• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISA FAKTOR –FAKTOR YANG MEMENGARUHI

2. Munculnya Sikap Sektarian Iran

Sejak revolusi Iran 1979, elemen agama tidak bisa dipisahkan dari kebijakan luar negeri Iran. Meskipun pada periode 1990-an atau pasca kekalahan Sadam Husein dalam invasi Kuwait, isu sektarian dalam pengambilan kebijakan luar negeri Iran menurun. Teheran bahkan melakukan kerjasama ekonomi dengan Riyadh.218 Dalam hubungannya dengan negara lain di kawasan, Iran mengampanyekan pan-Islamisme219 untuk memperkuat persatuan negara-negara Islam. Akan tetapi sejak 2003 implementasi kebijakan luar negeri Iran berfokus pada dukungan terhadap kelompok-kelompok bersenjata Syiah di Irak, Lebanon, Suriah, dan Yaman.220

Pada periode 2003-2010, terutama pasca jatuhnya rezim Sadam Husein, isu sektarian semakin meningkat. Pergantian rezim Sunni di Irak menjadi Syiah telah mendatangkan ancaman bagi negara-negara teluk. Terlebih pada periode ini, kebijakan Iran yang meningkatkan dukungannya

217 Ehteshami dan Hinnebusch, Syria and Iran, 87.

218 Uzi Rabi dan Chelsi Mueller, “The Geopolitics of Sectarianism in the Persian Gulf,”

Asian Journal of Middle Eastern and Islamic Studies 12, no. 1, 56-57.

219 Pan-Islamisme dalam konteks kebijakan luar negeri Iran merupakan langkah strategis yang diinisiasi oleh Ayatollah Khoeini dalam mempersatukan Sunni dan Syiah berdasarkan persatuan Islam. Khomeini menuduh bahwa musuh-musuh revolusi, seperti AS, Israel, dan imperialisme adalah musuh bersama negara-negara Islam. Hal ini tercantum dalam deklarasi Iran tahun 1980, Khomeini menekankan bahwa sangat berbahaya permusuhan antara Sunni dengan Syiah. Ia juga menambahkan, seyogyanya negara-negara Islam bersatu dalam melawan pihak asing yang melakukan propaganda permusuhan Sunni-Syiah. Lebih lanjut, pan-Islamisme Iran juga memiliki tujuan supaya negara-negara Islam bersatu dalam membela kemerdekaan Palestina. Lihat Ostovar, Sectarian Dilemmas in Iranian Foreign Policy, 12-13.

77

di bidang ekonomi, politik, dan militer terhadap proksinya di beberapa negara. Beberapa media Arab menanggapinya sebagai momentum kebangkitan Syiah yang berpotensi menjadi ancaman terhadap dominasi negara-negara teluk.221

Afshon Ostovar berpendapat bahwa kebijakan luar negeri Iran yang bersifat sektarian tidak terlihat dalam konteks hubungan dengan negara lain. Akan tetapi, dalam konteks hubungan Iran dengan organisasi non-negara kecenderungan sektarianisme222 lebih terlihat. Contoh konkret kebijakan luar negeri Iran yang bersifat sektarian adalah keterlibatan Iran memfasilitasi ribuan militan Syiah non-Suriah untuk mempertahankan Bashar al-Assad.223

Arab Spring menjadi momentum munculnya sikap sektarian Iran.

Otoritas Bahrain menduga bahwa protes di Bahrain pada Februari 2011 didominasi oleh mayoritas rakyat Bahrain yang beridentitas Syiah terhadap pemerintah Sunni dicurigai memiliki keterkaitan dengan IRGC. Keterlibatan IRGC ini menyebabkan negara-negara teluk menuduh Iran sebagai aktor yang memiliki peran penting terjadinya demonstrasi dengan

221 Rabi dan Mueller, “The Geopolitics of Sectarianism in the Persian Gulf,” 55-6.

222 Sektarianisme bisa didefinisikan secara luas meliputi kelompok etnik, suku dan agama, dan secara singkat bisa disebut sebagai politik identitas. Istilah ini merujuk kepada istilah “sekte,” sebuah kelompok dalam kepercayaan agama, politik atau filosofi yang berbeda. Biasanya istilah tersebut mempunyai konotasi agama; dalam kepercayaan Kristenmerujuk kepada sekelompok kecil yang terpisah dari kepercayaan “ortodoks” yang umum. Sektarianisme cenderung mengarah kepada konotasi negatif, dan istilah “konflik sektarian” sering dikaitkan dengan pertentangan agama-politik seperti antara Protestan dan Katolik di Irlandia Utara, Muslim Sunni dan Syiah di Irak, atau Muslim dan Hindu di India. Lihat Lawrence G. Potter, “Sectarianism in the Middle East,” Great Decisions

(2015): 30.

https://books.google.co.id/books?id=6EBeBAAAQBAJ&pg=PA31&hl=id&source=gbs_toc_r&ca d=4#v=onepage&q&f=false (Diakses pada 22 November 2019).

