• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VII. PERENCANAAN STRATEGIS

2.1.4. Implementasi Kebijakan

Salah satu tahapan penting dalam kebijakan yakni implementasi kebijakan, setelah formulasi dan perumusan maka kebijakan yang telah ditetapkan akan dieksekusi dalam tahap implementasi. Implementasi kebijakan merupakan tahap yang krusial dalam kebijakan publik karena hasil dari kebijakan sendiri nantinya akan ditentukan setelah implementasi kebijakan tersebut. Nugroho (2014) dalam public policy menyatakan betapa pentingnya implementasi kebijakan, beliau menyatatakan bahwa rencana adalah 20% keberhasilan, implementasi adalah 60%, dan 20% sisanya adalah mengendalikan implementasi tersebut. Dari pernyataan tersebut diketahui bahwa tahap implementasi merupakan tahapan yang bahkan bisa

13

dikatakan lebih penting dibandingkan suatu perencanaan walaupun dalam studi kebijakan perencanaan tidak bisa dikesampingkan begitu saja karena pelaksanaan atau implementasi merupakan tahapan yang penting.

Pentingnya implementasi kebijakan juga dinyatakan dengan jelas oleh Udoji (1981) yakni dimana pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu yang penting bahkan lebih penting dari pembuatan kebijakan dan kebijakan hanya sekedar berupa impian atau rencana yang bagus yang tersimpan rapi dalam arsip jika tidak diimplementasikan. Pengertian implementasi oleh Udoji tersebut menegaskan bahwa implementasi dalam ranah kebijakan publik, merupakan tahapan yang memiliki keterkaitan penting dengan rencana awal dari pembuatan kebijakan. Implementasi suatu kebijakan pada prinsipnya merupakan cara agar suatu kebijakan dapat mencapai tujuannya.

Merujuk pada apa yang dinyatakan Van Meter & Van Horn (1975) bahwa implementasi kebijakan merupakan tindakan yang dilakukan baik oleh individu atau pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah ataupun swasta yang diarahkan untuk tercapainya tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan. Model implementasi yang diperkenalkan oleh pakar kebijakan publik seperti model klasik yang dinyatakan oleh Van Meter & Van Horn tersebut diketahui bahwa implementasi kebijakan merupakan tindakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengeksekusi tujuan yang telah ditetapkan dalam perencanaannya, meskipun demikian implementasi kebijakan merupakan hal yang paling berat dilakukan karena kadang hal-hal yang tidak dijumpai dalam suatu konsep bisa terjadi di lapangan dan mempengaruhi pelaksanaan kebijakan.

Edward III (1980) yang beperspektif Top Down, dimana beliau menayatakan bahwa implementasi kebijakan adalah krusial bagi public administration dan public policy. Ditegaskan juga olehnya bahwa tanpa implementasi yang efektif keputusan dari pembuat kebijakan atau kebijakannya takkan bisa berjalan sukses. Tidak berjalan dengan suksesnya kebijakan atau inefektifitas implementasi kebijakan publik biasanya karena kurangnya koordinasi dan kerjasama diantara lembaga-lembaga dalam pemerintahan maupun koordinasi dari pihak-pihak yang terlibat dalam

14

pelaksanaan kebijakan. Apa yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan harus diinformasikan melalui komunikasi antara pelaksana kebijakan dengan target atau kelompok sasaran sehingga nantinya jika kelompok sasaran sudah memahami kebijakan yang akan dilakukan pemerintah, efektifitas dari implementasi diperkirakan akan menjadi lebih baik.

Dari penjelasan di atas diketahui dan bisa menyimpulkan bahwa implementasi kebijakan merupakan hal yang krusial pada kebijakan publik yang dimana implementasi kebijakan merupakan tahap pelaksanaan dari suatu kebijakan yang menentukan keberhasilan dari kebijakan publik itu sendiri. Keberhasilan suatu kebijakan bisa dilihat dari berhasil tidaknya implementasi seperti yang dikatakan sebelumnya, tetapi implementasi kebijakan tidak hanya bisa dipandang dari bagaimana perumusan yang bisa dikatakan baik tetapi juga tentang bagaimana pelaksanaannya, dimana setiap jajaran yang terlibat dalam suatu kebijakan juga saling berkoordinasi agar implementasi menjadi lebih baik.

