BAB IV EKSPATRIAT DAN WAJAH BARU KOLONIALISME
A.2. Stereotipe Indonesia
Serupa dengan cara mencermati karakteristik Indonesia melalui imaji dan teks,
maka persoalan stereotipe Indonesia ini juga menempuh yang sama. Pada artikel The
Jaksa Position & Jalan Palatehan, Kenneth Yeung berupaya untuk memberikan deskripsi
atas kondisi perubahan kedua jalan ini, yang mana telah terkenal sebagai tempat yang
melayani kebutuhan para wisatawan asing dan ekspatriat di Jakarta dalam beberapa
dekade terakhir. Dengan kata lain, Yeung secara implisit ingin menyampaikan bahwa
Jalan Jaksa dan Jalan Palatehan merupakan sebuah tempat bagi keberadaan para orang
asing di Jakarta. Bahkan, dengan memberikan catatan tentang kondisi masa lampau kedua
jalan ini, Yeung juga ingin memberikan ragam wacana yang menarik bagi para orang
asing selama berada di Jakarta, seperti kalangan Barat dapat menikmati berbagai suguhan
khas ‘Timur’; penginapan dan bir yang murah maupun hiburan malam di sekitar Jalan
Palatehan.
Di samping itu, melalui artikel The Jaksa Position & Jalan Palatehanini, Yeung
juga telah memberikan sebuah deskripsi mengenai keberadaan para orang asing. Yeung
menarasikan bahwa tidak semua orang asing di Jalan Jaksa adalah orang Barat, tetapi
terdapat banyak pencari suaka dari Timur Tengah dan Pakistan maupun orang Afrika.
Bahkan Yeung meneruskan suatu wacana mengenai stereotipe orang Afrika sebagai
kelompok kriminal karena terlibat dalam perdagangan obat-obatan terlarang dan kasus
penipuan. Dalam hal ini Yeung acuh dalam mempertanyakan dari mana asal stereotipe
tersebut. Oleh karena itu, stereotipe ini menjadi sebuah pertanyaan, siapa yang telah
memberikan stereotipe negatif kepada orang-orang Afrika di Jalan Jaksa? Apakah
Penulis beranggapan bahwa persoalan stereotipe mengenai ras adalah bagian dari
mekanisme pengetahuan Orientalisme. Sebagaimana Orientalisme telah mendeskripsikan
bahwa Timur memiliki beragam karakter maupun stereotipe, sehingga dalam hal ini
Yeung telah terperangkap pada wacana Orientalisme terkait stereotipe orang Afrika
sebagai kelompok kriminal. Dengan demikian, melalui artikelThe Jaksa Position & Jalan
Palatehan ini terdapat sebuah wacana kolonial kontemporer yang telah diberikan oleh
Yeung, yakni stereotipe mengenai orang-orang Afrika, atau dengan kata lain mengenai
karakter dari ras Afrika – di masa pasca-kolonial.
Selanjutnya, pada rubrik Observations, penulis mencermati bahwa sebuah artikel,
A Million Dollars Treasure West Java, juga bermaksud untuk memperlihatkan stereotipe
mengenai Indonesia. Pada artikel ini Santema telah mereproduksi wacana kolonial dengan
mengatakan bahwa Indonesia tidak mengalami perubahan pesat layaknya negara-negara
Barat, khususnya mengenai rasionalitas. Dengan menceritakan kisah perjalanan dalam
pencarian sebuah peta tua Indonesia, Santema menganggap bahwa peta tua yang masih
dalam kondisi baik dianggap sebagai bentuk ‘abadi’ milik bangsa Timur. Abadi yang
dimaksudkan oleh Santema pada artikel ini adalah buah dari kebingungan dirinya ketika
melihat sebuah peta yang telah berumur ratusan tahun masih dapat terjaga dengan kondisi
baik tanpa bantuan seorang ahli yang menjaga, sehingga ia menyatakan bahwa peta tua ini
dianggap mampu menjaga dan memperbaiki kerusakannya secara sendiri melalui hal
mistik. Dengan kata lain, melalui artikel ini Santema memberikan suatu wacana tentang
Indonesia yang dianggap sebagai yang aneh maupun irasional. Dengan demikian, artikel
yang disajikan oleh Santema ini telah memberikan sebuah wacana kolonial kontemporer
kepada para pembaca Majalah JE, yakni dengan memaparkan bahwa masih terdapat
Pada rubrik lainnya, yakni Culture, para ekspatriat kembali beraksi dalam
memberikan stereotipe mengenai Indonesia. Pada artikel yang berjudul Islam in the
Nehterlands East Indies, misalnya, Hans Rooseboom berupaya untuk memaparkan tentang
Islam di masa kolonial Hindia Belanda hingga Indonesia pada konteks kekinian. Melalui
artikel ini, Rooseboom secara rinci menguraikan beberapa peristiwa seputar Islam di
Indonesia, seperti awal mula kehadiran Islam di Nusantara, jumlah penduduk Muslim pada
masa kolonial, hingga persoalan Jamaah Haji yang pergi ke Mekah.
