• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLEMENTASI KONSEP HUBUNGAN ANTARA USTADZ DENGAN SANTRI MENURUT KH. HASYIM ASY ARI DI PONDOK PESANTREN IKMALY GEDONGAN SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IMPLEMENTASI KONSEP HUBUNGAN ANTARA USTADZ DENGAN SANTRI MENURUT KH. HASYIM ASY ARI DI PONDOK PESANTREN IKMALY GEDONGAN SKRIPSI"

Copied!
170
0
0

Teks penuh

(1)

DI PONDOK PESANTREN IKMALY GEDONGAN

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat

untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd) pada Program Studi Pendidikan Agama Islam

Oleh :

MUHAMMAD FARIKHIN NIM. 2016.1.19.1.02247

FAKULTAS TARBIYAH INSTITUT AGAMA ISLAM IAI BUNGA BANGSA CIREBON

(2)

I ABSTRAK

MUHAMMAD FARIKHIN. NIM. 2016.1.19.1.02247 : IMPLEMENTASI KONSEP HUBUNGAN ANTARA USTADZ DENGAN SANTRI MENURUT KH. HASYIM ASY’ARI DI PONDOK PESANTREN IKMALY GEDONGAN

Skripsi ini dilatar belakangi oleh dekadensi moral dalam dunia pendidikan dewasa ini mencerminkan masih tingginya krisis etika. Dalam rangka memperbaiki kondisi moral serta untuk membangun karakter bangsa yang beradab maka harus pula dilakukan pembenahan dan perbaikan akhlak baik bagi pendidik maupun peserta didik.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui implementasi konsep hubungan antara santri dengan ustadz menurut K.H. Hasyim Asy‟ari dalam kitabnya yang berjudul Adabul ‘Alim wa al-Muta’allim di Pondok Pesantren Ikmaly Gedongan.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian studi lapangan dengan metode pemaparan deskriptif. Pengumpulan data dilakukan melalui kegiatan pengamatan, wawancara, dan studi dokumen, selanjutnya hasil penelitian dipaparkan berupa data deskriptif berupa kata-kata dan tidak menggunakan perhitungan angka (statistik)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsep hubungan antara ustadz dan santri menurut KH.Hasyim Asy’ari dibangun atas dasar penghormatan dan kepatuhan dari santri terhadap ustadznya dan dasar kasih sayang yang tulus dari ustadz terhadap santrinya. Kedua hal tersebut dapat diimplementasikan dalam bentuk etika santri terhadap ustadz, etika ustadz terhadap santri, dan etika santri dan ustadz dalam pembelajaran.

Adapun mengenai implementasinya di Pondok Pesantren Ikmaly Gedongan telah berjalan dengan baik. Hal ini terlihat dari santri yang selalu taat, patuh dan hormat kepada ustadz, baik dalam pembelajaran maupun diluar pembelajaran. Sedangkan ustadz selalu bersikap kasih sayang, lembut, dan adil terhadap santri dan selalu menampakkan wajah yang berseri ketika mengajar.

Kata Kunci : Hubungan Ustadz Dengan Santri, Kitab Adabul ‘Alim Wa Al-Muta’allim, Pondok Pesantren Ikmaly Gedongan

(3)

II ABSTRACT

MUHAMMAD FARIKHIN. NIM 2016.1.19.1.02247: IMPLEMENTATION OF THE CONCEPT OF RELATIONSHIP BETWEEN USTADZ AND SANTRI ACCORDING TO KH. HASYIM ASY’ARI IN PONDOK PESANTREN IKMALY GEDONGAN

This thesis is motivated by moral decadence in the world of education today reflecting the still high ethical crisis. In order to improve moral conditions and to develop the character of a civilized nation, reform must be made and moral improvements for both educators and students.

The purpose of this study was to determine the implementation of the concept of the relationship between students and religious teachers according to K.H. Hasyim Ash'ari in his book entitled Adabul ‘Alim wa al -Muta’allim at the Ikmaly Gedongan Islamic Boarding School.

