanfaatannya sangat terbatas dan diatur dengan aturan adat. Pada zaman dahulu, di tana’ ulen bahkan dilarang digunakan untuk berburu. Namun dengan berjalannya waktu demi pemenuhan kebutuhan masyarakat maka sekarang diperbolehkan berburu di tana’ ulentetapi tetap dengan peraturan adat yang telah disepakati.

Secara umum, lokasi yang sering dimanfaatkan masyarakat untuk berburu adalah di dalam hutan, di sekitar sungai dan di bekas ladang (jekkau). Jekkau

merupakan sistem ladang gilir balik dengan periode waktu gilir baliknya setelah enam sampai tujuh tahun. Daerah sekitar sungai yang menjadi lokasi berburu antara lain Sungai Alango Kanan dan Kiri, Sungai Pande, Sungai Enggeng, Sungai Bahau, Sungai Melua, Sungai Arai, Sungai Batu Baya, dan sungai Polong. Selain di sekitar sungai, masyarakat juga berburu di jekkau yang mulai ditumbuhi rumput sehingga menjadi semacam padang alang-alang.

(48)

nasional yaitu di hutan sekitar desa. Sementara itu lokasi jekkau yang digunakan untuk berburu biasanya terletak di sekitar sungai dan tidak masuk ke dalam kawasan taman nasional.

Lokasi yang dilarang digunakan untuk berburu adalah daerah asal babi akan berenang atau migrasi. Peraturan lokasi larangan ini muncul hanya saat musim babi berenang. Ketika babi akan berenang dan ada manusia di daerah asal babi akan berenang maka kemungkinan besar babi akan batal untuk berenang bahkan babi tersebut akan menjauh dari pinggir sungai dan semakin masuk ke dalam hutan. Apabila babi batal berenang maka kesempatan masyarakat untuk memperoleh daging dengan lebih mudah akan batal. Saat musim babi berenang seperti ini maka hasil buruan akan melimpah. Bahkan orang yang tidak sempat atau tidak mampu berburu pun akan mendapatkan daging dari orang-orang di sekitarnya. Larangan ini diberlakukan karena mempertimbangkan kepentingan bersama dalam pemenuhan kebutuhan pangan. Keegoisan satu orang yang berburu di daerah asal babi berenang akan merugikan banyak orang. Oleh karena itu, larangan ini diberlakukan. Masyarakat yang melanggar aturan ini dikenai denda berupa parang. Begitu pula jika ditemukan perahu motor (ketinting) di lokasi asal babi akan berenang maka perahu ini akan dirusak oleh masyarakat dan pemilik ketinting masih akan terkena denda sebuah parang.

Ketika para pemburu berburu hingga menyeberang sungai atau ke desa lain, maka ketinting merupakan alat transportasi yang selalu dipergunakan. Akan tetapi jika kegiatan berburu dilakukan di sekitar desa tanpa harus menyeberang sungai, para pemburu menuju lokasi berburu dengan jalan kaki. Sama halnya dengan perbekalan, jika kegiatan berburu dilakukan oleh beberapa orang maka penggunaan ketinting yang digunakan sesuai dengan kesepakatan antar pemburu yang akan berangkat berburu.

5.1.3.4 Teknik berburu

(49)

Sementara itu berburu secara modern dilakukan masyarakat dengan menggunakan senapan. Pada dasarnya dalam melakukan kegiatan berburu, masyarakat tidak hanya menggunakan satu teknik akan tetapi memadukan beberapa teknik berburu dalam satu waktu. Sesuai pernyataan Puri (1999) bahwa setiap berburu merupakan suatu kombinasi unik dari berbagai keterampilan dan teknik dengan fungsi-fungsi mencari, mengejar dan membunuh.

