• Tidak ada hasil yang ditemukan

Humint dalam Sistem Deteksi Din

Dalam dokumen Negara, Intel, dan Ketakutan (Halaman 138-146)

Oleh: Otto Pratama

II. Humint dalam Sistem Deteksi Din

Cara identifikasi teroris yang belum diketahui identitasnya adalah pekerjaan yang sulit dilakukan. Pada umumnya, aktor yang terlibat dalam kelompok teror tidak pernah memiliki catatan atau rekor apapun yang dimiliki oleh pihak keamanan, dalam hal ini pihak kepolisian. Kelompok teroris biasannya merekrut individu yang belum pernah berhubungan atau memiliki masalah dengan kepolisian. Misal Dr Azhari bin Husin15 yang pernah menjadi dosen

di Malaysia dan pekerja profesional di sebuah perusahaan property di Indonesia. Sebelumnya, nama Dr. Azhari bin Husin tidak pernah memiliki catatan perbuatan melawan hukum baik di Indonesia maupun Malaysia. Pada aksi teror pertama yang dilakukan oleh Dr. Azhari bin Husin, otoritas keamanan nyaris tidak memiliki petunjuk apapun yang dapat mengkaitkan diri Dr. Azhari bin Husin.

Memecahkan misteri pelaku pemboman menjadi lebih mudah dilakukan ketika aksi teror tersebut telah terjadi. Karena kejadian aksi teror biasanya meninggalkan jejak tidak hanya dalam bentuk

14 R. Fred Scheirer, Op.cit.

15 Ken Conboy, The Second Front : Inside Asia’s Most Dangerous Terrorist Network, Jakarta :

forensik seperti rambut atau darah, tetapi juga ingatan ingatan korban, saksi dan bahkan pelaku yang secara tidak sengaja mem- berikan petunjuk-petunjuk penting setelah aksi teror terjadi. Se- perti Dr. Azhari bin Husin baru dapat diketahui keberadaannya di belakang aksi teror setelah dia melakukan beberapa kali aksi teror bom. Dr. Azhari namanya mulai teridentifikasi ketika polisi Malaysia dan Indonesia melakukan uji silang atas informasi yang didapatkan dari tersangka aksi bom Bali I, Abdul Aziz alias Imam Samudra dan Muklas alias Ali Gufron, dan tersangka kasus bom yang tertangkap di Malaysia16.

Cara Mengidentifikasi Aksi Terorisme yang Belum Terjadi

Jalinan yang kuat antara humanintelligence, signal intelligence, data analis dan kerjasama dengan pihak penegak hukum dan juga pertukaran informasi antardinas intelijen negara lain senjadi sebuah prasyarat penting. Semua prasyarat ini menjadi suatu keharusan dalam intelijen untuk menjamin pasokan informasi (realtime) yang diperlukan dalam operasi counter terorism.

Metode pengumpulan informasi humint adalah metode kerja

intelijen klasik. Sebelum ada dinas intelijen humint mungkin sudah ada lebih dahulu. Humint berkaitan dengan penggunaan sumber daya manusia, agen intelijen untuk mendapatkan produk intelijen dari sumber terbuka dan tertutup17. Sedangkan technint berkaitan

dengan berbagai teknologi informasi yang digunakan untuk men- cari informasi intelijen. Keberadaan technit memang menjadi ele- men yang paling penting dalam pertahanan negara. Bagi negara adidaya ataupun negara-negara Utara, mereka bisa mengoperasikan

16 ”Kepala Polisi Diraja Malaysia Temui Tersangka Utama Bom Bali”, Kompas, 26 Desember

2002

satelit (intelsat) untuk pengumpulan data strategis. Kombinasi dari kedua metode ini adalah bentuk yang paling ideal dalam dalam menghadapi ancaman dari sebuah entitas negara. Dalam metode

counter terorisme sebelum peristiwa 9/11, negara adidaya lebih

banyak menekankan kepada kemampuan technit-nya dalam melacak

pelaku teror. Menggunakan metode technint masih memungkinkan

selama kelompok teroris masih memiliki basis teritorium seperti tempat pelatihan gerilya seperti di Afganistan dan Mindanao atau belum menjadikan mereka dalam daftar buronan.

