• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implementasi Konsep Hubungan Antara Ustadz Dengan Santri di Pondok Pesantren Ikmaly Gedongan Pondok Pesantren Ikmaly Gedongan

PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Implementasi Konsep Hubungan Antara Ustadz Dengan Santri di Pondok Pesantren Ikmaly Gedongan Pondok Pesantren Ikmaly Gedongan

Berdasarkan hasil observasi dan wawancara terhadap berbagai sumber seperti pengasuh pondok sekaligus pengajar, dewan ustadz maupun santri, Pondok Pesantren Ikmaly Gedongan merupakan salah satu pondok pesantren yang memang mengimplementasikan nilai-nilai yang diajarkan dalam Kitab Adabul ‘Alim wa al-Muta’allim, yang berkaitan dengan hubungan santri dengan ustadz dalam pembelajaran di setiap harinya. Hal ini dilihat dengan adanya etika yang ustadz dan santri lakukan. Etika tersebut mencakup etika santri kepada ustadz, etika ustadz kepada santri, dan etika keduanya dalam pembelajaran. Hal ini juga sesuai dengan pernyataan pengasuh Pondok Pesantren Ikmaly Gedongan sekaligus pengajar yaitu Kiai Khozinatul Asror. Beliau mengatakan bahwa:

“Tentang penerapan akhlak diluar jam-jam pelajaran di pondok pesantren ikmaly sangatlah didahulukan, sebab akhlak itu merupakan budi pekerti yang bukan hanya dalam teori saja, bukan hanya dalam pembelajaran saja. Tapi akhlak itu adalah ketika santri sudah selesai mengaji maka harus diterapkan dilingkungan pondok. Kami selaku pengasuh dibantu dengan para pengurus dan ustadz mengawasi terkait akhlaknya para santri. Ketika santri berbicara dengan sesama temannya dan ketika ada ucapan-ucapan yang kurang baik ataupun dipandang saru (ucapan buruk) maka akan ada teguran dari kami sendiri ataupun dari pengurus dan ustadz pondok. Dan ketika sudah ditegur kok masih mengulanginya maka santri akan dihukum dengan hukuman yang bersifat mendidik, bisa dengan membaca yasin membersihkan lingkungan dan lainnya”.

Dari pernyataan di atas, dapat dipahami bahwa Pondok Pesantren Ikmaly Gedongan sangat memperhatikan aspek praktik dari hasil belajar kitab Adabul ‘Alim Wa al-Muta’allim, hal ini sangat diperhatikan oleh pengasuhnya sekaligus pengajar kitab tersebut yang selalu mengawasi dan memperhatikan aktivitas santri-santrinya setiap waktu. Belajar kitab Adabul ‘Alim Wa al-Muta’allim sangatlah penting apabila dihadapkan dengan banyaknya permasalahan yang muncul di masyarakat zaman sekarang ini, baik di lingkungan masyarakat umum maupun di lingkungan pendidikan itu sendiri. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Kiai Khozinatul Asror:

“Alasan mengapa santri-santri khususnya di pondok pesantren ikmaly Gedongan wajib diadakan pengajian tentang akhlak, karena akhlak itu sangat penting, akhlak itu merupakan dasar dan yang utama sebelum mempelajari ilmu-ilmu yang lainnya, sehingga dengan akhlak itu santri akan mengerti dan mengetahui etika dan budi pekerti yang baik yang harus dia lakukan ketika beretika dengan ustadznya, beretika dengan sesama temannya serta mengetahui bagaimana cara santri itu ketika beretika dengan masyarakat luas. Saya menilai bahwa sebelum santri itu menunjukkan jati diri tentang keilmuannya di tengah-tengah masyarakat maka yang pertama kali dilihat adalah akhlaknya terlebih dahulu, sehingga ketika akhlaknya santri itu baik maka masyarakat akan tertarik dan senang dengan kehadiran santri dan tentunya mereka akan mau mengikutkan anak-anak mereka untuk belajar kepada para santri itu”.