This study uses a qualitative approach to the type of field study research with descriptive exposure methods. Data collection is done through observation, interviews, and document studies, then the research results are presented in the form of descriptive data in the form of words and do not use numerical calculations (statistics)

The results showed that the concept of the relationship between the cleric and the santri according to KH.Hasyim Asy'ari was built on the basis of respect and obedience of the santri to his teacher and the basis of sincere affection from the teacher to his students. Both of these can be implemented in the form of santri ethics towards the cleric, the ethics of the cleric against the santri, and the ethics of the santri and the cleric in learning.

As for its implementation at the Ikmaly Gedongan Islamic Boarding School, it has been going well. This can be seen from students who are always obedient, obedient and respectful to religious teachers, both in learning and outside of learning. Whereas the cleric always acts affectionately, gently, and fairly towards students and always shows a radiant face when teaching.

Keywords : Ustadz Relationship with Santri, Book Adabul ‘Alim Wa al-Muta’allim, Ikmaly Gedongan Islamic Boarding School

(4)

III

PERSETUJUAN

IMPLEMENTASI KONSEP HUBUNGAN ANTARA USTADZ DENGAN SANTRI MENURUT KH. HASYIM ASY’ARI DI

PONDOK PESANTREN IKMALY GEDONGAN

Oleh :

MUHAMMAD FARIKHIN NIM. 2016.1.19.1.02247

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr.Mumun Munawaroh, M.Si NIDN. 2022127001

Drs.Somantri, M.Pd.I NIDN.2106036301

(5)

IV NOTA DINAS

Kepada Yth.

Dekan Fakultas Tarbiyah IAI Bunga Bangsa Cirebon di

Cirebon

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Setelah melakukan bimbingan, telaah, arahan dan koreksi terhadap penulisan skripsi dari Muhammad Farikhin Nomor Induk Mahasiswa 2016.1.19.1.02247, yang berjudul “Implementasi Konsep Hubungan Antara Ustadz Dengan Santri Menurut KH. Hasyim Asy’ari di Pondok Pesantren Ikmaly Gedongan.” Bahwa skripsi tersebut sudah dapat diajukan kepada Dekan Fakultas Tarbiyah untuk dimunaqosahkan.

Wa’alaikumsalam Wr. Wb

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr.Mumun Munawaroh, M.Si NIDN. 2022127001

Drs.Somantri, M.Pd.I NIDN.2106036301

(6)
(7)

VI

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, Tuhan semesta alam yang telah memberikan petunjuk dan kekuatan serta nikmat dengan izin-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Implementasi Konsep Hubungan Antara Ustadz Dengan Santri Menurut KH. Hasyim Asy’ari di Pondok Pesantren Ikmaly Gedongan”. Tak lupa shalawat dan salam penulis sampaikan kepada Nabi besar Muhammad SAW sebagai pembawa risalah dan Revolusioner dunia juga pada para sahabat dan pengikutnya. Skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan dalam meraih gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd) pada Jurusan Pendidikan Agama Islam di Institut Agama Islam Bunga Bangsa Cirebon. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis memperoleh banyak dukungan dan saran dari berbagai pihak, sehingga dengan segala kerendahan hati ucapan terima kasih penulis sampaikan dengan tulus dan sebesar-besarnya kepada:

1. Rektor Institut Agama Islam Bunga Bangsa Cirebon Dr. H. Oman Fathurrohman, MA.

2. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Institut Agama Islam Bunga Bangsa Cirebon Drs. Sulaiman, M.MPd.

3. Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam, yang selalu memberikan kemudahan dalam setiap kebijakan yang diberikan selama penulis menjadi mahasiswa di jurusan PAI.

4. Dr.Mumun Munawaroh, M.Si dan Drs.Somantri, M.Pd.I selaku dosen Pembimbing Skripsiyang selalu sabar membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Dosen-dosen civitas academica Jurusan Pendidikan Agam Islam Institut Agama Islam Bunga Bangsa Cirebon yang telah membimbing penulis dari awal masuk hingga bisa menyelesaikan skripsi ini dan Staf-staf/Karyawan yang membantu proses administrasi penulis . 6. Keluarga besar penulis, Ayahanda tercinta Abdul Manap dan Ibunda

(8)

VII

biasa,bantuan baik materil maupun moril, nasehat dan doa tak pernah henti sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

7. Teman-teman “Poros Kantin” yang selalu menemani dalam perjuangan penulis menempuh pendidikan di kampus tercinta.

8. Keluarga besar PAI 2016, terkhusus teman kelas PAI A yang selalu mendukung semua kegiatan yang penulis lakukan dan telah bekerja sama dengan baik dalam pembelajaran dan kegiatan lainnya.

