• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ekspatriat di Jakarta Expat : suatu analisis mengenai representasi dan wacana kolonial kontemporer.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Ekspatriat di Jakarta Expat : suatu analisis mengenai representasi dan wacana kolonial kontemporer."

Copied!
208
0
0

Teks penuh

(1)

Lamser, Fredrik. 2015. Ekspatriat diJakarta Expat;Suatu Analisis Mengenai Representasi dan Wacana Kolonial Kontemporer. Tesis. Yogyakarta: Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma.

ABSTRAK

Kolonialisme yang mewabah hampir di seluruh dunia telah menyisakan beragam persoalan. Salah satu persoalan di antaranya adalah perpindahan manusia. Perpindahan manusia ini menjadi sebuah fenomena yang terus berkelanjutan di masa sekarang. Hal ini dapat dilihat dari kehadiran orang asing di Indonesia, khususnya ekspatriat. Ekspatriat menjadi identitas seseorang saat berada di luar negara atau tanah airnya. Oleh karena itu, ekspatriat sebagai identitas melakukan suatu upaya konstruksi dengan cara mengkodifikasi dan mengafirmasi orang kulit putih. Hal ini ditemukan atas representasi diri para ekspatriat di dalam suatu media, yakni MajalahJakarta Expat.

Dengan melakukan pembacaan terhadap pelbagai imaji dan teks yang tersajikan pada Majalah Jakarta Expat, penelitian ini juga menemukan bahwa para ekspatriat tidak memiliki perbedaan yang terlalu jauh dengan orang asing kulit putih di masa kolonial tempo dulu. Hal itu terlihat dalam wacana kolonial yang masih dimainkan kembali oleh para ekspatriat di dalam Majalah Jakarta Expat, baik dalam bentuk cover photo maupun rubrik, termasuk artikel di dalamnya. Alhasil, kehadiran para ekspatriat masih memiliki sifat kolonial (orientalistik) di masa pasca-kolonial.

(2)

Lamser, Fredrik. 2015. Expatriate in Jakarta Expat; An Analysis of Representation and Contemporary Colonial Discourse. Thesis. Yogyakarta: Religious and Cultural Studies, Sanata Dharma University.

ABSTRACT

Colonialism has been everywhere in the world along with its consequences. One of the consequences can be found in the migration phenomenon. The movement process from one place or country to another can be found until today. It can be seen from the existence of foreigners in Indonesia, mainly expatriate. Expatriate has become an identity of a person who stays or lives abroad. Therefore as an identity, expatriate has done a process of construction through codification and affirmation of white people. This process can be found in the self representation of expatriate in the Jakarta Expat Magazine.

The research is conducted through close reading of the text and images from the Jakarta Expat Magazine. The research has found that today’s expatriate is not different from past time colonial people. It is revealed through the colonial discourse reapplied by the expatriate in the Jakarta Expat. It can be found in the many cover photo, rubric and article. Consequently, the existence of expatriate is orientalistic in the postcolonial setting.

(3)

Suatu Analisis Meng

Untuk Memenuhi Pe

Pada Program Magister

PROG

Ekspatriat di

Jakarta Expat;

engenai Representasi dan Wacana Kolon

TESIS

i Persyaratan Mendapatkan Gelar Magister Hum

ister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata D

Oleh: Fredrik Lamser

116322016

ROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2015

olonial Kontemporer

Humaniora (M.Hum)

nata Dharma Yogyakarta

(4)

Suatu Analisis Meng

Untuk Memenuhi Pe

Pada Program Magister

PROG

Ekspatriat di

Jakarta Expat;

engenai Representasi dan Wacana Kolon

TESIS

i Persyaratan Mendapatkan Gelar Magister Hum

ister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata D

Oleh: Fredrik Lamser

116322016

ROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2015

olonial Kontemporer

Humaniora (M.Hum)

nata Dharma Yogyakarta

(5)
(6)
(7)
(8)
(9)

KATA PENGANTAR

Apa yang telah dimulai, sejatinya harus terselesaikan. Kata-kata inilah yang terus

bersemayam di alam pikiran penulis. Tidak mudah memang, berbagai lika-liku pun terjadi

dari proses perkuliahan hingga penulisan dan penyelesaian tesis. Selama hampir empat

tahun berada di ruang lingkup IRB, penulis mengalami petualangan yang sangat luar biasa

dan tentunya takkan pernah terlupakan. Atas kesemuanya itu, penulis sangat bersyukur

kepada Tuhan Yang Maha Esa dan ingin menghaturkan terima kasih kepada mereka.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada para dosen di Program Magister Ilmu

Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma, Pak Supratiknya, Romo Budi Susanto,

Romo Benny Juliawan, Romo Bagus Laksana, Pak George Aditjondro, Mba Devy, dan

pada khususnya, Romo Budi Subanar yang senantiasa mengerti kondisi para mahasiswa

“elit”, yang mana penulis termasuk di dalamnya, matur sembah nuwun. Untuk kedua

dosen pembimbing penulis, Romo Baskara T. Wardaya dan Bu Katrin Bandel, terima

kasih atas kesabaran dan bimbingan selama proses penulisan. Begitu pula untuk Pak

Nardi, penulis sangat berterimakasih atas kesempatan selama belajar bersama di Erupsi

Akademia. Serta, penulis pun mengucapkan terimakasih untuk para staf, Mas Mul, Mba

Desy, dan Mba Dita.

Di samping itu, penulis juga berterimakasih kepada para sedulur di IRB; Mas

Doni, Kak Vini, Muji, Arham, Imran, Frans, Irfan, Mando, Zuhdi, Alwi, Kak Lisis, Mba

Gintani, Rendra, Darwis, dan semuanya yang tak dapat disebutkan satu per satu di sini.

Kepada para rekan kampus Moestopo, KMK dan FISIP. Para peminum kopi sembari

diskusi; Kang Paijo, Kang Lilik, Kang Goro, Bung Kresna dan yang lainnya. Keluarga

Gladi; Romo Mateus Mali dan Ibu Retno Priyani, serta para saudara/i dimanapun berada.

Para penikmat alam; Rangga dan Suksma, serta petualang yang bertemu di perjalanan.

Terlebih ucapan istimewa penulis sampaikan kepada Sarah Monica.

Akhir kata, dengan penuh syukur yang mendalam, penulis sangat berterimakasih

kepada Bapak dan Mama yang memberikan doa, kepercayaan, dan segala dukungan tak

terhingga, serta seluruh keluarga yang senantiasa selalu memberi semangat. Terima kasih.

Salam,

(10)

Lamser, Fredrik. 2015. Ekspatriat diJakarta Expat;Suatu Analisis Mengenai Representasi dan Wacana Kolonial Kontemporer. Tesis. Yogyakarta: Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma.

ABSTRAK

Kolonialisme yang mewabah hampir di seluruh dunia telah menyisakan beragam persoalan. Salah satu persoalan di antaranya adalah perpindahan manusia. Perpindahan manusia ini menjadi sebuah fenomena yang terus berkelanjutan di masa sekarang. Hal ini dapat dilihat dari kehadiran orang asing di Indonesia, khususnya ekspatriat. Ekspatriat menjadi identitas seseorang saat berada di luar negara atau tanah airnya. Oleh karena itu, ekspatriat sebagai identitas melakukan suatu upaya konstruksi dengan cara mengkodifikasi dan mengafirmasi orang kulit putih. Hal ini ditemukan atas representasi diri para ekspatriat di dalam suatu media, yakni MajalahJakarta Expat.

Dengan melakukan pembacaan terhadap pelbagai imaji dan teks yang tersajikan pada Majalah Jakarta Expat, penelitian ini juga menemukan bahwa para ekspatriat tidak memiliki perbedaan yang terlalu jauh dengan orang asing kulit putih di masa kolonial tempo dulu. Hal itu terlihat dalam wacana kolonial yang masih dimainkan kembali oleh para ekspatriat di dalam Majalah Jakarta Expat, baik dalam bentuk cover photo maupun rubrik, termasuk artikel di dalamnya. Alhasil, kehadiran para ekspatriat masih memiliki sifat kolonial (orientalistik) di masa pasca-kolonial.

(11)

Lamser, Fredrik. 2015. Expatriate in Jakarta Expat; An Analysis of Representation and Contemporary Colonial Discourse. Thesis. Yogyakarta: Religious and Cultural Studies, Sanata Dharma University.

ABSTRACT

Colonialism has been everywhere in the world along with its consequences. One of the consequences can be found in the migration phenomenon. The movement process from one place or country to another can be found until today. It can be seen from the existence of foreigners in Indonesia, mainly expatriate. Expatriate has become an identity of a person who stays or lives abroad. Therefore as an identity, expatriate has done a process of construction through codification and affirmation of white people. This process can be found in the self representation of expatriate in the Jakarta Expat Magazine.

The research is conducted through close reading of the text and images from the Jakarta Expat Magazine. The research has found that today’s expatriate is not different from past time colonial people. It is revealed through the colonial discourse reapplied by the expatriate in the Jakarta Expat. It can be found in the many cover photo, rubric and article. Consequently, the existence of expatriate is orientalistic in the postcolonial setting.