CovertOperation

Ketika basis dari kelompok teroris tidak terlacak oleh alat in- tai yang ada di atas bumi, maka metode humanintelligent menjadi sangat krusial. Metode humint yang dapat merangkai dan mende- teksi kembali jaringan terorisme yang sudah tidak ada dalam radar deteksi. Yang paling lazim dilakukan dalam metode humint adalah agen intelijen melakukan operasi penyusupan (covert) masuk ke dalam sasaran. Operasi covert baru memiliki nilai informasi yang tinggi apabila sang agen intelijen dapat menelusup masuk ke dalam kelompok inti dari jaringan terorisme. Masalah yang muncul dari operasi covert adalah identitas sang agen tidak ketahui oleh otoritas keamanan atau oleh sesama agen intelijen. Hal yang lain yang sama rumitnya adalah, pertama, mentransfer informasi yang dimiliki oleh sang agen intelijen kepada pihak yang penegak hukum. Kedua adalah bagaimana informasi intelijen tersebut dapat diolah infor- masi yang berguna bagi proses penegakan hukum. Dalam hal yang pertama terlihat jelas bahwa keberadaan humint tak dapat dilepas- kan dari dukungan keberadaan prasana dari metode intelijen yang lain seperi sigint atau elint.

Soal informasi yang berguna bagi proses penegakan hukum ini bisa bermasalah dalam proses penegakan hukum yang membutuh-

kan barang bukti. Dalam negara demokratis, informasi intelijen tidak dapat dijadikan sebagai bahan bukti. Yang terkait dengan hal ini adalah soal pengawasan dalam sebuah covert operation itu sendiri. Sebuah operasi covert minimal harus diketahui oleh salah satu anggota dari komite oversight dalam subkomisi parlemen. Hal ini yang adalah dapat dianggap sebagai prasyarat minimum menjamin keabsahan sebuah operasi covert.

Di luar aspek teknis humint, sekurang-kurangnya ada beberapa prinsip mininum yang tetap harus tetap dijaga agar operasi dapat menghasilkan informasi baik dan tidak melanggar norma dan kaidah masyarakat demokratis. Prinsip-prinsip minimum tersebut adalah sebagai berikut :

1. Mengetahui pilihan-pilihan cara yang efektif untuk me- numpas teroris tergantung pada kaitan antara motivasi, sumber daya dan situasi seperti apa yang akan dimanfaatkan oleh teroris18. Untuk mengetahui sasaran apa yang harus

dilindungi tergantung pada pengetahuan kita tentang moti- vasi teroris. Misalnya: berapa banyak sumberdaya yang akan dikeluarkan untuk menjaga material yang berbahaya seperti, bahan nuklir, bahan kimia atau bahan peledak. Di sinilah humint mempunyai peran strategis untuk meng- identifikasi keterkaitan antara motivasi, sumberdaya dan situasi seperti apa yang akan dimanfaatkan oleh teroris. Apabila humint mampu mendeteksi lebih dini atas tiga hal tersebut, maka seharusnya terorisme dapat ditangkal tanpa menggunakan kekuatan yang berlebihan (excessive usedofforce).

2. Identifikasi rencana yang akan dilakukan oleh teroris, bukan mencari jejak atas aksi teroris yang telah terjadi. Pencarian

18 Philip B. Heymann, Terorism Freedom and Security: Winning without War”, Massachussetts

bukti setelah aksi teroris terjadi adalah wewenang polisi. Peran intelijen (humint) menjadi sangat penting untuk memberikan informasi yang akurat mengenai rencana aksi teror yang akan terjadi. Penangkalan aksi teror tergantung pada seberapa akurat informasi yang diberikan oleh intel dan seberapa baik hubungan koordinasi antara intelijen dan pihak penegak hukum atau aparat kepolisian.

3. Pelaksanaan sistem deteksi dini tidak dapat dijadikan alas- an pembenar bagi agen intelijen (humint) untuk memiliki kewenangan yudisial seperti kewenangan untuk menang- kap individu yang diidentifikasi sebagai teroris, karena kewenangan untuk menangkap hanya monopoli aparat penegak hukum. Apabila agen intelijen melakukan tindak- an penangkapan artinya mereka telah melanggar kebe- basan sipil yang telah dijamin oleh UUD 1945, melanggar prinsip perlakuan sama dalam hukum, melanggar keten- tuan dalam KUHAP, tidak sejalan dengan beberapa pasal dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan menyimpang beberapa prinsip penegakan hukum yang terdapat dalam UU No 14 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman19.

