• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kejahatan Intelijen dan Pertanggungjawaban Melalui Peng adilan

Dalam dokumen Negara, Intel, dan Ketakutan (Halaman 159-163)

Oleh : Indriaswati D.Saptaningrum dan Zainal Abidin

2. Kejahatan Intelijen dan Pertanggungjawaban Melalui Peng adilan

diharapkan sebagai pintu pencarian keadilan yang terakhir tak selalu membawa hasil yang menggembirakan. Alih-alih memberikan narasi yang lebih jernih atas peristiwa kekerasan tersebut, proses pengadilan di hampir semua kasus tersebut justru diliputi dengan berbagai keanehan dan kesimpangsiuran

Tulisan ini berusaha menelusuri berbagai persoalan-persoalan mendasar yang muncul dalam upaya menagih pertanggungjawaban atas kejahatan-kejahatan yang berkaitan dengan kerja intelijen di pengadilan. Persoalan-persoalan ini muncul baik karena sifat yang sangat berlawanan dari kerja intelijen dan mekanisme kerja pengadilan itu sendiri, maupun karena berbagai tekanan atas lem- baga peradilan yang memungkinkan kejahatan dan kekerasan ter- sebut terus tersembunyi dan tetap menjadi misteri meskipun proses pengadilan telah berakhir.

2. Kejahatan Intelijen dan Pertanggungjawaban Melalui Peng- adilan

Dengan sifatnya yang tertutup dan rahasia, mekanisme kon- trol dari organisasi intelijen tidak mudah dilakukan. Salah satu implikasi terpenting dari sifat kerahasiaan ini adalah sulitnya menentukan kapan suatu tindakan merupakan tindakan yang benar-beanr merupakan operasi intelijen yang legitimate, kesalahan prosedur, ataupun penyalahgunaan kewenangan oleh personel yang bekerja pada unit intelijen tertentu. Ketidakjelasan ini lebih lanjut mempengaruhi kemampuan penegak hukum, baik dari tingkat penyidikan maupun penuntutan di pengadilan untuk mengkonstruksi pembuktian dan pemeriksaan perkara.

Selain itu, ketertutupan ini juga memperbesar peluang bagi institusi yang tersangkut dengan kejahatan untuk secara sepihak melakukan penutupan kasus-kasus yang melibatkan tindakan-tin- dakan intelijen yang tidak terautorisasi. Hal ini juga dimungkinkan dengan adanya mekanisme kontrol internal, seperti pengadilan mi- liter, dan mekanisme disiplin internal. Sebagai akibatnya, kontrol dari lembaga non-intelijen lebih sulit dilakukan dan kemungkinan penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran terhadap hak-hak individu dan tindakan-tindakan yang melanggar hukum semakin terbuka lebar.

Tindakan-tindakan intelijen yang melanggar hukum diantara- nya adalah pervasive surveillance of citizen, penahanan di luar hu- kum, penyiksaan dan pembunuhan di luar hukum, dan kejahat- an-kejahatan yang masuk kategori gross violation of human rights.

Dalam rangka pengumpulan data, tindakan berupa penyadapan, pengintaian, penyiksaan untuk menggali informasi adalah tindak- an-tindakan yang dilarang berdasarkan hukum. Covert operation

yang kegiatannya ditujukan untuk mempengaruhi peristiwa poli- tik secara langsung dalam bentuk perang, misalnya kejahatan yang mungkin timbul adalah penyiksaan, penculikan, penahanan dan pembunuhan sewenang-wenang.

Selain sifat dasarnya yang tertutup, kerja-kerja intelijen sering- kali mendapat legitimasi untuk mengurangi hak-hak individu dan yang melanggar hukum. Ancaman terhadap keamanan nasional, menjadi alasan yang sering digunakan untuk melegitimasi adanya pengurangan hak-hak individu dan menjustifikasi tindakan pengua- sa yang dalam keadaan normal tidak dapat diterima.8 Pengalaman

rejim totaliter menunjukkan bahwa organisasi-organisasi intelijen

8 Keadaan normal di sini adalah tidak adanya kondisi yang dikategorikan clear and present

danger or immediate threat to national security dimana kondisi tersebut, dibawah hukum internasional, dapat menjadikan adanya pembatasan hak-hak dasar individu.