Selanjutnya, tahap implementasi dinyatakan merupakan tahapan yang sulit, tetapi tidak menutup kemungkinan kebijakan berjalan dengan baik. Suatu kebijakan mungkin bisa diimplementasikan secara efektif, tetapi gagal memeperoleh dampak substansial karena kebijakan tidak disusun dengan baik maupun karena keadaan-keadaan lainnya. Oleh karena itu, pelaksanaan program yang baik sangat diperlukan untuk merealisasikan tujuan yang diinginkan, baik dengan komitmen yang dimiliki badan pelaksananya maupun koordinasi yang baik dalam melaksanakan kebijakan Target kebijakan juga merupakan faktor yang bisa menentukan bagaimana suatu implementasi kebijakan bisa berhasil atau tidak, target kebijakan yang dimaksudkan ialah kelompok sasaran yang nantinya akan merasakan hasil dari kebijakan tersebut.

2.1.5. Faktor Yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan Publik

Dalam terlaksananya suatu kebijakan tentu pada tahap

pelaksanaannya terdapat hambatan-hambatan yang mempengaruhinya. Merujuk pada implementasi kebijakan menurut Edward III (1980), ada empat faktor yang berpengaruh terhadap implementasi kebijakan. Faktor-faktor

15

yang mempengaruhi ialah komunikasi, resources, disposition, dan kecendrungan-kecendrungan atau tingkah laku dan struktur birokrasi.

Komunikasi berkenaan dengan bagaimana suatu informasi tentang kebijakan tersebut diinformasikan kepada organisasi dan/atau publik dan sikap atau tanggapan dari para pihak yang terlibat. Jika kebijakan ingin diimplementasikan sebagaimana mestinya, maka dalam petunjuk-petunjuk

pelaksanaan kebijakan tidak hanya dipahami, melainkan juga

petunjukpetunjuk itu harus jelas. Jika kejelasan dari kebijakan tersebut tidak dipahami dengan baik petugas pelaksana atau implementor tentu akan mengalami kebingungan dan bisa menyebabkan mereka memaksakan kehendak mereka sendiri pada implementasi kebijakan yang mungkin berbeda dengan pandangan-pandangan yang seharusnya menjadi acuan dalam kebijakan tersebut. Informasi dari kebijakan juga tentunya akan menimbulkan dampak pada target kebijakan, jika kelompok sasaran tersebut tidak memahami kebijakan yang akan dilakukan pemerintah, hal ini nantinya bisa menyebabkan resistensi dari kelompok sasaran.

Dalam menghindari penolakan dari kelompok sasaran yang

bersangkutan diperlukan tiga hal seperti yang dinyatakan Edward III dan dijelaskan kembali oleh Nawawi (2009) dalam public policy sebagai berikut: 1) Penyaluran (transmisi) yang baik akan menghasilkan implementasi yang

baik pula.

2) Kejelasan, adanya kejelasan yang diterima oleh pelaksana kebijakan sehingga tidak membingungkan dalam pelaksanaan kebijakan.

3) Adanya konsistensi yang diberikan dalam pelaksanaan kebijakan, jika yang dikomunikasikan berubah-ubah akan membingungkan dalam pelaksanaan yang bersangkutan.

Selanjutnya faktor kedua yang mempengaruhi kebijakan adalah sumberdaya, dalam implementasi kebijkan tentu saja harus didukung dengan adanya sumberdaya yang mendukung, seperti halnya sumber daya manusia, material, maupun sumberdaya-sumberdaya lainnya. Sasaran, tujuan dan isi kebijakan walaupun sudah dijelaskann dengan baik, tanpa adanya sumberdaya yang mendukung implementasi tidak akan berjalan dengan

16

efektif dan efisien karena implementor kekurangan sumberdaya untuk melaksanakan kebijakannya.

