• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.4. Implementasi Kebijakan

Implementasi kebijakan dipandang dalam pengertian yang luas, merupakan tahap dari proses kebijakan segera setelah penetapan Undang-Undang. Implementasi dipandang secara luas mempunyai makna pelaksanaan Undang-Undang dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur dan teknik bekerja bersama-sama untuk

menjalankan kebijakan dalam upaya untuk meraih tujuan-tujuan kebijakan atau program-program (Winarno, 2007).

Menurut Nugroho (2012) implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya, tidak lebih dan tidak kurang. Untuk mengimplementasikan kebijakan publik, ada dua pilihan langkah yang ada, yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk program atau melalui formulasi kebijakan derivat atau turunan dari kebijakan publik tersebut. Kebijakan publik dalam bentuk Undang-Undang atau Peraturan Daerah adalah jenis kebijakan publik yang memerlukan kebijakan publik penjelas atau yang sering diistilahkan sebagai peraturan pelaksana. Kebijakan publik yang bisa langsung operasional antara lain: Keppres, Inpres, Kepmen, Keputusan Kepala Daerah, Keputusan Kepala Dinas, dan lain-lain.

Sedangkan Edwards III (1980) mengemukakan bahwa implementasi kebijakan merupakan proses yang krusial karena seberapa baiknya suatu kebijakan kalau tidak dipersiapkan dan direncanakan dengan baik dalam implementasinya maka apa yang menjadi tujuan kebijakan publik tidak akan bisa diwujudkan. Begitu pula sebaliknya bagaimanapun baiknya persiapan dan perencanaan implementasi kebijakan. Kalau kebijakannya tidak dirumuskan dengan baik maka apa yang menjadi tujuan kebijakan juga tidak akan bisa dicapai. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan kebijakan, perumusan kebijakan dan implementasi harus dipersiapkan dan direncanakan dengan baik.

Hogwood dan Gun dalam Nugroho (2012), menyebutkan bahwa secara umum ada tiga faktor yang menyebabkan kegagalan implementasi. Pertama, karena

kebijakan yang buruk. Sejak awal perumusan kebijakan tersebut dilakukan secara sembrono, tidak lengkap informasi yang diperlukan dalam perumusan kebijakan, salah memilih masalah, tujuan dan target yang tidak jelas. Kedua, karena pelaksanaannya yang memang buruk, misalnya kurang koordinasi antara pelaksana, tidak cukup sarana dan sarana penunjang. Ketiga, adanya faktor nasib yang tidak menguntungkan. Semua syarat untuk keberhasilan implementasi sudah terpenuhi, tetapi ada hambatan-hambatan yang tidak dapat ditanggulangi dengan cara rasional sekalipun.

Tiga kegiatan utama yang paling penting dalam implementasi kebijakan adalah (Tangkilisan, 2005) :

1. Penafsiran, yaitu merupakan kegiatan yang menerjemahkan makna program ke dalam pengaturan yang dapat diterima dan dapat dijalankan.

2. Organisasi yaitu merupakan unit atau wadah untuk menempatkan program ke dalam tujuan kebijakan.

3. Penerapan yang berhubungan dengan perlengkapan rutin bagi pelayanan, upah, dan lain-lainnya.

Menurut Wibawa (1994), secara sederhana tujuan implementasi kebijakan adalah untuk menetapkan arah agar tujuan kebijakan publik dapat direalisasikan sebagai hasil dari kegiatan pemerintah. Untuk mengimplementasikan kebijakan publik, dikenal beberapa model, antara lain:

1. Model Van Meter dan Van Horn

Menurut Nugroho (2012) model Van Meter dan Van Horn adalah model yang paling klasik dan model pertama. Model ini mengandaikan bahwa implementasi kebijakan berjalan secara linear dari kebijakan publik, implementor, dan kinerja kebijakan publik. Beberapa variabel yang dimasukkan sebagai variabel yang memengaruhi kebijakan publik adalah variabel berikut : 1) Aktivitas implementasi dan komunikasi antar organisasi; 2) Karakteristik agen pelaksana/ implementor; 3) Kondisi ekonomi, sosial dan politik; 4) Kecenderungan (disposition) pelaksana/ implementor.