9. Semua pihak yang penulis tidak bisa sebutkan satu-persatu terima kasih atas bantuannya dalam penyusunan skripsi ini.

Demikian ucapan terima kasih penulis sampaikan. Penulis hanya bisa berdo‟a semoga bantuan dan bimbingan dari semua pihak dapat diterima oleh Allah SWT sebagai amal ibadah yang bisa menolong di hari kiamat kelak. Aamiin.

Akhir kata, Tak ada gading yang tak retak, dalam istilah peribahasa Indonesia. No body is perfect because the man is not angel, dalam istilah bahasa Inggris. Penulis pun menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini selanjutya. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat dijadikan rujukan penyusunan skripsi selanjutnya.

(9)

VIII

DAFTAR RIWAYAT HIDUP Idsentitas diri

Nama : Muhammad Farikhin

NIM : 2016.1.19.1.02247

Tempat Tanggal Lahir : Cirebon, 07 Januari 1994

Alamat : Ds. Kalipasung Rt/Rw 003/008 Dusun 04 Kec. Gebang Kab. Cirebon

Nama Ayah : Abdul Manap Nama Ibu : Siti Kamilatun

Alamat Email : [email protected] Riwayat Pendidikan

1. SDN 1 Kalipasung

2. Madrasah Dinyah Awaliyah An-Nidzomiyah Pondok Pesantren Gedongan

3. Madrasah Tsanawiyah An-Nidzomiyah Pondok Pesantren Gedongan Pengalaman Organisasi

1. Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) 2. Himpunan Mahasiswa PAI

(10)

IX DAFTAR ISI

COVER

ABSTRAK (BAHASA INDONESIA) ABSTRAK (BAHASA INGGRIS)

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING NOTA DINAS

LEMBAR PENGESAHAN SIDANG MUNAQOSAH LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN

DAFTAR RIWAYAT HIDUP KATA PENGANTAR

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Fokus Penelitian ... 8

C. Rumusan Masalah ... 8

D. Tujuan Penelitian ... 9

E. Manfaat Penelitian ... 9

BAB I KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Pustaka ... 11

B. Kerangka Teoritik ... 13

1. Riwayat Hidup KH. Hasyim Asy’ari ... 13

2. Riwayat Pendidikan KH. Hasyim Asy’ari ... 15

3. Karya-karya KH. Hasyim Asy’ari ... 17

4. Pengertian Guru (Ustadz) ... 19

5. Pengertian murid (Santri) ... 24

(11)

X

7. Pengertian Etika ... 28

8. Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari Tentang Hubungan Guru Dan Murid ... 30

a. Adab Guru terhadap Diri Sendiri ... 31

b. Adab Guru terhadap Pelajaran ... 34

c. Adab Guru terhadap Murid ... 36

d. Adab Murid terhadap Diri Sendiri ... 38

e. Adab Murid terhadap Guru ... 40

f. Adab murid terhadap pelajaran ... 41

9. Sejarah Berdirinya Pondok Pesantren Ikmaly Gedongan ... 42

10.Tujuan Pondok Pesantren Ikmaly Gedongan ... 43

11.Kurikulum Pondok Pesantren Ikmaly Gedongan ... 44

12.Pembelajaran Kitab Adabul ‘Alim wa al-Muta’allim di Pondok Pesantren Ikmaly Gedongan ... 48

C. Kerangka Berfikir ... 50

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian ... 53

B. Desain Penelitian ... 54

C. Data dan Sumber Data Penelitian ... 55

D. Teknik Pengumpulan Data ... 56

E. Pemeriksaan Keabsahan Data ... 73

1. Kredibilitas ... 73

2. Transferabilitas ... 76

3. Dependabilitas ... 76

4. Konfirmabilitas ... 77

F. Teknik Analisis Data ... 77

BAB IV PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil penelitian ... 80

1. Implementasi Konsep Hubungan Antara Ustadz Dengan Santri di Pondok Pesantren Ikmaly Gedongan ... 80

a. Etika Santri Terhadap Ustadz ... 81

(12)