Berburu secara tradisional menggunakan anjing merupakan teknik yang masih sering digunakan sampai sekarang meskipun penggunaan senjata sudah mulai dominan pada masyarakat Dayak Kenyah. Berburu menggunakan anjing ini pada dasarnya anjing yang melakukan kegiatan perburuan dengan mengejar satwa. Saat mendeteksi keberadaan satwa liar, anjing akan segera mengejar dan membunuh satwa dengan menggigit satwa tersebut. Jika satwa tersebut tidak terlalu besar maka biasanya anjing akan membawa satwa buruan tersebut kepada pemburu. Namun jika satwa buruan relatif besar maka saat anjing mengejar satwa, pemburu akan mengikuti arah lari anjing. Jika satwa buruan telah mati kemudian pemburu akan datang ke lokasi tersebut. Teknik menggunakan anjing ini kadang dipadukan dengan penggunaan tombak atau dalam bahasa lokal disebut

bujak. Saat anjing telah berhasil melumpuhkan satwa buruan, pemburu akan membunuh satwa tersebut menggunakan tombak. Dapat dikatakan berburu dengan teknik ini tidak membutuhkan tenaga yang besar untuk pemburu karena anjinglah yang memburu satwa dan pemburu menunggu hingga anjingnya berhasil melumpuhkan satwa buruan atau bahkan membunuh satwa tersebut.

(50)

anjing, pemburu juga dilarang mengambil rotan sega (Calamus caesius). Jika pemburu ingin mengambil rotan sega maka sebaiknya tidak berburu dan begitu pula sebaliknya.

Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa penggunaan tombak sebagai teknik berburu merupakan pelengkap saat berburu menggunakan anjing. Namun saat tidak membawa anjing, tombak menjadi senjata utama saat berburu (Gambar 9). Pada beberapa tombak kadang dilengkapi dengan sumpit (Gambar 10). Dengan penggabungan dua alat berburu seperti ini maka kegiatan berburu menjadi lebih efektif karena dengan membawa satu alat tetapi memiliki dua fungsi. Bahan pembuat tombak biasanya dari pohon tema’ (Memecylon garcindes), lapang, dan kayu ulas.

(a) (b)

(51)

(a) (b)

Gambar 10 (a) Ujung tombak dilengkapi sumpit (b) pangkal sumpit.

Teknik lain yang digunakan dalam berburu adalah menggunakan sumpit (Gambar 11). Alat ini digunakan dengan cara meniup pangkal sumpit dengan anak sumpit di ujungnya. Penggunaan tombak dan sumpit ini juga dilengkapi dengan penggunaan racun dalam pemakaiannya. Penggunaan racun ini dengan tujuan agar satwa buruan cepat mati.

Penggunaan sumpit sudah mulai jarang belakangan ini karena masyarakat enggan untuk mencari bahan racun. Bahan pembuat racun ini adalah dari getah pohon Salu’ (Antiaris toxicaria), seperti pada Gambar 12. Getah ini diperoleh

(52)

dengan cara menyayat pohon Salu’ hingga keluar getahnya. Getah ini ditampung

ke dalam bambu. Selanjutnya getah yang telah terkumpul dibungkus dengan daun

Sang (Licuala valida) dan bungkusan ini digantung di atas perapian memasak. Untuk cara memasak atau membuat racun adalah getah yang telah kering dikerok secukupunya sesuai kebutuhan kemudian diencerkan kembali dengan air hingga kering. Racun sumpit tidak boleh terkena garam, bawang, dan penyedap rasa saat memasaknya. Saat digunakan racun tersebut juga tidak boleh terkena pada ular sawah karena racun tersebut akan tawar atau tidak berfungsi. Beberapa orang memiliki cara memasak yang berbeda yaitu dengan menambahkan perasan air tembakau ataupun menambahkan air accu. Kemampuan atau kecepatan membunuh satwa dari racun ini berbeda-beda tergantung dari getah yang diambil. Setiap pohon Salu’ memiliki getah dengan kemampuan membunuh yang berbeda-beda. Kemampuan getah Pohon Salu’ tidak bisa diidentifikasi hanya melihat morfologi pohon sehingga masyarakat lokal mengetahui kemampuan getah racun tersebut melalui proses uji coba.

Gambar 12 Getah Kayu Salu’.

