• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. PEREMPUAN, PRAMUNIAGA DAN LIKA LIKU

4.5. Hubungan Sosial Pramuniaga Perempuan Dengan Pihak

Pramuniaga perempuan berstatus sebagai buruh, yaitu tenaga kerja yang bekerja dalam hubungan kerjanya dibawah perintah orang lain dengan imbalan upah, maka segala tindakannya mendapat pengawasan dari pimpinan toko (Ariani, 1989: 88). Hal ini kemudian membentuk pola hubungan antar pramuniaga perempuan dengan pihak toko. Pola hubungan yang terbentuk adalah pola hubungan yang bersifat vertikal. Hubungan ini mempunyai dua lapisan, yaitu lapisan atas dan lapisan bawah. Dimana, lapisan yang diatas mempunyai kekuatan untuk menentukan atau mengatur kelompok yang berada di lapisan bawah. Pola inilah yang terjadi didalam hubungan antara pramuniaga perempuan dengan pihak toko.

Pihak toko, yang merupakan lapisan atas, menempatkan dirinya pada posisi mengatur dan menentukan nasib lapisan bawah, yang dalam hal ini adalah pramuniaga perempuan. Pola hubungan vertikal tersebut tentu saja membawa implikasi terhadap perlakuan-perlakuan yang diterima oleh pramuniaga perempuan. Perlakuan terhadap

pramuniaga perempuan memang akan sangat tergantung pada pandangan pihak toko, apakah pramuniaga perempuan hanya dianggap sebagai alat produksi, seperti benda mati yang setiap saat dapat diganti, atau sebagai human asset yang berhak atas kepuasan kerja dan kesempatan berkembang yang adil (Hasibuan, 1996: 226).

Kenyataan dilapangan menunjukkan bahwa didalam hubungan keseharian, tidak banyak masalah yang terjadi antara pramuniaga perempuan dengan pihak/pemilik toko. Dalam pergaulan sehari-hari tetap ada keramahan, tegur sapa, bahkan kadangkala diselipi dengan guyonan, walaupun tetap dalam batas-batas kedisiplinan toko. Akan tetapi, sebenarnya didalam hubungan kerja antara pihak toko dengan pramuniaga perempuan, pihak toko hanya menganggap pramuniaga perempuan tidak ubahnya seperti “alat pencetak uang” bagi toko, dimana mereka diwajibkan bekerja siang malam dan jika sewaktu-waktu dipandang tidak produktif lagi maka akan dengan mudah diganti dengan yang baru. Lagi-lagi hal ini tidak disadari oleh para pramuniaga perempuan. Mereka menganggap hubungan dengan pihak toko, seperti yang tampak dipermukaan, tetap terjalin dengan baik. Kondisi ini membuat pramuniaga perempuan tidak banyak menuntut ketika hak-hak mereka (fasilitas kerja, tunjangan, uang lembur, dan lain-lain) tidak diberikan. Mereka tidak sadar bahwa sebenarnya mereka mempunyai hak yang harus diperjuangkan.

Melalui penelitian ini, penulis mendapati bahwa diantaranya ada juga pramuniaga perempuan yang secara terang-terangan mengaku takut untuk menuntut apa yang menjadi haknya tersebut. Mereka masih banyak yang takut bicara atau menyerukan hak-haknya kepada pihak toko, karena mereka juga takut untuk diminta mengundurkan diri atau dipecat. Ketakutan yang ada pada pramuniaga perempuan ini sebenarnya disebabkan

karena telah terbentuk pola ketergantungan pada diri mereka. Ketergantungan ini bisa tercipta atas dasar kepercayaan, akan tetapi bisa juga terjadi karena terpaksa (Murniati, 1992:20).

Pola ketergantungan ini akan terus terbentuk jika pola hubungan yang terjadi antara pramuniaga perempuan dengan pihak toko masih berpola hubungan yang bersifat vertikal (atas bawah) seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Dengan masih adanya pola lapisan atas dan bawah ini, maka pihak toko akan merasa berkuasa dan sebagai tempat bergantung bagi pramuniaga perempuan. Seakan-akan pihak toko adalah “pelindung” bagi pramuniaga perempuan yang merasa aman “berlindung” dibawahnya.

Ketergantungan dari pramuniaga perempuan terhadap pihak toko, selain dikarenakan terbentuknya pola hubungan vertikal, juga secara tidak langsung disebabkan oleh adanya over supply of worker didalam pasar tenaga kerja. Pihak toko akan dengan mudah melepas pramuniaga perempuan yang dianggap “mengulah”, karena penggantinya akan sangat mudah didapat. Kondisi ini disadari betul oleh pramuniaga perempuan, sehingga mereka sangat menjaga hubungan dengan pihak toko. Di satu sisi karena dari dalam diri mereka juga sudah timbul rasa tidak percaya diri untuk berontak karena takut dipecat. Kemudian di sisi lain, kondisi persaingan tenaga kerja yang ketat juga turut menekan karena sewaktu-waktu banyak tenaga kerja perempuan lain yang akan dengan senang hati mengambil alih posisi mereka. Sungguh kenyataan yang sangat memilukan.

Sebenarnya hal ini bisa saja diatasi, jika saja diantara keduanya ada sistem perjanjian kerja yang jelas. Seharusnya pada awal akan masuk kerja, antara calon pramuniaga perempuan dan pihak toko dilakukan suatu perjanjian kerja yang berupa surat perjanjian kerja bersama. Surat perjanjian ini akan memuat berbagai aturan perusahaan

serta hak maupun kewajiban kedua belah pihak (Bermana, 1996: 98). Namun pada prakteknya perjanjian kerja tersebut tidak pernah ada. Banyak pramuniaga perempuan yang bahkan sama sekali tidak mengerti atau bahkan tidak mengetahui apa itu surat perjanjian kerja bersama. Karena dulu ketika awal diterima bekerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak hanya dibacakan dalam bentuk pengarahan. Sehingga tidak aneh jika banyak pramuniaga perempuan yang tidak paham hak dan kewajibannya.

Lemahnya posisi pramuniaga perempuan kemudian dimanfaatkan oleh pihak toko untuk terus-menerus mengeksploitasi mereka. Fasilitas minim, tidak diberikannya seluruh tunjangan, jam kerja yang panjang, kebijakan toko yang memberatkan pramuniaga perempuan, diskriminasi didalam sistem pelatihan, diperlakukan seperti pembantu rumah tangga dan lain-lain adalah bentuk-bentuk pemanfaatan dari kondisi tersebut. Kalaupun ada pramuniaga perempuan yang menuntut, maka tanggapan yang diberikan akan tidak memuaskan. Didalam banyak kasus perselisihan antara pramuniaga perempuan dengan pihak toko, penyelesaian selalu dilakukan secara sepihak, dengan kerugian paling besar selalu dipihak pramuniaga perempuan.

Selama masih ada ketergantungan yang bersifat vertikal dari pramuniaga perempuan terhadap pihak toko, maka hubungan yang terjadi antara keduanya adalah hubungan yang bersifat eksploitatif, dan kerugian akan selalu berada dipihak pramuniaga perempuan. Kondisi ini sebenarnaya bisa diubah, jika ketergantungan yang tidak bersifat vertikal, akan tetapi mempunyai posisi horizontal. Posisi horizontal menunjukka n posisi yang bukan satu tergantung yang lain, melainkan saling tergantung (Murniati, 1992:20). Pramuniaga perempuan tidak selalu berada pada pihak yang membutuhkan dan toko pada

pihak yang dibutuhkan, melainkan hubungan keduanya adalah atas dasar saling membantu dan saling membutuhkan.

Dokumen terkait