• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. PEREMPUAN, PRAMUNIAGA DAN LIKA LIKU

4.9. Pramuniaga Perempuan dan Masa Depannya

Sebenarnya ada perasaan tidak puas pada diri para pramuniaga perempuan dengan apa yang kerjakan selama ini. Pekerjaan pramuniaga perempuan ini tidak menjanjikan apa-apa untuk masa depan dan kehidupan mereka juga tidak ada perubahan, walaupun banyak diantara pramuniaga perempuan yang sudah bekerja lebih dari 1 tahun. Kalau boleh memilih dan sedikit berangan-angan, banyak pramuniaga perempuan yang ingin mencari pekerjaan lain, yang tentu saja gajinya lebih baik dan jam kerjanya lebih pendek. Jenis pekerjaan yang paling ideal dan diminati menurut mereka adalah kerja kantoran, baik menjadi pegawai negeri (PNS), ataupun bekerja sebagai karyawan dibidang administrasi.

Sayangnya mereka sepertinya tidak bisa memilih. Ada juga sebahagian kecil dari pramuniaga perempuan yang masih berharap untuk mendapatkan pekerjaan kantoran tersebut. Biasanya para pramuniaga baru yang menganggap pekerjaan pramuniaga perempuan hanya sebagai batu loncatan saja. Akan tetapi lama-kelamaan, idealisme pramuniaga perempuan baru tersebut akan sedikit demi sedikit terkikis, dan pada akhirnya mereka akan menganggap pekerjaan pramuniaga perempuan ini merupakan pekerjaan satu-satunya.

Walaupun menjadi satu-satunya pegangan, namun banyak dari pramuniaga perempuan yang belum menikah ini menganggap pekerjaan pramuniaga perempuan tidak untuk selamanya. Mereka banyak yang berharap bahwa setelah menikah, maka mereka akan berhenti bekerja sebagai pramuniaga perempuan, karena tanggung jawab untuk mencari nafkah sepenuhnya akan dilimpahkan pada suami mereka.

Jadi, selalu saja para pramuniaga perempuan ini dihadapkan pada pilihan yang sulit, yaitu tetap bekerja sebagai pramuniaga perempuan, atau keluar dari pekerjaan pramuniaga perempuan dan tidak mempunyai penghasilan karena menganggur. Ada beberapa faktor yang mengkondisikan demikian. Faktor-faktor tersebut bisa berasal dari luar (eksternal) dan dari dalam (internal) diri pramuniaga perempuan.

Faktor eksternal lebih banyak merupakan gambaran dari kondisi negara Indonesia beberapa tahun terakhir. Dimana lapangan pekerjaan bertambah sempit, sementara jumlah tenaga kerja semakin meningkat. Akibatnya persaingan untuk memperebutkan lapangan pekerjaan menjadi sangat ketat. Dalam hal ini hanya tenaga kerja yang benar- benar siap pakai saja yang akan mampu memenangkan persaingan tersebut.

Sementara itu faktor internal dari pramuniaga perempuan juga tidak mendukung. Antara lain yang termasuk dalam faktor internal adalah usia yang tidak muda, banyaknya kebutuhan pribadi dan keluarga yang mendesak pemenuhannya, pendidikan yang rendah, tidak mempunyai keterampilan dan keahlian tertentu. Faktor-faktor inilah yang menyebabkan mereka menganggap bahwa pekerjaan pramuniaga merupakan pegangan satu-satunya untuk tetap bertahan hidup.

Pada akhirnya para pramuniaga perempuan menyadari bahwa profesinya ternyata tidak seindah yang dibayangkan. Bekerja sebagai pramuniaga perempuan penuh dengan

berbagai masalah. Tidak saja masalah ekonomi, tetapi juga masalah sosial. Namun tidak bisa dipungkiri juga bahwa mereka membutuhkan pekerjaan ini untuk menutupi kebutuhan hidup yang semakin meningkat. Dan selama ini hanya pekerjaan pramuniaga inilah yang sanggup menampung dan menjadi tumpuan harapan mereka. Paling tidak mereka mempunyai penghasilan yang bisa dimanfaatkan untuk memenuhi tuntutan kebutuhan hidupnya tersebut, walaupun pas-pasan.

