• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II INDONESIA DAN ORANG ASING

C. Catatan Penutup 7

B.1. Identitas Ekspatriat yang non-esensialis

Ekspatriat sebagai gagasan identitas senyatanya telah menjadi suatu hal yang problematis dan memiliki beragam kompleksitas. Kompleksitas identitas ekspatriat dapat dicermati dari berbagai proses wacana yang terkandung di dalamnya seperti yang termuat di dalam Majalah JE. Melalui Majalah JE, identitas ekspatriat terkonstruksi dengan menggunakan logika perbedaan terhadap sesama orang asing, sehingga terdapat proses penginklusian dan pengeksklusian sesama orang asing maupun orang kulit putih yang sedang berada di Indonesia.

Adanya proses penginklusian di dalam identitas eskpatriat ini tentunya menjadi telah terkait dengan wacana ras. Wacana ras seakan menjadi senjata mutakhir untuk mendapatkan legitimasi di dalam suatu kehidupan masyarakat yang majemuk, dan menegaskan bahwa mereka memiliki perbedaan yang cukup signifikan dari kebanyakan orang lainnya. Meskipun ada yang dieksklusikan, namun pada kenyataannya terjadi pembiasan identitas, semisal terhadap orang kulit putih yang acapkali disebut bule. Alih- alih alasannya hanya lebih didasarkan pada asal dan rentan waktu keberadaan orang asing yang sedang berada di luar negaranya, seperti di Indonesia.

Berdasarkan data yang terdapat di dalam Majalah JE, identitas ekspatriat seakan telah menjadi milik kepunyaan orang kulit putih. Hal ini terlihat dari rubrik Meet the Expats, yang mana kesemuanya adalah adalah orang kulit putih; Anna Feliciano, Luke Rowe, Roberto Puccini, Ian Smith, Stephane Poggi, Anna Rohm, Mario Babin, Jean- Baptiste Mounier, Catherine Parent, Leonani dan Nani Nahooikaika, Kristan Julius, Laila Airlie Dempster, Gerard Mosterd, Cuny Schuurmans, Dave Metcalf, Robert McKinnon,

Tim Scott, Dan Boylan, dan Warwick Purser. Oleh karena itu, identitas ekspatriat terkonstruksi atas dasar kehadiran orang kulit putih, khususnya mereka yang ingin mendapatkan pandangan berbeda dengan orang asing lainnya. Bahkan mereka tidak tanggung-tanggung merepresentasikan diri sebagai ekspatriat melalui sebuah media yang hegemonik, sehingga berbeda dari orang asing (imigran) lainnya maupun orang kulit putih kebanyakan (bule). Media ini tidak hanya berupa sebuah Majalah JE, akan tetapi juga disebarluaskan di dunia maya melalui sebuah laman www.jakartaexpat.biz yang kini telah bertransformasi menjadi www.indonesiaexpat.biz.

Pada perkembangannya, wacana identitas ekspatriat telah terbungkus dengan berbagai wacana lainnya, semisal kisah atau latar belakang kehidupan para ekspatriat, semisal, keluarga, bisnis, perusahaan, pengajar, seniman, liburan dan petualangan bahkan hingga ada yang memaknainya sebagai sebuah keniscayaan. Padahal ekspatriat sebagai identitas bukan merupakan suatu hal yang penuh dan selamanya utuh (fixity). Sebagai identitas yang juga memasuki dalam lingkup tatanan global, ekspatriat juga dapat dikatakan menjadi suatu proyek identitas untuk mempertahankan status diri mereka saat sedang berada diluar negaranya. Hal ini lebih disebabkan pada zaman globalisasi seperti saat ini, wacana identitas telah berkeliaran bebas kepada siapa saja yang bersedia dan berkeinginan untuk menggunakan atau merepresentasikannya. Dalam lingkup global, tidak tertutup kemungkinan juga bahwa identitas ekspatriat dapat menjadi suatu identitas hegemoni, yang mana seseorang tidak menginginkan untuk kembali pada ikatan primordial. Bahkan, ekspatriat sebagai sebuah wacana yang mengglobal terus melakukan suatu upaya konstruksi guna memapankan identitasnya sebagai wujud jati diri. Oleh karena itu, ekspatriat telah menjadi suatu identitas yang tidak terberikan begitu saja, tetapi

terkonstruksi atas keberadaan diri seseorang secara otonom maupun kelompok yang sedang berada di luar negara atau tanah airnya.