(12)

DAFTAR ISI

Halaman Judul...i

Lembar Persetujuan ...ii

Lembar Pengesahan ...iii

Pernyataan Keaslian...iv

Pernyataan Publikasi...v

Kata Pengantar ...vi

Abstrak ...vii

Abstract...viii

Daftar Isi...ix

Daftar Gambar...x

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...1

B. Rumusan Masalah...10

C. Tujuan Penelitian...10

D. Manfaat Penelitian...10

E. Tinjauan Pustaka...11

F. Kerangka Teori...17

F.1. Representasi ... 17

F.2. Pascakolonial ... 22

F.2.1. Wacana Kolonial... 23

F.2.2. Ruang Ketiga ... 27

F. Metode Penelitian ... 29

G. Sistematika Penulisan ... 30

BAB II INDONESIA DAN ORANG ASING A. Kehadiran Orang Asing di Nusantara...32

A.1. Penggolongan Masyarakat Asing di Masa Kolonial...36

(13)

A.1.2. Media di Masa Kolonial...42

B. Indonesia di Masa Pasca-kolonial...46

B.1. Orang Kulit Putih; Bule atau Ekspatriat?...48

B.1.1. Bule, siapa mereka?...49

B.1.2. Ekspatriat, melampaui definisi!...57

B.2. Ekspatriat di Indonesia...64

B.2.1. Perdebatan seputar ekspatriat...65

B.2.2. Media Ekspatriat; MajalahJakarta Expat...71

C. Catatan Penutup... 74 BAB III EKSPATRIAT DIJAKARTA EXPAT A. Kisah Para Ekspatriat... 76 B. Ekspatriat dalamMeet the Expats...95

B.1. Identitas Ekspatriat yang non-esensialis...96

B.2. Representasi Diri Ekspatriat...104

C. Ekspatriat, Melanggengkan Wacana Kolonial...111

C.1. Cover Photo sebagai Imaji Indonesia...111

C.2. Rubrik sebagai Wacana Pengetahuan...130

D. Catatan Penutup...157

BAB IV EKSPATRIAT DAN WAJAH BARU KOLONIALISME A. Analisis Wacana Kolonial Kontemporer Indonesia...159

A.1. Karakteristik Indonesia...160

A.2. Stereotipe Indonesia...170

B. Menafsirkan Ekspatriat...176

B.1. Hibriditas Ekspatriat...178

B.2. Ambivalensi Ekspatriat...180

C. Catatan Penutup...184

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan...185

(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. An early mixed marriage...113

Gambar 2. Chatting on Facebook...120

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penjajahan yang berakhir pada pertengahan abad silam tidak serta merta memutus rantai wacana dan praktek kolonialisme. Meskipun berbagai negara terjajah telah mendapatkan kemerdekaan, namun pengaruh dan efek kolonialisme masih dapat dirasakan ataupun ditemukan pada masa pasca-kolonial. Bagaikan suatu warisan, pengaruh dan efek dari kolonialisme turun-temurun antar generasi. Bahkan, tidak hanya bagi pihak terjajah, tetapi juga bagi pihak penjajah.

Kolonialisme telah berlangsung berabab-abad lamanya. Berbagai negara dan bangsa, khususnya Asia dan Afrika, telah menjadi korban. Dengan berambisi keras untuk melakukan aksi penaklukan hingga ke seberang benua dan melintasi samudera, Eropa memulai praktek kolonialisme Barat. Karenanya, tibalah kolonialisme di bumi Indonesia – yang sebelumnya dikenal dengan nama Nusantara.

Kehadiran kolonialisme di Indonesia memiliki serangkaian catatan historis. Kolonialisme Eropa pernah menguasai perdagangan hingga melakukan penjajahan di Indonesia lebih dari satu abad lamanya. Secara khusus, penjajahan yang terkait dengan kekuasaan Eropa atas Asia dan Afrika di akhir abad ke 19 telah disertai dengan kenaikan status sosial orang kulit putih dan seluruh ciri lahiriah mereka (Alatas, 1998:28). Oleh karena itu, kolonialisme telah menciptakan suatu jenjang yang menempatkan status sosial orang kulit putih lebih tinggi dibandingkan dengan pribumi di dalam masyarakat terjajah.

(16)

Jan Jacob Rochussen (1845-1851), terjadi tindakan politik rasial dengan mempertegas oposisi biner antara pihak penjajah dan terjajah, mengagung-agungkan keindahan kulit putih dan superioritas moral serta intelektual bangsa kulit putih terhadap bangsa kulit cokelat.1 Dengan demikian, representasi ras telah menjadi bagian dari salah satu ciri wacana dan praktik kolonialisme.

Sementara itu, pengaruh sikap superior orang kulit putih semakin nyata ketika kolonial Belanda membagi masyarakat menjadi tiga golongan, yakni, pertama, golongan bangsa Eropa, terutama Belanda, kedua, golongan bangsa Timur Asing, misalnya, Cina dan Arab, dan ketiga, golongan kaum pribumi.2 Ironis, meskipun kolonialisme telah dinyatakan berakhir, namun ciri lahiriah putih dan non-putih masih menjadi nilai dan tanda sebagai pembeda di dalam masyarakat. Pembedaan nilai dan tanda ini dapat dilihat dari kehadiran para“expatriate”3di Indonesia.

Pada umumnya istilah “ekspatriat” tampaknya belum begitu populer atau terdengar akrab di kalangan masyarakat Indonesia. Bagi sebagian masyarakat Indonesia, kehadiran orang kulit putih lebih sering dikenal maupun disebut sebagai “bule”. Bule menjadi sebuah panggilan atau sapaan bagi orang kulit putih yang biasanya hadir ke Indonesia, turis mancanegara, misalnya. Orang kulit putih seperti ini lazim ditemui di berbagai tempat liburan, kota yang lebih cenderung menawarkan wisata dan sajian eksotis bagi para pengunjungnya, seperti Bali, Lombok, Yogyakarta, dan lain sebagainya.

Namun demikian, tidak seperti para turis, terdapat juga orang kulit putih yang kehadiranya di Indonesia sebagai pelajar atau mahasiswa. Mahasiswa semacam ini

1

C. Fasseur, “Cornerstone and Stumbling Block: Racial Classification and the Late Colonial State in Indonesia”, dalam Robert Cribb (ed.), (1994).The Late Colonial State in Indonesia: Political and Economic Foundations of the Netherlands Indies 1880-1942, KITLV Press, Leiden. Hal. 31-34. (Lebih lanjut lihat, Vissia Ita Yulianto,Pesona Barat.Hal. 60)

2

Kartodirjo, S. N. (1975).Sejarah Nasional Indonesia.Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Hal. 155-6.

3

(17)

acapkali datang ke Indonesia dengan mengikuti program Darmasiswa yang diberikan oleh pemerintah Indonesia, dan dapat ditemui pada beberapa kampus di Indonesia, seperti, Universitas Indonesia, Univesitas Padjajaran, Universitas Gajah Mada, maupun Universitas Sanata Dharma, serta berbagai perguruan tinggi lainnya. Oleh karena itu, terkait dengan perdebatan istilah bule yang selalu ditujukan bagi orang kulit putih di Indonesia, perlu kiranya membedakan kehadiran antara orang kulit putih yang ada di tempat wisata dan lingkungan kampus, yakni dengan membahas tentang ekspatriat.

Berkaitan dengan definisi eskpatriat, penulis merujuk pada beberapa sumber, diantaranya: Webster Dictionary (2008), yang menjelaskan bahwa berdasarkan pada etimologinya ekspatriat berasal dari bahasa Latin, ex: out of, and patria: native country,

yang berarti seorang penduduk asli keluar dari negaranya. Sementara itu, New Oxford Dictionary of English (2008) memberikan penjelasan bahwa terminologi expatriate, is

gone - out from one’s country’; as adjective (person) living outside his/her own country.

Artinya ekspatriat adalah seseorang yang tinggal di luar negara asalnya. Berbeda pula dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang mendefinisikan bahwa ekspatriat adalah seseorang yang telah melepaskan status kewarganegaraannya, orang yang meninggalkan negeri asalnya; warga negara asing yang menetap di sebuah negara, orang yang terbuang maupun tenaga kerja asing.4 Dari beberapa pendefinisian di atas dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan yang cukup signifikan mengenai definisi ekspatriat, sehingga penulis beranggapan bahwa yang dimaksud dengan ekspatriat adalah identitas seseorang yang sedang berada di luar negara atau tanah airnya, dan bukan menjadi suatu status kewarganegaraan seseorang.

4

(18)

Pada kenyataannya tidak semua orang yang sedang berada di luar negara asalnya – baik untuk sementara waktu atau permanen – dapat menyandang identitas dan merepresentasikan diri sebagai ekspatriat. Semisal, orang asing – atau dalam bahasa pemerintah biasa disebut sebagai warga negara asing (WNA) – yang ada di Indonesia; orang Eropa, Amerika, Australia, Afrika maupun Asia, mereka belum tentu mendapatkan atau merepresentasikan diri sebagai seorang ekspatriat. Begitu pula sebaliknya dengan orang Indonesia yang sedang berada di luar tanah air, mereka akan lebih cenderung mendapatkan sebutan sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI), imigran maupun orang-orang diaspora5. Lantas, pertanyaan yang kemudian muncul atas fenomena tersebut adalah, ada apa dengan identitas ekspatriat sebagai identitas seseorang yang sedang berada di luar tanah airnya?

Sebagai langkah awal dalam menelusuri perihal ekspatriat, penelitian ini merujuk pada beberapa sumber penelitian yang terkait. Pertama, sebuah penelitian yang telah dilakukan oleh Anne-Meike Fechter pada satu dekade silam mengenai kehidupan transnasional para ekspatriat di Indonesia. Sebagai seorang antropolog, Fechter (2007:vii) beranggapan bahwa para ekspatriat di Jakarta hidup di dalam gelembung (expatriate bubble), bahkan tentang siapa itu ekspatriat, ia mengemukakan bahwa persoalan identitas ekspatriat belum memiliki kejelasan yang pasti, sehingga mendasarkan penggunaan istilah tersebut sejauh para informannya menyebut diri mereka sebagai ekspatriat.

Senada dengan Fechter terkait dengan pendefinisian ekspatriat, Sian Reiko Upton (1998) di dalam tesisnya tentang ekspatriat di Papua Nugini juga melakukan penelitian terhadap delapan individu melalui narasi lisan para respodennya untuk mendapatkan suatu

5

(19)

pengertian tentang ekspatriat. Secara umum, Upton menempatkan ekspatriat pada karakterisasi sebagai orang asing yang sedang berada di negara lain dengan melihat berbagai hal yang terdapat di dalamnya, seperti komunitas mereka, hubungan mereka dengan penduduk setempat, maupun status orang asing di dalam sebuah negara pasca-kolonial beserta pengalaman mobilitas.