BAB V

KESIMPULAN

5.1. Kesimpulan

Pembangunan yang selama ini diartikan sebagai suatu proses ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan dengan menggunakan modal besar, modernisasi dan industrialisasi, ternyata secara tidak langsung telah berpengaruh terhadap peran perempuan. Perempuan mulai banyak yang bekerja diluar lingkungan rumah tangga, didalam berbagai lapangan pekerjaan, dan dengan imbalan uang.

Maraknya tenaga kerja perempuan yang membanjiri lapangan kerja publik, ternyata tidak seperti yang diharapkan. Kebanyakan tenaga kerja perempuan tersebut masuk ke dalam segmen yang tergolong pekerjaan kasar. Data menunjukan bahwa pekerjaan seperti buruh pabrik, pembantu rumah tangga, pramuniaga merupakan tempat- tempat dimana tenaga kerja perempuan berperan secara dominan.

Idealnya suatu peningkatan secara kuantitatif akan lebih baik jika di ikuti dengan peningkatan secara kualitatif. Demikian pula yang seharusnya terjadi pada pekerja perempuan. Apa yang terlihat pada tenaga kerja perempuan Indonesia tidak seperti yang diharapkan. Kemajuan kuantitatif yang tampak mengembirakan, tidak didukung oleh perkembangan kualitatif yang memadai (Abdullah, 1995: 4).

Di sektor formal, peranan tenaga kerja perempuan biasanya jauh lebih kecil. Mayoritas para pekerja perempuan di sektor formal menduduki posisi yang kurang penting. Hal ini sering dikaitkan dengan anggapan masyarakat umum bahwa perempuan memiliki kemampuan yang terbatas dan stabilitas yang kurang mantap.

Kondisi inilah yang terjadi pada tenaga kerja perempuan ini, selain disebabkan oleh faktor ideologis, Hal ini juga disebabkan oleh kapasitas tenaga kerja perempuan yang cenderung terbatas (tingkat pendidikan dan keahlian yang rendah).

Seperti apa yang telah diungkapkan pada bab-bab sebelumnya, penelitian penulis menunjukkan bahwa tekanan ekonomi merupakan faktor utama yang mendorong perempuan untuk bekerja. Sementara itu untuk mengatasi persaingan yang sangat ketat didalam lapangan kerja, maka banyak perempuan yang bekerja sebagai pramuniaga.

Pramuniaga adalah salah satu pekerjaan yang bisa dikatakan sebagai “dunia”nya para tenaga kerja perempuan. Pekerjaan pramuniaga ini memang lebih memberikan peluang kepada tenaga kerja perempuan dari pada laki-laki. Hal ini dikarenakan untuk bekerja sebagai pramuniaga, dibutuhkan spesifikasi atau syarat-syarat khusus, dimana spesifikasi tersebut lebih dominan dimiliki oleh perempuan. Seperti misalnya; menjadi pramuniaga harus berpenampilan menarik, ramah dan pandai berdandan yang kesemuanya digunakan sebagai daya tarik toko untuk meningkatkan jumlah pembeli. Oleh karena itu banyak perempuan yang menerapkan strategi untuk memenangkan persaingan kerja dengan memanfaatkan keunggulan yang dimilikinya tersebut, dengan memilih bekerja sebagai pramuniaga.