(53)

tersebut ditombak. Teknik ini biasanya dilakukan untuk memburu babi berjenggot. Selain teknik tersebut, pemburu biasanya memanggail satwa buruan dengan cara meniup daun. Satwa yang sering datang dengan menggunakan teknik ini adalah kijang dan rusa.

Teknik tradisional lainnya adalah dengan memasang jebakan. Teknik ini mulai jarang digunakan karena membutuhkan waktu yang relatif lama untuk memperoleh satwa buruan. Salah satu jebakan yang digunakan adalah belatek. Jebakan ini terbuat dari bambu yang dibuat menyerupai tombak dan berfungsi mirip dengan tombak. Belatek dipasang pada jalur lintasan satwa. Pemasangan jebakan ini harus ditunggu oleh pemasang karena jebakan dapat membahayakan orang lain yang melintas pada tempat ini.

Teknik berburu lebih moderen menggunakan senapan saat ini lebih dominan digunakan oleh masyarakat lokal (Gambar 13). Penggunaan senapan untuk berburu mulai banyak digunakan pada awal tahun 1980-an. Awalnya senapan hanya dimiliki oleh kepala adat besar, namun seiring berjalannya waktu dan masuknya pengaruh dari kota maka masyarakat mulai memiliki senapan atau membuat sendiri senapan tersebut. Pada zaman dulu dan bahkan sampai sekarang beberapa masyarakat masih ada yang merakit sendiri senapan dan membuat sendiri peluru yang digunakan untuk berburu. Senapan hasil rakitan masyarakat dapat terlihat pada Gambar 14.

(54)

Gambar 14 Senapan rakitan untuk berburu.

Saat musim kemarau, masyarakat sering berburu dengan teknik menunggu satwa di sumber air asin atau dalam bahasa lokal disebut dengan sungan. Teknik ini hanya dilakukan saat musim kemarau karena jika musim hujan sumber air asin ini tidak terasa asin sehingga tidak didatangi oleh satwa. Sumber air asin ini merupakan sumber mineral bagi satwa liar. Satwa yang sering datang minum di sumber air asin ini antara lain kijang (Muntiacus muntjak), rusa sambar (Cervus unicolor), dan kadang juga babi berjenggot (Sus barbatus) maupun beberapa primata.

(55)

beringin (Ficus benjamina), aren (Arenga undulatifolia), bertam (Eugeissona utilis), rambutan hutan (Nephelium lappaceum), la’dan, langsat, maritam, mata kucing, mbu nangau, kara’, bangan, durian hutan (Durio sp.), dan laran babui

(Shorea spp.). Selain sumber pakan babi, sumber pakan kijang juga dijadikan lokasi perburuan. Buah yang biasa menjadi pakan kijang antara lain bangan dan beringin (Ficus benjamina).

Semua kegiatan perburuan, selalu memperhatikan arah angin saat berburu. Arah angin yang baik saat berburu adalah arah angin yang berlawanan dengan arah berjalan pemburu yang sedang mengejar atau mengintai satwa. Jika arah angin searah dengan arah berjalan pemburu yang sedang mengejar ataupun mengintai satwa maka satwa akan pergi karena mendeteksi aroma manusia dan begitu pula sebaliknya.

Burung rangkong sering ditemukan mencari makan di pohon beringin sehingga pohon beringin yang sedang berbuah menjadi lokasi perburuan burung rangkong gading maupun rangkong badak. Dengan mengetahui perilaku burung rangkong yang mencari makan di pohon beringin ini, hal ini memudahkan masyarakat ketika akan berburu rangkong. Selain itu, masyarakat biasanya memasang jerat untuk burung-burung ini pada pohon beringin. Jerat tersebut dinamakan pulut. Pulut terbuat dari getah. Sebatang kayu kecil ujungnya dilengkapi pulut kemudian dipasang di pohon beringin. Saat burung datang dan salah hinggap maka bisa tertancap pada kayu tersebut sehingga burung dapat ditangkap dengan lebih mudah. Namun teknik ini juga sudah mulai jarang dipergunakan karena sudah digantikan dengan teknik berburu menggunakan senapan.