Kedua penelitian di atas, yakni Fechter dan Upton, melakukan pencarian definisi ekspatriat melalui narasi lisan. Menarik bahwa Fechter juga merujuk pada lingkaran kapitalisme yang turut menjadi salah satu unsur pembawa seseorang untuk berada di negara lain. Adanya perpindahan seseorang keluar negaranya dinilai telah membuat seseorang menjadi orang asing dan membawa pada suatu identitas tertentu, yakni identitas ekspatriat. Bahkan, tidak hanya sebatas karena perpindahan negara, akan tetapi kehadiran ekspatriat di Jakarta juga telah dilingkupi suatu nilai sebagai seseorang yang dianggap

“expert”, dan“exclusive” apabila dibandingkan dengan pribumi maupun orang asing lainnya. Fechter (2007:5) menjelaskan bahwa ekspatriat yang dianggap “expert”

merupakan suatu gagasan yang seringkali dihubungkan dengan ekspatriat perusahaan, per definisi memiliki kemampuan yang lebih dan berkualitas dalam bekerja, sedangkan ekspatriat yang “exclusive”lebih disebabkan mereka memainkan sebuah aturan di dalam lingkup internasional yang eksklusif maupun menempatkan diri sebagai identitas global.

(20)

terorganisir dengan baik dan mampu mentransfer informasi dan keterampilan yang bermanfaat di negara tempat ia ditugaskan. Selanjutnya, Cannon juga menegaskan bahwa seorang ekspatriat yang “expert” harus menunjukkan keahlian dengan beberapa unsur di dalamnya, termasuk keahlian teknis, pengetahuan budaya, kemampuan bahasa dan keahlian dalam hal pendidikan. Oleh karena itu, identitas ekspatriat bukan lagi hanya sebatas mengenai perpindahan seseorang yang keluar dari negara asalnya, melainkan telah dilingkupi oleh berbagai macam unsur wacana yang turut mengkonstruksi dan mempengaruhi identitas, semisal “expert” dan “exclusive”, maupun seseorang yang acapkali dianggap memiliki suatu nilai lebih jika dibandingkan dengan masyarakat pribumi. Hal ini menjadi persoalan, karena kehadiran orang kulit putih dengan identitas diri sebagai ekspatriat telah menghadirkan kembali suatu hubungan manusia yang tidak setara di Indonesia pada masa pasca-kolonial.

(21)

Patut untuk disadari kembali bahwa cakupan identitas ekspatriat dalam lingkup sosial telah meluas dari sekadar identitas etnis maupun kebangsaan sehingga telah dihadapkan pada kompleksitas yang tidak mudah untuk dilacak, apalagi jika dibahas hanya dalam satu sisi saja. Identitas ekspatriat terakumulasi dari beragam unsur perekat, seperti berbagai kepentingan yang telah melampaui identitas kelahirannya, maupun konstruksi identitas yang melanjutkan wacana di masa lampau, yang mana keberadaan orang kulit putih acapkali terkait dengan superioritas, khususnya saat mereka tengah berada di negara-negara dunia ketiga seperti Indonesia.

Berdasarkan dari penelitian Fechter dan Upton yang menelusuri siapa itu ekspatriat berdasarkan pada para informannya, maka penelitian ini menelusuri ekspatriat melalui representasi yang mereka hadirkan di dalam media. Mengapa media? Karena dalam beberapa tahun belakangan ini para ekspatriat telah menarasikan dan merepresentasikan identitas diri mereka melalui sebuah media. Secara khusus, media yang ingin dikaji dalam penelitian ini adalah sebuah media berupa majalah bernama ‘Jakarta Expat’ (JE), yang disajikan dari, oleh, dan untuk para ekspatriat di Jakarta, serta Indonesia pada umumnya.

(22)

disebut sebagai “bule”. Bahkan, para ekspatriat cenderung untuk menolak dan menyangkal apabila mereka disebut sebagai bule.

Di samping menelisik representasi ekspatriat di dalam media, penelitian ini juga menggunakan perspektif pasca-kolonial untuk melakukan pembacaan terhadap ragam sajian yang disuguhkan ekspatriat di dalam Majalah JE. Hal ini penulis lakukan guna memperlihatkan dan mengkritisi media seperti Majalah JE yang acapkali menyajikan beragam wacana kolonial, baik itu berupa imaji maupun teks kepada para pembacanya, yakni para ekspatriat. Wacana kolonial yang termuat di dalam Majalah JE secara implisit telah memunculkan kembali ingatan tentang binerisme antara Barat dan Timur – penjajah dan terjajah.

Pada Majalah JE,imaji dan teks yang mengandung wacana kolonial dapat dilihat dari cover photo dan beberapa rubrik di dalamnya, seperti, Moment in History, Feature, Observations, Culture, dan Literature.Cover photo, misalnya, Majalah JE menggunakan sebuah foto sebagai pembungkus tema sebuah edisi majalah yang hendak tersajikan. Dengan kata lain, Majalah JE berupaya untuk memperlihatkan dan menghadirkan imaji Indonesia kepada para pembacanya melalui sebuah cover photo. Bahkan, foto yang dijadikan sebagai sebuah cover photojuga disertai dengan suatu artikel terkait tema yang sedang ditampilkan pada halaman muka Majalah JE.

Begitu pula dengan teks pada beragam rubrik dan artikel di dalam Majalah JE yang dituliskan oleh para ekspatriat mengandung wacana kolonial kontemporer. Pada rubrik

(23)

perjalanan. Kemudian, pada rubrik Culture, para ekspatriat memberikan pemaparan mengenai budaya yang terdapat di Indonesia. Dan pada rubrik Literature, para ekspatriat memuat sebuah resensi atas suatu literatur yang berhubungan dengan Indonesia. Dengan demikian, terdapat beragam wacana mengenai Indonesia atas rajutan teks yang tersajikan di dalam Majalah JE.

Wacana mengenai citra Indonesia yang disajikan melalui Majalah JE telah memberikan suatu deskripsi kepada para pembaca, yakni para ekspatriat. Deskripsi ini mengantarkan kepada karakterisasi dan stereotipe mengenai Indonesia. Dalam konteks Orientalisme, upaya para ekspatriat ini dapat dipahami sebagai suatu upaya untuk merekontruksi dan mereproduksi wacana kolonial tentang Timur seperti Indonesia. Bahkan wacana kolonial ini diperbaharaui dengan melihat ragam kondisi Indonesia kontemporer. Jadi, melalui Majalah JE, para ekspatriat kembali melanggengkan wacana kekuasaan Barat dalam memberikan suatu narasi tentang Timur seperti Indonesia kepada para pembaca Majalah JE, yakni sesama ekspatriat itu sendiri.

(24)

B. Rumusan Masalah

Bertolak dari latar belakang mengenai fenomena kehadiran ekspatriat, maka secara sederhana terdapat beberapa rumusan pertanyaan yang akan dibahas dan dijawab dalam penelitian ini, antara lain:

1. Bagaimana representasi diri ekspatriat di dalam MajalahJakarta Expat?

2. Bagaimana wacana kolonial mengenai Indonesia dihadirkan melalui imaji dan teks di dalam MajalahJakarta Expat?

3. Bagaimana hibriditas dan ambivalensi pengalaman ekspatriat yang tercermin pada beragam teks di dalam MajalahJakarta Expat?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memahami kondisi realitas dengan menguraikan kehadiran orang asing yang merepresentasikan diri sebagai ekspatriat. Selain itu, penelitian ini juga bermaksud untuk menemukan wacana tersembunyi dari beragam imaji dan teks tentang Indonesia yang disajikan oleh para ekspatriat di dalam Majalah JE. Oleh karena itu, dengan memperlihatkan wacana mengenai Indonesia yang telah diberikan oleh para ekspatriat, penelitian ini dapat menafsirkan dan mendapatkan pemahaman atas kehadiran para ekspatriat di Indonesia di masa pasca-kolonial.

D. Manfaat Penelitian

(25)

identitas. Bahkan, penelitian ini juga diharapkan dapat menambah eksplorasi atas konstruksi identitas dan representasi, serta mengetahui ragam wacana yang terdapat di dalamnya, terutama dengan cara suatu penelusuran melalui media seperti Majalah JE.

E. Tinjauan Pustaka

Pada tinjauan pustaka ini, penulis mencoba merujuk beberapa sumber penelitian yang memiliki kesamaan dalam objek material. Pertama, penelitian Anne Meike Fechter yang telah tertuang dalam sebuah buku, Transnational Lives: Expatriates in Indonesia

(2007). Di dalam penelitian ini, Fechter berupaya untuk melihat dan mengetahui kondisi kehidupan ekspatriat di Jakarta dengan menggunakan metode etnografis yang mengarah pada tema kehidupan transnasional. Melalui penelitiannya, Fechter menemukan bahwa kehidupan para ekspatriat telah ditandai oleh suatu batas. Kehidupan transnasional para ekspatriat telah ditandai oleh batas-batas sebanyak oleh ‘arus’, di mana pun ekspatriat itu berada dan apa pun yang mereka lakukan menjadi batas kunci untuk memahami kehidupan ekspatriat. Bagi Fechter, hal ini menjadi suatu gagasan yang tidak dikonseptualisasikan sebagai berlawanan, tetapi saling tergantung satu sama lain.

(26)

spasial itu muncul seperti dalam praktek perumahan ekspatriat dan melalui komunitas mereka di Jakarta.

