• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1.4 Jenis satwa buruan utama dan status perlindungan

Sebagai sumber pemenuhan kebutuhan protein utama masyarakat, maka saat berburu para pemburu mengutamakan menangkap satwa yang memiliki daging banyak dan memiliki rasa yang enak. Jenis ini banyak diperoleh dari mamalia. Babi berjenggot (Sus barbatus) merupakan satwa buruan utama dan paling disukai bagi masyarakat Dayak Kenyah. Hal ini sesuai pernyataan Sutedja (2005) dan Puri (1999) bahwa babi merupakan satwa kesukaan Suku Dayak dan spesies yang paling banyak diburu. Dalam setiap perburuan, satwa ini menjadi tujuan utama para pemburu.

Selain babi berjenggot, jenis mamalia lain yang menjadi buruan adalah rusa sambar (Cervus unicolor), kijang (Muntiacus muntjak) dan pelanduk kancil

(Traggulus javanicus). Walaupun semua satwa yang ditemui bisa saja ditangkap namun yang menjadi buruan utama adalah mamalia dari ordo Ungulata tersebut. Satwa liar selain buruan utama tersebut hanya menjadi buruan sampingan jika sudah benar-benar tidak mendapat hasil buruan atau tidak bertemu dengan satwa buruan yang diinginkan sementara pemburu harus segera pulang.

Status perlindungan berdasarkan IUCN (International Union for Conservation of Nature) memiliki beberapa kategori. Kategori tersebut antara lain

Vulnerable (VU), Near Threatened (NT) dan Least Concern (LC). Vulnerable

diterapkan pada takson yang tidak termasuk dalam kategori Critically Endangered (CR) atau Endangered (EN) namun mengalami resiko kepunahan yang tinggi di alam dalam waktu dekat sehingga dapat digolongkan dalam Extinct in the wild (EW). Suatu takson disebut Near Threatened setelah penilaian yang dilakukan

tidak sesuai dengan criteria CR, E, atau VU pada masa sekarang tetapi lebih dekat untuk mengelompokkannya pada suatu kategori terancam di masa dekat mendatang. Sedangkan suatu takson disebut Least Concern setelah penilaian yang dilakukan tidak sesuai dengan CE, E, atau VU dan NT pada masa sekarang. Selain status perlindungan berdasarkan IUCN, juga dikategorikan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang pengawetan tumbuhan dan satwa.

Tabel 4 Jenis satwa buruan utama dan status perlindungannya

No Jenis Satwa Liar Status Perlindungan IUCN PP No. 7 Tahun 1999 1 Babi berjenggot (Sus barbatus) VU -

2 Rusa sambar (Cervus unicolor) VU √ 3 Kijang (Muntiacus muntjak) LC √ 4 Pelanduk kancil (Tragulus javanicus) DD √

Berdasarkan status perlindungan diatas (Tabel 4) dapat dilihat bahwa satwa buruan utama dan paling disukai oleh masyarakat Dayak Kenyah yaitu babi berjenggot memilik status Vulnerable. Dengan kategori ini berarti bahwa babi berjenggot menghadapi resiko kepunahan di alam liar. Namun demikian berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang pengawetan tumbuhan dan satwa, babi berjenggot tidak termasuk dalam daftar satwa liar yang dilindungi oleh pemerintah. Rusa sambar memiliki status perlindungan yang sama dengan babi berjenggot yaitu Vulnerable.

Sementara itu, berdasarkan status perlindungan IUCN kijang memiliki status Least Concern. Dengan kategori berarti bahwa saat ini kijang memiliki resiko rendah terhadap kepunahan dan mendapat perhatian paling rendah. Pelanduk kancil berdasarkan status perlindungan IUCN termasuk ke dalam Data Deficient. Hal ini berarti bahwa dalam evaluasi dan penetapan risiko kepunahannya (baik secara langsung maupun tidak langsung) terdapat kekurangan data/informasi mengenai distribusi dan/atau status populasinya sehingga belum diketahui dengan pasti keterancamannya di alam. Berdasarkan peraturan pemerintah, baik rusa sambar, kijang maupun pelanduk kancil termasuk ke dalam satwa liar yang dilindungi oleh pemerintah.

Berdasarkan aturan adat, terdapat beberapa jenis satwa liar yang dilarang untuk dibunuh dan diburu. Peraturan adat ini berdasarkan mitos nenek moyang

yang telah turun temurun dan terus dipraktikkan sampai saat ini. Satwa liar yang dilarang dibunuh dan diburu berdasarkan aturan adat adalah buaya (Crocodylus porosus) dan ular kobra (Ophiophagus hannah). Satwa ini dilarang dibunuh karena berdasarkan mitos satwa ini merupakan jelmaan dari nenek moyang sehingga masyarakat dilarang mengganggu dan bahkan membunuhnya. Untuk burung rangkong badak dan rangkong gading, perburuan satwa ini mulai dibatasi jumlahnya karena kekhawatiran akan kepunahan.