Terkait mengenai identitas ekspatriat yang selalu berupaya melakukan konstruksi secara terus menerus, dapat dipahami bahwa identitas tersebut bukanlah sesuatu yang telah berakhir atau mencapai puncak ketetapannya, sehingga bukan menjadi hal yang mudah untuk melakukan proses pelacakannya. Apalagi jika dikaitkan dengan beragam pendefinisian tentang ekspatriat yang belum memiliki kepastian, terutama mengenai karakteristik ekspatriat sebagai sebuah identitas yang bukan terberikan sejak manusia lahir.

Merujuk kembali pada pembahasan di dalam Bab I, baik Fechter maupun Upton, keduanya saling mendasarkan identitas ekspatriat kepada para respondennya masing- masing. Selain itu, penelitian yang telah mereka lakukan juga telah memposisikan identitas ekspatriat bagi orang asing kulit putih. Fechter (2007:3), misalnya, seluruh respondennya adalah Euro-Amerika yang sedang berada di Indonesia. Sementara itu, Upton (1998) lebih memfokuskan pada orang-orang Kanada yang tengah berada di Papua Nugini. Dengan demikian, dari kedua penelitian Fechter dan Upton, identitas ekspatriat muncul sebagai bentuk identitas para pendatang atau orang asing kulit putih di sebuah negara tertentu.

Namun demikian, kemunculan pembedaan tersebut tentunya disebabkan karena adanya mobilitas perpindahan manusia. Perpindahan manusia adalah salah satu unsur utama yang membuat seseorang dapat menjadi ekspatriat. Perpindahan manusia ini telah menciptakan suatu relasi wacana identitas yang membedakan antara pribumi dengan non- pribumi. Pembedaan ini menjadi semakin terlihat jelas saat dimunculkan dalam bentuk representasi, karena di dalamnya terdapat proses identifikasi. Artinya, terjadi suatu

konstelasi identitas, dimana para pendatang ingin mempertahankan identitasnya agar tidak hilang ketika berhadapan dengan masyarakat lokal.

Terjadinya konstruksi identitas ekspatriat dapat dipahami sebagai salah satu bentuk upaya yang dapat menjanjikan ketetapan identitas bagi mereka sehingga telah memunculkan batas spasial. Dalam hal ini, ekspatriat sebagai sebuah identitas telah melakukan pembedaan sesama orang asing di Indonesia. Dengan demikian, konstruksi suatu identitas tidak dapat terpisahkan dari proses identifikasi dan pembedaan.

Merujuk pada pandangan Stuart Hall (1996:1) yang telah mengajukan sebuah pertanyaan untuk merefleksikan suatu identitas, yaitu Who needs ‘Identity’?, maka jika dikaitkan dengan persoalan ekspatriat, pertanyaannya pun akan berubah menjadi, “Siapa yang butuh identitas ekspatriat?”. Atas pertanyaan bernuansa esensialis ini, Hall juga menyediakan dua cara untuk dapat menemukan jawaban pertanyaan tersebut. Pertama, mengamati sesuatu yang bercirikan khusus untuk membongkar konsep identitas yang esensial dengan melakukan kritik dekonstruksi (1996:2). Dalam hal ini dapat dipahami bahwa ekspatriat sebagai gagasan merupakan suatu identitas yang kembali dimunculkan dalam dunia kontemporer. Ciri khas dari identitas ekspatriat ini adalah perpindahan negara atau keluar dari tanah airnya. Oleh karena itu, identitas ekspatriat bukan sebuah konsep identitas yang esensial.