Besarnya peluang perempuan untuk mendapatkan pekerjaan pramuniaga ini juga didukung oleh adanya pandangan yang berlaku di masyarakat umum, tentang bagaimana seharusnya menjadi perempuan. Adanya pandangan ini ditangkap oleh pemilik-pemilik toko sebagai sebuah peluang untuk mendapatkan tenaga kerja yang cocok sebagai ujung tombak bisnis mereka. Para pemilik toko mengetahui dengan jelas bahwa untuk

memajukan usaha mereka maka, mereka harus berusaha menjual barang dagangannya sebanyak mungkin.

Tentunya agar barang yang mereka jual tersebut dapat laku di pasaran, maka diperlukan daya tarik tertentu bagi pembeli, supaya bisa tertarik. Disinilah kemudian peran pramuniaga perempuan menjadi sangat penting. Karena disamping mereka bertugas menjual barang, maka pramuniaga perempuan diharapkan juga dapat dijadikan sebagai daya tarik tersendiri bagi para pembeli.

Diserbunya profesi pramuniaga ini, selain disebabkan karena kapasitas tenaga kerja perempuan yang cenderung terbatas, juga disebabkan penampilan luar dari profesi tersebut yang kelihatan bergengsi. Karena menjadi pramuniaga perempuan cenderung identik dengan pakaian yang “wah”, make up tebal dan mudah untuk dikerjakan seiring dengan kemeriahan toko. Padahal belum tentu apa yang terlihat di luar merupakan kenyataan yang sebenarnya dari kehidupan mereka.

Pramuniaga perempuan adalah salah satu bagian dari sebagian rakyat Indonesia yang sebenarnya memiliki kehidupan yang masih jauh dari standart kemakmuran dan kesejahteraan. Realitas kehidupan mereka yang sebenarnya, sangat jauh berbeda dengan apa yang tampak atau ditampakkan ketika mereka bergelut dengan pekerjaannya. Kehidupan yang sebenarnya penuh dengan kerja keras, masalah, tekanan disana sini serta jauh dari kemewahan itu sendiri.

Pemilihan kawasan pasar Kelurahan Kampung Baru Kecamatan Medan Maimun Kota Medan sebagai tempat lokasi penelitian penulis tentang kehidupan para pramuniaga ini, dikarenakan alasan kawasan pasar Kampung Baru merupakan salah satu sentral daripada kegiatan perdagangan dan jasa, serta sebagai salah satu pusat pertokoan di

wilayah Kota Medan. Hal ini terbukti dengan banyaknya jenis-jenis toko yang ada di kawasan pasar Kampung Baru ini dan juga banyaknya tenaga kerja perempuan yang bekerja sebagai pramuniaga perempuan pada toko-toko tersebut.

Hasil penelitian penulis menunjukkan bahwa kemegahan toko dan penampilan “wah” para pramuniaga tersebut, ternyata berbanding terbalik dengan kehidupan para pramuniaga perempuan itu sendiri. Hal ini terbukti bahwa kehidupan para pramuniaga itu sendiri sarat dengan kemiskinan dan ketidakcukupan untuk memenuhi kehidupan mereka sendiri dan keluarganya secara layak. Apalagi banyak juga diantara para pramuniaga perempuan ini yang berperan sebagai salah satu atau bahkan satu-satunya tulang punggung keluarga.

Pada umumnya upah yang diterima para pramuniaga perempuan ini adalah sesuai dengan ketentuan upah minimum yang telah ditetapkan oleh pemerintah untuk Propinsi Sumatera Utara, yaitu Rp.737.794,- perbulan. Kalaupun lebih, hanya sekitar 100-200 ribu rupiah. Padahal sebenarnya UMR ditetapkan sebagai standart upah minimum, dimana tenaga kerja yang bekerja dapat bertahan hidup dan terhindar dari kelaparan. Dan untuk menuju ketingkat kemakmuran dan kesejahteraan, sudah seharusnya pihak toko membayar gaji mereka dengan jumlah jauh diatas UMR.

Akibatnya para pramuniaga ini, dengan kisaran gaji antara Rp.750.000,- sampai Rp 980.000,- perbulan tetap saja hidup serba pas-pasan dan bahkan serba kekurangan.