5.1.5 Kearifan Lokal Pengetahuan Berburu

Ketersediaan, kelestarian dan keberlanjutan sumber daya alam ditentukan oleh adanya faktor kearifan sebagai manifestasi akal masyarakat lokal yang tersembunyi dan diyakini sebagai sesuatu yang benar, dirasakan bersama serta merupakan sesuatu yang baik dan berguna bagi kehidupan (Tukan 2000 dalam

Sirait 2005). Dalam praktik perburuan satwa bentuk-bentuk kearifan lokal merupakan hasil akumulasi dari pengamatan dan pengalaman masyarakat dalam proses interaksi yang terus menerus dengan lingkungan dan beradaptasi terhadap waktu dan tekanan. Beberapa bentuk kearifan lokal dalam kegiatan berburu yang dilakukan oleh masyarakat antara lain larangan membunuh satwa liar di dalam hutan tanpa tujuan yang jelas, larangan berburu di daerah asal babi akan bermigrasi, pemilihan satwa buruan dan pemanfaatan beberapa gejala alam untuk berburu satwa liar.

Larangan membunuh satwa dengan tujuan yang jelas memiliki arti penting sebagai pemanfaatan satwa liar secara berkelanjutan atau jangka panjang. Responden menyampaikan bahwa memang ada aturan adat yang mengatur hal ini dan dengan berjalannya waktu masyarakat memiliki kesadaran untuk melaksanankannya. Sebagai suatu bentuk kearifan lokal, larangan ini merupakan hasil pengalaman generasi sebelumnya yang kemungkinan melakukan perburuan melebihi kebutuhan sehingga dikhawatirkan satwa liar buruan mereka akan berkurang. Terbentuknya larangan ini, baik disadari ataupun tidak telah menjadi upaya untuk membatasi perburuan satwa dalam kehidupan masyarakat.

Pemilihan satwa buruan utama yaitu babi berjenggot, rusa sambar, kijang dan pelanduk kancil, yang sampai sekarang diburu dan dikonsumsi masyarakat

juga melalui proses yang panjang berdasarkan pengalaman nenek moyang mereka. Proses ini memilih satwa-satwa dengan daging yang banyak dan rasa yang enak. Babi berjenggot sebagai satwa buruan utama memiliki rasa yang paling enak jika dibandingkan dengan Ungulata lain yang menjadi satwa buruan utama. Memburu satwa apapun yang dijumpai di dalam hutan hanya dilakukan jika memang kondisi mendesak untuk segera pulang dan pemburu belum mendapat hasil. Jika tidak berada pada kondisi seperti ini maka satwa buruan utama mereka tetap babi berjenggot, rusa sambar, kijang dan pelanduk kancil. Berdasarkan pengalaman masyarakat pun dari keempat satwa buruan utama tersebut masyarakat masih memilih lagi satwa dengan daging yang mudah dikonsumsi. Kijang memiliki tekstur daging yang agak keras sehingga satwa ini menjadi alternatif terakhir dari empat satwa buruan utama.

Kearifan lokal tentu saja diajarkan atau diwariskan kepada generasi muda disamping juga diparaktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Begitu pula dengan kegiatan berburu pada masyarakat Dayak Kenyah yang telah ada sejak zaman dahulu. Kegiatan berburu sebagai suatu bentuk penyesuaian diri manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup. Oleh karena itu pengetahuan berburu ini selalu diwariskan kepada generasi muda. Sebagai satu-satunya cara pemenuhan kebutuhan protein hewani maka pengetahuan berburu ini menjadi penting untuk dipertahankan dan diwariskan meskipun teknik berburu mulai menyesuaikan dengan teknologi yang lebih moderen sesuai dengan perkembangan zaman.

Agar pengetahuan mengenai berburu ini tidak hilang, masyarakat selalu mewariskan teknik dan pengetahuan tentang berburu kepada anggota keluarganya. Setiap orang tua khususnya seorang ayah, selalu mewariskan dan mengajarkan teknik berburu serta pengetahuan tentang perjalanan di dalam hutan. Ketika anak laki-laki berumur 12-15 tahun, para orang tua khususnya ayah, sudah mulai menyertakan anak laki-laki mereka saat melakukan perjalanan ke dalam hutan. Sejak umur tersebut para anak laki-laki mulai diajarkan cara berburu dengan melihat orang tuanya yang sedang berburu. Dengan semakin seringnya anak laki- laki diajak orang tua untuk masuk hutan dan berburu maka mereka akan semakin paham mengenai teknik berburu dan hafal daerah-daerah di sekitar desa mereka.