Gambar 2.1. Model Implementasi Kebijakan Meter dan Horn Sumber : Wibawa, 1994

2. Model Mazmanian dan Sabatier

Mazmanian dan Sabatier (1983) dalam Nugroho (2012) mengemukakan bahwa implementasi adalah upaya melaksanakan keputusan kebijakan sehingga model Mazmanian dan Sabatier disebut model Kerangka Analisis Implementasi (A

Kebijakan publik Standar dan tujuan Sumber Daya Aktivitas pelaksanaan dan komunikasi Karakteristik dari agen pelaksana Kondisi ekonomi, sosial, dan politik

Kecenderungan

dari pelaksana Kinerja kebijakan

Framework for Implementation Analysis). Duet Mazmanian Sabatier mengklasifikasikan proses implementasi kebijakan ke dalam 3 (tiga) variabel yaitu :

a. Variabel independen, yaitu mudah tidaknya masalah dikendalikan yang berkenaan dengan indikator masalah teori dan teknis pelaksanaan, keragaman objek dan perubahan seperti apa yang dikehendaki.

b. Variabel intervening, yaitu variabel kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan proses implementasi dengan indikator kejelasan dan konsistensi tujuan, dipergunakannya teori kausal, ketepatan alokasi sumber dana, keterpaduan hirarkis di antara lembaga pelaksana, aturan pelaksana dari lembaga pelaksana, dan perekrutan pejabat pelaksana dan keterbukaan kepada pihak luar; dan variabel di luar kebijakan yang memengaruhi proses implementasi yang berkenaan dengan indikator kondisi sosio-ekonomi dan teknologi, dukungan publik, sikap dan risorsis konstituen, dukungan pejabat yang lebih tinggi, dan komitmen dan kualitas kepemimpinan dari pejabat pelaksana.

c. Variabel dependen, yaitu tahapan dalam proses implementasi dengan 5 (lima) tahapan antara lain: 1) pemahaman dari lembaga/ badan pelaksana dalam bentuk disusunnya kebijakan pelaksana; 2) kepatuhan objek; 3) hasil nyata; 4) penerimaan atas hasil nyata tersebut; 5) akhirnya mengarah pada revisi atas kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan tersebut ataupun keseluruhan kebijakan yang bersifat mendasar.

Gambar 2.2. Model Implementasi Kebijakan Mazmanian dan Sabatier Sumber : Wibawa, 1994

3. Model Goggin

Menurut Goggin (1990), proses implementasi kebijakan sebagai upaya transfer informasi atau pesan dari institusi yang lebih tinggi ke institusi yang lebih

Kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan proses

implementasi

− Kejelasan dan konsistensi − Digunakan teori kausal yang

memadai

− Ketepatan alokasi sumber dana

− Keterpaduan hierarki di antara lembaga pelaksana − Aturan-aturan keputusan

dari badan pelaksana

Variabel di luar kebijakan yang

memengaruhi proses implementasi

− Kondisi sosial, ekonomi, Dan teknologi

− Dukungan publik

− Sikap dari sumber-sumber yang dimiliki kelompok − Dukungan dari pejabat

atasan

− Komitmen dan kemampuan

Tahapan-tahapan dalam proses implementasi kebijakan Output kebijakan Badan-badan pelaksana Kesediaan kelompok Sasaran memenuhi Output kebijakan Dampak nyata output kebijakan Dampak output kebijakan dipersepsi Perbaikan mendasar dalam undang-undang Mudah tidaknya masalah

dikendalikan

− Kesukaran-kesukaran teknis − Keseragaman perilaku kelompok

sasaran

− Persentase kelompok sasaran − Ruang lingkup perubahan perilaku

rendah dapat diukur keberhasilan kinerjanya berdasarkan variabel: l) dorongan dan paksaan pada tingkat federal, 2) kapasitas pusat/ negara, dan 3) dorongan dan paksaan pada tingkat pusat dan daerah. Variabel dorongan dan paksaan pada tingkat pusat ditentukan oleh legitimasi dan kredibilitas, yaitu semakin sahih kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat di mata daerah maka semakin besar kredibilitasnya, begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu, untuk mengukur kekuatan isi atau substansi dan pesan kebijakan dapat dilihat rnelalui: a) besarnya dana yang dialokasikan, dengan asumsi bahwa semakin besar dana yang dialokasikan, semakin serius kebijakan tersebut dilaksanakan, dan b) bentuk kebijakan yang memuat antara lain, kejelasan kebijakan, konsistensi pelaksanaan, frekuensi pelaksanaan dan diterimanya pesan secara benar. Sementara itu, untuk mengetahui variabel kapasitas pusat, atau kapasitas organisasi dapat dilihat melalui seberapa jauh organisasi pelaksana kebijakan mampu memanfaatkan kewenangan yang dimiliki, bagaimana hubungan antara pelaksana dengan struktur birokrasi yang ada, dan bagaimana mengkoordinasikan berbagai sumber daya yang tersedia dalam organisasi dan dalam masyarakat.