XI

c. Etika Santri dan Ustadz dalam Pembelajaran ... 87

2. Pemikiran KH.Hasyim Asy’ari Tentang Konsep Hubungan Antara Ustadz Dengan Santri ... 90

3. Analisis Implementasi Konsep Hubungan Antara Ustadz Dengan Santri Menurut K.H. Hasyim Asy’ari di Pondok Pesantren Ikmaly Gedongan ... 96

a. Analisis Etika Santri Terhadap Ustadz ... 96

b. Analisi Etika Ustadz Kepada Santri ... 97

c. Analisis Etika Santri Dalam Pembelajaran ... 99

d. Analisis Etika Ustadz Dalam Pembelajaran ... 100

B. Pembahasan ... 102

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 103

B. Saran ... 104 DAFTAR PUSTAKA

(13)

1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah

Pendidikan selama beberapa dekade belakang ini hanya bertumpu pada beberapa aspek intelektualitas. Hal ini tampak dari beberapa kasus remaja yang diangkat oleh media masa ataupun media elektronik, seperti tawuran antar siswa, kecurangan dalam pelaksanaan UN, pelajar menggunakan narkoba, dan pergaulan bebas (Darmadi, 2018). Ini merupakan contoh dari sederet fenomena internal siswa. Lalu apa yang menyebabkan siswa melakukan hal tersebut? Padahal proses pendidikan harusnya dijalankan dengan etika yang baik dan benar.

Ilmu pengetahuan seperti kimia, fisika, akuntansi, hukum adalah ibarat pedang yang bisa membinasakan jika ilmu tersebut dikuasai tanpa dibekali karakter yang baik, yang terjadi adalah bencana yang menyengsarakan rakyat dan kekacauan publik (Darmadi, 2018). Maka berbicara pendidikan bukan saja berbicara dari sisi penanaman nilai yang baik melalui pembelajaran tetapi juga berbicara dari sisi penerapan etika baik kepada pendidik maupun peserta didik.

Selain fenomena internal siswa, juga terdapat diluar lembaga pendidikan. Diantaranya pandangan masyarakat terhadap pendidikan, dari yang semula pendidikan sebagai upaya membangun kebudayaan dan peradaban dengan cara memberdayakan manusia dengan potensi daya cipta rasa dan karsa, menjadi pendidikan sebagai jembatan agar orang mendapatkan pekerjaan dan kehidupan ekonomi yang layak (Nata, 2019). Anggapan masyarakat yang mengatakan bahwasanya anak disekolahkan adalah untuk mencari pekerjaan dan mendapatkan kehidupan yang lebih baik dari orang tuanya. Sehingga, paradigma pendidikan materalistis lebih dominan ditengah-tengah masyarakat, sekarang ini hanya mempromosikan daya rasional saintifik dan keterampilan praktis belaka. Akibatnya, anak-anak tidak lagi menghargai serta tidak memiliki pengetahuan tentang realitas yang lebih tinggi, yang terjadi siswa tidak peduli akan pelajaran (ilmu) yang

(14)

diajarkan oleh guru, yang penting ketika lulus dia mendapatkan ijazah, pekerjaan dan materi yang layak. Dalam konteks materialistis seperti ini, pengetahuan hanya dianggap bernilai jika memiliki kegunaan pragmatis (Bagir, 2019).

Selain anggapan bahwa ilmu dipelajari hanya sebagai batu loncatan yang digunakan untuk mencari pekerjaan. Hal ini terkadang diperburuk oleh anggapan masyarakat yang melihat secara nyata bahwa banyak orang yang berilmu tapi tidak mempunyai kehidupan yang layak. Layak disini diartikan mempunyai uang yang banyak. Anggapan seperti itu yang pada akhirnya membuat anak enggan bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu, anak akhirnya lebih suka dengan kehidupan yang matrealistis. Manakala proses pendidikan dilakukan hanya sekedar memenuhi kewajiban formal menghasilkan ijazah dan penyedia lapangan kerja, maka lembaga pendidikan ibarat pabrik atau mesin pembuat tenaga-tenaga siap pakai dipasar kerja.

