• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. PEREMPUAN, PRAMUNIAGA DAN LIKA LIKU

4.7. Hubungan Sosial Pramuniaga Perempuan Dengan

“Pembeli adalah raja”. Itu adalah satu ungkapan yang sangat akrab di dunia perdagangan. Ungkapan tersebut bisa diartikan bahwa pembeli adalah segala-galanya bagi pedagang. Akibatnya, pembeli diperlakukan sedemikian rupa, dilayani dengan baik, disambut dengan ramah, dan sebisa mungkin dituruti segala permintaannya. Bagi pedagang hal itu sangat wajib dilakukan, agar barang dagangannya bisa laku terjual.

Prinsip di atas juga diterapkan pada perdagangan di toko. Pemilik toko berlomba- lomba memberi pelayanan yang menyenangkan hati pembeli, dari sekedar menghias toko dengan lampu-lampu meriah, memberikan fasilitas-fasilitas kenyamanan belanja, hingga menyediakan berbagai macam hadiah dan juga discount harga barang. Semua itu ditujuka n untuk memanjakan pembeli, yang diharapkan akan dapat selalu merasa nyaman jika berbelanja di toko tersebut. Dengan merasa nyaman, maka diharapkan juga pembeli akan selalu kembali ke toko tersebut. Bagi pembeli, hal ini tentu saja menjadi sesuatu yang diharapkan. Pembeli kemudian menjadi terbiasa dengan perlakuan semacam itu. Sehingga ketika pelayanan yang diberikan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, maka mereka akan langsung menuntut untuk diberikan pelayanan yang lebih baik, sesuai dengan yang mereka inginkan.

Pihak yang paling tertekan dalam kondisi semacam ini adalah pramuniaga perempuan. Pramuniaga perempuan akan menjadi tumpuan kedua belah pihak, baik pihak toko maupun pembeli. Di satu sisi pihak toko menekan mereka untuk memberi pelayanan

yang terbaik untuk pembeli, dan sebisa mungkin menarik pembeli untuk membelanjakan sebanyak-banyaknya uang ditoko tersebut. Di sisi lain, pramuniaga perempuan juga dituntut oleh pembeli untuk memberikan kenyamanan dalam berbelanja. Kedua hal tersebut membuat pramuniaga perempuan harus bekerja ekstra hati-hati, jangan sampai membuat kesalahan sedikitpun. Karena jika sampai membuat kesalahan sedikit saja, maka bisa dipastikan tidak akan ada pembelaan bagi mereka dan mereka akan memperoleh sanksi dari pihak toko.

Melayani pembeli bukanlah hal yang mudah bagi para pramuniaga. Karena disamping harus berhadapan dengan beraneka ragam tipe orang, berarti juga harus berhadapan dengan beraneka macam keinginan. Misalnya ada pembeli yang senang jika pramuniaga perempuan selalu memandu untuk mencari barang yang akan dibeli. Akan tetapi tidak sedikit juga pembeli yang merasa tidak senang untuk ditanya dan diantar mencari barang yang dimaksud. Ada juga tipe pembeli yang banyak bertanya dan bertele- tele memilih barang, istilahnya adalah pembeli yang rewel dan cerewet. Akan tetapi ada juga yang ramah dan tidak banyak permintaan.

Untuk semuanya itu, pramuniaga perempuan harus pandai-pandai menempatkan diri mereka dan yang terpenting adalah harus selalu sabar. Sebab jika sampai pramuniaga perempuan kurang sabar dalam melayani pembeli, kemudian pembeli tidak suka dengan pelayanan pramuniaga perempuan lalu mengadukannya ke pihak toko, maka pramuniaga perempuan tersebut tentu akan mendapat teguran dan bahkan juga sanksi.

Satu lagi kasus yang merupakan suatu dilema bagi pramuniaga perempuan, yaitu kasus dimana sering terjadi barang hilang atau pencurian di toko. Peraturan toko sangat jelas, yaitu pramuniaga perempuan harus selalu waspada dan hati-hati mengawasi barang

di counternya. Sebab jika tidak, maka ketika ada barang yang hilang, semua pramuniaga perempuan yang bertugas pada counter atau pada shift tersebut harus mengganti senilai dengan barang yang hilang tersebut. Namun, ketika kemudian pramuniaga perempuan menjadi lebih waspada dan sangat berhati-hati dalam mengawasi setiap pembeli yang datang, maka hal ini juga menjadi masalah. Pembeli yang merasa pramuniaga perempuan terlalu protektif, dengan selalu mengawasi segala geraknya, kemungkinan besar akan tersinggung, marah-marah dan yang paling berat jika kemudian mengadukannya ke pihak toko. Kembali pramuniaga perempuan yang dipersalahkan tanpa diberi kesempatan untuk membela diri. Padahal bisa jadi kesalahan berada di pihak pembeli. Namun posisi konsumen/pembeli pada hukum pasar yang didudukkan sebagai “raja” dalam proses tawar-menawar, menyebabkan kesalahan-kesalahan yang diperbuatnya seakan termaafkan begitu saja.