Terorisme di Indonesia

Mengacu pada definsi dalam ”Declaration on Measures to Eliminate international Terrorism 1994”, terorisme adalah ”terorist act is criminal act intended or calculated to provoke a state of terror in the general public, a group of persons, or particular persons for particular

19 Saldi Isra, ”Judicial Review atas Perpu Anti terorisme” dalam Terorisme: Definisi, Aksi &

political purposes.20 Berdasarkan definisi ini, dapat diketahui bahwa

di Indonesia telah terjadi teror dalam bentuk peledakan bom baik yang berskala kecil maupun besar berulang kali. Dalam laporan in- vestigasi Forum Indonesia Damai tercatat telah terjadi 142 peristiwa teror dalam kurun waktu pemerintahan Soeharto hingga pemerin- tahan Megawati dengan berbagai motif. Berdasarkan analisis Kon- tras, tindakan teror tersebut tidak pernah ada upaya pengungkapan yang jelas terhadap motif, kepentingan dan pelaku- pelakunya21.

Padahal pengungkapan motif berserta analisisnya merupakan hal yang sangat penting dalam deteksi dini dan pencegahan aksi teror. Sampai saat ini pengungkapan motif pelaku teror masih diarahkan pada motif politik dari kelompok fundamentalis agama atau pada kelompok separatis tertentu.

Seberapa besar sumber kekuatan dari jaringan kelompok te- roris yang ada, baik berupa sumberdaya manusia atau sumber ke- uangan, tidak ada estimasi akurat. Namun sejak peristiwa Bom Bali berikut tertangkapnya beberapa orang pelaku lapanngan seperti Amrozi dan Imam Samudra, muncul perkiraan berapa besar ke- kuatan dari jaringan Afganistan atau di Mindanao. Perkiraaan besarnya kekuatan jaringan kelompok teroris ini berdasarkan dari berapa orang atau sukarelawan yang pernah mengikuti pelatihan militer di Afganistan atau di Mindanao, walaupun tidak semua orang yang pernah mengikuti militer ini terlibat dalam jaringan teroris. Hal lain menyulitkan adalah karakter jaringan dalam kelompok teroris ini. Kelompok teror berorganisasi dalam sebuah jaringan ”pseudo-organisasi ” atau seolah olah miliki struktur hirarki dan kepemimpinan22 yang bernama Al Jamaah

20 Diadopsi oleh Sidang Umum PBB, 9 Desember 1994 paragraf 3

21 Kontras, ” Analisis Kasus Peledakan Bom di Bali : Mengapa Teror Terjadi ?” dalam

Terorisme: Definisi, Aksi & Regulasi, Op.cit, hlm. 35

22 Sidney Jones dan Ullil Ashar Abdalla , diambil dari situs milik Jaringan Islam Liberal, 20

Al Islamiyah (JI). Organisasi kelompok teror ini seperti sebuah jaringan ”tentakel”, dimana semua cabangnya dapat tubuh sendiri dan mengembangkan jejaringnya. Demikian pula dengan sumber keuangannnya juga tidak lagi mengandalkan dari hasil fundraising

domestik, tetapi merupakan bagian dari jaringan sistem barter. Hal ini pula yang menyebabkan buron seperti Noordin M Top dan Dr Azahari dapat bertahan dalam pelarian.23

Sedangkan, profil dari pelaku teror mengalami evolusi dalam kurun waktu tertentu. Pada periode pemerintahan Soeharto, profil dari pelaku adalah adalah warga domestik (WNI) yang tidak puas dengan gaya pemerintahan atau kebijakan yang dikeluarkan oleh rejim. Sama halnya dengan jaringannya. Implikasinya adalah wa- tak dari counter terorisme yang dipergunakan masih dengan pen- dekatan lama yang sangat represif. Terlihat dalam cara penanggulan terorisme ala rejim Soeharto itu lebih mendahulukan pada pende- katan militeristik, seperti mengerahkan Satuan Khusus dari Kopas- sus ( seperti Detasemen 81). Sedangkan pada periode pasca Soeharto, profil pelaku tidak hanya warga Indonesia, tetapi sudah melibatkan warga negara asing, seperti Dr. Azhari ( warga negara Malaysia) atau Umar Faruq (warga Kuwait). Warga Indonesia juga tidak lagi beroperasi di dalam negeri, tetapi juga mulai aktif ke luar negeri seperti Hambali, atau Fathur Rohman Al Ghozi. Selain itu pelaku teror juga memiliki loyalitas ideologis yang jauh berbeda dengan para pelaku teror jaman sebelumnya. Mereka ini memiliki keahlian spesifik, seperti dapat merakit bom, karena pernah mendapatkan pendidikan militer yang cukup, selain itu memiliki disiplin yang tinggi dalam berjaringan dan memiliki kemampuan survival.

