• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. PEREMPUAN, PRAMUNIAGA DAN LIKA LIKU

4.3. Penghasilan Para Pramuniaga Perempuan

Untuk tahun 2007, UMR (upah minimum regional) yang ditetapkan di Propinsi

Sumatera Utara adalah sebesar Rp.737.794,- perbula

Begitu pulalah pada umumnya rata-rata penghasilan para pramuniaga perempuan ini, yakni sesuai dengan ketentuan UMR yang ditentukan pemerintah. Walaupun ada gaji pramuniaga perempuan yang melebihi UMR, maka kelebihan itu hanya sekitar Rp.100.000 – Rp. 200.000,-.

Penghasilan atau gaji yang diterima oleh pramuniaga perempuan setiap bulannya masih tergolong rendah. Apa yang mereka terima sebagai imbalan dari hasil kerja mereka selama sebulan, pada umumnya menurut mereka tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari mereka dan keluarganya secara layak. Apalagi banyak juga dari para pramuniaga ini adalah merupakan salah satu atau bahkan satu-satunya tulang punggung keluarga.

Artinya disini ternyata masih banyak yang perlu dipertanyakan dan dijelaskan mengenai keefektifan UMR ketika diterapkan sebagai standart minimum kebijakan perupahan. Hampir di semua toko dan semua pihak toko menganggap bahwa besar UMR yang ditetapkan merupakan standart maksimum gaji pramuniaga perempuan. Padahal sebenarnya UMR ditetapkan sebagai standart upah minimum, dimana tenaga kerja yang bekerja dapat bertahan hidup dan terhindar dari kelaparan. Dan untuk menuju ketingkat kemakmuran dan kesejahteraan, sudah seharusnya pihak toko membayar gaji mereka dengan jumlah jauh diatas UMR. (www.nakertrans.go.id)

Apalagi bagi para pramuniaga perempuan baru, masalah gaji bisa lebih buruk lagi. Bagi pramuniaga perempuan yang baru masuk, biasanya diwajibkan melalui masa

percobaan terlebih dahulu kurang lebih selama 1-3 bulan tergantung kebijaksanaan toko, yang biasanya disebut masa training. Selama masa-masa ini, pramuniaga-pramuniaga baru tersebut, sudah dipekerjakan langsung ke counter-counter untuk mendampingi pramuniaga-pramuniaga lama, tetapi mereka hanya mendapat imbalan separuh dari gaji seharusnya.

Padahal waktu kerja mereka sama dengan pramuniaga lama, bahkan seringkali kerja mereka lebih berat, karena banyak pramuniaga perempuan baru yang kemudian menjadi suruhan “seniornya”. Biasanya pramuniaga baru tersebut tidak berani atau bahkan tidak bisa protes. Karena sebagai pegawai baru yang menjalani masa percobaan, mereka harus selalu berusaha membuat kesan yang baik pada pihak toko dengan selalu menunjukkan kepatuhan serta bekerja dengan rajin. Selain itu pramuniaga baru biasanya juga takut dianggap tidak lulus pada masa percobaan oleh pihak toko dan akan dipecat.

Ketakutan-ketakutan dari para pramuniaga baru yang sering dimanfaatkan pihak toko untuk mengambil keuntungan. Pihak toko memanfaatkan adanya ketidakseimbangan

supply and demand tenaga kerja, sehingga mereka berhasil mengeksploitasi calon-calon pramuniaga tersebut, yaitu untuk memperoleh tenaga kerja yang murah (paling tidak untuk 1-3 bulan) dengan kualitas kerja yang sama. Tentu saja para calon pramuniaga yang sangat membutuhkan pekerjaan tersebut tidak akan ambil pusing ketika selama masa tersebut mereka hanya digaji separuh, dengan beban kerja yang sama. Pihak toko pun mengetahui dengan jelas bahwa mereka berada di pihak yang dibutuhkan, sehingga dengan mudah dapat mencari pengganti jika ada calon pramuniaga yang tidak mau mengikuti persyaratan yang diinginkan pihak toko.

Setelah lulus masa percobaan, para calon pramuniaga tersebut harus mulai dari tahap paling bawah. Gaji setiap pramuniaga pada suatu toko biasanya berlainan. Besar kecil gaji ditentukan lamanya mereka bekerja. Semakin lama mereka bekerja di toko tersebut, biasanya semakin besar gajinya. Hal ini membuat para pramuniaga baru mendapatkan gaji dengan standart paling rendah, apapun tingkat pendidikan mereka. Jika mereka rajin dan jarang melakukan pelanggaran-pelanggaran, biasanya gaji tersebut akan mengalami peningkatan.

