• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implementasi Kebijakan Luar Negeri Iran

BAB II DINAMIKA HUBUNGAN IRAN-HAMAS

C. Implementasi Kebijakan Luar Negeri Iran

Pada dasarnya, kebijakan luar negeri Iran berdasarkan pada interpretasi asas Revolusi Islam Iran 1979. Meskipun demikian, presiden Iran dalam setiap periode mempunyai interpretasi yang berbeda dalam memahami konteks asas revolusi Iran. Kemudian dalam sub-bab ini akan dibahas mengenai tipologi kepemimpinan di Iran, yaitu ideologis, dan pragmatis-reformis.

69 “International Conference on Supporting Palestine Intifada,” Islamic Republic of Iran’s

Parliamentary.

https://icpalestine.parliran.ir/LoadModule.aspx?Command=qlC6Sr+s1ASPLnN8Q+Kh5pXNUEa FX60USYoffD/GA7s=&view=print, (diakses pada 13 September 2019).

70“Iran Rejects two-State Solution for Palestine,” Aljazeera, October 2, 2011,

https://www.aljazeera.com/news/middleeast/2011/10/201110222010936488.html (diakses pada 13

September 2019).

71 “Report:Tehran to Host Intifada Conference,” Ynet News, October 1, 2011,

30

1. Tipe Kebijakan Luar Negeri Ideologis

Tipe kebijakan luar negeri ini diterapkan oleh Abolhassan Bani Sadr (1980-1981), Ali Khamenei (1981-1989), dan Ahmadinejad (2005-2013). Ketiga pemimpin ini dalam karakteristik kebijakan luar negerinya berdasarkan prinisip ideologis Iran. Namun dalam implementasi kebijakannya, ketiga presiden tersebut memiliki bentuk kebijakan yang berbeda. Bani Sadr menerapkan kebijakan non-intervensi dalam menghadapi dominasi blok Timur dan Barat di kawasan. Ia menolak segala bentuk kerjasama militer dengan kedua blok. Adapun tujuan utama dari kebijakan luar negerinya, yaitu untuk menyebarkan paham Revolusi Islam Iran 1979.72

Salah Satu implementasi kebijakan luar negeri Bani Sadr adalah retorikanya dalam membangun Iran sebagai negara yang menjadi inisiator gerakan pembebasan di negara-negara muslim. Ia juga berusaha menawarkan revolusi islam sebagai solusi dalam menghadapi dominasi kedua superpower (AS dan Uni Soviet).73

Memasuki masa pemerintahan Ali Khamenei (1981-1989), Iran masih sangat fokus pada pada aspek ideologi revolusi Islam. Namun demikian, pada masa inilah, isu sektarianisme juga mendapat porsi yang lebih besar dalam kebijakan-kebijakan yang diambil oleh Khameini. Dalam praktiknya, kebijakan Ali Khamenei lebih bersifat konfrontatif terhadap

72 Central Intelligence Agency, “Iran: Bani-Sadr’s Foreign Policy Views,” National

Foreign Assessment Center, February 1980. i.

31

Barat dibanding Bani Sadr. Selain itu, kebijakan yang diambil juga menimbulkan konflik melawan negara representasi Sunni, yaitu Irak pada 1980-1988. Pada periode ini juga Iran telah mendirikan lembaga untuk menyebarkan paham revolusi Iran di Kuwait, Lebanon, Arab Saudi, Afganistan, Bahrain, Irak dan negara lainnya.74

Kemudian memasuki era Ahmadinejad (2005-2013), kebijakan luar negeri Iran berfokus untuk menentang status-quo sistem internasional yang dikendalikan oleh Barat. Ia juga menegaskan sikapnya yang menentang Israel dan segala bentuk kekerasan terhadap Muslim. Sikap proteksionis ini membuat Iran dikucilkan dari dunia internasional.75

Ahmadinejad dikenal dengan retorika anti-Israel dan penyangkalan terhadap Holocaust pada 2006. Kemudian retorika tersebut diimplementasikan dalam bentuk bantuan militer yang disalurkan Iran kepada Hizbullah pada 2006 dan Hamas 2008 untuk melawan Israel.76

Kebijakan tersebut mendapat reaksi keras dari negara-negara Barat yang mendukung Israel.77

74 Anoushiravan Ehteshami, “The Foreign Policy of Iran,” dalam The Foreign Policy of

Middle East States, ed. Raymond Hinnebusch & Anoushiravan Ehteshami, (Boulder, co: Lynne

Rienner, 2014), 291-292.

75 Fakhreddin Soltani, “Foreign Policy of Iran after Islamic Revolution,” Journal of Politics

and Law 3, no. 2 (September 2010): 203.