4. Model Grindle

Grindle (1980) mengharapkan bahwa agar dapat ditunjukkan konfigurasi dan sinergi dari 3 (tiga) variabel yang dapat menentukan keberhasilan implementasi kebijakan yakni hubungan segi tiga variabel kebijakan, organisasi, dan lingkungan kebijakan. Harapan itu perlu diwujudkan agar melalui pemilihan kebijakan yang tepat masyarakat dapat berpartisipasi dalam memberikan

kontribusi yang optimal untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Selanjutnya, ketika sudah ditemukan kebijakan yang terpilih perlu diwadahi oleh organisasi pelaksana, karena di dalam organisasi terdapat kewenangan dan berbagai jenis sumber daya yang mendukung pelaksanaan kebijakan atau program. Sedangkan penciptaan situasi dan kondisi lingkungan kebijakan diperlukan.

Gambar 2.3. Model Implementasi Kebijakan Grindle Sumber : Wibawa, 1994

5. Model Edwards III

George Edwards III (1980) menegaskan bahwa masalah utama administrasi publik adalah kurangnya perhatian terhadap implementasi kebijakan.

Tujuan Kebijakan

Tujuan yang ingin dicapai

Program aksi dan proyek individu yang didesain

dan dibiayai

Program yang dijalankan seperti yang direncanakan

Mengukur Keberhasilan

Melaksanakan kegiatan dipengaruhi oleh :

(a) Isi kebijakan

1. Kepentingan yang dipengaruhi 2. Tipe manfaat

3. Derajat perubahan yang diharapkan

4. Letak pengambilan keputusan 5. Pelaksana Program

6. Sumber daya yang dilibatkan (b) Konteks Implementasi

1. Kekuasaan, kepentingan, dan strategi aktor yang terlibat 2. Karakteristik lembaga dan

penguasa

3. Kepatuhan dan daya tanggap

Hasil Kebijakan a. Dampak pada masyarakat, individu, dan kelompok b.Perubahan dan penerimaan oleh masyarakat

Dikatakannya, tanpa implementasi yang efektif keputusan dari pembuat kebijakan tidak akan berhasil dijalankan. Wibawa (1994) menyatakan bahwa model Edwards III mengajukan 4 (empat) faktor atau variabel yang berpengaruh terhadap keberhasilan atau kegagalan implementasi kebijakan. Empat variabel atau faktor tadi antara lain meliputi variabel atau faktor communication, resources, dispositions, dan bureaucratic structure.

a) Faktor Komunikasi

Komunikasi kebijakan memiliki beberapa macam dimensi, antara lain dimensi transformasi, kejelasan, dan konsistensi. Dimensi transformasi menghendaki agar kebijakan publik dapat ditransformasikan kepada para pelaksana, kelompok sasaran, dan pihak lain yang terkait dengan kebijakan. Dimensi kejelasan menghendaki agar kebijakan yang ditransmisikan kepada para pelaksana, target grup, dan pihak lain yang berkepentingan langsung maupun tidak langsung terhadap kebijakan dapat diterima dengan jelas sehingga di antara mereka mengetahui apa yang menjadi maksud, tujuan, dan sasaran serta substansi dari kebijakan publik tersebut.

b) Sumber Daya

1) Sumber Daya Manusia

Efektifitas pelaksanaan kebijakan sangat tergantung kepada sumber daya manusia (aparatur) yang bertanggung jawab melaksanakan kebijakan. Sumber daya manusia ini harus cukup (jumlah) dan cakap (ahli). Selain itu sumber daya manusia tersebut harus mengetahui apa yang harus

dilakukan. Oleh karena itu, sumber daya manusia pelaku kebijakan tersebut juga membutuhkan informasi yang tidak saja berkaitan dengan bagaimana cara melaksanakan kebijakan, tetapi juga mengetahui arti penting (esensi) data mengenai kepatuhan pihak lain yang terlibat terhadap peraturan dan pengaturan berlaku. Tidak cukupnya sumber daya berarti peraturan (law) tidak akan bisa ditegakkan (enforced), pelayanan tidak disediakan, dan peraturan yang digunakan tidak bisa dikembangkan. 2) Sumber Daya Anggaran