Pendidikan yang hanya berorientasi pada kecerdasan intelektual belaka (intellectual minded) sudah sangat pasti melahirkan generasi yang berorientasi pada duniawi. Maka tidak heran jika masih banyak koruptor yang berkeliaran di negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam ini. Padahal sebagaimana termaktub dalam Al-qur’an, Allah selalu menargetkan kondisi makarim al-akhlaq (akhlak terpuji) dalam pencapaian target pendidikan (Farida, 2016).

Ada banyak ayat Al-qur’an dan hadits yang membahas pencapaian akhlak terpuji ini, diantaranya;

َكَّنِإَو

ىَلَعَل

ٍقُلُخ

ٍميِظَع

“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” Surah Al-Qalam 4

(15)

َل

ْدَق

َناَك

ْمُكَل

يِف

ُسَر

ِلو

ِهَّللا

ٌةَوْسُأ

ٌةَنَسَح

نَمِّل

َناَك

وُجْرَي

َهَّللا

َمْوَيْلاَو

َرِخآْلا

َرَكَذَو

َهَّللا

اًيرِثَك

"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. Surah Al-Ahzab 21

اًقاَلْخَأ ْمُكُنَسْحَأ ِةَماَيِقْلا َمْوَي اًسِلْجَم يِّنِم ْمُكِبَرْقَأَو َّيَلِإ ْمُكِّبِحَأ ْنِم َّنِإ

“Sesungguhnya di antara orang-orang yang paling aku cintai dan paling dekat tempat duduknya pada hari kiamat denganku yaitu orang-orang yang paling baik akhlaknya.” (HR. Tirmidzi)

Aspek penting dalam metode belajar diantara aspek-aspek lainnya adalah bagaimana menjalin hubungan kebersamaan yang baik antara pihak pendidik dan peserta didik. Membina relasi etis antara guru dan murid merupakan hal yang tidak mudah untuk dilakukan dan memerlukan suatu seni yang lahir dari motivasi dan karakter murid. Jika ia gagal memainkan seni ini, maka sulit baginya untuk berhasil dalam belajar (Nirwana, 2014). Guru sangat identik dengan peran mendidik seperti membimbing, membina, mengasuh, ataupun mengajar. Ibaratnya seperti sebuah contoh lukisan yang akan dipelajari oleh anak didiknya. Baik buruk hasil lukisan tersebut bergantung pada contoh yang diberikan sang guru sebagai sosok yang digugu dan ditiru. Melihat peran tersebut, sudah menjadi kemutlakan bahwa guru harus memiliki integritas dan kepribadian yang baik dan benar. Hal ini sangat mendasar karena tugas guru bukan hanya mengajar tetapi juga menanamkan nilai-nilai dasar pengembangan karakter siswa (Suyanto & Jihad, 2013).

(16)

Dewasa ini, kepribadian dari seorang guru juga masih menempati posisi yang penting, namun fenomena yang terjadi dalam masyarakat khususnya yang terkait dengan kepribadian seorang guru, ternyata masih terdapat guru yang memiliki kepribadian yang tidak pantas. Dalam media masa sering diberitakan tentang oknum guru yang melakukan tindakan tidak senonoh, baik tindakan asusila maupun tindakan amoral. Tidak ironis jika itu terjadi di masyarakat bukan di wilayah pendidikan, meskipun seharusnya juga tidak boleh terjadi. Namun kenyataannya kasus seperti itu terjadi pula di dunia pendidikan dengan pelaku guru dan korbannya peserta didik. Peristiwa demikian ini sebagaimana diberitakan oleh berbagai media antara lain (1) Kasus Pencabulan oleh oknum guru Berinisial A (51 tahun) yang cabuli 9 muridnya di gudang sekolah, guru sekolah dasar ini berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN) di Mesuji Makmur, Ogan Komering Ilir ( OKI), Sumatera Selatan(Sumsel) (Budi, 2019). ( 2) Kasus penganiayaan guru terhadap muridnya yang belum lama ini terjadi di Lumajang, Jawa Timur yaitu pada bulan Juli 2019, Oknum guru tersebut merupakan salah satu pengajar di SMP Muhammadiyah Jatiroto Kecamatan Jatiroto, Lumajang berinisial HWP (45 tahun) terhadap MF (15 tahun) (Wismabrata, 2019). (3) Kasus oknum guru SD Negeri Cempedak Lobang, Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara yang menghukum siswanya menjilat kloset kamar mandi lantaran tidak membawa tanah subur atau pupuk yang merupakan tugas dari guru (Erlangga, 2018).