Sebelumnya Fechter telah mengingatkan sebuah artikel lama milik Erik Cohen (1977) yang memaparkan bahwa ekspatriat ditujukan bagi orang Barat yang telah tinggal di luar negeri untuk jangka waktu panjang, terutama seniman, kolonial dan mereka yang umumnya memiliki misi dari satu jenis atau lebih.20 Dari penjelasan ini dapat dipahami bahwa konstruksi identitas ekspatriat bukanlah suatu hal yang baru terjadi pada era

kontemporer saat ini, apalagi ketika terkait dengan persoalan esensialis semata, melainkan di dalamnya terdapat kandungan historis, yakni kolonialisme Barat. Sebagaimana Cohen juga menekankan bahwa seorang ekspatriat memiliki keterkaitan erat dengan kolonialisme Barat di negara-negara Asia di masa kolonial (1977:8). Oleh karena itu, peninjauan kembali terhadap sejarah kolonial dan melihat kondisi kontemporer ekspatriat menjadi kunci untuk memahami persamaan maupun perbedaan di masa kolonial hingga pasca- kolonial.

Seiring laju globalisasi, fenomena ekspatriat pun semakin ramai dalam lingkup masyarakat global. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, sebuah lembaga perbankan internasional seperti HSBC telah melakukan survei mengenai kehidupan ekspatriat sejak beberapa tahun terakhir.21 Dalam pandangan lembaga ini, ekspatriat ditempatkan sebagai salah satu identitas global terkait dengan keberadaan orang-orang yang sedang bekerja di luar negaranya. Dengan demikian, suatu upaya untuk mendekonstruksi identitas ekspatriat adalah mendasarkan kembali pengertian gagasan ekspatriat secara sadar dan mendasar, yakni hanya sebatas pada identitas seseorang saat sedang berada di luar negara asal atau tanah airnya.

Merujuk kembali kepada pengertian etimologinya, ekspatriat yang berasal dari bahasa Latin; ex yang berarti keluar, dan patria yang berarti tanah air, maka dapat dipahami bahwa patria di sini menjadi penanda bagi bangsa-bangsa yang menganggap tanah airnya sebagai fatherland. Bahkan, Merriam Webster pun memberikan penjelasan mengenai kata dasar ekspatriat, yakni, patria, yang dalam etimologi bahasa Spanyol memiliki makna “patria from feminine of patrius of a father, from patr-, pater father”,

21

dan pertama kali diketahui penggunaannya pada tahun 1768.22 Oleh karena itu, penulis menganggap bahwa penggunaan identitas ekspatriat hanya menjadi berlaku bagi bangsa- bangsa, pada khususnya kalangan Barat, yang menganggap tanah airnya sebagai fatherland, atau dengan kata lain berpaham patriarki. Hal ini yang menjadi pembedaan dengan bangsa-bangsa Timur, seperti Asia, termasuk Indonesia yang menganggap tanah airnya sebagai ‘Ibu Pertiwi’, atau dalam istilah lainnya disebut sebagaimotherland.

Kedua, jenis jawaban tentang siapa yang membutuhkan identitas ekspatriat ini mengharuskan kita untuk mengetahui dari mana konsep identitas muncul? Stuart Hall memberikan sebuah cara untuk menemukan jawaban, yakni meletakkannya pada sentralitas untuk kembali mempertanyakan agensi dan politik. Politik, bagi Hall, dimaknai sebagai gerakan dari penanda identitas yang menghubungkan sebuah lokasi politik, sedangkan agensi adalah perantara untuk memberikan pengertian kepada subjek atau identitas sebagai gagasan dari praktik sosial, atau untuk mengembalikan sebuah pendekatan yang historis (1996:2). Dalam hal ini, para ekspatriat mencoba untuk meletakkan identitas diri mereka pada persoalan lokasi, yakni ketika mereka sedang berada di luar negara atau tanah airnya. Oleh karena itu, negara atau tanah air (patria) telah menjadi penanda utama bagi identitas seorang ekspatriat. Namun tidak hanya berhenti pada persoalan identitas saja, tetapi terdapat agensi yang berperan untuk memberikan hingga menyerbaluaskan gagasan mengenai identitas ekspatriat ke dalam lingkup sosial. Dalam persoalan ekspatriat ini, agensi yang dimaksudkan adalah Majalah JE yang telah memproduksi sebuah media dan menjadi perantara untuk memberikan pengertian sebuah identitas ekspatriat, baik itu berupa majalah maupun yang termuat pada semua laman di

22

internet. Dengan demikian, pertautan antara politik dan agensi acapkali melingkari konstruksi identitas ekspatriat.