Dalam konteks kolonial, Rooseboom memaparkan bahwa pada tahun 1917 muncul
suatu perubahan terkait kemunculan sikap intoleransi dan perselisihan antar agama,
sehingga menimbulkan kecemasan di kalangan penduduk Eropa dan pemerintah kolonial.
Menurutnya, perubahan ini sebagai ulah para Jamaah Haji yang telah pulang dari Mekah.
Jamaah Haji dianggap telah membawa masyarakat pada gerakan separatisme maupun
pemberontakan. Bahkan, ia pun memberikan suatu sindiran dengan mengatakan bahwa
meskipun terdapat peningkatan jumlah Jamaah Haji setiap tahun, mulai dari tahun 1859
hingga tahun 2012, namun pada kenyataan tidak turut menyebabkan intoleransi dan
fanatisme agama berkurang di Indonesia. Dengan demikian, pandangan Rooseboom ini
telah dapat dicermati telah memiliki kandungan wacana kolonial, yaitu tidak mengalami
perkembangan yang dinamis, bahkan secara khusus masyarakat Timur masih
distereotipekan sebagai pelaku tindak kekerasan, salah satu diantaranya adalah persoalan
konflik agama.
Stereotipe mengenai Indonesia lainnya juga dapat dicermati pada sebuah cover
photo yang menjadi muka Majalah JE. Cover photo Majalah JE, sebagaimana disajikan
pada bab sebelumnya, Bab III, turut memberikan sumbangan mengenai wacana kolonial.
sekedar sebagai pembungkus media, melainkan telah memberikan suatu tanda yang
menghubungkan kepada penanda dan petanda.
Pada Gambar 3, misalnya, Majalah JE memuat sebuah foto Pocongan Cilik yang
dijadikan sebagai cover photountuk dihadirkan kepada para pembaca. Foto tersebut telah
menjadi petanda mengenai hantu, sehingga memberikan penanda bahwa masyarakat
Indonesia masih memiliki kepercayaan terhadap hal mistik dan gaib. Dengan kata lain,
foto tersebut telah mengantarkan kepada wacana mengenai Indonesia sebagai sebuah
negara yang masih dilingkupi hal aneh kepada para pembaca Majalah JE. Dalam hal ini
muncul pertentangan antara Barat dan Timur, yang mana Barat selalu menempatkan
dirinya sebagai yang normal sedangkan Timur dianggap masih memiliki serangkaian hal
aneh yang terdapat di dalam masyarakatnya.
Selain memberikan sebuah foto Pocongan Cilik untuk dijadikan cover photo
Majalah JE pada edisi 80, para ekspatriat secara komprehensif juga mengulas berbagai hal
yang berhubungan dengan hantu, mistik dan misteri di dalam masyarakat Indonesia. Sang
editor Majalah JE, Angela Richardson, melalui catatan editorial secara eksplisit
mengatakan bahwa budaya Indonesia masih memiliki afiliasi yang sangat kuat dengan
dunia mistik dan kepercayaan tentang roh dan hantu dalam kehidupan sehari-hari.
Beberapa contoh pun disebutkan oleh sang editor untuk mendeskripsikan hal mistik dan
hantu masih yang terdapat di dalam masyarakat Indonesia, seperti, masyarakat Bali
menyajikan suatu persembahan, dan masyarakat Jawa yang mempercayai penampakan
hantu dapat terlihat ketika saat matahari terbenam. Oleh karena itu, cover photo Majalah
JE yang memuat foto pocongan cilik ini dapat dipahami bukan hanya sebagai sebuah
tentang Indonesia, yakni sebagai bangsa Timur yang aneh berbeda dari kebiasaan
kalangan Barat.
Kemudian, melalui kisah kehadiran para ekspatriat di Indonesia kita juga dapat
mengetahui bagaimana stereotipe mengenai Indonesia di dalam persepsi orang asing.