Untuk lebih jelas mengenai implementasinya, berikut ini akan dijelaskan implementasi hubungan ustadz dan santri menurut K.H. Hasyim Asy’ari dalam pembelajaran di Pondok Pesantren Ikmaly Gedongan yang meliputi:

d. Etika Santri Terhadap Ustadz

Berdasarkan data yang didapatkan penulis melalui wawancara bersama salah satu santri bernama Abdul Munir, ia mengatakan bahwa walaupun baru menempuh 3 tahun belajar di Pondok Ikmaly, dirinya

mengaku banyak ilmu yang bisa di dapat terutama ilmu akhlak yang ia dapat dari Kiai Khozinatul Asror dipondok pesantren ini lewat pembelajaran kitab Adabul ‘Alim Wa al-Muta’allim.

Selain itu, ada hal yang sebelumnya tidak ia ketahui yaitu mengenai etika santri kepada ustadz, dimana sebelum belajar, sebagai santri hendaknya meminta petunjuk kepada Allah terlebih dahulu serta mencari informasi dengan sungguh-sungguh mengenai sosok orang yang akan dijadikan ustadz, hal ini tidak ia lakukan karena ketidaktahuannya. Namun setelah mengetahui pentingnya hal semacam ini, dirinya mengaku akan meminta petunjuk Allah terlebih dahulu mengenai tempat pendidikan selanjutnya setelah lulus dari pondok Ikmaly Gedongan.

Selain Abdul Munir, santri putra bernama Saifulloh juga menuturkan demikian, namun Saeful sudah mengamalkan apa yang dianjurkan dalam kitab Adabul ‘Alim Wa al-Muta’allim tersebut, dimana ia meminta petunjuk kepada Allah lewat sholat istikharah dan mencari informasi mengenai beberapa pondok pesantren karena dirinya sebentar lagi akan lulus dari pondok Ikmaly dan berkeinginan untuk melanjutkan pendidikannya di pesantren lain. Dalam kegiatan sehari-hari Abdul Munir dan santri lain selalu berusaha menunjukkan etika yang baik terhadap kiai maupun ustadznya, seperti selalu mematuhi segala perintah kiai dan ustadz, menundukkan kepala serta membungkukkan badan ketika berjalan di depan kiai dan ustadz, diam ketika dimarahi kiai maupun ustadz, dan selalu mendoakan kebaikan untuk mereka. Hal ini juga diakui oleh Saeful, dirinya berkata:

“Saya serta santri yang lain selalu menjunjung tinggi akhlak terhadap ustadz, baik ketika di depan uzstadz (terlihat ustadz) maupun ketika di belakang ustadz (tidak terlihat ustadz). Contohnya seperti ketika di hadapan ustadz posisi duduk layaknya posisi tasyahud akhir tanpa meletakkan tangan di atas paha, dan ketika di belakang ustadzpun kita tetap menjalankan perintahnya seperti tidak merokok walaupun ustadz tidak melihat, serta di setiap selesai sholat kita tidak lupa mendoakan

kiai maupun ustadz-ustadz kita. Saya rasa itu bagian dari akhlak santri terhadap ustadz”.

Selain dua santri putra di atas, penulis juga mewawancarai santri putri bernama Siti Khusnul, dirinya menjelaskan bahwa secara umum etika yang santri tunjukkan kepada seorang ustadz di luar pembelajaran di kelas rata-rata sama yaitu mematuhi segala perintah ustadz dan mendoakan kebaikan ustadz, namun Khusnul menuturkan bahwa selain memilih diam ketika dimarahi ustadz, ia juga terkadang menangis karena menyesali kesalahan yang telah diperbuat, serta lebih memilih selalu berjalan di belakang ustadz artinya tidak mendahului ustadz ketika berjalan.

