PLURALISME HUKUM YANG BERLAKU DALAM PERKAWINAN UMAT HINDU DI BALI
3.3. Hukum Adat Dapat Menyimpangi Ketentuan Undang-undang Perkawinan
Di samping sebagai pelengkap, dalam aspek-aspek tertentu justru hukum agama dan atau hukum adat diberi kedudukan yang lebih kuat dari ketentuan yang sudah digariskan dalam Undang-undang Perkawinan. Hal itu dapat dilihat dari ketentuan yang mengatur tentang syarat-syarat perkawinan dan ketentuan mengenai perkawinan kembali pasangan yang sudah pernah bercerai.
Syarat-syarat perkawinan diatur oleh Pasal 6 yang terdiri dari 6 (enam) ayat. Dari ayat (1) sampai dengan ayat (5) dipersyaratkan bahwa: (a) perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai; (b) untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum genap mencapai usia 21 (duapuluh satu) tahun harus mendapat ijin kedua orang tua. Kemudian, pada Pasal 6 ayat (6) di tentukan bahwa: ”Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain”. Dengan mudah ayat ini dapat ditafsirkan bahwa syarat-syarat yang ditentukan dari ayat (1) sampai dengan ayat (5) di atas dapat disimpangi apabila hukum agama dan atau hukum adat menentukan lain. Atas dasar landasan yuridis inilah perkawinan secara ngerorod dapat tetap dilakukan sebab hukum adat dan hukum agama mengakui keberadaan perkawinan secara ngerorod ini. Dalam perspektif hukum, perkawinan ngerorod harus dilihat sebagai cara pendahuluan pelaksanaan perkawinan di mana calon mempelai atas dasar kesepakatan bersama suka sama suka (cinta) lari bersama untuk melakukan perkawinan. Motifnya, pada umumnya karena rencana perkawinan pasangan ini mengalami halangan dari pihak keluarga, yaitu tidak adanya restu atau izin dari orang tua; karena perbedaan kasta, atau adanya halangan adat lainnya. Di dalam Kitab Manawa Dharmacastra, cara perkawinan ngerorod mirip dengan jenis perkawinan secara gandharwa wiwaha, seperti disebutkan dalam Buku III:32. Sampai saat ini, perkawinan dengan cara ngerorod masih tercantum dan diakui dalam awig-awig desa
SEMINAR NASIONAL SAINS DAN TEKNOLOGI IV 2017
“Inovasi Humaniora, Sains dan Teknologi untuk Pembangunan Berkelanjutan”
pakraman di Bali sebagai cara alternatif pelaksanaan perkawinan di samping perkawinan dengan cara pepadikan (meminang) (Sudantra, Sudiana, & Narendra 2011. h.37).
Perihal perkawinan kembali pasangan yang telah pernah bercerai, Pasal 10 Undang-undang Perkawinan menentukan: ”Apabila suami dan istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu dari yang bersangkuitan tidak menentukan lain”. Lagi-lagi pasal ini memberi peluang kepada hukum adat untuk menyimpangi ketentuan Pasal 10 ini apabila hukum agama dan atau hukum adat menentukan lain.
4. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas dapat dijelaskan mengenai posisi hukum adat Bali dalam kerangka berlakunya hukum perkawinan nasional. Dari perspektif kehidupan bernegara di bawah Negara Kesatuan Republik Indonesia, hukum yang berlaku bagi umat Hindu di Bali adalah hukum perkawinan nasional di bawah payung Undang-undang Perkawinan. Hukum adat Bali yang dijiwai agama Hindu tetap berlaku sepanjang diberi peluang berlaku oleh peraturan perundang-udangan. Analisis terhadap pasal-pasal Undang-undang Perkawinan menunjukkan posisi hukum adat Bali dalam pelaksanaan perkawinan umat Hindu di Bali, yaitu: pertama, dapat melengkapi hukum perkawinan nasional dalam aspek-aspek yang belum diatur oleh peraturan perundang-undangan; dan kedua, dapat menyimpangi ketentuan-ketentuan yang sudah digariskan dalam hukum perkawinan nasional, terutama pada aspek-aspek yang secara jelas dinyatakan dalam undang-undang sebagai aspek-aspek yang dapat disimpangi oleh hukum agama dan atau hukum adat.