Bagi pramuniaga perempuan, tidak banyak yang diharapkan dari hubungannya dengan pembeli. Harapannya hanyalah pembeli senang terhadap pelayanannya dan mau membeli apa yang mereka tawarkan. Lebih senang lagi jika pembeli mau menghargai dan menghormati profesi pramuniaga perempuan serta tidak memperlakukan mereka seperti pembantu. Akan tetapi kalau pembeli kurang menghargai apa yang dikerjakan oleh pramuniaga perempuan, itupun bukan menjadi suatu masalah bagi mereka, asalkan pembeli mau membeli. Entah bagaimana caranya, apakah dengan cara terlalu banyak memilih terlalu rewel dan cerewet, memperlakukan mereka dengan sinis atau cara apapun juga, asalkan pembeli tersebut jadi membeli di toko tersebut, maka bagi pramuniaga perempuan hal itu sudah cukup. Karena artinya mereka tidak akan terkena teguran dari pihak toko. Defenisi pramuniaga perempuan terhadap pembeli yang mengganggu adalah

pembeli yang masuk toko hanya melihat-lihat, bertanya-tanya, menawar, atau mencoba barang, akan tetapi tidak membelanjakan uangnya di toko tersebut.

4. 8. Hubungan Sosial Pramuniaga Perempuan Dengan Lingkungan Masyarakat

Manusia pada dasarnya harus menyesuaikan tingkah lakunya dengan lingkungan yang dihadapi. Keberhasilan dalam beradaptasi ditentukan oleh sejauh mana manusia dapat bertahan dan terus hidup dalam lingkungan tersebut, baik lingkungan fisik, sosial maupun budaya (Ahimsa Putra, 1980:1). Perempuan yang bekerja sebagai pramuniaga juga tidak terlepas dari ketentuan tersebut. Walaupun profesi mereka menuntut untuk seharian bekerja di toko, namun tetap saja mereka tidak bisa mengabaikan lingkungan sosialnya. Pramuniaga perempuan tidak bisa terlepas dari masalah penilaian dan perlakuan yang diperoleh dari lingkungan yang sehari-hari berada di sekitarnya dan menyeret mereka ke dalam suatu arus interaksi sosial yang sangat kompleks.

Lingkungan yang dimaksud disini adalah lingkungan diluar tempat kerja/toko. Selesai bekerja, maka seorang pramuniaga perempuan akan kembali memasuki lingkungan sosial yang lain, yaitu lingkungan sosial masyarakat, baik masyarakat umum maupun komunitas masyarakat di sekitar lingkungan tempat tinggalnya. Termasuk juga disini adalah lingkungan keluarga. Dari lingkungan sosial ini akan diperoleh tanggapan, penilaian, dan perlakuan masyarakat ketika bersinggungan dengan profesi pramuniaga perempuan. Tanggapan, penilaian, dan perlakuan lingkungan sosial ini akan terungkap dari pengalaman-pengalaman yang pernah didapat oleh pramuniaga perempuan, ketika mereka berinteraksi dengan lingkungan sosialnya tersebut.

Lingkungan sosial yang terdekat dengan pramuniaga perempuan secara pribadi adalah keluarga. Tanggapan keluarga terhadap profesi pramuniaga perempuan adalah macam-macam. Ada yang biasa-biasa saja, ada yang mendukung, akan tetapi ada juga yang tidak setuju. Walaupun tanggapan bermacam-macam, namun pada dasarnya pekerjaan pramuniaga perempuan bukanlah suatu pekerjaan yang ideal diharapkan oleh setiap keluarga. Pramuniaga perempuan bukanlah pekerjaan yang mempunyai gengsi tinggi, karena banyak yang beranggapan bahwa menjadi pramuniaga tidak memerlukan keahlian dan pendidikan khusus atau hanya sebagai pelayan.

Bagi keluarga yang berlatar belakang dari suku tertentu, beberapa segi dari kehidupan pramuniaga perempuan ini bahkan bertentangan dengan norma-norma yang berlaku pada masyarakat tersebut. Seperti misalnya make up tebal, yang mengesankan seperti perempuan-perempuan nakal, kemudian pramuniaga perempuan yang harus pulang malam apabila mendapatkan shift malam. Sementara ada nilai budaya di masyarakat tidak membenarkan seorang perempuan pulang ke rumah setelah larut malam karena akan dianggap bukan perempuan baik-baik. Hal-hal semacam itulah yang dianggap akan merusak kehormatan keluarga.