Pewarisan pengetahuan berburu dan perjalanan di dalam hutan tidak hanya dilakukan dari orang tua ke anak tetapi juga dilakukan dari paman kepada keponakan bahkan kepada tetangga terdekat. Hal ini sesuai dengan pendapat Keraf (2002) bahwa kearifan lokal adalah milik komunitas yang dimiliki dan disebarluaskan secara kolektif bagi semua anggota komunitas yang diketahui dan bahkan wajib diajarkan secara terbuka kepada semua anggota komunitas. Sampai saat ini belum ada upaya untuk mendokumentasikan pengetahuan secara tertulis tentang perburuan di desa ini. Pewarisan pengetahuan kepada generasi muda dilakukan secara lisan dan praktik secara langsung di dalam hutan.

5.2 Perkembangan Teknologi dan Adaptasi Budaya

Kebudayaan memiliki sifat yang dinamis dan adaptif karena menyesuaikan dengan kebutuhan fisik, geografis maupun lingkungan sosialnya. Tindakan manusia sebagai bagian dari kebudayaan juga selalu dinamis dan beradaptasi terhadap kebutuhan dan lingkungannya. Dalam penelitian ini salah satu tindakan manusia yang dinamis dan beradaptasi dengan lingkungan yang lebih moderen adalah dengan memanfaatkan senapan untuk kegiatan berburu. Perkembangan teknologi tanpa bisa dielakkan terus terjadi belakangan ini. Teknologi membantu manusia untuk memudahkan pekerjaan agar lebih efektif dan efisien dalam melakukan kegiatan pemenuhan kebutuhan hidupnya.

Masyarakat Dayak Kenyah mulai memanfaatkan senapan sejak tahun 1980-an. Dahulu kepemilikan senapan hanya terbatas pada petinggi adat dan senapan dimanfaatkan untuk pertahanan diri saat berperang melawan penjajah. Namun seiring berjalannya waktu, masuknya pengetahuan baru dari masyarakat yang berkunjung ke kota serta masuknya informasi melalui media elektronik menjadi beberapa faktor yang menyebabkan masyarakat mulai memanfaatkan senapan untuk kepentingan berburu. Dengan menggunakan senapan maka berburu lebih praktis karena masyarakat tidak perlu lagi mencari dan membuat racun untuk tombak maupun sumpit.

Interaksi masyarakat desa ini dengan masyarakat kota ataupun masyarakat desa bepergian ke kota menyebabkan mereka mengetahui pekembangan teknologi. Interaksi inilah yang menjadi salah satu cara transfer pengetahuan

teknik berburu menggunakan senapan. Pemanfaatan senapan sebagai alat berburu tidak dilarang oleh ketentuan adat. Berdasarkan kesepakatan adat seperti yang dijelaskan oleh Kepala Adat Besar Bahau Hulu, pemanfaatan senjata hanya diperbolehkan untuk berburu untuk kepentingan mencari makan atau pemenuhan kebutuhan pangan. Penggunaan senapan ini dengan prinisp kehati-hatian. Prinsip kehati-hatian sangat ditekankan oleh kepala adat besar kepada para pemburu. Ketidakhati-hatian dalam penggunaan senapan akan dikenai sanksi berdasarkan kesepakatan adat.

Meskipun secara teknik berburu yang digunakan masyarakat telah beradaptasi dengan teknologi yang lebih moderen namun nilai-nilai penting dalam berburu masih tetap dipertahankan. Sampai saat ini masyarakat masih menerapkan sistem pemanfaatan satwa liar sesuai kebutuhan sehari-hari. Secara umum masyarakat memahami bahwa perburuan satwa liar hanya sesuai kebutuhan. Selain pewarisan cara atau teknik berburu, para pendahulu mereka juga mewariskan pemahaman mengenai perburuan satwa liar sebatas kebutuhan saja.

Berdasarkan penuturan responden dapat dikatakan bahwa hampir semua kepala keluarga memiliki senapan untuk berburu. Dari hal ini dapat dilihat bahwa saat ini kecenderungan masyarakat lebih banyak dan lebih memilih menggunakan senapan. Begitu pula untuk kedepannya ada kecenderungan masyarakat akan lebih banyak memanfaatkan senapan untuk berburu. Penggunaan senapan dirasakan lebih praktis dan mempermudah kegiatan berburu mereka karena tidak perlu lagi mencari racun sumpit atau tombak ke dalam hutan yang tentu saja membutuhkan waktu. Masyarakat dapat dikatakan cepat memahami teknologi modern sehingga penggunaan senapan cepat menyebar di kalangan masyarakat sendiri. Mereka saling belajar dan berbagai pengetahuan mengenai senapan yang mereka gunakan untuk berburu. Tidak adanya larangan dari ketentuan adat mengenai pemanfaatan senapan untuk berburu juga semakin menguatkan bahwa kecenderungan masyarakat akan lebih memanfaatkan senapan dibanding alat tradisional di waktu akan datang semakin besar.

Dokumen terkait