5.1.3.5 Gejala alam dan penunjuk arah untuk berburu

(56)

Berdasarkan hasil wawancara, musim babi berenang tidak bisa dipastikan waktunya. Kadang kala babi bermigrasi sampai beberapa kali dalam satu tahun. Namun pada waktu tertentu musim babi berenang tidak muncul sampai beberapa tahun. Menurut Puri (1999) migrasi babi di kawasan Pujungan-Lurah-Bahau berlangsung selama 4-8 minggu, dapat terjadi sebanyak tiga kali dalam satu tahun, atau satu kali dalam satu tahun. Babi bermigrasi menuju lokasi yang terdapat banyak sumber makanan. Menurut responden, secara perhitungan bulan, biasanya babi bermigrasi pada bulan Juni sampai Juli namun tidak dapat dipastikan periode tahunnya. Berikut ini adalah beberapa gejala alam dimulainya musim babi berenang :

 Munculnya kelelawar atau tawon yang terbang ke arah tertentu. Arah terbang

kelelawar ini menjadi patokan pula untuk babi berenang. Hal ini dikarenakan kelelawar sebagai satwa pemakan buah-buah akan terbang menuju lokasi yang sedang musim buah. Kejadian ini diikuti oleh babi untuk bermigrasi dengan menyeberang sungai ke lokasi yang sedang musim buah,

 Munculnya kupu-kupu berwarna putih di pinggir sungai. Sekitar satu minggu

hingga satu bulan setelah ditemui kupu-kupu putih banyak hinggap di pinggir sungai maka musim babi bermigrasi akan segera dimulai. Jika kupu-kupu putih yang banyak hinggap di pinggir sungai maka babi yang bermigrasi berbadan gemuk. Jika kupu-kupu yang hinggap di pinggir sungai memiliki corak loreng biasanya babi yang bermigrasi berbadan kurus,

 Munculnya akar tumbuhan di bebatuan di pinggir sungai,  Munculnya awan berbentuk lurus dan panjang,

 Jika berburu babi maka hati dari babi tersebut memiliki bentuk yang panjang,  Anjing peliharaan akan mulai sakit-sakitan bahkan sampai mati,

 Angin berhembus ke arah barat secara terus menerus kurang lebih selama 2-3

minggu.

Gambar

Gambar 1  Kerangka pemikiran.
Tabel 1  Substansi Berburu Secara Umum dan Berdasarkan Adat-istiadat
Gambar  2 Motivasi utama kegiatan berburu oleh masyarakat.
Gambar 3  Penjualan hasil buruan.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana nilai-nilai kearifan lokal Suku Anak Dalam (Orang

ELISA ISWANDONO. Integrasi Kearifan Lokal Masyarakat Suku Manggarai dalam Konservasi Tumbuhan dan Ekosistem Pegunungan Ruteng Nusa Tenggara Timur. Dibimbing oleh ERVIZAL

Bagaimana nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Pekon Pahmungan dalam usaha pelestarian repong damar di kawasan penyangga Taman Nasional Bukit Barisan Selatan

Bukannya melindungi kearifan lokal tato yang dimiliki oleh masyarakat suku Dayak Iban, pihak Kejaksaan Agung melalui persyaratan khusus bagi calon pelamar PNS Kejaksaan

Pentingnya mengetahui nilai dari kearifan lokal suatu daerah dalam hal ini bagaimana aktivitas perladangan yang dilakukan oleh kelompok masyarakat Suku Anak Dalam

Faktor dasar yang memengaruhi terpelihara- nya kearifan lokal dalam mengelola hutan TWA Sicike-Cike terdiri dari adat istiadat dalam bentuk pola hidup gotong-royong didasarkan

Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan Teori Aplikasi, Jakarta:Bumi Aksara Jurnal: Ahmal, Kearifan Lokal Pendidikan IPS, Studi Peduli Lingkungan Dalam Hutan Larangan

LADANG BERPINDAH SEBAGAI KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT SUKU DAYAK TAMAN DESA MELAPI 1 KECAMATAN PUTUSSIBAU SELATAN KABUPATEN KAPUAS HULU Maria Goretti K.S1, Eviliyanto2, Galuh