Pandangan yang lebih realistis justru ditemui pada keluarga pramuniaga perempuan yang hidup di perkotaan. Latar belakang ekonomi keluarga lebih berpengaruh dari pada latar belakang idiologis. Walaupun tetap menganggap bahwa pekerjaan pramuniaga bukanlah suatu pekerjaan yang diharapkan, namun adanya tekanan ekonomi keluarga yang semakin tinggi, maka hal-hal lain bukan lagi sebagai acuan utama. Yang lebih utama adalah pertimbangan bagaimana untuk tetap dapat bertahan hidup. Pekerjaan pramuniaga perempuan, paling tidak untuk sementara, adalah salah satu pekerjaan yang

ada dan yang mampu mengatasi tekanan ekonomi keluarga. Oleh sebab itu, walaupun banyak harapan-harapan seperti meneruskan sekolah, bekerja kantoran atau menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang diinginkan para perempuan ini, namun untuk sementara, dalam menghadapi kenyataan yang ada dan yang menjadi tumpuan ekonomi keluarga adalah pekerjaan sebagai pramuniaga perempuan.

Selain lingkungan keluarga, di sisi lain pramuniaga perempuan juga dihadapkan pada lingkungan sosial lain, yaitu masyarakat yang berada disekitar lingkungan tempat tinggalnya. Baik pramuniaga perempuan yang kos maupun yang tinggal dirumah sendiri, sama-sama berhadapan dengan masyarakat kota yang kompleks. Kompleksnya masyarakat kota ini memunculkan pandangan dan perlakuan yang beraneka ragam. Namun secara umum, tidak ada masalah yang berarti dalam hubungan antara pramuniaga perempuan dengan masyarakat disekitar tempat tinggal mereka. Hal ini disebabkan karena setiap hari masyarakat bisa melihat dan terbiasa dengan rutinitas kegiatan dan perilaku pramuniaga perempuan. Walaupun harus pulang malam, biasanya masyarakat di sekitar tempat tinggal pramuniaga bisa memaklumi, karena hal itu benar-benar tuntutan dari pekerjaan. Pandangan-pandangan negatif yang mungkin saja muncul pada awal mula bekerja sebagai pramuniaga perempuan, lama-kelamaan akan hilang ketika melihat bahwa perempuan-perempuan yang bekerja sebagai pramuniaga benar-benar bekerja untuk mencukupi kebutuhan ekonomi mereka.

Satu hal yang mungkin menjadi ganjalan dalam hubungan antar pramuniaga perempuan dengan masyarakat sekitar lingkungan tempat tinggalnya ialah ketika hampir seharian waktu pramuniaga perempuan dihabiskan untuk bekerja di toko. Panjang dan tidak pastinya jam kerja pramuniaga ini menyebabkan jarangnya mereka berinteraksi

secara langsung dengan lingkungan sekitarnya. Mereka jarang atau bahkan hampir tidak pernah mengikuti perkumpulan-perkumpulan yang diadakan di masyarakat seperti arisan, pengajian, pertemuan-pertemuan antar tetangga, dan lain lain. Apalagi jika ada acara- acara seperti misalnya sunatan, perkawinan, kematian, yang kebetulan berbenturan dengan jadwal kerja, maka mereka juga tidak akan bisa menghadirinya.

Frekuensi interaksi yang rendah ini membuat pramuniaga perempuan menjadi seakan-akan terasing di lingkungannya sendiri. Hal ini, walaupun banyak dimaklumi oleh tetangga-tetangga sekitarnya, tetapi tetap saja menjadi ganjalan dalam kedekatan hubungan dengan masyarakat sekitar. Seperti misalnya dalam hubungan sosial, tetap saja muncul gunjingan-gunjingan dari para tetangga. Walaupun frekuensinya tidak terlalu sering dan juga sebenarnya tidak terlalu mengganggu, namun hal itu tetap menimbulkan beban psikologis bagi pramuniaga perempuan. Beban psikologis ini muncul dengan adanya semacam perasaan bersalah dan malu karena jarang bergaul dengan masyarakat sekitar. Beban psikologis ini juga mempengaruhi terhambatnya sistem bantuan sosial bagi pramuniaga perempuan. Sehingga ketika suatu saat pramuniaga perempuan akan membutuhkan bantuan atau pertolongan dari masyarakat, baik berupa bantuan materi, tenaga maupun pemikiran yang sebenarnya biasa terjadi didalam hubungan sosial kemasyarakatan, maka akan timbul perasaan malu dan canggung yang kemungkinan akan membuat pramuniaga perempuan mengurungkan niatnya tersebut. Selain itu di dalam segi-segi kehidupan yang lain dalam hubungannya dengan masyarakat sekitar, perasaan- perasaan seperti itu akan terus muncul dan tentu saja akan menghambat keharmonisan hubungan yang terjalin.