Selain itu, Khusnul yang merupakan salah satu santri putri di pondok pesantren ini menuturkan adanya perbedaan etika yang ditunjukkan antara santri putra dengan santri putri kepada ustadznya. Dirinya menjelaskan dengan menyatakan bahwa:

“Santri putra memiliki etika duduk ketika berhadapan dengan ustadz harus dalam posisi bersila, namun bagi santri putri hal ini tidak diperbolehkan. Santri putri duduk dalam posisi tasyahud akhir layaknya seperti ketika sholat, namun tanpa meletakkan tangan di atas paha. Hal ini dinilai lebih sopan dibanding bersila bagi sebagian santri putri itu sendiri”.

Selain hasil wawancara dengan santri putri bernama Siti Khusnul, penulis juga mendapat hasil wawancara dari santri putri bernama Meliyah, ia mengatakan:

“ Saya sebagai santri putri yang belajar kitab ini selalu berusaha mengamalkannya. Dalam hal mematuhi perintah kiai maupun keluarga kiai termasuk istrinya (Nyai) saya selalu berusaha mematuhinya meskipun terkadang ada saja yang saya langgar, akibatnya saya dimarahi dan saya memilih diam saja karena merasa sedih dan malu. Setelah itu saya berusaha lebih menghormati dan memuliakannya seperti memperhatikan makan dan minum kiai dan nyai serta sukarela mencucikan pakaiannya yang sudah kotor. Saya rasa itu etika yang saya tunjukkan kepada ustadz saya”.

Berdasarkan pengakuan santri di atas, kiai Khozinatil Asror selaku pengasuh dan pengajar kitab Adabul ‘Alim Wa al-Muta’allim juga membenarkan sekaligus menguatkan hal yang demikian itu. Beliau menegaskan dengan mengatakan bahwa:

“Etika santri kepada ustadznya memang merupakan hal yang utama disini, tata cara bicaranya juga selalu diperhatikan. Mereka ditekankan untuk memakai bahasa kromo inggil (bahasa jawa yang halus) kepada para ustadz kiai maupun santri-santri yang lebih senior. Dan saya sendiri sering menghimbau kepada para santri baik yang kecil untuk menghormati yang besar,baik dalam segi ucapan dan tingkah laku, dan yang besar juga tidak boleh semena-mena. Hal ini sesuai dengan sabda nabi:

َلْي

َس

ِمَّن

َم ا

ْن َل

ْم ُي

َوِّق

ْر َك

ِبْي

َرَن

َو ا

َمْن

َلْم

َيْر

َح

ْم

َص

ِغْي

َرَنا

Artinya: “Tidak termasuk umatku orang-orang yang tidak mengagungkan orang lebih tua dan tidak menyayangi yang lebih muda”

Itulah proses menuntut ilmu dalam pondok pesantren Ikmaly. Dan saya harap semoga saja mereka bukan dalam pesantren saja menerapkan akhlaknya tapi ketika sudah pulang pun mereka tetap berakhlakul karimah.”

Hal yang diungkapkan oleh kiai Khozinatul Asror di atas sesuai dengan temuan penulis dalam daftar pelanggaran santri yang terjadi, dimana dalam kegiatan studi dokumentasi penulis menemukan tidak adanya jenis pelanggaran yang dilakukan oleh santri putra maupun santri putri yang berhubungan dengan pelanggaran berupa perkataan yang buruk. Hal ini diperkuat dengan adanya peraturan tertulis yang sesuai dengan ajaran K.H. Hasyim Asy’ari yaitu mengharuskan santri hormat dan patuh kepada ustadz, harus selalu menjaga sikap dan perkataan yang baik kepada sesama santri dan ustadz, dan selalu meminta izin ketika akan keluar pondok ataupun pulang ke rumah.