Dalam rangka implementasi yang efektif, sikap dari implementor merupakan faktor yang dapat mempengaruhi implementasi kebijakan, seperti yang akan dibahas berikut ini yakni disposisi yang menurut Edward III (1980) merupakan faktor yang berpengaruh dalam implementasi. Disposisi atau dalam hal ini bisa dikatakan kecendrungan-kecendrungan merupakan faktor ketiga yang memiliki konsekuensi-konsekuensi penting bagi implementasi kebijakan yang efektif. Sikap yang dimiliki implementor seperti komitmen, kejujuran, komunikatif, sifat yang demokratis sangat berpengaruh terhadap implementasi kebijakan, karena implementor yang baik harus pula memiliki disposisi yang baik, sehingga nantinya bisa menjalankan kebijakan seperti apa yang diinginkan dan ditetapkan pembuat kebijakan. Demikian pula sebaliknya, bila tingkah laku atau perspektif para pelaksana berbeda dengan para pembuat keputusan, maka proses pelaksanaan kebijakan akan menjadi sulit.

Interpretasi terhadap kebijakan merupakan hal yang patut

diperhitungkan, sebab bila interpretasi yang terlalu bebas terhadap kebijakan akan semakin mempersulit implementasi yang efektif dan besar kemungkinan implementasi yang dijalankan menyimpang dari tujuan awal. Pentingnya kecendrungan-kecendrungan ini bagi implementasi kebijakan tentu akan menimbulkan dampak pada implementasi kebijakan pula. Seperti yang dinyatakan Edward III (1980) banyak kebijakan yang masuk pada “zona ketidakacuhan” dalam implementasi kebijakan karena pandangan yang berbeda dari pelaksana, ada beberapa kebijakan yang dilaksanakan tidak

efektif karena bertentangan dengan pandangan-pandangan atau

kepentingan pribadi atau organisasi dari pelaksana. Lalu selanjutnya ialah faktor terkahir yang mempengaruhi implementasi kebijakan dari Edward ialah struktur birokrasi. Birokrasi seperti yang diketahui bersama merupakan suatu badan yang paling sering bahkan secara keseluruhan menjadi pelaksana kebijakan tertentu. Dalam implementasi kebijakan struktur birokrasi mempunyai peranan yang penting, struktur organisasi yang panjang

17

cenderung melemahkan pengawasan dan menimbulkan red-tape, yakni prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks.

Dalam melihat betapa pentingnya struktur birokrasi dalam implementasi kebijakan, Edward menyatakan dua karakteristik utama dalam pengaruh struktur organisasi dalam implementasi kebijakan yakni pengaruh dari Standart Operating Procedures (SOP) dan fragmentasi. Salah satu aspek struktur birokrasi adalah adanya SOP, SOP merupakan prosedur-prosedur kerja dalam ukuran dasar, fungsi dari SOP sendiri ialah menjadi pedoman bagi setiap implementor dalam bertindak, sekali prosedur ditetapkan biasanya cenderung tetap berlaku.

SOP sangat mungkin menghalangi implementasi kebijakan-kebijakan baru yang membutuhkan cara-cara kerja baru dalam melaksanakan kebijakan apalagi karena kecendrungan SOP yang bisanya setelah ditetapkan akan terus berlaku seperti yang telah dikatakan di atas. Karakteristik selanjutnya dalam pengaruh struktur organisasi dalam implementasi kebijakan ialah fragmentasi organisasi. Konsekuensi yang paling buruk dari fragmrntasi birokrasi adalah usaha untuk menghambat koordinasi, maksudnya ialah tanggung jawab bagi suatu bidang kebijakan sering tersebar diantara beberapa organisasi. Para birokrat dengan alasan dan prioritas dari badan-badan yang berbeda mendorong birokrat untuk menghindari koordinasi dengan badan-badan lain. Hal tersebut akan berpengaruh pada tidak berjalannya proses implementasi yang kurang maksimal.