Kondisi yang demikian dialami para pramuniaga perempuan ini disebabkan oleh beberapa faktor, yang kesemuanya berpusat pada ketidakberesannya sistem manajemen toko di tempat mereka bekerja.

Hal ini terlihat dari pola hubungan antara pihak toko dan pramuniaga perempuan yang cenderung bersifat eksploitatif. Ketergantungan dari pramuniaga perempuan terhadap pihak toko, selain karena disebabkan oleh terbentuknya pola hubungan vertikal yang terjadi diantara mereka, juga secara tidak langsung disebabkan oleh adanya over supply of worker didalam pasar tenaga kerja. Didalam pola hubungan vertikal, pihak toko merasa sebagai pihak yang menentukan dan menjadi tempat bergantung, sehingga bisa memperlakukan pramuniaga perempuan sesuka hati mereka. Jadi pada dasarnya dapat dikatakan bahwa posisi pramuniaga perempuan dimata pengusaha toko hanya dijadikan sebagai alat produksi saja, seperti halnya benda mati yang sewaktu-waktu bisa diganti dengan yang baru.

Pemanfaatan pramuniaga perempuan sebagai daya tarik toko terlihat jelas pada proses rekruitmen. Didalam proses rekruitmen ini, faktor pendidikan dan keahlian hampir-hampir tidak ada pengaruhnya. Biasanya pendidikan memang biasanya dicantumkan sebagai salah satu syarat untuk melamar menjadi pramuniaga. Namun pada prakteknya umur, penampilan dan sikap lebih diutamakan sebagai bahan pertimbangan diterima atau tidaknya menjadi pramuniaga perempuan. Indikasi ini terlihat jelas ketika calon pramuniaga diwajibkan datang langsung dengan berpakaian rapi, sambil membawa surat lamaran dan foto diri yang menarik, baik ukuran pas foto maupun ukuran post card. Jadi dapat disimpulkan bahwa usia muda, penampilan dan sikap sangat menentukan didalam proses rekruitmen pekerjaan pramuniaga perempuan.

Berdasarkan pola pemikiran awal bahwa pramuniaga perempuan juga salah satunya berfungsi sebagai daya tarik toko, maka pihak toko mengharapkan agar pramuniaga perempuan dengan sendirinya tahu bagaimana membuat diri mereka

menarik. Pihak toko memang tidak secara langsung mencantumkan pada peraturan toko, bahwa seorang pramuniaga perempuan wajib berdandan atau memakai kosmetik. Namun jika ada pramuniaga perempuan yang tidak atau kurang bisa berdandan sehingga kelihatan kurang menarik, maka pihak toko akan menegurnya, dan bahkan bisa menggantinya setiap saat dengan pramuniaga perempuan yang baru.

Tuntutan yang tinggi di pihak pengusaha toko tersebut, ternyata tidak diimbangi dengan penghargaan yang sepadan atas hasil kerja pramuniaga perempuan. Tuntutan bahwa pramuniaga perempuan harus selalu tampil sempurna dalam bekerja sehingga dapat menarik minat pembeli dan menjual barang sebanyak mungkin, kemudian juga tuntutan untuk menaati jam kerja yang kadang terlalu panjang, ternyata semua itu tidak diimbangi dengan besarnya gaji, tunjangan-tunjangan yang menjadi hak pramuniaga, fasilitas kerja dan bonus, dan juga bentuk-bentuk perlakuan tidak adil yang diterima pramuniaga perempuan.

Dari wawancara penulis dengan semua informan, diketahui bahwa mereka menganggap upah mereka masih sangat kecil dan mereka tidak puas dengan upah mereka sekarang ini karena kebutuhan hidup yang semakin bertambah seiring dengan kenaikan harga. Tetapi yang menjadi persoalan, mereka tidak berdaya untuk menyatakan keberatannya. Dari duabelas informan yang diwawancarai, hanya enam orang yang mengatakan bahwa setiap setahun sekali ditempatnya bekerja ada kenaikan gaji. Sementara itu, informan yang lain menyatakan bahwa kenaikan gaji mereka tidak bisa dipastikan, baik dalam hal jumlah maupun waktunya.