Terakhir mungkin adalah pertanyaan mengapa Indonesia men- jadi lokasi sasaran aksi teror? Sebenarnya jawaban sudah cukup umum diketahui oleh semua kalangan. Dan yang menjadi sasaran

lokasi bukan saja Indonesia,tetapi juga negara tetangga Indonesia, seperti Filipina, Malaysia.dan Singapora (lihat buku The Second Front). Tapi akhirnya mereka memutuskan untuk melakukan aksinya di Indonesia karena faktor-faktor sebagai berikut ini,

Pertama, Indonesia masih memiliki banyak sasaran yang bi- sa menjadi simbol dari eksistensi asing/barat. Kedua, aparat ke- amanan dan intelijen indonesia masih dalam proses reorientasi dan proses reformasi. Aparat keamanan memerlukan waktu cukup lama untuk melakukan proses investigasi dalam sebuah peristiwa teror. Seperti kasus peledakan bom Kedutaan Besar Filipina pada tahun 2001, ternyata aksi pemboman tersebut memiliki keterkaitan dengan peristiwa Bom Bali. Jika aparat keamanan dan intelijen memiliki kemampuan investigasi yang baik, rantai dari aksi teror kemungkinan sudah lebih terdeteksi.

Ketiga, keadaan politik yang kurang stabil juga memberikan dukungan ekstra bagi pelaku teror, kelompok teror dapat memiliki ruang gerak yang memadai. Belum tercapainya stabilisasi politik memberikan kesempatan kepada elit politik untuk tidak mengagap masalah terorisme sebagai ancaman serius. Proses investigasi kasus teror pasca lengsernya Soeharto, pengungkapan, serta motif politik di balik teror tersebut tidak ada kelanjutannya. Mungkin yang paling kontroversial pada masa transisi adalah dari mantan Wapres Hamzah Haz yang mengatakan tidak ada jaringan terorisme di Indonesia24. Di lain pihak, selalu ada keinginan dari kalangan mi-

liter yang ingin terus mempertahankan eksistensinya dalam soal pengawasan dan ketertiban masyarakat (Kambtibmas). Komando teritorial yang sebenarnya sebagai bagian dari sistem pertahanan dipaksakan untuk dimasukan dalam sistem intelijen counter tero- risme. Hal ini hanya menambah keruwetan dan membuat sistem counter terorisme menjadi tidak efektif.

Keempat adalah lemahnya penegakan hukum di Indonesia, bahkan cenderung tidak adil. Selintas sistem penegakan hukum telah memberikan ganjaran yang berat bagi pelaku terorisme, hukuman mati bagi para tersangka pelaku Bom Bali. Para penegak hukum, khususnya hakim tidak sadar bahwa pelaku tindakan teror adalah aktor yang dimotivasi oleh tujuan tertentu dan biasanya berdasarkan keyakinan politik atau religius sehingga tingkat loyalitasnya sangat tinggi, bahkan sampai mengorbankan dirinya sendiri. Jadi pemberian hukuman mati pada pelaku tindakan teror sangat kecil pengaruh hukuman yang diterapkan terhadap efek

pencegahannya25. Di lain pihak, sistem penegakan hukum belum

berhasil diimplementasikan dalam kasus yang berkaitan dengan suatu operasi intelijen (covert operation) yang melanggar hukum, atau menghukum pengguna jasa intelijen sebagai instansi yang mengklaim otorisasi operasi intelijen ilegal. Sampai saat ini belum ada upaya serius untuk memutus rantai impunitas dalam kasus yang terkait dengan ilegal covert operation. Ketidakadaan kepastian hukum ini seperti tanpa disadari sebenarnya menjadi rintangan dalam proses melawan terorisme. Masyarakat secara umum masih trauma dengan hal yang berurusan dengan intelijen.

Dalam dokumen Negara, Intel, dan Ketakutan (Halaman 138-146)