2.2. Evaluasi Kebijakan

2.2.1. Pengertian Evaluasi Kebijakan

Evaluasi biasanya ditujukan untuk menilai sejauh mana keefektivan kebijakan publik guna dipertanggungjawabkan kepada konstituennya. Sejauh mana tujuan dicapai serta untuk melihat sejauhmana kesenjangan antara harapan dengan kenyataan. Menurut Anderson (2003), secara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup substansi, implementasi dan dampak pelaksanaan kebijakan tersebut.

18

Menurut Lester & Stewart Jr. (2000) evaluasi kebijakan dapat dibedakan ke dalam dua tugas yang berbeda, tugas pertama adalah untuk menentukan konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan oleh suatu kebijakan dengan cara menggambarkan dampaknya. Sedangkan tugas kedua adalah untuk menilai keberhasilan atau kegagalan dari suatu kebijakan berdasarkan standar atau kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya. Evaluasi kebijakan merupakan persoalan fakta yang berupa pengukuran serta penilaian baik terhadap tahap implementasi kebijakannya maupun terhadap hasil (outcome) atau dampak (impact) dari bekerjanya suatu kebijakan atau program tertentu, sehingga menentukan langkah yang dapat diambil dimasa yang akan datang.

2.2.2. Tipe-tipe Evaluasi Kebijakan

Anderson (2003) membagi evaluasi kebijakan dalam tiga tipe, masing-masing tipe evaluasi yang diperkenalkan ini didasarkan pada pemahaman para evaluator terhadap evaluasi, sebagai berikut:

a. Tipe pertama

Evaluasi kebijakan dipahami sebagai kegiatan fungsional. Bila evaluasi kebijakan dipahami sebagai kegiatan fungsional, evaluasi kebijakan dipandang sebagai kegiatan yang sama pentingnya dengan kebijakan itu sendiri.

b. Tipe kedua

Merupakan tipe evaluasi yang memfokuskan diri pada bekerjanya kebijakan atau program-program tertentu. Tipe evaluasi ini lebih membicarakan sesuatu mengenai kejujuran atau efisiensi dalam melaksanakan program.

c. Tipe ketiga

Tipe evaluasi kebijakan sistematis, tipe kebijakan ini melihat secara obyektif program-program kebijakan yang dijalankan untuk mengukur dampaknya bagi masyarakat dan melihat sejauhmana tujuan-tujuan yang telah dinyatakan tersebut tercapai. Berdasarkan ketiga tipe tersebut yang paling sesuai dalam penelitian ini adalah tipe yang ketiga, yakni tipe evaluasi kebijakan sistematis, di mana peneliti ingin melihat sejauh mana

19

pelaksanaan Kebijakan Program Jamkesta, dengan mencari tahu apakah kebijakan yang dijalankan telah mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Menurut Suharto (2012), tujuan kebijakan publik sosial, dalam konteks pembangunan sosial, kebijakan sosial merupakan suatu perangkat, mekanisme, dan sistem yang dapat mengarahkan dan menterjemahkan tujuan-tujuan pembangunan. Kebijakan sosial senantiasa berorientasi kepada pencapaian tujuan sosial. Tujuan sosial ini mengandung dua pengertian yang saling terkait, yakni memecahkan masalah sosial dan memenuhi kebutuhan sosial. Menurut Suharto (2012), model-model yang umumnya digunakan dalam analisis kebijakan publik adalah:

a. Model Prospektif adalah bentuk kebijakan yang mengarahkan kajiannya pada konsekuensi-konsekuensi kebijakan sebelum suatu kebijakan diterapkan. Model ini dapat disebut juga model prediktif

b. Model Retrospektif adalah analisis kebijakan yang dilakukan terhadap akibat-akibat kebijakan setelah kebijakan diimplementasikan. Model ini biasa disebut model evaluatif, karena banyak melibatkan pendekatan evaluasi terhadap dampak-dampak kebijakan yang sedang atau telah diterapkan

c. Model Integratif adalah model perpaduan antara kedua model diatas. Model ini kerap disebut sebagai model komprehensif atau model holistik, karena analisis dilakukan terhadap konsekuensi-konsekuensi kebijakan yang mungkin timbul, baik sebelum maupun sesudah suatu kebijakan dioperasikan.