Pihak toko semakin berkuasa dan merasa sebagai tempat bergantung bagi pramuniaga perempuan. Seakan-akan pihak toko adalah “pelindung” bagi pramuniaga

perempuan merasa aman “berlindung” dibawahnya. Sehingga yang terjadi kemudian adalah pramuniaga perempuan menjadi tidak percaya diri ketika suatu saat harus keluar dari tempat dimana mereka “berlindung”, untuk menuntut hak-hak mereka.

Hubungan yang sifatnya eksploitatif antara pemilik toko dengan pramuniaga perempuan, dimana pemilik toko bisa berlaku sesuka hatinya terhadap pramuniaga perempuan disebabkan karena tidak diberadakannya surat perjanjian kerja yang jelas tentang hak dan kewajiban kedua belah pihak. Hasil penelitian penulis menunjukkan bahwa masih banyak pramuniaga perempuan yang tidak mengerti atau bahkan tidak mengetahui keberadaan surat perjanjian kerja bersama tersebut.

Pramuniaga perempuan yang rata-rata mempunyai tingkat pendidikan rendah, membuat mereka tidak mengerti mengenai perjanjian kerja sama tersebut. Kalaupun ada yang mengetahuinya, mereka tidak mempunyai cukup keberanian untuk menanyakannya pada pihak toko. Ketidaktahuan dan ketakutan para pramuniaga perempuan tentang menuntut hak-haknya tersebut telah membuka kesempatan bagi pihak toko untuk membuat kebijaksanaan yang hanya mementingkan keuntungan toko tanpa memikirkan nasib para pegawainya.

Keputusan sepihak dari pihak toko di dalam menentukan kebijakan ini, ternyata juga turut mempengaruhi hubungan antara sesama pramuniaga. Hubungan antara sesama pramuniaga perempuan yang sebenarnya dapat terjalin dengan baik tiba-tiba bisa berubah menjadi suatu konflik yang tajam hanya karena disebabkan oleh kebijakan pihak toko tersebut yang seakan cenderung “mengadu domba” para pramuniaga ini. Kenaikan gaji yang tidak jelas, kemudian standart pemberian sanksi yang semena-mena, adalah hal-hal seringkali memunculkan konflik diantara pramuniaga perempuan.

Justru yang menarik adalah adanya fenomena kebiasaan “ngobrol” yang bisa berfungsi sebagai perekat dan pembangkit solidaritas dikalangan pramuniaga perempuan. “Ngobrol” dijadikan sebagai media untuk saling bertukar pikiran dan pengalaman dari para pramuniaga perempuan. Namun disisi lain kebiasaan tersebut juga rentan memicu kemunculan konflik. Walau konflik yang terjadi karena kebiasaan ngobrol tidak separah konflik yang ditimbulkan oleh kebijakan toko yang dibuat sepihak.

Belum lagi hubungan para pramuniaga ini dengan pembeli. Karena melayani pembeli bukanlah hal yang mudah bagi para pramuniaga, disamping harus berhadapan dengan beraneka ragam tipe orang, berarti juga harus berhadapan dengan beraneka macam keinginan. Pihak toko juga menekan mereka untuk memberi pelayanan yang terbaik untuk pembeli, dan sebisa mungkin menarik pembeli untuk membelanjakan uang sebanyak-banyaknya ditoko tersebut. Sebaliknya para pramuniaga perempuan ini juga dituntut oleh pembeli untuk memberikan kenyamanan dalam berbelanja.