Kasus-kasus di atas hanyalah contoh dari beberapa kasus yang terjadi, yang penulis percaya masih banyak lagi yang mungkin tidak sempat terekam oleh media atau tidak dilaporkan ke aparat penegak hukum. Namun dari contoh kasus ini yang sangat memperihatinkan dan harus menjadi perhatian bahwa pelakunya adalah guru yang seharusnya bisa menjadi suri tauladan bagi peserta didiknya dan juga masyarakat secara umum.

Hal demikian ini seharusnya tidak terjadi, mengingat peran guru sebagai pembentuk karakter penerus bangsa, dan guru merupakan

(17)

sosok yang membimbing dan mendidik anak/murid selain orang tua dengan memberikan ilmu pengetahuan dan wawasan yang luas dibarengi oleh sikap yang tegas dan lugas dalam mendidik. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 Angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2017 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 Tentang Guru. Profesionalitas guru diatur dalam Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, profesi guru dan profesi dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip sebagai berikut:

a. Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme. b. Memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan,

keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia;

c. Kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas;

d. Memiliki kompetensi yang diperlukan. sesuai dengan bidang tugas;

e. Memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan; f. Memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi

kerja;

g. Memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat;

h. Memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan; dan

i. Memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru.

Namun pada kenyataannya bisa dikatakan masih ada beberapa oknum guru yang tidak memiliki profesionalisme, karena melakukan tindak pidana terhadap peserta didik. Akibat dari perbuatan guru ini menimbulkan luka psychis bagi korban, dan menghancurkan masa depan yang bersangkutan bahkan apabila kondisi guru mayoritas

(18)

demikian, future generation akan hancur atau mencetak generasi bangsa yang tak bermoral (Setiawan, 2018).

Padahal pendidikan merupakan salah satu aspek sangat penting untuk membentuk generasi yang siap mengganti tongkat estafet generasi tua dalam rangka membangun masa depan.

Pendidikan adalah kebutuhan manusia untuk mendapatkan hidup yang bermakna dan berkualitas, hal ini dapat kita pahami dari tujuan pendidikan yang tertera dalam UU Sisdiknas No.20 tahun 2003 Bab II Pasal 3 dinyatakan “Pendidikan Nasional berfungsi menegembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Berakhlak, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab.

Agar terwujudnya tujuan pendidikan ini tentu banyak hal yang perlu diperhatikan baik pada pendidik maupun peserta didik. Salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam proses pendidikan ini adalah masalah etika.

Di dalam perspektif pendidikan Islam, baik dalam tataran idealitas-konseptualistik maupun realitas historis-implementatifnya, guru dan murid sebagai komponen utama pendidikan harus memiliki karakter yang baik, atau harus beradab Islami dalam istilah agamanya. Guru harus menjadi guru yang berkarakter dan para murid juga harus menjadi murid yang berkarakter. Tidak hanya dengan bersandarkan kepada nilai-nilai umum yang berlaku universal, bahkan harus berlandaskan kepada ajaran agama Islam secara idealistik (Maya, 2017). Tradisi intelektual Islam menempatkan etika akademis pada posisi yang sangat tinggi, sehingga dalam karya-karya Islam klasik, tidak jarang ditemukan pernyataan yang menggandengkan ilmu dan etika seolah-olah dua sisi dari sebuah koin, kebermaknaan yang satu

(19)

tergantung pada yang lainnya, artinya etika dan ilmu adalah satu kesatuan yang saling berkaitan dan tak dapat dipisahkan.

Pengutamaan akhlak atau aspek batiniyah sebagai tujuan pendidikan ini tidak bermaksud mengesampingkan aspek aqliyah (intelektual) juga aspek jasmaniyah atau lahiriyah, karena pendidikan harus senantiasa singkron dan berkesinambungan serta adanya korelasi antara aspek kognitif, afektif dan psikomotorik atau pendidikan senantiasa mengacu pada perkembangan pengetahuan, keterampilan, dan akhlak (Hidayatullah, 2015).