Selain itu, penulis juga mendapat data dari hasil observasi, dimana penulis menjumpai etika santri yang baik yaitu setiap santri yang berjalan di depan ustadznya, mereka selalu menundukkan kepala dan membungkukkan badan, dalam kondisi lain jika santri tersebut memakai kendaraan bermotor, santri langsung turun lalu mematikan mesin dan mendorong motornya. Selain itu penulis melihat bahwa selalu ada santri yang menyiapkan sandal milik ustadznya ketika ustadznya hendak keluar dari rumah ataupun masjid. Hal ini merupakan wujud penghormatan yang dilakukan oleh santri terhadap ustadznya di luar kegiatan belajar mengajar di kelas.

e. Etika Ustadz Terhadap Santrinya

Di Pondok Pesantren Ikmaly Gedongan, etika tidak hanya ditunjukkan oleh santri terhadap ustadznya, melainkan juga adanya etika yang dilakukan ustadz terhadap santrinya. Hal ini dikatakan oleh salah satu santri bernama Abdul Munir yang mengatakan bahwa:

“Ustadz yang ada disini yang saya rasakan adalah selalu menggunakan kata-kata yang sopan dengan santrinya, sehingga mengajarkan kita sebagai santri untuk berkata sopan juga. Selain itu kiai Khozin sebagai pengasuh selalu terlihat wibawa dan karisma nya lewat tindakannya setiap hari. Sehingga kita semua ikut terdorong untuk selalu berperilaku sopan santun setiap harinya.”

Selain pengakuan dari santri di atas, Kiai Khozin selaku pengasuh dan pengajar juga menuturkan bahwa memang sebagai seorang ustadz harus memberikan perlakuan yang baik terhadap santrinya. Lewat etika yang baik kepada santri inilah nantinya santri akan ikut beretika baik dengan siapapun. Hasil wawancara dengan kiai Khozin selaku pengajar kitab Adabul ‘Alim Wa al-Muta’allim menuturkan bahwa etika yang ia tunjukkan kepada santri di luar pembelajaran di kelas diantaranya adalah pertama, mengetahui nama masing-masing santri, latar belakang, dan kepribadiannya, meskipun dalam hal ini kiai Khozin mengaku tidak mengenal sepenuhnya kepribadian dan latar belakang santri seluruhnya. Kedua, selalu

memanggil nama santri dengan nama maupun panggilan yang baik. Ketiga selalu mendoakan kebaikan santri setelah selesai sholat fardu maupun sunah. Keempat mengetahui seluruh aktivitas santri dimana ia tidur akhiran dan bangun awalan. Kelima tetap menggunakan bahasa yang lembut meskipun disaat menegur santri yang berbuat salah.

Selain poin-poin di atas, kiai Khozinatul Asror juga menambahkan bahwa di Pondok Pesantren Ikmaly Gedongan setiap ustadz ataupun pengurus pondok tidak diperkenankan untuk memberikan hukuman kepada santri tanpa persetujuan dirinya. Beliau menganggap bahwa pemberian hukuman merupakan jalan terakhir dari sekian banyak jalan yang dilakukan kepada santri jika memang santri berbuat salah. Selain itu hukuman yang diberikan juga harus bersifat mendidik layaknya seperti hukuman membaca ayat-ayat Alquran dan bersih-bersih pondok.

Selanjutnya, berdasarkan data yang diperoleh penulis dari kegiatan observasi mengenai etika ustadz terhadap santri dijumpai adanya sikap adil oleh ustadz terhadap santri, yaitu ustadz tidak membeda-bedakan perlakuan kepada semua santri termasuk terhadap saudaranya sendiri yang menjadi santri di pondok tersebut. Contohnya meminta santri dan juga saudaranya untuk bersama-sama membersihkan sampah yang ada di sekitar pondok. Selain itu adanya sikap tawaduk yang ditunjukkan oleh ustadz terhadap santri, dimana ustadz tidak berlebihan ketika berpakaian agar terlihat sederhana di depan santri.