Untuk semuanya itu, pramuniaga perempuan harus pandai-pandai menempatkan diri mereka dan yang terpenting adalah harus selalu sabar. Sebab jika sampai pramuniaga perempuan kurang sabar dalam melayani pembeli, kemudian pembeli tidak suka dengan pelayanan pramuniaga perempuan dan kemudian mengadukannya ke pihak toko, maka yang terjadi, pramuniaga perempuan tersebut sudah pasti akan mendapat teguran dan bahkan juga sanksi.

Sebenarnya bagi para pramuniaga perempuan, tidak banyak yang diharapkan dari hubungannya dengan pembeli. Harapannya hanyalah pembeli senang terhadap pelayanannya dan mau membeli apa yang mereka tawarkan. Entah bagaimana caranya, apakah dengan cara terlalu banyak memilih, terlalu rewel dan cerewet, memperlakukan

mereka dengan sinis, atau cara apapun juga, asalkan pembeli tersebut jadi membeli di toko tersebut, maka bagi pramuniaga perempuan hal itu sudah cukup.

Selain itu, apa yang diterima pramuniaga perempuan di dunia kerja ini ternyata juga terjadi pada sisi kehidupan mereka yang lain. Terutama pada hubungan mereka dengan lingkungan sosialnya, baik lingkungan keluarga, lingkungan sekitar tempat tinggal dan juga lingkungan masyarakat umum. Penghasilan yang kecil dan jam kerja yang panjang sedikit banyak telah berpengaruh pada kehidupan sosial ekonomi para pramuniaga perempuan. Kecilnya penghasilan yang diterima pramuniaga perempuan telah membuat mereka berusaha mencari tambahan penghasilan, yaitu dengan mencari jam-jam tambahan pada hari-hari dimana mereka seharusnya libur. Akibatnya jam kerja pramuniaga perempuan yang sudah panjang dan tidak menentu ini menjadi semakin bertambah panjang.

Kondisi ini membuat sebagian besar waktu mereka dihabiskan di toko sehingga menyebabkan waktu yang seharusnya dialokasikan untuk kehidupan sosial mereka menjadi sangat berkurang. Waktu untuk bersosialisasi baik dengan keluarga maupun untuk masyarakat sekitar tempat tinggal seperti: acara arisan, pengajian dan lain-lain menjadi sangat pendek, bahkan hampir tidak ada. Hal ini akan berpengaruh terhadap kedekatan pramuniaga perempuan dengan lingkungan sosialnya.

Belum lagi pandangan negatif terhadap profesi pramuniaga perempuan, juga masih diberikan oleh sebagian masyarakat umum. Masyarakat umum sering menyalahartikan penampilan dan kebiasaan pramuniaga perempuan yang ramah, penuh senyum, pulang larut malam dan make up tebal. Padahal penampilan dan kebiasaan tersebut mereka lakukan hanya karena memenuhi tuntutan toko tempat bekerja. Rumor-

rumor negatif berkembang mengacu pada penghasilan pramuniaga perempuan yang kecil sehingga untuk mencukupi kebutuhan ekonomi, sehingga mereka mau menjadi perempuan panggilan telah beredar di masyarakat umum. Indikasi negatif ini terlihat ketika ada istilah-istilah “gadis toko” atau “wanita panggilan”. Selain itu juga terlihat dari seringnya pramuniaga perempuan mendapat godaan-godaan dijalan, baik berupa ajakan iseng, maupun berbentuk suitan-suitan. Menghadapai hal ini pramuniaga perempuan tidak bisa berbuat apa-apa, karena mereka tidak mungkin menjelaskan pada seluruh masyarakat umum, bahwa profesi mereka tidaklah senegatif yang dituduhkan.

Sementara itu, kehidupan sosial pramuniaga juga turut berimbas oleh kondisi pekerjaan mereka. Jam kerja yang cukup panjang dan sering tidak menentu, membuat mereka sulit bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya. Tidak itu saja, pandangan- pandangan negatif dari masyarakat umum pun masih sering menerpa kehidupan mereka. Sehingga pada dasarnya, kehidupan pramuniaga perempuan adalah kehidupan yang rentan dengan berbagai masalah, baik masalah sosial maupun ekonomi.