Ariani (1989: 82) menyebutkan bahwa lamanya bekerja mempunyai korelasi positif terhadap gaji yang diterima. Pernyataan ini tidak sepenuhnya benar. Memang benar bahwa pada umumnya faktor penentu peningkatan gaji bagi pramuniaga perempuan adalah faktor lamanya mereka bekerja. Pernyataan ini didasarkan pada asumsi bahwa setiap tahun atau setiap beberapa bulan sekali, gaji akan selalu dinaikkan.

Tetapi pada kenyataan di lapangan, gaji para pramuniaga belum tentu naik setiap tahunnya. Dari duabelas informan yang diwawancarai penulis, hanya enam orang yang mengatakan bahwa setiap satu tahun sekali ditempatnya bekerja ada kenaikan gaji. Sementara itu, informan yang lain menyatakan bahwa kenaikan gaji mereka tidak bisa dipastikan, baik dalam hal jumlah maupun waktunya.

Ada tiga faktor umum yang menyebabkan terhambatnya kenaikan gaji pramuniaga perempuan :

1) Keuntungan yang diperoleh toko menurun atau omset penjualan rendah.

2) Pramuniaga perempuan banyak melakukan pelanggaran sehingga menghambat kenaikan gaji.

3) Walaupun omset penjualan mengalami peningkatan, tetapi tidak ada itikad baik dari toko untuk menaikkan gaji.

Selain tiga faktor diatas yang menjadi penyebab kecil atau tidak naiknya gaji pramuniaga perempuan, pemotongan gaji juga menjadi sebab mengapa gaji yang diterima oleh pramuniaga perempuan menjadi berkurang. Dimana menurut penulis, ada 2 jenis pemotongan gaji yang dialami oleh para pramuniaga perempuan pada umumnya yakni : pemotongan gaji secara langsung dan pemotongan gaji secara tidak langsung.

Pemotongan gaji secara langsung adalah pemotongan jumlah gaji yang diterima pramuniaga perempuan pada waktu menerima gaji. Pemotongan ini biasanya disebabkan karena pelanggaran absensi (tidak masuk kerja, terlambat, pulang sebelum waktunya), pelanggaran menghilangkan barang dagangan, maupun adanya pemotongan untuk iuran tertentu.

Sedangkan pemotongan gaji secara tidak langsung adalah pemotongan/pengurangan jam kerja pramuniaga perempuan, ini dapat disebabkan oleh beberapa hal: antara lain karena kondisi perdagangan di toko sedang lesu, dan juga karena banyaknya hari libur nasional dalam satu bulan.

Kebijakan pemotongan gaji oleh pihak toko ini kebanyakan bertentangan dengan UU No.25 Tahun 1997 tentang ketenagakerjaan. Dalam pasal 114 ayat 1 disebutkan bahwa “Upah tidak dibayar apabila pekerja tidak melakukan pekerjaan”. (www.nakertrans.go.id)

Dalam hal ini pemotongan gaji memang dibenarkan jika pramuniaga perempuan tidak mau bekerja tanpa alasan yang masuk akal. Akan tetapi tidak setiap kondisi dapat diberlakukan demikian. Ada kondisi-kondisi tertentu, dimana pramuniaga perempuan

tidak dapat melakukan pekerjaannya, tetapi pihak toko tetap harus membayarkan upahnya. Kondisi-kondisi tersebut diatur dalam UU No.25 Tahun 1997 pasal 114 ayat 2 yang berbunyi :

“Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dan pengusaha wajib membayarkan upah apabila :

a. pekerja sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan; b. pekerja tidak masuk bekerja karena berhalangan;

c. pekerja tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang menjalankan kewajiban terhadap negara;

d. pekerja tidak dapat melakukan pekerjaannya karena menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;

e. pekerja bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan, tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang dialami pengusaha;

f. pekerja melaksanakan hak cuti;

g. pekerja melaksanakan tugas organisasi pekerja atas persetujuan pengusaha”. (www.nakertrans.go.id)

Melihat ketentuan perundang-undangan ketenaga kerjaan tersebut, maka penulis mencatat beberapa pelanggaran pemotongan gaji yang seringkali dilakukan oleh pihak toko terhadap pramuniaga perempuan, yaitu:

1) Pemotongan gaji yang dilakukan karena pramuniaga perempuan tidak masuk kerja ataupun pulang lebih awal karena alasan-alasan tertentu, seperti misalnya sakit, urusan keluarga, maupun halangan-halangan yang lain.

2) Pemotongan gaji yang dilakukan dengan mengurangi jam kerja pramuniaga perempuan dengan alasan kondisi toko sedang mengalami kerugian.