Jika diamati, nampaknya terlihat kiai Khozin selalu berupaya mengajarkan etika yang baik kepada santrinya melalui tingkah laku nya sendiri. Beliau selalu berperilaku lemah lembut, adil, rendah hati, dan mengedepankan keluhuran budi pekertinya dengan harapan perilakunya tersebut dapat menjadi contoh sehingga diikuti oleh semua santrinya.

f. Etika Santri dan Ustadz dalam Pembelajaran

Menurut pengakuan dari salah satu santri bernama Fahri, etika dia sebagai santri atau santri dalam pembelajaran meliputi:

1. Mempelajari hal-hal yang bersifat pokok terlebih dahulu seperti belajar aqidah dalam kitab ‘Aqidatul ‘Awam dan belajar fikih dalam kitab Safinah al-Najah.

2. Mempelajari Alquran beserta tafsirnya dalam kitab Tafsir Jalalain

3. Tidak terlalu mendalami perihal perbedaan pendapat ulama di awal-awal belajar.

4. Meminta bantuan kepada salah satu ustadz untuk mengoreksi buku catatannya, karena dikhawatirkan ada tulisan yang keliru. 5. Menyegerakan diri ke tempat belajar ketika waktu belajar telah

tiba.

6. Berusaha selalu semangat mengikuti kegiatan belajar mengajar di kelas.

7. Selalu hadir dalam setiap kegiatan pengajaran dan pengajian 8. Mengucapkan salam ketika hendak masuk kelas atau izin ketika

keluar kelas, dengan catatan posisi ustadz sedang tidak berbicara. 9. Menanyakan hal-hal yang belum dipahami kepada ustadz,

khususnya perihal ilmu Fikih. 10. Tertib ketika antre setoran hafalan

11. Ketika belajar dengan posisi duduk bersila. Yaitu santri duduk dengan rapih dan tenang di tempatnya masing-masing.

12. Tetap antusias setia mendengarkan penjelasan ustadz meskipun sudah berulang kali mendengarkan penjelasan yang sama.

13. Hampir tidak pernah membuka pelajaran lain ketika sedang belajar.

14. Saling memotivasi sesama teman, semisal ketika dalam pembelajaran ada yang terlihat kurang semangat.

Hal-hal yang telah disebutkan di atas, menurut santri putri bernama Siti Khusnul memang dilakukan oleh semua santri baik santri putra maupun santri putri. Semuanya sama-sama menunjukkan etika yang demikian kepada ustadznya saat pembelajaran. Namun Siti

Khusnul mengatakan bahwa ada sedikit perbedaan dengan yang disebutkan oleh Saefulloh, yaitu jika Saeful dan teman-teman lain tidak pernah membuka pelajaran lain ketika pelajaran tertentu sedang berjalan, lain dengan Siti Khusnul yang terkadang membuka pelajaran lain ketika sedang belajar. Contohnya seperti mengerjakan pelajaran Alquran pada saat jam pelajaran Fikih. Hal ini dilakukan jika ada tugas yang belum dikerjakan karena lupa. Namun hal itu tidak sering dilakukan serta dengan catatan ketika ditanya tentang pelajaran yang sedang berlangsung, dirinya harus paham dan bisa menjawab dengan benar.

Dalam kegiatan studi dokumentasi, penulis menemukan adanya kewajiban santri untuk selalu beretika yang baik seperti selalu mengucapkan salam ketika masuk ke dalam kelas, larangan membuat gaduh dalam kelas serta berkewajiban patuh terhadap segala perintah ustadz.

Sedangkan menurut kiai Khozinatul Asror, etika yang paling terlihat yang ditunjukkan santrinya dalam pembelajaran adalah perilaku tertibnya. Beliau mengatakan bahwa:

“Santri-santri disini baik putra maupun putri semuanya selalu datang ke majelis atau kelas lebih dulu sebelum ustadz itu datang. Selain itu disela waktu menunggu ustadz datang para santri mengisinya dengan membaca nadzom secara bersama. Kemudian ketika kegiatan belajar mengajar sudah dimulai, hampir tidak ada santri yang izin keluar kelas. Hal ini saya terapkan agar kegiatan belajar mengajar tidak terganggu”.