Sebagaimana ekspatriat yang juga dibubuhi oleh politik wacana, seperti gerakan perpindahan manusia yang berada di dalam lingkup kapitalisme global, maka identitas ekspatriat dikonstruksi dengan membuat sebuah ruang yang membedakan dengan banyak orang asing lainnya. Sementara itu, menurut Fechter, pemberian label kepada seseorang sebagai ekspatriat telah menandakan melekatnya mereka di dalam mekanisme kapitalisme global (2007:3). Artinya, seseorang yang bekerja pada sebuah perusahan berskala

internasional (multinasional corporation) adalah agensi utama dalam memberikan

identitas seseorang sebagai ekspatriat. Dengan kata lain, perusahan multinasional ini telah membuka kran perpindahan manusia dari negara asal atau tanah airnya, seperti yang dialami oleh beberapa ekspatriat yang termuat di dalam Majalah JE; Ian Smith, Anna Rohm, Mario Babin, dan Dave Metcalf. Alhasil, suatu perusahan multinasional telah turut andil menciptakan dan menandakan seseorang sebagai ekspatriat.

Di Indonesia, misalnya, dapat diketahui bahwa kehadiran orang asing bukan hanya terdiri dari orang kulit putih saja, melainkan juga terdapat orang-orang dari Asia maupun Afrika yang bukan putih. Selain itu, orang kulit putih itu sendiri pun terbagi dalam beberapa bagian, seperti wisatawan, pelajar, pejabat negara, maupun para pekerja sosial yang memang sering berpindah ke berbagai negara. Namun demikian, pada praktiknya para ekspatriat di Indonesia, khususnya dilihat melalui Majalah JE, telah direpresentasikan oleh orang kulit putih, baik itu berlabelkan yang ahli, para pebisnis, atau siapapun mereka yang memiliki keterkaitan dengan kapitalistik.

Berdasarkan pada data yang telah tersajikan, kita telah mengetahui bahwa latar belakang kisah kehidupan para ekspatriat adalah karena adanya perpindahan negara;

berasal dari berbagai negara, seperti Amerika, Australia, Prancis, Inggris, Kanada, Hawaii, Belanda, Selandia Baru, Skotlandia, yang kesemuanya masuk dalam kategori kalangan Barat. Di samping itu, perjalanan ke berbagai negara yang telah dilalui oleh para ekspatriat pun jumlahnya tidak sedikit, seperti yang dialami oleh Dan Boylan telah mengunjungi sedikitnya 40 negara, Dave Metcalf yang telah berpergian tidak kurang dari 25 negara, maupun Anna Feliciano melebih 10 negara. Dengan demikian, secara sederhana, sekaligus untuk menjawab sebuah pertanyaan esensialis, siapa yang membutuhkan identitas ekspatriat, mereka adalah yang sedang berada di luar tanah airnya, terutama untuk mempertahankan identitas primordial mereka yang tengah terancam bahkan tercerabut ketika berada di lingkungan yang sangat berbeda seperti di Indonesia. Dengan kata lain, Hall menjelaskan persoalan ini sebagai bentuk keberadaan identitas kultural yang bukan pada persoalan esensial, melainkan terkait pada sebuah posisi (1990:226).

Posisi identitas ekspatriat di Indonesia ini yang kemudian menjadi persoalan. Persoalannya tidak lain adalah mengenai status para ekspatriat dihadapan masyarakat lokal atau pribumi. Para ekspatriat sebagai orang asing kulit putih menciptakan gelembung Barat sebagai batas spasial (Fechter, 2007), dan menginginkan bentuk relasi sesama ekspatriat untuk dapat saling menghubungkan dan menjaring berbagai kepentingan, seperti peluang ekonomi, politik, sosial, budaya, serta menciptakan ketetapan identitas dan posisi mereka sebagai ekspatriat dihadapan yang lain – orang diluar diri mereka, seperti orang asing lainnya yang ada di Indonesia maupun masyarakat pribumi. Oleh karena itu, lewat Majalah JE para ekspatriat bukan hanya berupaya untuk mengkonstruksi maupun merepresentasikan diri ke atas mimbar media, melainkan juga menyebarluaskan gagasan dan wacana seputar ekspatriat, baik dalam skala lokal maupun global.