Pelanggaran-pelanggaran ini sangat umum terjadi dihampir seluruh pertokoan. Besarnya pemotongan gaji pun bervariasi, tergantung kebijakan yang berlaku di toko tersebut. Ada yang memotong seluruh gaji, separuh gaji, seperempat gaji dan ada yang tidak tentu besarnya.

Namun apapun jenisnya, yang namanya pemotongan gaji tetap mempunyai efek yang sama, yaitu semakin bertambah kecilnya gaji para pramuniaga perempuan. Seringkali hal ini tidak mendapat perhatian dari pihak toko. Pihak toko hanya menuntut pramuniaga untuk selalu disiplin dan bekerja dengan sempurna. Padahal mereka sebenarnya sadar bahwa pramuniaga perempuan merupakan titik awal dari berhasil atau tidaknya operasional perdagangan di toko, tetapi tidak pernah memperlakukan para pramuniaga perempuan ini dengan selayaknya.

Ketika seorang pramuniaga perempuan melakukan kesalahan, maka sanksi pemotongan gaji pun berlaku, tanpa mempertimbangkan alasan yang diberikan. Pihak toko tidak mau peduli apakah kesalahan tersebut sepenuhnya tanggung jawab pramuniaga perempuan atau tidak. Ketika pihak toko merasa dirugikan, maka sanksi akan berlaku. Kondisi ini menjadi tidak adil ketika melihat bahwa toko tidak selalu mengalami kerugian. Artinya, ketika omset penjualan pada toko-toko mengalami peningkatan penjualan yang tinggi, jarang ada penghargaan yang diberikan kepada pramuniaga perempuan. Padahal jelas andil pramuniaga perempuan didalam keberhasilan tersebut sangat besar. Akan tetapi tetap saja pihak toko tenang-tenang saja menanggapi hal tersebut. Seharusnya ketika pihak toko berani memotong gaji pramuniaga perempuan

ketika mereka melakukan kesalahan, maka pihak toko juga harus berani memberikan semacam bonus penjualan, sebagai penghargaan ketika pramuniaga perempuan mempunyai prestasi dalam meningkatkan keuntungan toko. Namun, pertimbangan seperti ini sangat jarang ditemui, bahkan hampir tidak ada.

Jangankan bonus atas penjualan yang meningkat, uang lemburpun tidak pernah diperhatikan. Banyak dari pramuniaga perempuan yang bahkan tidak sadar bahwa mereka mempunyai hak atas uang lembur sebagai imbalan kerja ekstra yang telah dilakukannya. Selain tidak tau terhadap peraturan-peraturan ketenagakerjaan, hal ini juga disebabkan karena begitu pandainya pihak toko dalam mendoktrin pramuniaga perempuan, sehingga seolah-olah kerja lembur yang dilakukan adalah kewajiban pramuniaga perempuan yang sudah seharusnya dilakukan. Jam-jam kerja lembur tersebut diatur pihak toko sedemikian rapinya, sehingga pramuniaga perempuan tidak merasa bahwa sebenarnya mereka telah keluar dari ketentuan jam wajib kerja mereka. Seperti misalnya para pramuniaga perempuan ini disuruh menyapu dan mengepel lantai sebelum dan sesudah toko buka, mencuci piring dan gelas, dan lain sebagainya yang sebenarnya bukan tugas pokok pramuniaga seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Akibatnya, uang lembur yang sebenarnya bisa menambah besarnya penghasilan pramuniaga perempuan, hampir tidak pernah mereka rasakan. Memang ada upah yang diberikan apabila mereka tidak mengambil waktu libur atau sewaktu hari libur tetap masuk kerja, tetapi tetap saja penghasilan mereka kecil.

Jika melihat kondisi tersebut, maka dapat dikatakan bahwa penghasilan yang diterima pramuniaga perempuan tidak mampu ataupun pas-pasan dalam mencukupi kebutuhan hidup mereka. Alhasil berbagai cara dilakukan para pramuniaga ini untuk

menutup kekurangan dari kebutuhan hidupnya sehari-hari. Yaitu dengan mengandalkan sistem gali lubang tutup lubang atau berhutang.