Di samping itu, Fechter juga membahas tentang batasan etnis dan kebangsaan, dimana ekspatriat tidak hanya terpisah dari masyarakat Indonesia, tetapi telah membagi masyarakat kulit putih itu sendiri. Ada ekspatriat yang terikat untuk eksis dalam 'gelembung' dan ada juga bentuk-bentuk hidup alternatif sebagai orang asing di Indonesia. Dengan demikian, penelitian Fechter yang cukup komprehensif ini menjadi sangat berguna untuk mengetahui dan memberikan suatu pemetaan serta gambaran tentang bagaimana kondisi ekspatriat di Jakarta, khususnya melihat kehadiran dan kehidupan para ekspatriat dalam perspektif transnasional.

Kedua, penelitian Sian Reiko Upton tentang Expatriates in Papua New Guinea: Contructions of Expatriates in Canadian Oral Narratives(1998). Dalam penelitian berupa tesis ini, Upton menyampaikan bahwa minat para ilmuwan sosial tentang globalisasi, mobilitas, efek dari kolonialisme dan situasi antar budaya telah memberikan sedikit perhatian kepada ekspatriat sebagai kelompok transnasional kontemporer. Secara khusus, Upton melakukan penyelidikan terhadap delapan individu untuk mendefinisikan diri mereka (orang asing) sebagai ekspatriat melalui narasi lisan dan melihat bagaimana kehidupan mereka di Papua Nugini. Penelitian Upton menekankan bahwa karakterisasi ekspatriat dapat dilihat dalam komunitas mereka, hubungan mereka dengan penduduk setempat; status mereka sebagai orang asing di sebuah negara pasca-kolonial seperti Papua Nugini maupun pengalaman mobilitas mereka yang sering berpindah ke berbagai negara.

(27)

penggambaran ilmiah (Eric Cohen, 1977 dan Ulf Hanners, 1996), dinilai terlalu sederhana untuk dapat mengakses kehidupan ekspatriat kontemporer maupun situasi yang kompleks di mana mereka tinggal. Upton mengingatkan bahwa jika seorang ilmuwan sosial ingin memahami hubungan global-lokal kontemporer, maka harus melakukan upaya kritis untuk memeriksa asumsi tentang berbagai kelompok transnasional, dan meletakkannya secara terbuka, serta melalui penyelidikan etnografi untuk dapat masuk ke dalam makna pengalaman orang yang mengalami proses transnasional. Meskipun Upton telah berusaha untuk menunjukkan apa yang dapat dilakukan untuk mengerti beberapa masalah yang ada atas asumsi ilmiah sosial tentang ekspatriat, namun sebelum konseptualisasi baru dapat dipetakan ia menyarankan diperlukan banyak penelitian yang lebih empiris. Oleh karena itu, Upton menekankan bahwa untuk mengetahui para ekspatriat perlu untuk menceritakan kisah pengalaman mereka, terutama mereka tidak dapat disamakan begitu saja karena batasan definisi.

Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Robert A. Cannon tentang “Expatriate ‘Experts’ In Indonesia and Thailand: Profesional and Personal Qualities for Effective

Teaching and Consulting” (1991). Penelitian ini mencoba untuk melihat bagaimana para ekspatriat “yang ahli”, pada khususnya Cannon melihat keberadaan para ekspatriat Australia di Indonesia dan Thailand. Dalam penelitian ini Cannon menemukan bahwa para ekspatriat “yang ahli” memerlukan berbagai kualitas pribadi dan profesional untuk dapat menjadi efektif, seperti harus memiliki keahlian, mampu membangun dan menjaga hubungan baik dengan orang-orang sekitar, terorganisir, dapat mentransfer informasi serta keterampilan yang bermanfaat.

(28)

Dimensi statis yaitu, kodrat sebagai kualitas seseorang yang ahli. Cannon menunjukkan bahwa ekspatriat dianggap sebagai “yang ahli” harus memiliki beberapa unsur, termasuk keahlian teknis, pengetahuan budaya, kemampuan bahasa dan keahlian dalam pendidikan. Sementara itu, dimensi dinamis berkaitan dengan kualitas kepemimpinan, keterampilan berorganisasi, proses pembelajaran, komunikasi dan bahan yang diajarkan.

Selanjutnya, Cannon juga menunjukkan bahwa terdapat kesamaan yang luas antara ekspatriat di Indonesia dan Thailand, termasuk beberapa perbedaan di dalamnya. Salah satu perbedaannya adalah terkait kepentingan yang bersifat relatif untuk dapat meningkatkan hubungan kualitas, sehingga Cannon menyarankan agar penelitian selanjutnya dapat memvalidasi temuannya dan mengeksplorasi perbedaan tersebut. Dengan demikian, penelitian ini dapat berguna bagi penulis untuk memperkuat argumentasi perdebatan mengenai ekspatriat yang acapkali dilabeli sebagai seorang “yang ahli”.

Keempat, penelitian yang dilakukan oleh Mochammad Al Musadieq tentang

“Ekspatriat dan Industri Lintas Negara” (2010). Pada dasarnya penelitian Musadieq ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang karakteristik demografi dan culture shock

yang dialami oleh para ekspatriat saat ditugaskan di luar negaranya, seperti di Indonesia. Berbekal dengan tiga puluh responden, Musadieq menyajikan penelitiannya secara deskriptif dengan menggunakkan tabel distribusi frekuensi sebagai gambaran bahwa kebanyakan dari mereka – yang disebut sebagai ekspatriat dalam penelitian ini –sedang menjalankan tugas atau pekerjaan di luar negeri.

(29)

Penelitian ini berhasil mengungkapkan bahwa kebanyakan dari respondennya menjalankan tugas luar negeri yang pertama, sebagai representatif dan membawa keluarga mereka dalam tugas. Selain itu, penelitian ini juga mengungkapkan bahwa para ekspatriat tersebut tidak mengalami kesulitan dalam melakukan adaptasi dengan budaya lokal Indonesia.

Sementara itu, tanpa mempersoalkan siapa itu ekspatriat, penelitian yang dilakukan Musadieq menyisir berbagai orang asing yang ada di Malang dan Surabaya. Meskipun di dalam penelitian ini terdapat orang kulit putih, diantaranya, orang-orang Selandia Baru, Jerman, Inggris dan Kanada, namun dapat dilihat bahwa sebagian besar respondennya adalah orang Jepang. Oleh karena itu, setidaknya penelitian ini dapat bermanfaat untuk memberikan sebuah gambaran bahwa dari seorang peneliti sekalipun masih menempatkan kehadiran orang asing di Indonesia sebagai ekspatriat.

(30)

yang sedang tinggal dan bekerja pada salah satu perusahaan di luar negeri yang tidak terdaftar sebagai warga negara.

Berangkat dari sebuah perspektif manajemen, penelitian Soares secara khusus hanya bertujuan untuk membahas persoalan para ekspatriat yang berada di dalam lingkup bisnis. Dalam penelitiannya, Soares lebih berupaya untuk menjelaskan beberapa faktor yang mendukung para ekspatriat dalam melakukan proses adaptasi budaya, diantaranya,

individual, job, organization culture, dan job satisfaction. Meskipun demikian, pada penelitian ini Soares juga menemukan bahwa para ekspatriat di Timor Leste mengalami

culture shock, mental isolation, recovery, dan adjustment. Hal ini terjadi karena Timor Leste merupakan sebuah negara baru, yang mana memiliki banyak keterbatasan baik kondisi keamanan, ekonomi, infrastruktur, maupun hukum. Dengan demikian, penelitian yang telah dilakukan Soares ini cukup menarik untuk dapat melihat bagaimana keadaan para ekspatriat di Timor Leste, yang mana bertetangga atau memiliki hubungan historis dengan Indonesia.

Dari kelima tinjauan yang telah dipaparkan di atas, pada khususnya dari dua penelitian, yakni Fechter dan Upton, dapat digarisbawahi bahwa persoalan identitas sekaligus representasi ekspatriat selalu didasarkan pada para respondennya. Sementara dalam penelitian lainnya, seperti, Cannon, Musadieq, dan Soares lebih cenderung menempatkan persoalan ekspatriat sebagai bagian dari perputaran roda kapitalisme global (industri lintas negara). Dengan demikian, melalui penelitian ini penulis berupaya untuk menggali persoalan identitas ekspatriat melalui representasi diri yang mereka hadirkan di dalam sebuah media, yaitu Majalah JE.

(31)

Upton), sehingga mendapatkan pemahaman yang baru seputar identitas ekspatriat. Di samping itu, tidak hanya berhenti pada pembahasan rerpresentasi diri ekspatriat, tetapi melalui penelitian ini penulis juga berupaya membahas ragam wacana kolonial yang acapkali muncul di dalam Majalah JE. Dengan demikian, dari persoalan representasi dan wacana kolonial yang muncul, serta ambivalensi dan hibriditas yang dialami para ekspatriat, maka penelitian ini mencoba untuk memberikan tafsiran terhadap identitas ekspatriat.

F. Kerangka Teori

Kehadiran para ekspatriat di Jakarta telah memperlihatkan kompleksitasnya. Berawal dari kehadiran mereka sebagai orang asing di Indonesia. Kemudian secara khusus, orang kulit putih melakukan konstruksi identitas sebagai ekspatriat sehingga membedakannya dengan bule maupun orang asing lainnya. Tak pelak ketika mereka melakukan upaya representasi di dalam suatu media seperti Majalah JE. Oleh karena itu, guna mendapatkan jawaban-jawaban dari rumusan masalah yang telah diajukan, penelitian ini menggunakan beberapa pendekatan teori, di antaranya adalah:

F.1. Representasi

Dalam pemahaman Kajian Budaya, suatu identitas diyakini berkaitan dengan adanya upaya konstruksi melalui representasi. Identitas sebagai suatu konstruksi telah memperlihatkan budaya yang tidak stabil dan tidak permanen. Oleh karena itu, identitas acapkali mengalami perubahan yang didasarkan pada ruang dan waktu di mana seseorang berada.