Pekerjaan pramuniaga perempuan sebenarnya tidak menjanjikan apa-apa untuk masa depan. Hal ini bisa dilihat dari kehidupan mereka yang tidak ada perubahan, walaupun banyak diantara pramuniaga perempuan yang masa kerjanya sudah mencapai lebih dari satu tahun. Kalau boleh memilih dan sedikit berangan-angan, banyak pramuniaga perempuan yang ingin mencari pekerjaan lain, yang tentu saja gajinya lebih baik, dan jam kerjanya lebih pendek. Jenis pekerjaan yang paling ideal dan diminati menurut mereka adalah kerja kantoran, baik menjadi PNS, maupun bekerja sebagai karyawan dibidang administrasi. Tetapi mengingat tingkat pendidikan para pramuniaga ini yang umumnya rendah, mereka harus puas dengan pekerjaan mereka sekarang ini.

Pada akhirnya pramuniaga perempuan menyadari bahwa apa yang mereka persepsikan tentang kenyamanan dan kemudahan profesi tersebut adalah semu. Gemerlapnya penampilan dan megahnya pertokoan ternyata tidak menular kedalam kehidupan mereka sehari-hari

5.2. Saran

Pekerjaan sebagai pramuniaga ini sebenarnya cukup menguntungkan bagi para tenaga kerja perempuan. Oleh karena itu diharapkan agar bisnis pertokoan dapat berkembang dengan baik sehingga dapat menyerap jumlah pengangguran yang semakin meningkat, khususnya tenaga kerja perempuan. Namun agar tidak terjadi lagi hubungan yang sifatnya eksploitatif, seperti yang selama ini terjadi. Maka ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan, terutama oleh pihak-pihak yang bersinggungan langsung dengan permasalahan ini, yaitu pengusaha/pemilik toko, pramuniaga perempuan dan juga pemerintah.

Sebaiknya sebelum memasuki pekerjaan tersebut, antara pramuniaga perempuan dengan pihak toko mengikatkan diri didalam suatu perjanjian kerja bersama. Dengan demikian masing-masing pihak akan tahu hak dan kewajibannya masing-masing. Tentu saja adanya surat perjanjian kerja sama ini harus diikuti dengan konsistensi pelaksanaanya, terutama oleh pihak toko. Karena tanpa konsistensi pelaksanaannya, maka surat perjanjian ini hanya menjadi omong kosong belaka, dan tetap saja banyak kebijakan toko yang merugikan pramuniaga perempuan.

Berkaitan dengan diadakannya surat perjanjian kerja bersama ini, maka diharapkan dan disarankan adanya kebijakan untuk mengubah pola hubungan vertikal

yang terjadi selama ini antara pihak toko dan pramuniaga perempuan, menjadi pola hubungan yang bersifat horizontal. Selama pola hubungan masih bersifat vertikal (atas- bawah) maka yang terjadi adalah pola hubungan yang sifatnya eksploitatif, karena lapisan bawah akan terus tergantung dengan lapisan diatasnya. Sementara pola hubungan horizontal membuat posisi tidak tergantung satu dengan yang lain, melainkan akan saling berhubungan atas dasar saling membantu dan saling membutuhkan. Sehingga kedua belah pihak tidak ada yang merasa dirugikan.

Sebagai konsekuensi adanya surat perjanjian kerja sama tersebut maka diharapkan bagi pihak pemilik toko untuk mengubah pandangannya terhadap pramuniaga perempuan. Sebab selama ini pramuniaga perempuan hanya dipandang sebagai alat produksi, benda mati yang setiap saat bisa diganti. Akan lebih baik para pramuniaga perempuan dipandang sebagai human asset yang berhak atas kepuasan kerja dan

Dokumen terkait