Sumber daya anggaran memengaruhi efektifitas pelaksanaan kebijakan, selain sumber daya manusia adalah dana (anggaran) dan peralatan yang diperlukan untuk membiayai operasionalisasi pelaksanaan kebijakan. Terbatasnya anggaran yang tersedia menyebabkan kualitas pelayanan pada publik yang harus diberikan kepada masyarakat juga terbatas. Karena kurangnya insentif yang diberikan kepada pelaksana kebijakan dapat menyebabkan para pelaku kebijakan tidak dapat melaksanakan tugas dan fungsinya secara optimal. Terbatasnya insentif tersebut tidak akan mampu mengubah sikap dan perilaku (disposisi) para pelaku kebijakan. Oleh karena itu, agar para pelaku kebijakan memiliki disposisi (sikap dan perilaku) tinggi dalam melaksanakan kebijakan diperlukan insentif yang cukup. Besar kecilnya insentif tersebut dapat memengaruhi sikap dan perilaku (disposisi) pelaku kebijakan. Insentif tersebut bisa diwujudkan dalam bentuk rewards and punishment.

3) Sumber Daya Peralatan

Sumber daya peralatan merupakan sarana yang digunakan untuk operasionalisasi implementasi suatu kebijakan yang meliputi gedung, tanah, dan sarana yang semuanya akan memudahkan dalam memberikan pelayanan dalam implementasi kebijakan. Terbatasnya fasilitas yang tersedia, kurang menunjang efisiensi dan tidak mendorong motivasi para pelaku dalam melaksanakan kebijakan.

4) Sumber Daya Informasi dan Kewenangan

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa sumber daya informasi juga menjadi faktor penting dalam implementasi kebijakan. Terutama, informasi yang relevan dan cukup tentang berkaitan dengan bagaimana cara mengimplementasikan suatu kebijakan. Kewenangan juga merupakan sumber daya lain yang memengaruhi efektifitas pelaksanaan kebijakan. Kewenangan sangat diperlukan terutama untuk menjamin dan meyakinkan bahwa kebijakan yang akan dilaksanakan adalah sesuai dengan yang mereka kehendaki.

c) Disposisi

Keberhasilan implementasi kebijakan bukan hanya ditentukan oleh sejauh mana pelaku kebijakan mengetahui apa yang harus dilakukan dan mampu melakukannya, tetapi juga ditentukan oleh kemauan para pelaku kebijakan tadi memiliki disposisi yang kuat terhadap kebijakan yang sedang diimplementasikan. Mereka akan tahu bahwa kebijakan akan menguntungkan

organisasi dan dirinya, manakala mereka cukup pengetahuan (cognitive), dan mereka sangat mendalami dan memahaminya (comprehension and understanding). Pengetahuan, pendalaman, dan pemahaman kebijakan ini akan menimbulkan sikap menerima (acceptance), acuh tak acuh (neutrality), dan menolak (rejection) terhadap kebijakan.

d) Struktur Birokrasi

Struktur birokrasi ini mencakup aspek-aspek seperti struktur organisasi, pembagian kewenangan, hubungan antara unit-unit organisasi yang ada dalam organisasi bersangkutan, dan hubungan organisasi dengan organisasi luar dan sebagainya. Oleh karena itu, struktur birokrasi mencakup dimensi fragmentasi dan standar prosedur operasi yang akan memudahkan dan menyeragamkan tindakan dari para pelaksana kebijakan dalam melaksanakan apa yang menjadi bidang tugasnya.

Menurut Friedman (2009), setidaknya ada 3 (tiga) kondisi yang harus dipenuhi sebelum suatu tindakan hukum, yakni peraturan atau norma, bisa memiliki dampak terhadap orang tertentu yang menjadi sasarannya.

a. Peraturan atau norma harus dikomunikasikan kepada subjek.

b. Subjek harus mampu melaksanakan atau, bila tidak, mereka tidak melaksanakannya.

c. Subjek harus memiliki dorongan untuk menjalankannya, berangkat dari keinginan, rasa takut, atau motif lainnya.

Syarat kedua merupakan syarat yang lemah, yang mudah ditemui dalam kasus biasa. Suatu hukum yang memerintahkan orang untuk terbang tentu saja akan sia-sia saja. Selain itu, peraturan atau hukum harus dikomunikasikan karena sangat vital bagi sistem hukum manapun. Sudah menjadi aksinoma bahwa tidak seorangpun yang bisa mengarahkan perilakunya menurut hukum kecuali ia mengetahui hukum itu.

Dokumen terkait