Terganggunya keharmonisan hubungan antara pramuniaga perempuan dengan lingkungan sekitarnya tersebut, kemungkinan masih bisa diatasi oleh pramuniaga perempuan dan juga bisa ditolerir oleh pihak masyarakat sekitar. Pramuniaga perempuan kemungkinan masih bisa memberi pengertian dan pembuktian kepada masyarakat sekitarnya, selain masyarakat disekitar tempat tinggal pramuniaga perempuan itu sendiri bisa secara langsung mengamati, bahwa memang begitulah kondisi dan resiko bekerja sebagai pramuniaga.

Namun yang paling sulit adalah hubungan antara pramuniaga perempuan dengan masyarakat umum, dimana pemahamannya terhadap profesi pramuniaga perempuan hanya secara yang tampak dan hanya menilai dari penampilan yang tampak sewaktu bertugas ditoko saja. Selain itu, pada masyarakat pada umum juga sering sekali berkembang rumor-rumor dan istilah yang hampir selalu berkonotasi negatif terhadap pekerjaan pramuniaga perempuan. Sebagai contoh, rumor-rumor dan istilah yang beredar di masyarakat adalah bahwa pramuniaga perempuan itu selain ramah di toko juga bisa “beramah-tamah diluar toko”, kemudian ada sebutan lain untuk pramuniaga perempuan dengan istilah “gadis toko”, atau ada juga berkembang rumor karena kesulitan dalam hal ekonomi, sementara gaji tidak cukup, maka pramuniaga perempuan mempunyai pekerjaan sambilan sebagai perempuan panggilan. Belum lagi disalahartikannya dandanan dan penampilan para pramuniaga perempuan sewaktu bekerja adalah suatu usaha mengundang atau menarik perhatian konsumen laki-laki, yang tidak saja untuk sekedar membeli barang, tetapi juga untuk mengajaknya berkencan. Hal-hal semacam inilah yang kemudian telah membangun opini negatif di masyarakat umum terhadap profesi pramuniaga perempuan. Sementara pramuniaga perempuan sendiri mengalami

kesulitan untuk meyakinkan masyarakat bahwa sebenarnya pekerjaan mereka tidak senegatif itu.

Berbeda dengan masyarakat di sekitar tempat tinggal pramuniaga perempuan, yang setiap hari bisa melihat keseharian mereka, masyarakat umum hanya bisa melihat sebagian saja dari keseluruhan kehidupan pramuniaga perempuan. Masyarakat umum hanya bisa melihat bahwa pramuniaga perempuan itu pada kenyataannya kadang pulang malam, make up tebal dan selalu ramah (sering diartikan genit) pada siapa saja. Hal-hal inilah, yang kemudian dinilai dengan norma-norma yang berlaku pada masyarakat, bahwa perempuan yang suka pulang malam, bermake up tebal , berperilaku genit, pasti bukan perempuan baik-baik. Sehingga menimbulkan penafsiran yang salah terhadap pramuniaga perempuan. Kondisi ini bertambah buruk ketika ada oknum pramuniaga perempuan yang memang menjalani seperti apa yang dituduhkan oleh masyarakat umum tersebut. Walaupun jumlahnya hanya beberapa, namun perilaku oknum pramuniaga perempuan tersebut memperkuat opini negatif masyarakat umum terhadap profesi ini.

Pada akhirnya hubungan sosial antara pramuniaga perempuan dengan masyarakat umum tidak bisa dikatakan terjalin dengan baik. Pramuniaga perempuan sendiri menganggap bahwa masyarakat umum adalah ancaman tersendiri bagi mereka, baik dalam perjalanan berangkat maupun pulang kerja. Akibatnya, ada rasa takut, rendah diri dan cemas didalam diri para pramuniaga perempuan ini. Secara tidak langsung, hal tersebut cukup mempengaruhi sikap mereka ketika bekerja. Ada pramuniaga perempuan yang sengaja mengurangi sikap ramah pada pembeli, ada juga yang curiga terhadap sikap ramah pembeli. Semua itu dilakukan hanya karena mereka tidak mau dianggap sebagai perempuan gampangan. Namun hanya itulah yang bisa dilakukan pramuniaga

perempuan. Mereka tidak bisa lebih meyakinkan masyarakat umum tentang bagaimana sebenarnya pekerjaan mereka. Pada akhirnya pramuniaga perempuan terpaksa menerima dan menjalani kehidupan sehari-harinya dengan pandangan negatif yang diterimanya dari masyarakat.

Dokumen terkait