2.2.3. Dimensi Evaluasi Kebijakan

Dampak dari kebijakan mempunyai beberapa dimensi dan semuanya harus diperhatikan dalam membicarakan evaluasi. Menurut Winarno (2007) setidaknya ada lima dimensi yang harus dibahas dalam meperhitungkan dampak dari sebuah kebijakan. Dimensi-dimensi tersebut meliputi:

a. Dampak kebijakan pada masalah-masalah publik dan dampak kebijakan pada orang-orang yang terlibat.

20

b. Kebijakan mungkin mempunyai dampak pada keadaan-keadaan atau kelompok-kelompok diluar sasaran atau tujuan kebijakan.

c. Kebijakan mungkin akan mempunyai dampak pada keadaan-keadaan sekarang dan yang akan dating.

d. Evaluasi juga menyangkut unsur yang lain yakni biaya langsung yang dikeluarkan untuk membiayai program-program kebijakan public.

e. Biaya-biaya tidak langsung yang ditanggung oleh masyarakat atau beberapa anggota masyarakat akibat adanya kebijakan publik.

Evaluasi kebijakan sebagai aktivitas fungsional, sama tuanya dengan kebijakan itu sendiri. Pada dasarnya ketika seseorang hendak melakukan evaluasi dampak kebijakan, ada tiga hal yang perlu diperhatikan yaitu:

a. Evaluasi kebijakan berusaha untuk memberikan informasi yang valid tentang kinerja kebijakan. Evaluasi dalam hal ini berfungsi untuk menilai aspek instrumen (cara pelaksanaan) kebijakan dan menilai hasil dari penggunaan instrumen tersebut.

b. Evaluasi kebijakan berusaha untuk menilai kepastian tujuan atau target dengan masalah dihadapi. Pada fungsi ini evaluasi kebijakan memfokuskan diri pada substansi dari kebijakan publik yang ada. Dasar asumsi yang digunakan adalah bahwa kebijakan publik dibuat untuk menyelesaikan masalah-masalah yang ada. Hal yang seringkali terjadi adalah tujuan tercapai tapi masalah tidak terselesaikan.

c. Evaluasi kebijakan berusaha untuk memberi sumbangan pada evaluasi kebijakan lain terutama dari segi metodologi. Artinya, evaluasi kebijakan diupayakan untuk menghasilkan rekomendasi dari penilaian-penilaian yang dilakukan atas kebijakan yang dievaluasi.

Menurut Lubis (2007), pada bidang ekonomi pemerintah harus mengatasi masalah ekonomi, perbedaan yang menyolok antara kaya dan miskin, antara ekonomi lemah dan ekonomi kuat, ketidak merataan kesempatan kerja dan ketidakrataan pendapatan nasional. Menurut Subarsono (2012) dampak merupakan akibat lebih jauh pada masyarakat sebagai konsekuensi adanya kebijakan yang diimplementasikan

21

Evaluasi kebijakan secara sederhana menurut Dunn (2003), berkenaan dengan produksi informasi mengenai nilai-nilai atau manfaat-manfaat kebijakan hasil kebijakan. Ketika ia bernilai bermanfaat-manfaat bagi penilaian atas penyelesaian masalah, maka hasil tersebut member sumbangan pada tujuan dan sasaran bagi evaluator, secara khusus, dan pengguna lainnya secara umum. Hal ini dikatakan bermanfaat apabila fungsi evaluasi kebijakan memang terpenuhi dengan baik. Salah satu fungsi evaluasi kebijakan adalah harus memberi informasi yang valid dan dipercaya mengenai kinerja kebijakan. Dampak kebijakan dalam hal ini melingkupi komponen sebagai berikut:

a. Kesesuaian antara kebijakan dengan kebutuhan masyatrakat, untuk mengukur seberapa jauh kebutuhan, nilai, dan kesempatan telah dapat dicapai melalui tindakan kebijakan/program. Dalam hal ini evaluasi kebijakan mengungkapkan seberapa jauh tujuan-tujuan tertentu telah dicapai.