sering digunakan merepresi lawan-lawan politik, pihak-pihak yang bertentangan dengan penguasa dan pihak-pihak lain dengan alasan

mengancam keamanan nasional.9

Tindakan-tindakan organisasi intelijen dalam rezim yang otoriter ini meliputi penetrasi atas semua lingkup kehidupan sosial dan pelanggaran hak asasi manusia terhadap warga negara secara sistematis. Bentuk lain dari kejahatan dengan alasan ancaman keamanan negara misalnya tuduhan melakukan terrorisme yang memberikan justifikasi bagi polisi dan badan-badan intelijen untuk melakukan penyiksaan terhadap warga negara yang dianggap

mengancam keamanan negara.10

Indonesia, yang pada masa lalu merupakan negara yang totaliter, mewariskan sejumlah kejahatan yang diduga kuat melibatkan kerja- kerja intelijen. Bentuk keterlibatan ini beragam, baik secara langsung berkaitan dengan operasi intelijen yang melanggar hukum maupun kejahatan yang dilakukan oleh pengguna jasa intelijen, seperti aparatus opresif negara yang mengakibatkan pelanggaran hukum. Sebagai contoh, kasus penculikan aktivis 1998 dapat dikategorikan sebagai kasus dengan keterlibatan satuan intelijen yang paling nyata. Selain itu, kasus penyerbuan dan pembunuhan terhadap Tengku Bantaqiah menggambarkan bagaimana laporan intelijen yang salah dipergunakan sebagai basis operasi. Sementara dalam kasus Marsinah, institusi intelijen diduga kuat terlibat dalam proses pemeriksaan perkara mulai dari penyelidikan sampai penuntutan di pengadilan.

Terdapat sederet kasus lain untuk menambah panjang daftar keterlibatan institusi intelijen. Tiga kasus lain yang masih segar

9 Beberapa contoh organiasi intelijen yang digunakan untuk merepreasi adalah KGB di

Rusia, Stasi di Republik Demokrasi Jerman, Securitea di Rumania.

10 Badan-badan intelijen tersebut diantaranya DINA di Chili, DSF Mexico, BOSS di Afrika

Selatan, Batallion 611 di Honduras, dan badan-badan intelijen di Brasil, El Salvador dan Guatemala.

dalam ingatan publik adalah kasus pembunuhan Theys H. Eluay, kasus penyerbuan kantor PDIP dan kasus pembunuhan Munir. Kasus-kasus di atas pada akhirnya memang diajukan ke berbagai jenis pengadilan11 dengan model pengadilan yang berbeda-beda.

Namun, tidaklah mudah untuk mengungkapkan keterlibatan inte- lijen atau membongkar suatu kejahatan intelijen.

Namun, proses hukum yang berakhir dengan pemeriksaan di pengadilan hampir selalu gagal mengungkapkan keterlibatan institusi intelijen. Hampir seluruh kasus menemui kebuntuan dalam proses pemeriksaan. Sampai berakhirnya proses pemeriksaan per- kara di pengadilan, keterlibatan keterlibatan institusi intelijen tetap tidak bisa ditemukan atau dibuktikan.

Akibatnya, proses pengadilan hampir selalu gagal menjaring seluruh pelaku yang paling bertanggungjawab. Alih-alih menagih pertanggungjawaban dan menjerat pelaku, banyak kasus yang diduga melibatkan institusi pengadilan malah dinyatakan sebagai kasus yang bersifat individual, ataupun kejahatan yang terjadi

karena penyalahgunaan wewenang “oknum-oknum” tertentu.12

Sehingga, para terdakwa yang dinyatakan bersalah dan kemudian dijatuhi pidana hanya terbatas pada pelaku langsung di lapangan

11 Mekanisme pengadilan yang selama ini dipergunakan sangat tergantung pada identitas

pelaku yang diseret ke meja hijau. Apabila pelakunya sipil, maka kasus diajukan melalui pengadilan umum seperti dalam kasus pembunuhan Marsinah (1993-1994) dan Munir (2003). Untuk kasus yang melibatkan gabungan antara sipil dan militer, kasus akan disidangkan dalam pengadilan koneksitas sebagaimana dalam kasus Tengku Bantaqiyah dan penyerbuan kantor PDIP. Sementara apabila pelaku dari institusi militer, pengadilan militer menjadi pilihannya seperti dalam kasus penculikan aktivis di tahun 1998.

12 Dalam kasus Marsinah misalnya intervensi Kodim dalam pemeriksaan perkara dan

pengakuan para terdakwa bahwa ada pelaku lain tidak pernah ditanggapi di pengadilan. Kasus penghilangan paksa juga dipersepsikan sebagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan oleh personel, dan bukan merupakan tindakan kelembagaan. Contoh paling menonjol adalah putusan pengadilan tingkat pertama kasus Munir dimana di dalam pertimbangan hukumnya, hakim secara eksplisit menyebutkan keterlibatan orang lain dalam rencana pembunuhan itu.

dengan motif pribadi dan bukan tindakan yang dilakukan karena pelaksanaan dari operasi intelien atau kebijakan negara.

Dengan skenario ini, kejahatan yang terjadi lebih merupakan penyalahgunaan wewenang dari pelaku dan bukan tindakan yang didukung secara institusional. Sehingga, rantai komando yang menunjukkan struktur tanggung jawab atasan pada hierarki yang lebih tinggi tidak pernah tersentuh. Sehingga, pertanggungjawaban institusional hampir selalu gagal diperoleh.

3. Hambatan Mekanisme Peradilan Umum dan Militer dalam

Dalam dokumen Negara, Intel, dan Ketakutan (Halaman 159-163)