Semisal kisah Roberto Puccini yang ingin datang ke Indonesia, yang mana beberapa
temannnya berkata “It’s dangerous! Don’t go there!”.Dalam hal ini, teman-teman Puccini
yang merupakan kalangan Barat telah memiliki sebuah wacana tentang Indonesia.
Ironisnya, wacana yang ada di dalam benak orang asing mengenai Indonesia adalah
tempat berbahaya. Teman-teman Puccini tersebut, entah sudah pernah atau belum ke
Indonesia, tanpa ragu untuk memperingatkan dengan keras agar ia tidak pergi ke
Indonesia. Oleh karena itu, dari kisah Puccini ini dapat dipahami bahwa masih terdapat
stereotipe negatif mengenai Indonesia yang bersemayam di dalam pikiran orang asing.
Setelah mengetahui beragam wacana kolonial yang menyelimuti Indonesia, dapat
diketahui bahwa pada dasarnya para ekspatriat telah memoles kembali wajah Barat di
masa pasca-kolonial. Dengan menggunakan wacana Orientalisme dalam memandang
maupun menempatkan Timur seperti Indonesia, para ekspatriat telah melanjutkan
kekuasaan wacana kolonial. Para ekspatriat terus mereproduksi wacana kolonial untuk
disajikan kepada para pembacanya, bahkan semakin diperbaharui dengan melihat kondisi
kontemporer Indonesia. Oleh karena itu, wacana yang termuat pada rubrik dan beragam
artikel di dalamnya, cover photomaupun kisah para ekspatriat,telah memberikan kembali
karakteristik maupun stereotipe mengenai Timur di masa pasca-kolonial, yakni melalui
suatu cara Barat dalam merepresentasikan Timur (McLeod, 2000:40).
Selain itu, pemaparan di atas juga dapat dipahami sebagai bentuk dari Latent
hanya mempersoalkan perbedaan antara Barat dan Timur, sehingga dunia masih saja
dibangun dari rancangan fundamental yang sama (McLeod, 2000:43). Dalam hal ini, perlu
untuk dipahami bahwa Majalah JE telah berhasil memainkan perannya sebagai sebuah
media untuk disajikan kepada para ekspatriat, dengan memberikan beragam arus wacana
informasi dan pengetahuan, tanpa terkecuali mengenai Indonesia. Oleh karena itu, makna
yang terkandung pada Majalah JE tidak bebas nilai dari wacana kolonial, terutama ketika
terutama dikarenakan para ekspatriat tetap mencari dan mengkonstruksi segala perbedaan
yang terdapat pada keduanya, Barat dan Timur.
Akhirnya, setelah menganilisis wacana kolonial kontemporer yang tersajikan oleh
para ekspatriat di dalam Majalah JE, dapat diketahui bahwa muncul wacana yang serupa
seperti yang pernah dilakukan oleh para kolonialis dalam menghadirkan karateristik dan
stereotipe tentang Timur, khususnya dalam kasus ini adalah Indonesia. Barat, melalui para
ekspatriat, kembali merekonstruksi karakteristik atas perbedaan yang radikal dan berbagai
stereotipe tentang kehidupan masyarakat di luar Barat. Hal ini dapat dilihat dari wacana
yang diusung oleh para ekspatriat melalui Majalah JE dalam memberikan citra mengenai
Indonesia di masa pasca-kolonial. Para ekspatriat mereproduksi wacana kolonial dengan
kondisi kontemporer di Indonesia, baik melalui foto yang dijadikan sebagai cover photo,
ragam rubrik yang didalamnya memuat suatu artikel, hingga pandangan yang diberikan
oleh para ekspatriat mengenai kisah kehadiran mereka di Indonesia, yang mana
kesemuanya tersajikan di dalam Majalah JE.
Dari pemaparan mengenai karakteristik dan stereotipe tentang Indonesia yang telah
dibahas tersebut, maka persoalan yang muncul terkait wacana kolonial kontemporer ini
adalah bagaimana kondisi para ekspatriat di masa pasca-kolonial. Oleh karena itu, guna
langkah lanjutan guna memeriksa hingga menemukan kondisi sebenarnya atas kehadiran
para ekspatriat maupun atas sajian tentang Indonesia yang termuat di dalam Majalah JE.
Dan selanjutnya, langkah yang penulis lakukan adalah membawa persoalan ekspatriat ke
dalam teori Ruang Ketiga Homi K. Bhabha, terutama guna memberikan tafsiran atas
identitas ekspatriat di masa pasca-kolonial.