b. Pelaksanaan kebijakan, yaitu untuk mengetahui apakah tindakan yang ditempuh oleh implementing agencies sudah benar-benar efektif, responsif, akuntabel, dan adil. Dalam bagian ini evaluasi kebijakan juga harus memperhatikan persoalan-persoalan hak azasi manusia ketika kebijakan itu dilaksanakan. Hal ini diperlukan oleh para evaluator kebijakan karena jangan sampai tujuan dan sasaran dalam kebijakan publik terlaksana, tetepai ketika itu diimplementasikan banyak melanggar hak asasi warga. Selain itu untuk mengetahu bagaimana dampak kebijakan itu sendiri. Dalam bagian ini, evaluator kebijakan harus dapat memberdayakan output dan outcome yang dihasilkan dalam suatu implementasi kebijakan.

2.2.4. Fungsi-fungsi Evaluasi Kebijakan Publik

Menurut Nugroho (2014), evaluasi kebijakan publik memiliki empat fungsi, yaitu:

22

a. Eksplanasi. Melalui evaluasi dapat dipotret realitas pelaksanaan program dan dapat dibuat suatu generalisasi tentang pola-pola hubungan antar berbagai dimensi realitas yang diamatinya. Dari evaluasi ini evaluator dapat mengidentifikasi masalah, kondisi, dan aktor yang mendukung keberhasilan atau kegagalan program.

b. Kepatuhan. Melalui evaluasi dapat diketahui apakah tindakan yang dilakukan oleh para pelaku, baik birokrasi maupun pelaku lainya sesuai dengan standar dan prosedur yang ditetapkan oleh kebijakan.

c. Audit. Melalui evaluasi dapat diketahui, apakah output benar-benar sampai ke tangan kelompok sasaran kebijakan, atau justru ada kebocoran atau penyimpangan.

d. Akunting. Dengan evaluasi dapat diketahui apa akibat sosial ekonomi dari kebijakan tersebut.

Menurut Riyadi (2010), isu yang kritis dalam evaluasi dampak kebijakan adalah apakah suatu program telah telah menghasilkan efek yang lebih atau tidak yang terjadi secara alami meskipun tanpa intervensi atau dibandingkan dengan interfensi alternatif. Tujuan pokok penilaian dampak adalah untuk menafsirkan efek-efek yang menguntungkan atau hasil yang menguntungkan dari suatu intervensi. Rossi & Freeman (1993) mendefinisikan penilaian atas dampak adalah untuk memperkirakan apakah intrvensi menghasilkan efek yang diharapkan atau tidak. Perkiraan seperti ini tidak menghasilkan jawaban yang pasti tapi hanya beberapa jawaban yang mungkin masuk akal. Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka dapat dinyatakan bahwa evaluasi sistematis kebijakan adalah aktivitas untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti apakah kebijakan yang dijalankan mencapai tujuan sebagaimana yang telah ditetapkan sebelumnya, berapa biaya yang di keluarkan serta keuntungan apa yang didapat, siapa yang menerima keuntungan dari program kebijakan yang telah dijalankan oleh organisasi.

2.2.5. Kriteria Evaluasi Dampak Kebijakan

Mengevaluasi dampak suatu program atau kebijakan publik diperlukan adanya suatu kriteria untuk mengukur keberhasilan program atau kebijakan

23

publik tersebut. Mengenai kinerja kebijakan dalam menghasilkan informasi terdapat kriteria evaluasi dampak kebijakan publik yaitu sebagai berikut: a. Efektivitas