Ucapan Terimakasih
Kami mengucapkan terimakasih kepada berbagai pihak yang telah membantu kami dalam proses penulisan ini sehingga tulisan ini bisa hadir dihadapan pembaca. Kepada Prof. Dr. I Made Arya Utama, SH, M.Hum., Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana, secara khusus kami menyampaikan penghargaan dan ucapan terimakasih karena telah mengijinkan kami melakukan penelitian disela-sela kesibukan tugas mengajar. Tidak lupa pula kepada Prof. Dr. Ir. I Gede Rai Maya Temaja, MP., Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Udayana, kami mengucapkan terimakasih karena telah memfasilitasi pendanaan penelitian yang menjadi dasar pembuatan karya tulis ini. Semoga budi baik para pihak yang telah membantu kami mendapat pahala yang semestinya dari Hyang Widi, Tuhan Yang Maha Kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Adnyani Ni Ketut Sari (2016) ‘Bentuk Perkawinan Matriarki pada Masyarakat Hindu Bali Ditinjau dari Perspektif Hukum Adat dan Kesetaraan Gender’, Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora, Vol.5 No 1, April 2016, h. 754-769. Available at:
https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/JISH/article/view/8284/5500 [Diunduh: 7 November 2017]
Dharmayudha I Made Suasthawa, I Wayan Koti Cantika, (1991) Filsafat Adat Bali, Upada Sastra. Dyatmikawati Putu (2011),’Perkawinan Pada Gelahang dalam Masyarakat Hukum Adat di Provinsi
Bali Ditinjau dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan’, DIH, Jurnal Imu Hukum, Vol.7 No.14., h. 107-123. Available at:
file:///C:/Documents%20and%20Settings/user/My%20Documents/Downloads/273-777-1-PB.pdf [Diunduh: 7 November 2017]
Dyatmikawati Putu. (2016) ‘Inheritance Right of Women Based on Customary Law in Bali’, International Journal of Business, Economics and Law’, Vol. 11. Issue 4 (Dec), pp. 13-16. Available at: http://ijbel.com/wp-content/uploads/2017/01/LAW-5.pdf [Diunduh: 2 Oktober 2017]
Griffiths J. (1986) “What Is Legal Pluralism?”, dalam Journal of Legal Pluralisme and Unofficial Law Number 24 , Published by the Foundation for the Journal of Legal Pluralismm, pp. 1-55. Available at:http://commission-on-legal-pluralism.com/volumes/24/griffiths-art.pdf [Diunduh: 2 Oktober 2017]
Mukti Fajar ND & Yulianto Achmad (2010) Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
SEMINAR NASIONAL SAINS DAN TEKNOLOGI IV 2017 “Inovasi Humaniora, Sains dan Teknologi untuk Pembangunan Berkelanjutan” Soemadiningrat H.R. Otje Salman (2002) Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, Alumni,
Bandung.
Sudantra I Ketut, I Gusti Ngurah Sudiana dan Komang Gede Narendra (2011), Perkawinan Menurut Hukum Adat Bali, Udayana University Press, Denpasar
Sudantra I Ketut, I Made Walesa Putra, Yuwono (2016) ‘Aspek-aspek Hukum Keluarga dalam Awig-awig Desa Pakraman’, Jurnal Magister Hukum Udayana Vol. 5, No. 1, Mei 2016, h. 43-58. Available at: https://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu/article/view/21571/14440 [Diunduh: 3 Oktober 2016]
Surpha I Wayan (2006) Seputar Desa Pakraman dan Adat Bali, Pustaka Bali Post.
Udytama I Wayan Wahyu Wira (2015) ‘Status Laki-laki dan Pewarisan dalam Perkawinan Nyentana’, Jurnal Advokasi, Vol 5 No 1 Maret 2015, h. 73-88. Available at:
http://ojs.unmas.ac.id/index.php/advokasi/article/view/150/128 [Diunduh: 8 November 2017] Windia Wayan P. dan I Ketut Sudantra (2016) Pengantar Hukum Adat Bali, Swasta Nulus
bekerjasama dengan Bali Shanti LPPM Universitas Udayana, Denpasar.
Wiryawan I Wayan Gede, Ketuit Sukawati Lanang P. Perbawa, I Wayan Wiasta (2015) ‘Hukum Adat Bali Di Tengah Modernisasi Pembangunan dan Arus Budaya Global’, Jurnal Bakti Saraswati, Vo. 4 No. 2 September 2015, h. 169. Available at:
SEMINAR NASIONAL SAINS DAN TEKNOLOGI IV 2017
“Inovasi Humaniora, Sains dan Teknologi untuk Pembangunan Berkelanjutan”