Selain dari pengakuan santri dan kiai Khozin di atas, penulis juga menjumpai etika santri terhadap ustadznya dalam pembelajaran yaitu adanya perhatian dan kepedulian yang cukup besar oleh santri terhadap ustadznya.

Seorang santri secara spontan menyiapkan tempat duduk dan segala peralatan pembelajaran kepada ustadznya. Selain adanya etika santri dalam pembelajaran, ada juga etika yang ditunjukkan oleh ustadz dalam pembelajaran. Menurut kiai Khozin, ada beberapa hal penting yang ia tunjukkan ketika dirinya mengajar. Hal-hal tersebut meliputi:

1. Selalu dalam keadaan suci ketika mengajar.

2. Memantapkan hati bahwa tugas mengajar murni Lillahi Ta’ala. 3. Selalu berdoa dan berzikir ketika berangkat menuju tempat

mengajar.

4. Mengucapkan salam ketika sampai di kelas.

5. Memposisikan diri di tempat yang strategis ketika mengajar agar apa yang disampaikan dapat diterima oleh semua santri dengan baik.

6. Menampakkan wajah yang santai dan penuh senyum. 7. Berdoa dan tawasul terlebih dahulu sebelum belajar dimulai. 8. Selalu menggunakan bahasa yang sederhana dengan gaya

mengajar yang lucu agar anak paham dan tidak bosan. j. Memberikan beberapa aturan agar suasana di kelas tetap tenang dan santri dapat belajar dengan fokus.

9. Berusaha menjawab pertanyaan santri dengan jawaban yang sederhana dan mudah dipahami serta menunda dan mengulas kembali jawaban dari pertanyaan santri di pertemuan yang akan datang agar santri puas.

10. Bersikap santun dan ramah kepada semua santri dalam mengajar, terlebih kepada santri yang baru agar santri tersebut merasa nyaman.

11. Selalu memberikan motivasi berupa pujian bahkan hadiah terhadap santri yang berprestasi sebagai wujud apresiasi dan bentuk motivasi terhadap seluruh santri agar terus meningkatkan prestasinya.

Sedangkan menurut pengakuan salah satu santri bernama Abdul Munir, etika ustadz dalam pembelajaran yang paling dia ingat adalah dari segi perkataan dan sikap kerendahan hatinya. Abdul Munir mengatakan bahwa:

“Setiap akan memulai ngaji, pak kiai selalu mengajak seluruh santri membaca surah al-Fatihah, dan mengakhiri kegiatan belajar dengan mengucapkan Wallahua’lam bis-Shawab. Selain itu sikap kerendahan hati beliau membuat kita semua sebagai santri merasa hormat sekaligus nyaman ketika belajar.”

Selain Munir, sosok santri putri bernama Meliyah mengatakan bahwa etika ustadz dalam pembelajaran yang sering ditunjukkan ustadznya adalah perhatian terhadap santri-santri yang dididiknya dengan mengecek tulisan yang ditulis oleh santrinya, apakah sudah benar atau ada yang salah. Namun jika tidak dicek maka ia dan teman temannya tidak sungkan untuk menanyakan langsung kepada ustadz perihal tulisannya tersebut.

Selain berdasarkan hasil wawancara di atas, penulis juga mendapatkan data mengenai etika yang ditunjukkan ustadz dalam pembelajaran melalui hasil observasi, dimana seorang ustadz selalu memberikan kesempatan bertanya kepada santri agar santri menanyakan tentang materi yang belum dipahami, serta selalu menutup pengajaran dengan salam dan doa dengan diakhiri perkataan “Wallahu ‘alam bis-Shawab”.

2. Pemikiran KH.Hasyim Asy’ari Tentang Konsep Hubungan Antara