(32)

representasi diri yang berhasrat untuk mendapatkan suatu pengakuan dari luar kediriannya. Sebagaimana Stuart Hall (1991) mengatakan bahwa pada dasarnya suatu identitas selalu dinyatakan sebagai bentuk representasi diri. Bahkan, ide atau gagasan tentang identitas merupakan suatu hal yang kontradiktoris karena terdiri dari satu atau lebih wacana yang berproses melewati atau membatasi yang lainnya.6

Selain itu, gagasan-gagasan teori Stuart Hall mengenai representasi telah banyak dipaparkan di dalam bukunya, Representation: Cultural Representation and Signifying Practices (1997).7 Dalam paparan teorinya, Hall menjelaskan bahwa representasi berhubungan erat dengan produksi makna dari konsep-konsep yang ada dalam pikiran seseorang. Bahkan, dalam sebuah proses produksi budaya, representasi menjadi penting karena terkait dengan‘cultural circuit’sehingga telah menghubungkan makna dan bahasa bagi budaya (Hall, 1997:15). Guna memudahkan penjabaran teori menjadi lebih sederhana, Hall menjelaskan bahwa representasi memiliki dua sistem yang membentuk sebuah diskursus bagi banyak orang. Dua sistem yang dimaksudkan oleh Hall adalah representasi mental dan makna pada tanda maupun bahasa.

Sistem pertama, yaitu representasi mental (mental representation) dimaknai sebagai makna yang bergantung pada sistem konsep dan bentuk gambar yang dapat mewakili atau merepresentasikan dunia. Sementara itu, sistem yang kedua adalah suatu makna bergantung pada tanda maupun bahasa yang merepresentasikan konsep-konsep tersebut. Dengan demikian, keberadaan para orang kulit putih, yang mana berupaya untuk merepresentasikan diri mereka sebagai ekspatriat dapat dimaknai sebagai suatu diskursus, dan tanda bahasa yang terkait pada suatu konsep identitas.

6

Hall, Stuart. (1991).Old and New Identities, Old and New Etnicities, dalam Anthony D. King (Ed),

Culture, Globalization and the World-SystemBinghamton: The Macmillan Press Ltd. Hal. 49. 7

Lihat du Gay, Hall. Et.All. (1997).Representation: Cultural Representation and Signifying Practices.

(33)

Selanjutnya, penjelasan mengenai representasi mental adalah sesuatu yang berada dalam konsep pikiran seseorang. Dalam representasi mental, seseorang menghubungkan antara kenyataan dengan konsep yang dimiliki dalam pikiran. Dengan kata lain, melalui hal-hal nyata yang terlihat, maka dapat tercipta konsep mengenai hal tersebut tanpa benar-benar berada dalam situasi yang dimaksudkan atau melihat benda yang dibicarakan (Hall, 1997:17). Semisal, representasi mental mengenai kehadiran orang kulit putih tentunya menjadi berbeda tergantung pada siapa yang memaknainya, apalagi mengenai relasi antara subjek dengan objek. Hal tersebut disebabkan representasi mental bukanlah sesuatu yang tetap, melainkan selalu berubah-ubah. Selain itu, dalam representasi mental, kesamaan dalam memaknai sesuatu juga sangat erat kaitannya dengan shared meanings ataushared conceptual map (Hall, 1997:18).Dalam hal ini Majalah JE dapat dipahami sebagai sebuah sarana untuk dapat menyebarkan pengertian dan konsep mengenai ekspatriat kepada para pembaca Majalah JE, yakni para ekspatriat itu sendiri.

(34)

dari realitas sosial yang melingkupi hubungan subjek dengan objek – produsen media dengan konsumen media.

Representasi juga merekatkan semua tanda menjadi suatu makna. Makna pun bersifat subjektif, tidak pernah tetap, selalu berubah dan selalu bergerak. Mengenai persoalan makna ini, Hall mengajukan tiga pendekatan untuk melihat bagaimana suatu makna dapat bekerja melalui bahasa, yakni reflective approach, intensional approach,

dan constructionist approach.8 Namun demikian, pendekatan konstruksionis adalah suatu pendekatan yang dapat dinilai lebih dekat dengan wilayah Kajian Budaya. Karena suatu makna pada dasarnya tidak terkandung begitu saja dalam sebuah tanda, tetapi dipahami sebagai sesuatu yang terkonstruksi ketika makna tersebut ditafsirkan oleh penafsir yang juga memiliki serangkaian konsep sesuai dengan budaya yang dimilikinya.

Dalam pendekatan konstruksionis atau yang biasa juga dapat disebut sebagai konstruktivis menjelaskan bahwa suatu makna terkonstruksi di dalam sebuah bahasa. Makna dibangun melalui sistem bahasa dengan menggunakan konsep representasi. Hal ini dilakukan untuk membuat suatu kata menjadi penuh makna dan dapat menyampaikannya kepada yang lain. Dalam pendekatan konstruksionis ini, ekspatriat dapat dipahami oleh siapapun dalam kaitannya untuk mengetahui dan mengerti apa dan siapakah ekspatriat yang dihadirkan dalam media. Dengan kata lain, ekspatriat dapat dipahami sebagai konstruksi sosial. Oleh karena itu, melalui pendekatan konstruksionis, Majalah JE dapat dipahami sebagai bagian dari sebuah bangunan dan menjadi ruang representasi sekaligus melegitimasi ekspatriat.

8

(35)

Meskipun representasi bukan sebuah kebenaran tunggal, namun representasi akan terus menjadi upaya konstruksi tanpa batas akhir. Representasi ekspatriat di dalam media telah memperlihatkan konsep mereka terhadap diri dan lingkungannya, khususnya bagi para pembaca Majalah JE. Dalam hal ini, ekspatriat membicarakan seputar diri mereka dan membedakan diri mereka dengan orang lain. Karenanya, pembaca dapat mengetahui bagaimana mereka menyikapi stereotipe-stereotipe yang ada di dalam masyarakat lokal terhadap orang asing, seperti sebutan bule yang sering ditujukan kepada orang kulit putih. Dengan demikian, representasi ini tentunya akan berkaitan dengan sistem representasi yang ada di dalam suatu masyarakat.

Seperti yang telah penulis singgung sebelumnya, representasi tentunya selalu terkait dengan identitas. Untuk dapat lebih memahami persoalan representasi, penulis merujuk pada gagasan Stuart Hall yang telah mengajukan sebuah pertanyaan reflektif dan memberikan dua cara untuk dapat menjawab pertanyaan tersebut. Hall memaparkan sebagai berikut:

“Who needs ‘Identity’? …. There are two ways of responding to the question. The first is to observe something distinctive about the deconstructive critique to which many of these essentialist concepts have been subjected. …. A second kind of answer requires us to note where, in relation to what set of problems, does the irreducibilty of the concept, identity, emerge? I think the answer here lies in its centrality to the question of agency and politics.” (Hall, 1996:2)

(36)

memberikan sebuah jawaban, yakni meletakkannya pada sentralitas untuk kembali mempertanyakan agensi dan politik. Politik, bagi Hall, dimaknai sebagai gerakan dari penanda identitas yang menghubungkan sebuah lokasi politik. Sementara itu, Hall mengungkapkan bahwa agensi adalah perantara untuk memberikan pengertian kepada subjek atau identitas sebagai gagasan dari praktik sosial, atau untuk mengembalikan sebuah pendekatan yang historis. Dengan kata lain, persoalan politik identitas muncul.

Di samping itu, Stuart Hall juga menegaskan bahwa identitas merupakan sesuatu yang secara aktual terbentuk melalui proses tidak sadar yang melampaui waktu, bukan kondisi yang terberikan begitu saja dalam kesadaran semenjak lahir. Di dalam identitas terdapat sesuatu yang bersifat imajiner atau difantasikan mengenai keutuhannya, dimana identitas menyisakan ketidaklengkapan, selalu dalam proses dan sedang dibentuk (Hall, 1996:4). Singkat kata, Hall mengemukakan bahwa identitas merupakan suatu proses yang tidak pernah utuh atau sempurna dan tidak pernah akan berakhir.

Dengan demikian, gagasan yang telah diajukan oleh Hall untuk menguraikan persoalan identitas dan representasi dapat diejawantahkan dalam penelitian ini, khususnya dalam membahas fenomena orang kulit putih yang merepresentasikan diri sebagai ekspatriat. Hal ini disebabkan ekspatriat sebagai identitas merupakan sebuah upaya dari konstruksi sosial, yang mana di dalamnya juga terdapat berbagai muatan seperti imajinasi dan fantasi akan orang kulit putih yang pernah hadir di Indonesia sebelumnya. Oleh karena itu, setelah membahas persoalan identitas beserta representasinya, penelitian ini selanjutnya melangkah untuk menganalisis ekspatriat dengan perspektif pascakolonial.

F.2. Pascakolonial

(37)

penggunaan istilah ‘pasca-kolonial’ adalah untuk merujuk pada seluruh budaya yang terpengaruhi oleh proses imperial sejak saat terjadinya kolonisasi hingga hari ini. Oleh karena itu, penulis menggunakan perspektif pascakolonial dalam penelitian ini untuk menganalisis persoalan representasi ekspatriat dan beragam muatan wacana kolonial yang terdapat di dalam Majalah JE, terutama didasarkan pada imaji dan teks mengenai Indonesia yang tersajikan di dalam Majalah JE.

Di balik imaji dan teks tersembunyi wacana tertentu. Dengan melihat sajian yang disuguhkan oleh para ekspatriat di dalam Majalah JE, dapat dicermati bahwa terdapat kecenderungan wacana kolonial yang bertebaran. Ada yang mengangkat ingatan mengenai kolonialisme di Indonesia, dan ada pula yang turut memberikan pandangan tentang Indonesia masa kini, pasca-kolonial. Dengan kata lain, para ekspatriat tengah memberikan dan menghasilkan pelbagai macam wacana kolonial kontemporer. Dengan demikian, perspektif pascakolonial pada penelitian ini penulis pergunakan sebagai cara baca untuk memahami, mengkritisi, dan menganalisis terkait wacana kolonial atas ragam imaji dan teks mengenai Indonesia yang diberikan oleh para ekspatriat.