78

menggunakan isu sektarian. Namun pemerintah Iran membantah tuduhan penggunaan isu tersebut dan mengklaim keterlibatan mereka sebagai langkah untuk menyuarakan demokrasi di Bahrain.224

Menanggapi berbagai tuduhan tersebut, Ali Akbar Velayati, penasihat pemimpin tertinggi Iran di bidang hubungan internasional juga membantah adanya isu sektarian Iran dalam konflik Arab Spring.225

Meskipun Iran berusaha menyangkal mengenai adanya isu sektarian dalam eskalasi konflik Suriah. Akan tetapi beberapa kebijakan pemerintah Iran menunjukkan anomali terhadap pernyataan sikap Iran. Misalnya dalam perkembangan konflik Suriah, Iran memberikan akses masuk kepada Hizbullah, milisi Syiah Irak, dan lainnya yaitu Syiah Afganistan dan Pakistan untuk membantu usaha loyalis. Kebijakan tersebut menyebabkan isu sektarian lebih tampak.226

Sejalan dengan hal tersebut, Mohammed Baharoon direktur jenderal

The Arab Gulf States Institute in Washington berpendapat bahwa Iran

merupakan penyebab utama memanasnya isu sektarianisme di kawasan. Tuduhan Iran bahwa negara-negara Arab bersikap diskriminatif terhadap minoritas Syiah di negara mereka, sebenarnya merupakan alibi Iran untuk

224 Ostovar, Sectarian Dilemmas in Iranian Foreign Policy, 16.

225 “Velayati: Daesh, al-Qaeda Are ‘Exports’ of Wahhabism,” Tehran Times, May 6, 2016, http://www.tehrantimes.com/news/301168/Velayati-Daesh-al-Qaeda-areexports- of-Wahhabism.

79

mempertahankan pengaruhnya terhadap pemberontak Syiah di Lebanon, Yaman, Saudi dan Bahrain.227

Kebijakan luar negeri Iran yang bersifat sektarian pada masa Arab

Spring semakin terlihat pasca pemberitaan media Israel Haaretz. Media

tersebut menuduh polisi Hamas telah melakukan tindakan kekerasan terhadap jamaah Syiah di Gaza. Tindakan ini dilakukan karena adanya kekhawatiran polisi Hamas terkait penyebaran Syiah. Berita tersebut berakibat pada perubahan kebijakan Iran yang menghentikan bantuan militer kepada Hamas.228

Nader Ibrahim M. Bani Nasur, Asisten Profesor di Princess Rahma University College Yordania berpendapat bahwa melemahnya hubungan Iran dengan Hamas dan menguatnya hubungan Iran dengan Suriah pada eskalasi konflik Suriah tak bisa dinafikan dengan isu sektarian. Rezim Suriah beridentitas Syiah Alawi, pemimpin Iran pun beridentitas Syiah, sedangkan pemimpin Hamas merupakan Sunni.229

Pada Desember 2014 dalam konflik Yaman, Iran dan Hamas memiliki pandangan yang sama, yaitu tidak setuju atas tindakan Houthi yang mengambilalih lembaga negara Yaman.230 Akan tetapi pada Maret 2015, konflik internal Houthi meningkat ke tingkat regional. Iran mendukung

227 “Regional Sectarianism and Iran’s Existential Choice,” Middle East Policy Council; tersedia di https://mepc.org/commentary/regional-sectarianism-and-irans-existential-choice; diakses pada 8 Januari 2020.

228 Issacharoff, “Hamas Brutally Assaults Shi’ite Worshippers in Gaza,”

229 Nasur, “Syria-Iran Relations (2000-2014),” 81.

80

pemberontak Houthi yang beridentitas Syiah, sedangkan Hamas bersama blok Arab Saudi mendukung pemerintah Abd Rabbo Mansour Hadi yang secara identitas merupakan Sunni.231

Alastair Johnston profesor di Departemen Pemerintahan Universitas Harvard berpendapat bahwa pandangan positif dan negatif terhadap kelompok luar itu ditentukan oleh instensifikasi identitas. Semakin tinggi intensifikasi identitas kelompok internal, maka semakin tinggi pula tingkat persaingan dengan kelompok eksternal, begitu pula sebaliknya.232 Dalam konteks Arab Spring, meningkatnya intensifikasi identitas Iran sebagai Syiah itu menyebabkan meningkatnya pandangan negatif terhadap kelompok luar, dalam hal ini Sunni.

Dokumen terkait