76 Dalia Dassa Kaye, Alireza Nader, and Parisa Roshan, “A Brief History of Israeli-Iranian Cooperation and Confrontation,” in Israel and Iran, (California: RAND Corporation, 2011), 17

77Amir M. Haji-Yousefi, “Iran’s Foreign Policy during Ahmadinejad: From Confrontation to Accommodation,” (Teheran: Shahid Behesti University, 2010), 12. This paper was presented to the Annual Conference of the Canadian Political Science Association June 2-3, 2010, Concordia University, Montreal, Canada.

32

2. Tipe Kebijakan Luar Negeri Pragmatis-Reformis

Tipe kebijakan luar negeri ini diterapkan oleh Ali Akbar Hashemi Rafsanjani (1989-1997), Muhammad Khatami (1997-2005), dan Hassan Rouhani (2013-sekarang). Dalam implementasinya, tiga presiden tersebut memiliki kebijakan yang berbeda. Ali Akbar Hashemi Rafsanjani misalnya menerapkan kebijakan luar negeri yang berfokus pada kepentingan ekonomi Iran pasca Perang Iran-Irak 1980-1988.78

Secara garis besar, Hashemi Rafsanjani memiliki 2 pilar orientasi kebijakan luar negeri, yaitu: Pertama, mengatasi masalah ekonomi yang disebabkan oleh perang. Beberapa masalah domestik, seperti pengangguran, inflasi, dan ketidakstabilan harga membuat Iran lebih terbuka untuk melakukan kerjasama ekonomi. Kedua, mengembangkan hubungan Iran dengan negara-negara lain. Peningkatan hubungan dengan negara lain bertujuan untuk memperkuat posisi tawar Iran di dunia internasional, terutama pasca berakhirnya perang Iran-Irak dan runtuhnya Uni Soviet. Akan tetapi, hubungan Iran dan negara-negara Eropa memburuk pasca munculnya karya Salman Rushdie, “Satanic Verse,” yang mencela nabi Muhammad SAW.79

Berbeda dengan Rafsanjani, Mohammad Khatami menerapkan kebijakan luar negeri yang bersifat reformis. Khususnya hubungan Iran dengan Eropa yang sempat memburuk, kemudian dia mencoba untuk

78 Soltani, “Foreign Policy of Iran after Islamic Revolution,” 203.

33

melakukan rekonsiliasi dengan beberapa negara Eropa, kerjasama dengan IAEA, dan pendekatan kembali terhadap negara-negara teluk.80

Dalam implementasi kebijakan luar negerinya, Khatami (1997-2005) menerapkan dua pilar, yaitu: Melakukan détente (rekonsiliasi) dengan negara-negara lain dan rekonsiliasi politik dalam urusan domestik. Dalam konteks politik domestik, Khatami juga berupaya untuk melakukan

balance of power terhadap institusi-institusi dalam negeri, seperti

presiden, parlemen (majlis), dewan daerah, dan institusi keagamaan. Selain itu, ia juga menerapkan kebebasan pers dari intervensi pemerintah.81

Hassan Rouhani (2013-sekarang) mengambil jalan tengah antara visi sentris-pragmatis dan ideologis sebagai dasar kebijakan luar negeri Iran. Berbeda dengan Ahmadinejad yang menerapkan praktik konfontasi dan diskursus revolusi, Hassan Rouhani memiliki fokus kepada desekuritisasi dan normalisasi hubungan internasional, memperbaiki keadaan ekonomi yang buruk, mengakhiri konflik dengan negara lain terkait isu nuklir, dan memperbaiki hubungan dengan negara-negara tetangga.82

Adapun salah satu implementasi kebijakan yang paling menonjol adalah terlaksananya Perjanjian Nonproliferasi Nuklir pada 2015 yang disepakati oleh lima negara pemegang hak veto plus Jerman. Perjanjian ini

80 Ramazani, “Iran’s Foreign Policy,” 9-10.

81 Soltani, “Foreign Policy of Iran after Islamic Revolution,” 203.

82Vali Golmohammadi, “The Foreign Policy of the Islamic Republic of Iran: Prospects for Change and Continuity,” All Azimuth 8, N1 (2019): 96-97.

34

lazim disebut Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) yang berisi tentang batas pengayaan uranium Iran sebesar 3,67%. Di sisi lain, kebijakan ini juga berdampak positif pada pencabutan sanksi ekonomi Iran.83

Meskipun memiliki pendekatan yang lebih kooperatif dalam menghadapi Barat dibanding Ahmadinejad, akan tetapi dalam konflik Suriah Rouhani memiliki kebijakan yang mengutamakan unsur ideologis. Rouhani pada 3 Agustus 2013 menyatakan bahwa aliansi Iran-Suriah pada periodenya akan tetap berlanjut. Secara geopolitik, kebijakan Iran ini berdasarkan pandangan bahwa dengan mengendalikan atau beraliansi dengan Suriah, maka Iran bisa membendung pengaruh negara-negara Arab lainnya di kawasan.84

Dokumen terkait