Selanjutnya, rujukan perspektif pascakolonial ini penulis bagi menjadi dua pendekatan teori, yaitu Wacana Kolonial dan Ruang Ketiga. Pertama, teori Wacana Kolonial ini dipergunakan untuk dapat menganalisis beragam konten yang tersaji di dalam Majalah JE, seperti imaji dan teks.Kedua, teori Ruang Ketiga dipergunakan untuk dapat memberikan tafsiran identitas ekspatriat atas ambivalensi dan hibriditas yang dialami oleh para ekspatriat melalui teks yang termuat di dalam Majalah JE.

F.2.1. Wacana Kolonial

(38)

Foucault untuk dapat mengidentifikasi mekanisme Orientalisme. Ashchroft menegaskan bahwa Said berupaya memperlihatkan bagaimana wacana kolonial dapat dioperasikan sebagai instrumen kekuasaan para penjajah, bahkan wacana kolonial telah menjadi kompleks tanda dan praktek yang mengatur eksistensi sosial dan reproduksi sosial dalam hubungan kolonial (1998:42).

Selanjutnya, Bill Ashcroft juga menjelaskan bahwa teori wacana kolonial dalam pandangan Said merupakan teori untuk menganalisis wacana kolonialisme dan penjajahan. Selain itu, teori wacana kolonial juga dapat dijadikan sebagai suatu cara untuk menemukan kekaburan wacana yang mendasari tujuan adanya penjajahan, baik politis dan material, hingga menunjukkan ambivalensi dari wacana tersebut, yang mana turut melakukan konstruksi subjek penjajah dan terjajah (1999:15).

Di samping itu, wacana kolonial juga dapat dimaknai sebagai suatu sistem laporan yang dibuat oleh kolonial tentang masyarakat kolonial, yang di dalamnya termasuk perihal kekuasaan dan hubungan antara keduanya, penjajah dan terjajah. Sistem ini menjadi suatu pengetahuan tentang dunia terjajah (Anscroft, 1999:60). Oleh karena itu, Said berupaya untuk menunjukkan sejauh mana ‘pengetahuan’ tentang ‘Timur’sebagaimana dihasilkan dan diedarkan di Eropa itu merupakan pengiring ideologis dari ‘kekuasaan’ kolonial (Loomba, 2000:43). Dengan demikian, teori wacana kolonial pada penelitian ini digunakan untuk menemukan makna maupun rekonstruksi wacana mengenai Timur yang tersajikan di dalam Majalah JE oleh para ekspatriat.

(39)

penjelasan yang cukup sistematis dalam membaca wacana kolonial berdasarkan karakteristik dan stereotipe tentang Orientalismenya Edward Said. McLeod memberikan suatu pemetaan wacana kolonial tersebut sebagai berikut:9

Bentuk Orientalisme yang dirangkum oleh McLeod, diantaranya, pertama,

Orientalism construct is binary divisions,artinya oposisi biner menjadi cara pandang yang paling fundamental dalam melihat dunia, membaginya menjadi dua, yaitu dunia Barat dan Timur; di dalamnya terdapat perbedaan seperti, Barat yang beradab, rasional, maju, sedangkan Timur yang primitif, irasional, berkembang atau terbelakang. Kedua,

Orientalism is a Western Fantasy, yakni menggambarkan Timur sebagai mimpi-mimpi Barat, bahkan di dalamnya terdapat fantasi dan beragam asumsi yang memiliki perbedaan radikal, seperti Timur sebagai tempat yang sangat berbeda dengan Barat. Ketiga,

Orientalism is an institution, dalam hal ini Timur ditempatkan sebagai suatu kajian ilmu yang dipelajari di Barat, sehingga kalangan Barat mendapatkan pengetahuan tentang Timur. Keempat, Orientalism is literary, maksudnya adalah para kalangan Barat menjadikan Timur sebagai sumber literatur, dan membuatnya sebagai kumpulan tulisan di berbagai bidang, seperti, filologi, lexikografi, sejarah, politik, ekonomi maupun novel hingga lirik puisi. Dan kelima, Orientalism is legitimating, terkait dengan berbagai unsur yang sudah dijelaskan sebelumnya, maka menjadi suatu hal yang lumrah bagi Barat untuk melakukan dominasi dan mendudukkan Timur, khususnya pada masa penjajahan atau kolonialisme, yang mana Barat dapat membuat berbagai aturan kolonial di tanah Timur.

McLeod juga memberikan pemetaan mengenai stereotipe Orientalisme menjadi beberapa bagian. Pertama, the Orient is timeless, yang mana Timur ditempatkan sebagai subjek yang tidak mengalami kemajuan seperti Barat. Kedua,the Orient is strange,Timur

9

(40)

dianggap sebagai yang aneh atau asing, sehingga tidak normal dan berbeda dari kebiasaan manusia Barat. Ketiga, the Orient makes assumptions about ‘race’, dalam representasi Barat orang Timur sering diperlihatkan sebagai ras dengan beragam stereotipe maupun karakter. Keempat, the Orient is feminine,Timur diibaratkan atau ditempatkan oleh Barat sebagai perempuan yang memiliki sifat pasif, eksotik, dan menggoda. Serta yang kelima adalah the Oriental is degenerate, Barat telah membuat Timur seakan butuh untuk diperadabkan karena memiliki kemorosotan moral.

Adanya pandangan Edward Said tentang wacana kolonial juga telah mendapat sambutan dari Homi K. Bhabha. Bagi Bhabha (1994:66) wacana kolonial dapat dipahami sebagai sebuah fitur ketergantungan pada sebuah konsep 'ketetapan' dalam mengkonstruki ideologi terhadap yang lain. Bahkan, ketetapan ini dijadikan sebagai tanda perbedaan budaya, sejarah maupun ras dalam tatanan wacana. Dengan demikian, kolonialisme dipahami sebagai sebuah mode paradoks representasi, yang di dalamnya terdapat beragam wacana.

(41)

F.2.2. Ruang Ketiga

Homi K. Bhabha mengemukakan bahwa dikotomi penjajah-terjajah telah memasuki sebuah ‘ruang baru’ dengan munculnya kondisi pasca-kolonial. Dalam masyarakat kontemporer, ruang baru tersebut dapat dimaknai sebagai penghilangan dikotomi penjajah-terjajah secara eksplisit. Oleh karena itu, adanya kehadiran orang kulit putih di masa pasca-kolonial yang merepresentasikan diri sebagai ekspatriat telah memasuki ruang baru dalam perjumpaannya dengan masyarakat Indonesia.

Sementara itu, yang dimaksudkan oleh Bhabha mengenai ruang baru di masa pascakolonial bukanlah sembarang ruang. Untuk dapat mengetahuinya secara jelas, Bhabha telah mengajukan sebuah model liminalitas guna dapat menghidupkan ruang persinggungan antara teori dan praktek kolonisasi dalam upaya menjembatani hubungan timbal balik di antara keduanya. Adanya ruang liminal adalah sebuah ruang yang menggambarkan tempat pertemuan antara penjajah-terjajah. Ruang ini menjadi tempat proses interaksi simbolik yang melepaskan antara posisi atas (upper space) dan posisi bawah (lower space), superior dan inferior. Ruang liminal ini selalu bergerak bebas, temporal dan sebagai ruang yang memungkinkan untuk terciptanya hibriditas. Dengan demikian, ruang liminal ini telah mencegah identitas berada di kedua ujung dari ketetapan polaritas primordial masing-masing, sehingga ruang liminal menjadi bagian interstitial

atau celah sebagai identifikasi yang tetap membuka kemungkinan hibriditas budaya, dan dimaksudkan untuk mencari pemaknaan identitas di masa pasca-kolonial.

Selanjutnya, bagi Bhabha, liminalitas memerlukan semacam ‘Ruang Ketiga’

(42)

instability where the people dwell). Di dalam Ruang Ketiga inilah struktur makna dan referensi merupakan sebuah proses ambivalensi, yang menghancurkan cermin representasi dan memperluas kode pengetahuan. Ruang Ketiga menciptakan kondisi wacana ucapan yang memastikan bahwa makna dan simbol budaya tidak memiliki kesatuan atau ketetapan primordial (fixity); bahkan tanda-tanda yang sama dapat digunakan, ditranslasi, di-sejarah-ulangkan dan dibaca baru (Bhabha 1994:37).

Melalui Ruang Ketiga, pencarian identitas secara ideal berlangsung menjadi suatu proses yang tidak pernah berhenti dan senantiasa mengalami perubahan yang selalu mengalir. Ruang Ketiga ini dapat dilihat seperti gerak sebuah eskalator yang (sedang) naik turun. Ruang pertama ialah ruang atas (upper space), sementara ruang kedua ialah ruang bawah (lower space). Kedua ruang ini bergerak naik turun silih-berganti memasuki Ruang Ketiga, yaitu terdapat ruang di antaranya (in between), sehingga gerakan ini merekayasa suatu identitas, menjadi satu proses terkait hubungan secara simbolik antara ruang pertama dan ruang kedua melalui ruang keluar masuk ’in between’, yaitu Ruang Ketiga.

(43)

berlangsung secara timbal-balas menuju kepada gerak kemodernan ataupun menuju gerak kesadaran tradisionalis. Dengan demikian, perspektif pascakolonial ini, pada khususnya Ruang Ketiga, dapat digunakan untuk menemukan dan memberikan tafsiran terhadap identitas ekspatriat.

G. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode analisis teks terhadap media. Secara khusus, merujuk pada Paula Saukko (2003:105), metode yang digunakan adalah postmodern texts and analysis, yakni untuk melihat fenomena sosial dan budaya dari produk media kontemporer dan wacana yang semakin patuh pada logika ‘posmodern’. Dengan mengikuti Baudrillard (1983), Sauko menjelaskan bahwa media kontemporer dapat dicirikan oleh sebuah ‘penanda mengambang’ (floating signifiers), yang mana tidak lagi mengacu pada petanda tapi penanda lain seperti teks media. Selain menggambarkan cara bagaimana menganalisis teks-teks posmodern, Sauko pun juga memeriksa gambar dalam metode ini. Dengan demikian, metode analisis ini merujuk pada pembacaan teks secara teliti dan berupaya untuk melakukan pengungkapan makna yang tersembunyi dari suatu teks dan imaji, terutama dalam memahami bahwa pada dasarnya sebuah teks tidak berdiri sendiri, melainkan memiliki keterkaitan dengan kondisi sosial.

(44)

diskursus yang terbentuk secara lintas ruang dalam realitas kontemporer baik lokal maupun global.

Selanjutnya, penelitian ini tersajikan dalam bentuk kualitatif yang dikumpulkan dari teks media, dokumen, catatan lapangan, maupun beragam artikel lainnya. Secara teknis, penelitian ini melakukan penggalian data berdasarkan sumber data yang terbagi menjadi dua bagian. Pertama, data primer merupakan perolehan data yang berasal dari Majalah JE. Data primer ini berupa imaji dan teks yang terdapat di dalam Majalah JE. Di samping itu, penelitian ini juga melihat latar belakang kehadiran media dan persebarannya. Kedua, data sekunder yaitu data-data yang diperoleh dari berbagai sumber bacaan, yang terdiri dari buku, catatan atau artikel dan dokumen-dokumen lainnya yang terkait dengan ekspatriat.

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan serangkaian prosedur yang sistematis sehingga menyediakan data yang signifikan bagi penelitian. Pada penelitian ini penulis juga melakukan studi pustaka dengan mengumpulkan berbagai teks yang berkaitan dengan memuat wacana seputar ekspatriat. Dengan demikian, ada bentuk pendokumentasian untuk melakukan pengumpulan data, baik yang terekam dalam media, seperti tulis, cetak, maupun internet untuk menjadi sumber informasi sekaligus data yang terkait dengan kehidupan para ekspatriat di Jakarta.

H. Sistematika Penulisan

(45)

Pada Bab II, penulis membahas tentang kehadiran orang asing di Indonesia pada masa kolonial dan pasca-kolonial. Melalui bab ini juga penulis berupaya memperlihatkan keberlanjutan kehadiran orang asing, khususnya orang kulit putih yang kini hadir sebagai ekspatriat, memiliki pola kesamaan seperti yang pernah dilakukan oleh para kolonialis. Selain itu, dalam bab ini penulis akan berupaya memaparkan perdebatan dan pemahaman atas identitas orang kulit putih yang acapkali disebut sebagai bule maupun ekspatriat.

Pada Bab III, penulis menarasikan beragam data mengenai para ekspatriat yang terdapat di dalam Majalah JE, baik itu seputar kisah kehadiran maupun latar belakangnya. Selain itu, pada bab ini juga, penulis akan membahas persoalan identitas sekaligus menganalisis representasi diri ekspatriat di dalam Majalah JE. Dan terakhir, penulis akan memaparkan beragam sajian yang terdapat di dalam Majalah JE,dimulai daricover photo

Majalah JE hingga ke beragam rubrik maupun artikel terkait dengan wacana kolonial mengenai Indonesia.

Selanjutnya, pada Bab IV penulis melakukan sebuah upaya analisis terkait dengan wacana kolonial kontemporer yang terdapat di dalam Majalah JE. Dalam bab ini, penulis mengaplikasikan cara baca pascakolonial yang kritis terhadap teks yang disajikan oleh para ekspatriat di dalam Majalah JE. Selain itu melalui Ruang Ketiga ala Homi Bhabha, penulis pun memberikan suatu tafsiran bagi identitas ekspatriat dengan melihat adanya hibriditas dan ambivalensi.

(46)

BAB II

INDONESIA DAN ORANG ASING

Pada bab ini, penulis akan secara khusus membahas kehadiran orang asing kulit

putih di Indonesia. Hal ini diletakkan pada sebuah latar, yakni kolonialisme yang telah

dilakukan oleh bangsa Eropa di negara-negara Asia dan Afrika. Kolonialisme yang terjadi

bukan hanya sekadar praktik penjajahan, melainkan juga menghasilkan pelbagai wacana

terkait hubungan penjajah-terjajah. Selain itu, penulis juga membahas kehadiran orang

asing di masa kini, khususnya mengenai kehadiran para ekspatriat, karena terdapat

kesinambungan wacana dan praktik dari masa kolonial ke masa pasca-kolonial. Oleh

karena itu, penulis akan berupaya untuk menemukan dan memperlihatkan pola kesamaan

wacana atas dan praktik orang asing yang terjadi di masa kolonial dan pasca-kolonial.

A. Kehadiran Orang Asing di Nusantara

Alkisah bermula dari kedatangan bangsa Eropa pada awal abab ke-16 saat

melakukan ekspansi ke luar wilayahnya seperti Asia dan Afrika. Karenanya, kehadiran

bangsa Eropa telah memberikan pengaruh bagi perkembangan Nusantara. Bahkan,

ketertarikan berbagai bangsa Eropa, seperti Portugis, Inggris, dan khususnya Belanda telah

menjadikan Nusantara sebagai sebuah negara koloni.

Pada mulanya perdagangan menjadi titik berangkat kedatangan bangsa Eropa di

Nusantara (Ricklefs, 2008:30). Hal ini didasarkan pada kebutuhan suatu wilayah yang

tidak mampu menghasilkan pemenuhannya secara otonom, pada khususnya di wilayah

yang acapkali berganti musim, seperti Eropa. Berkat adanya perdagangan, berbagai

(47)

memperjual-belikan segala yang dihasilkan oleh suatu wilayah dengan wilayah lainnya –

yang mana tidak dapat dihasilkan di wilayahnya sendiri.

Kesaksian pertama orang Eropa tentang Nusantara hingga saat ini masih tetap

merujuk pada Marcopolo, ketika ia singgah selama beberapa bulan di bandar-bandar

pantai utara Sumatra pada tahun 1291. Meskipun Marcopolo sudah mengunjungi

Nusantara beberapa abad sebelumnya, namun persinggungan sesungguhnya baru terjadi

pada awal abad ke-16, ketika orang-orang Portugis di bawah komando Alfonso de

Albuquerque menetap di bandar Malaka pada tahun 1511 (Lombard, 2008a:59). Oleh

karena itu, bagi banyak kalangan, kehadiran Portugis di Nusantara adalah suatu awal bagi

catatan sejarah Indonesia karena telah memberikan gambaran tentang dunia Nusantara

sebelum ada pengaruh Eropa mana pun.1

Bukti lain yang turut memaparkan bahwa kehadiran bangsa Eropa di Nusantara

yang pertama kali adalah Portugis, juga ditegaskan oleh João de Barros melalui karya

sejarahnya yang besar,Decadas da Asia,pada tahun 1539.2Di antara negara-negara Eropa lainnya, Portugis dinilai lebih unggul karena memiliki kemajuan teknologi perkapalan,

ilmu pengetahuan geografi dan astronomi yang memudahkan mereka untuk melakukan

petualangan dalam mengarungi samudera hingga membawa ke benua lain. Dan setibanya

kehadiran orang-orang Portugis di Nusantara, khususnya di wilayah bagian Timur yang

lebih dikenal sebagai kepulauan rempah-rempah, adalah untuk kepentingan perdagangan.

1

J.C. van Leur dalam C.R. Boxer. Dalam Soedjatmoko (Editor). (1995).Historiografi Indonesia; Sebuah Pengantar.Jakarta: Gramedia. Hal. 189.

2

(48)

Selang Portugis, Belanda kemudian hadir mewarisi inspirasi dan strategi Portugis

di Nusantara. Tahun 1596 lazim dikenal, setidaknya oleh para sejarawan Eropa, sebagai

tahun yang menandai kedatangan armada Belanda di perairan Nusantara untuk pertama

kali di bawah pimpinan Cornelis de Houtman (Lombard, 2008a:61). Namun demikian,

terdapat perbedaan di antara keduanya, Belanda melakukan sesuatu yang tidak dilakukan

oleh Portugis sebelumnya. Belanda mendirikan tempat berpijak yang tetap di Nusantara,

yaitu di Pulau Jawa.3 Dengan demikian, dapat digarisbawahi bahwa apa yang telah dilakukan oleh Belanda telah menandakan keberadaan orang asing yakni bangsa Eropa

menetap secara permanen di Nusantara – meskipun tidak selamanya.

Atas peristiwa menetapnya orang-orang asing di Nusantara, terjadi proses

peningkatan hubungan interaksi sosial antara para pedagang dengan pribumi – yang mana

lebih cenderung dilakukan oleh kalangan kerajaan. Interaksi ini merupakan tindak lanjut

dari hubungan perdagangan yang telah terjalin antar keduanya, khususnya pihak Belanda

dengan orang-orang Nusantara. Dan seiring dengan semakin meningkatnya kebutuhan

Belanda terhadap Nusantara, maka hubungan antar keduanya mengalami perubahan.

Selain itu, konstelasi yang terjadi di antara negara-negara Eropa turut

mempengaruhi keinginan Belanda untuk menguasai Nusantara guna menjadi sumber

perdagangan yang dapat menghasilkan laba. Keinginan Belanda semakin terbukti dengan

lahirnya politik praktik perdagangan (Company; perusahaan, selanjutnya lebih sering

dikenal atau disebut sebagai kompeni) yang diterapkan sebagai bentuk upaya peningkatan

pengaruh kekuasaan Belanda di Nusantara.