Menurut Winarno (2007): Efektivitas berasal dari kata efektif yang mengandung pengertian dicapainya keberhasilan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Efektivitas disebut juga hasil guna. Efektivitas selalu terkait dengan hubungan antara hasil yang diharapkan dengan hasil yang sesungguhnya dicapai. Berdasarkan pendapat di atas, bahwa apabila pencapaian tujuan-tujuan daripada organisasi semakin besar, maka semakin besar pula efektivitasnya. Pengertian tersebut dapat disimpulkan adanya pencapaian tujuan yang besar daripada organisasi, maka makin besar pula hasil yang akan dicapai dari tujuan-tujuan tersebut. Apabila setelah pelaksanaan kegiatan kebijakan publik ternyata dampaknya tidak mampu memecahkan permasalahan yang tengah dihadapi masyarakat, maka dapat dikatakan bahwa suatu kegiatan kebijakan tersebut telah gagal, tetapi adakalanya suatu kebijakan publik hasilnya tidak langsung efektif dalam jangka pendek, akan tetapi setelah melalui proses tertentu.

Efektivitas merupakan hubungan antara output dengan tujuan, semakin besar kontribusi (sumbangan) output terhadap pencapaian tujuan, maka semakin efektif organisasi, program atau kegiatan”. Ditinjau dari segi pengertian efektivitas usaha tersebut, maka dapat diartikan bahwa efektivitas adalah sejauhmana dapat mencapai tujuan pada waktu yang tepat dalam pelaksanaan tugas pokok, kualitas produk yang dihasilkan dan perkembangan. Efektivitas merupakan daya pesan untuk

mempengaruhi atau tingkat kemampuan pesan-pesan untuk

mempengaruhi. Sehubungan dengan hal-hal yang dikemukakan di atas, maka ukuran efektivitas merupakan suatu standar akan terpenuhinya mengenai sasaran dan tujuan yang akan dicapai. Selain itu, menunjukan pada tingkat sejauhmana organisasi, program/kegiatan melaksanakan fungsi-fungsinya secara optimal

24

Menurut Winarno (2007): Efisiensi (efficiency) berkenaan dengan jumlah usaha yang diperlukan untuk menghasilkan tingkat efektivitas tertentu. Efisiensi yang merupakan sinonim dari rasionalitas ekonomi, adalah merupakan hubungan antara efektivitas dan usaha, yang terakhir umumnya diukur dari ongkos moneter. Efisiensi biasanya ditentukan melalui perhitungan biaya per unit produk atau layanan. Kebijakan yang mencapai efektivitas tertinggi dengan biaya terkecil dinamakan efisien Apabila sasaran yang ingin dicapai oleh suatu kebijakan publik ternyata sangat sederhana sedangkan biaya yang dikeluarkan melalui proses kebijakan terlampau besar dibandingkan dengan hasil yang dicapai. Ini berarti kegiatan kebijakan telah melakukan pemborosan dan tidak layak untuk dilaksanakan.

c. Kecukupan

Menurut Winarno (2007): Kecukupan dalam kebijakan publik dapat dikatakan tujuan yang telah dicapai sudah dirasakan mencukupi dalam berbagai hal. Kecukupan (adequacy) berkenaan dengan seberapa jauh suatu tingkat efektivitas memuaskan kebutuhan, nilai, atau kesempatan yang menumbuhkan adanya masalah Kecukupan masih berhubungan dengan efektivitas dengan mengukur atau memprediksi seberapa jauh alternatif yang ada dapat memuaskan kebutuhan, nilai atau kesempatan dalam menyelesaikan masalah yang terjadi. Berbagai masalah tersebut merupakan suatu masalah yang terjadi dari suatu kebijakan sehingga dapat disimpulkan masalah tersebut termasuk pada salah satu tipe masalah tersebut. Hal ini berarti bahwa sebelum suatu produk kebijakan disahkan dan dilaksanakan harus ada analisis kesesuaian metoda yang akan dilaksanakan dengan sasaran yang akan dicapai, apakah caranya sudah benar atau menyalahi aturan atau teknis pelaksanaannya yang benar.

d. Perataan

Menurut Winarno (2007): Perataan dalam kebijakan publik dapat dikatakan mempunyai arti dengan keadilan yang diberikan dan diperoleh

25

sasaran kebijakan publik. Kriteria kesamaan (equity) erat berhubungan