Akan tetapi yang sebenarnya mempunyai peranan penting pada kehidupan pramuniaga perempuan adalah adanya hubungan dan keterikatan mereka dengan keluarga. Walaupun sudah bekerja dan mereka sering memberikan bantuan kepada keluarga, namun ketergantungan ekonomi pada keluarga masih sering terjadi. Bagi pramuniaga perempuan yang hidup terpisah dari keluarga (kos), ketika mereka pulang ke tempat asal sering mereka diberi bekal oleh keluarga, baik berupa bahan makanan maupun uang. Bagi mereka yang masih tinggal dengan orang tua atau keluarga yang lain, maka mereka pun sebenarnya telah menjadi tanggungan keluarga, terutama dalam hal makan, tempat tinggal dan bahkan tidak jarang untuk transportasi. Hal ini sebenarnya yang membuat para pramuniaga betah bekerja dan bisa tetap bertahan, walaupun dengan penghasilan yang pas-pasan. Artinya secara tidak sadar, keluarga pramuniaga perempuan justru menambah keuntungan pihak toko, dengan secara tidak langsung ikut mengsubsidi karyawannya. Satu keuntungan lagi yang diambil oleh pihak toko dengan memanfaatkan lemahnya bargaining power dari pramuniaga perempuan.

4. 4.Pengeluaran Para Pramuniaga Perempuan

Pengeluaran pramuniaga perempuan setiap bulan pada umumnya tidaklah sama, tergantung seberapa banyak kebutuhan sehari-hari yang harus ditutupi. Alokasi penghasilan untuk menutup kebutuhan-kebutuhan tersebut pada tiap-tiap pramuniaga perempuan sangatlah beragam.

Penulis mencatat ada empat hal yang biasanya menjadi pokok pengeluaran dari pramuniaga perempuan :

1) Pengeluaran untuk keperluan pekerjaan.

Keperluan untuk bekerja ini harus terpenuhi, karena kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi tersebut merupakan modal untuk menjalani profesi pramuniaga perempuan. Kebutuhan-kebutuhan yang termasuk didalam keperluan untuk bekerja tersebut adalah seperti pembelian alat-alat kosmetika, transportasi (bensin kendaraan atau ongkos naik angkutan umum), biaya salon, sepatu, pakaian, makan siang diwaktu jam istirahat. Semuanya itu kelihatan seperti kebutuhan yang sifatnya pribadi. Akan tetapi jika kita lihat lebih cermat, maka akan tampak bahwa semua pengeluaran untuk kebutuhan-kebutuhan tersebut adalah dimaksudkan untuk menunjang didalam mereka bekerja.

Bagi pramuniaga perempuan, penampilan yang selalu segar dan menarik adalah modal untuk menarik para pembeli. Pihak toko memang tidak secara tertulis membuat peraturan bahwa seorang pramuniaga perempuan harus memakai make-up, atau harus berpotongan rambut rapi. Akan tetapi pihak toko selalu menekankan bahwa didalam bekerja, pramuniaga perempuan harus ramah, rapi, berpenampilan semenarik mungkin, selalu kelihatan segar dan banyak kriteria lain, yang secara tidak langsung

memerintahkan pramuniaga perempuan untuk selalu ber make-up agar tampak segar, dengan rambut dan pakaian yang rapi. Padahal, Jika pramuniaga perempuan berpenampilan sesuai dengan kriteria-kriteria yang ditetapkan, pihak toko lah yang paling banyak mendapatkan keuntungan. Keuntungan yang diperoleh pihak toko adalah bahwa untuk pemenuhan kebutuhan tersebut, pihak toko hampir-hampir tidak pernah menanggung pengeluarannya. Hanya ada beberapa toko yang memberi tunjangan untuk uang makan, tapi jumlahnya minim. Dalam hal ini pihak toko menarik keuntungan dengan memanfaatkan adanya norma-norma yang berlaku di masyarakat, yang berasal dari pandangan-pandangan gender, tentang bagaimana berperilaku sebagai perempuan. Pandangan bahwa perempuan itu harus pandai berdandan, selalu berpenampilan rapi, halus budi bahasa, ramah dan pandangan- pandangan lain yang membuat pramuniaga perempuan menganggap bahwa sudah seharusnya jika diri mereka berdandan dan berpenampilan rapi ketika mereka bekerja karena mereka adalah perempuan.

Disinilah pihak toko memanfaatkannya untuk mengambil keuntungan. Bahkan seringkali diantara sesama pramuniaga perempuan bersaing dalam hal penampilan ini. Walaupun untuk memenuhi kebutuhan tersebut, mereka harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Jadi, secara tidak sadar mereka juga turut menanggung kepentingan toko yang sebenarnya bukan tanggung jawab mereka.

2) Pengeluaran untuk keperluan pribadi.

Bagi para pramuniaga perempuan yang belum menikah, yang harus dipikirkan adalah keperluan untuk dirinya sendiri dan keluarganya. Dan ada juga pengeluaran untuk mencari hiburan (jalan-jalan, nonton, dan lain-lain) untuk mengisi hidup

mereka yang cenderung monoton setiap harinya. Selain itu mereka juga harus bisa menyisihkan penghasilannya untuk ditabung walaupun sedikit, untuk keperluan mendadak.