3

(49)

Bergabungnya beberapa perseroan Belanda untuk membentuk Perserikatan

Maskapai Hindia Timur, VOC (Vereenig-de Oost-Indische Compagnie), di Nusantara

telah menjadi pijakan awal bagi sepak terjang Belanda di Nusantara. Terlebih VOC

mendapatkan kewenangan berdasarkan surat izin (oktroi) yang diberikan oleh parlemen

Belanda (Staten Generaal) untuk melakukan peperangan, membangun benteng-benteng

pertahanan, mengadakan perjanjian-perjanjian di seluruh Asia, dan juga mendirikan pusat

penguasaan perdagangan rempah-rempah. Dengan demikian, sebagai salah satu negara

Eropa yang melakukan kolonisasi di Asia dan Afrika, Belanda mulai berambisi untuk

mendapatkan hasil bumi Nusantara dengan melakukan penjajahan terhadap pribumi,

bermula di pulau Jawa hingga merebak ke wilayah lain.4

Suatu momentum penting terjadi di bawah pimpinan Jenderal Jan Pieterszoon

Coen yang telah membuat perubahan besar atas kedudukan Belanda di Nusantara. Di

bawah komando Jenderal Coen, Belanda dapat berhasil menaklukkan Jaccatra5, sehingga menjadi pusat perdagangan yang strategis di pulau Jawa, dan dipersiapkan secara terbuka

untuk kalangan Eropa dan juga para pedagang Asia. Berkembang hingga tahun 1619, sang

Jenderal Coen kemudian mulai menjalankan politik migrasi dengan mendatangkan

orang-orang Belanda dan Cina ke Batavia (Blusse, 1988:148). Dikarenakan semakin maraknya

dominasi dan penguasaan perdagangan oleh para pendatang, pada khususnya para

pedagang Cina, Belanda sebagai pemegang tampuk kekuasaan pun mulai melakukan

upaya penggolongan di dalam kehidupan masyarakat. Penggolongan masyarakat ini

sengaja diperuntukkan bagi para pengusaha Eropa atau golongan orang kulit putih, dengan

tujuan agar dapat mengamankan berbagai kepentingan perdagangan kolonial di Nusantara.

Dengan demikian, penggolongan masyarakat yang dilakukan oleh Belanda adalah suatu

4

Pada tahun 1830 dimulailah masa penjajahan yang sebenarnya dalam sejarah Jawa. Untuk pertama kalinya Belanda mampu mengeksploitasi dan menguasai seluruh pulau ini. Lihat Ricklefs (2008). Hal. 259.

5

(50)

langkah untuk pertama kalinya dalam mengidentifikasikan masyarakat ke dalam kelompok

atau golongan maupun berdasarkan identitas masing-masing di Nusantara.

A.1. Penggolongan Masyarakat Asing di Masa Kolonial

Dari permulaan penduduk Batavia yang terdiri atas beragam golongan, hidup

terpisah menurut adat-istiadat masing-masing, dan saling bertemu di tengah-tengah

keramaian pasar telah membuat masing-masing golongan memahatkan tempatnya

sendiri-sendiri di dalam masyarakat. Pada awalnya pemerintah Hindia-Belanda menggunakan

kemajemukan yang terdapat di dalam masyarakat sebagai suatu konsep ekonomi, namun

dalam perkembangannya diterapkan untuk maksud-maksud sosial dan politik (Blusse

1988:7). Dengan kata lain, pemerintah kolonial telah melakukan proyek identifikasi di

dalam masyarakat.

Seorang Sejarawan Niemeijer, misalnya, telah melakukan suatu upaya yang cukup

menarik dalam menyajikan alur cerita tentang kondisi kehidupan masyarakat kolonial

abad 17 di Batavia. Niemeijer menguraikan bahwa telah terjadi konfrontasi di dalam

masyarakat yang tinggal di Batavia, antara para pendatang dengan pribumi. Para

pendatang yang dimaksud adalah kalangan Eropa, India, Cina, maupun Melayu dan

beberapa yang berasal dari mancanegara lainnya, sedangkan kalangan pribumi merujuk

pada beberapa kerajaan di Jawa, yang mana acapkali melakukan perlawanan terhadap para

pendatang, khususnya ditujukan bagi orang-orang kulit putih (Niemeijer, 2012:30).

Seiring dengan laju kehidupan sosial di dalam masyarakat yang semakin beragam,

Belanda melakukan penggolongan masyarakat dengan menyematkan berbagai istilah-kata

dalam kehidupan sosial. Utamanya adalah orang Eropa sebagai kalangan dengan berstatus

tinggi di dalam kehidupan masyarakat. Namun demikian, ada pula beberapa sebutan bagi

(51)

sebagaimana disebut oleh orang Belanda (Blackburn, 2011:83), dan Blijvers untuk

menyebut penduduk tetap, yang melihat Hindia-Belanda sebagai rumah tercintanya

(Gouda, 2007:61). Selain itu, terdapat sebutan Inlander, istilah yang awalnya

diperuntukkan bagi kalangan pribumi, dan selanjutnya ditujukan bagi keturunan dari para

wanita Eropa dan Asia apabila mereka tidak lagi diakui oleh sang ayah yang Eropa. Istilah

inlander ini juga mengalami peyorasi dan berkonotasi merendahkan, yang bersangkutan

adalah orang yang status sosialnya ditempatkan lebih rendah dari status orang Eropa.

Kemudian, ada pula istilahCasado yang ditujukan bagi para penjajah portugis dan

Indo-Portugis, secara khusus diperuntukkan bagi orang Portugis yang menikah dan

menetap di wilayah Asia. Ketika Nusantara berada di bawah naungan pemerintah

HindiaBelanda, paracasadoini mendapatkan porsi yang sangat terbatas dalam memainkan

peran dan aktifitas perdagangan. Sementara para peranakan Portugis yang masih dapat

berbicara bahasa portugis mendapatkan sebutan sebagaiMardijker.

Selain itu, terdapat juga istilah Mestizo yang ditujukan pada orang-orang berdarah

campuran, yaitu hasil pernikahan antara kalangan Eropa dengan Asia, khususnya dengan

pribumi. Istilah ini pada dasarnya tidak berbeda jauh dengan Inlander, akan tetapi

cenderung tidak berkonotasi untuk merendahkan mereka yang lahir dari hasil perkawinan

campur. Bahkan, ada juga istilah Masyarakat Merdeka, yaitu status masyarakat yang

dinyatakan sebagai orang bebas, mencakup para pengusaha Eropa, seperti Portugis yang

terlibat dalam aktifitas perdagangan di Nusantara maupun orang-orang Eropa yang bukan

atau tidak lagi menjadi pegawai VOC. Status ini juga telah mendikotomikan orang yang

bebas sebagai para pedagang dan pengusaha dengan orang yang menjadi budak di bawah

(52)

Untuk mempermudah kita dalam melihat kondisi beragamnya penduduk yang

didasarkan pada pengolongan masyarakat, berikut ini adalah sebuah pemetaan laju

perkembangan kependudukan di Batavia. Pemetaan ini sekiranya dapat memberikan

gambaran atas kondisi ruang masyarakat Batavia, yang mana ditempati oleh kalangan

bangsa Eropa, peranakan atau biasa disebut sebagai Mestizo, orang Cina, dan beberapa

kelompok kecil bangsa-bangsa Asia lainnya.

Intramuros Batavia 1699 dan 1739 (Blusse, 1998:155)

Sajian diagram di atas merupakan suatu ilustrasi untuk dapat melihat dinamika

penduduk di dalam kehidupan sosial Batavia. Berdasarkan diagram tersebut kita juga

dapat mengetahui bahwa kehadiran orang kulit putih di Batavia mengalami pasang surut.

Kondisi pasang surut tersebut tentunya telah menjadi perhatian serius bagi Belanda,

terutama karena laju pertumbuhan Kota Batavia semakin dipenuhi oleh kalangan Cina.

Padahal, jika ditelisik awal tujuan pembangunan Kota Batavia, Coen selaku pemegang

kekuasaan Belanda di Batavia menginginkan orang kulit putih untuk menjadi poros

kekuatan perdagangan.

Sejak didirikan, Batavia dimaksudkan untuk menjadi sebuah wilayah jajahan,

menempatkan kehadiran kalangan Eropa sebagai tulang punggung masyarakat yang baru

Gambar

Gambar 3. Pocongan Cilik.....................................................................................................
Gambar 1An early mixed marriage in 1845
Gambar 2
gambar lebih luas. Foto memperlihatkan kondisi tempat tinggal masyarakat suku Dani.
+2

Referensi

Dokumen terkait

Työvoiman hankintaa tukevien palveluiden kehittä- mistarpeiden osalta kävi ilmi myös se, että työnan- tajat eivät ole kovinkaan usein tietoisia siitä, mitä

1) Bagi Dinas Pendidikan, memberi sumbangan keilmuan terhadap perkembangan ilmu Manajemen Pendidikan Islam. 2) Bagi Sekolah, penelitian ini diharapkan dapat membantu

Berdasarkan Berita Acara Evaluasi Kualifikasi Kelompok Kerja Peningkatan dan Pemeliharaan Jalan terhadap Dokumen Penawaran Pekerjaan Pengawasan Peningkatan Jalan Rite - Ntobo, Cs

Dengan ini memberit ahukan bahwa set elah diadakan evaluasi oleh Pokj a ULP Bidang Jasa Konsult ansi sesuai dengan ket ent uan yang berlaku, dan berdasarkan Surat Penet apan

Dari ketiga jenis isolat nematoda entomopatogen yang paling efektif dalam mengendalikan hama uret pada pertanaman tebu yaitu isolat yang berasal dari Kediri dengan

menyusun perencanaan penyelenggaraan pemerintahan dan anggaran di bidang pemberdayaan masyarakat dan desa sesuai prosedur dan ketentuan Peraturan Perundang-undangan

Analisis awal-akhir digunakan untuk mengetahui masalah umum yang dihadapi pada kegiatan pembelajaran matematika, analisis siswa digunakan untuk mengetahui karakteristik

kurva S diharapkan kerugian, keterlambatan waktu bisa dihindari. Dasar harga yang dipakai pada perhitungan perkiraan biaya. pelaksanaan ini adalah dasar harga pada tahun 2006