3) Pengeluaran untuk keperluan keluarga

Banyak pramuniaga perempuan, selain mencukupi kebutuhan pribadi, juga harus ikut membantu kebutuhan keluarga. Baik itu kebutuhan orang tua, adik, kakak, maupun anggota keluarga lain. Bentuk bantuan tersebut bisa berupa uang, oleh-oleh dan lain-lain. Hal ini bisa terjadi karena status tempat tinggal mereka ada juga yang tinggal bersama dengan orang tua, atau keluarga yang lain, sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa kebutuhan hidup keluarga dimana mereka tinggal, diminta atau tidak, wajib dibantu. Bisa juga walaupun bertempat tinggal terpisah dari keluarga (kos atau ngontrak), akan tetapi tetap saja penghasilan yang didapat harus disisihkan untuk membantu menutupi kebutuhan hidup keluarganya.

Ada semacam beban moral yang secara sosial ditanamkan bahwa karena sudah bekerja dan mempunyai penghasilan, maka wajib untuk membantu keluarga yang dipandang telah berjasa membesarkan mereka. Apalagi jika keluarga tersebut tergolong dari keluarga yang tidak mampu, maka jika tidak membantu akan muncul semacam rasa bersalah, dan juga akan dipandang sebagai orang yang tidak tahu diri.

Di sisi lain, pramuniaga perempuan merasa perlu untuk menjaga hubungan baiknya dengan keluarga yang terdekat. Sehingga dengan memberi bantuan pada keluarga, maka diharapkan hubungan dengan keluarga terdekat dapat terjalin dengan baik. Menjaga hubungan baik dengan keluarga terdekat ini penting karena, seperti telah diungkapkan diatas, mereka belum bisa sepenuhnya melepaskan diri dari beban

dan ketergantungan terhadap ekonomi keluarga, baik bagi mereka yang masih tinggal bersama keluarga, maupun yang sudah tinggal sendiri. Bantuan dari keluarga memang dirasa sangat berguna bagi kehidupan para pramuniaga perempuan. Oleh karena itu, tanpa hubungan baik, maka bantuan, atau apapun namanya, akan tidak pernah mereka dapatkan.

4) Pengeluaran untuk keperluan bersosialisasi atau bermasyarakat.

Walaupun waktu mereka tersita untuk pekerjaan, akan tetapi tetap saja mereka adalah makhluk sosial yang hidup ditengah-tengah masyarakat, yang mempunyai aturan-aturan dan wajib diikuti. Sehingga apa yang terjadi di lingkungan sekitarnya, tidak akan mungkin dilewatkan begitu saja. Untuk ikut bersosialisasi dalam kehidupan masyarakat sekitarnya ini, memerlukan bentuk-bentuk pengeluaran yang jumlahnya tidak kalah besar dari 3 pengeluaran pokok yang lain. Adanya tradisi menyumbang, baik ketika ada acara perkawinan, sunatan, kematian. Sebenarnya diakui mereka sebagai suatu hal yang memberatkan, tetapi tetap harus dilakukan. Belum lagi adanya iuran STM (Serikat Tolong Menolong), iuran arisan dan sebagainya. Bahkan jika belum menerima gaji, untuk memenuhi keperluan ini mereka kadang harus mencari pinjaman. Bagi pramuniaga perempuan yang kos atau tidak tinggal didaerah asalnya, tidak berarti terbebas dari keharusan menyumbang ini. Adanya keterikatan dengan daerah asal membuat mereka tetap harus memberi sumbangan ketika ada keluarga, tetangga atau teman yang memiliki hajatan tertentu.

Menyumbang bagi pramuniaga perempuan merupakan suatu cara yang efektif untuk tetap menjaga hubungan baik dengan lingkungan sosialnya. Mereka menyadari bahwa intensitas pergaulan mereka dengan lingkungan sosialnya sangat sedikit,

sehingga dengan menyumbang ini dimaksud agar mereka tetap bisa hadir walau tidak secara langsung pada pergaulan masyarakat sekitarnya.

Melihat perbandingan antara penghasilan dan pengeluaran pramuniaga perempuan, maka dapat terbayang bagaimana sulitnya kondisi kehidupan pramuniaga perempuan. Sehingga apa yang dikatakan Bermana (1996: 12) bahwa salah satu fungsi kerja bagi manusia adalah mendapatkan penghargaan serta memperoleh penghasilan yang layak, tidak didapatkan oleh pramuniaga perempuan.

Dokumen terkait