Etika akademis tersebut dianggap sedemikian relevan hingga mendorong para ulama menulis buku-buku khusus, yang berdasarkan kuantitas maupun karakteristiknya. Dalam kaitannya dengan etika pendidikan Islam, salah satu pemikir pendidikan Islam sekaligus tokoh ulama Nusantara yang mencurahkan perhatiannya yang sangat besar terhadap pendidikan karakter dan proses internalisasinya, adalah KH. Hasyim Asy’ari berdasarkan landasan adab Islami yang agung dalam kitabnya, Adabul ‘Alim Walmuta’allim (Maya, 2017). Kitab ini secara khusus membahas dengan cukup rinci tentang etika seorang pendidik (`alim) dan etika seorang peserta didik (muta`allim). Kitab ini disusun pada tahun 1923 M/1343 H ketika telah mulai tampak perubahan-perubahan yang membawa efek negatif dalam pendidikan Islam terutama dampaknya pada masalah akhlak. Pendidik Islam harus menyadari bahwa masalah etika menjadi kajian yang cukup serius karena dewasa ini dunia pendidikan banyak terkontaminasi oleh pembaruan nilai-nilai (akulturasi sistem nilai dan budaya) yang semakin terbuka dan sulit dibendung (Haryanti, 2013).

KH. Hasyim Asy’ari dalam perkembangannya, banyak mengadopsi pendidikan Islam klasik, yang banyak mengedepankan aspek-aspek normatif, tradisi belajar-mengajar, dan etika dalam belajar. Semua itu didasari oleh pandangannya bahwa aspek-aspek itulah yang telah mengantarkan umat Islam kepada zaman keemasannya dulu. Percikan pemikiran KH. Hasyim Asy’ari dalam

(20)

bidang pedidikan ini banyak dipengaruhi oleh tradisi pendidikan Islam klasik juga pemikiran ulama-ulama terkemuka masa klasik,seperti Imam al-Ghazali dan Az-Zarnuji (Hadi, 2018).

Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari tentang hubungan etis antara guru dan murid merupakan khazanah keilmuan Islam yang seharusnya diwariskan dan dipelajari oleh generasi muslim, khususnya bagi kalangan santri di pondok pesantren. Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari dapat dijadikan rujukan dalam rangka memecahkan problematika pendidikan saat ini, khususnya tentang pendidikan akhlak. Oleh karena itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Implementasi Konsep Hubungan Antara Ustadz Dengan Santri Menurut KH. Hasyim Asy’ari di Pondok Pesantren Ikmaly Gedongan”.

2. Fokus Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, terkait fenomena-fenomena negative dalam dunia pendidikan seperti yang sudah disebutkan,seperti : (1) Masalah dekadensi moral siswa yang mencoreng kredibilitas dan kewibawaan dunia pendidikan. (2) Masalah perilaku yang tidak elok dilakukan oleh oknum guru. (3) Kurangnya keselarasan hubungan antara guru dan murid. (4) Kurangnya etika guru dan murid dalam proses pembelajaran. Maka peneliti memfokuskan Implementasi Konsep Hubungan Antara Ustadz Dengan Santri Menurut KH. Hasyim Asy’ari

3. Rumusan Masalah Penelitian

Untuk menghindari adanya penyimpangan dalam pembahasan ini, dan agar tidak keluar dari judul, maka tulisan ini perlu dibatasi pada:

1. Bagaimana implementasi konsep hubungan antara ustadz dengan santri menurut KH. Hasyim As’ari di Pondok Pesantren Ikmaly Gedongan Kecamatan Pengenan Kabupaten Cirebon?

(21)

2. Bagaimana hasil deskripsi-analitis mengenai pemikiran KH.Hasyim Asy’ari tentang konsep hubungan antara ustadz dengan santri ?

3. Bagaimana hasil analisis yang diperoleh dari implementasi konsep hubungan antara ustadz dengan santri menurut KH. Hasyim As’ari di Pondok Pesantren Ikmaly Gedongan Kecamatan Pengenan Kabupaten Cirebon?

4. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah, untuk: 1. Mengetahui implementasi konsep hubungan antara ustadz dengan

santri menurut KH. Hasyim As’ari di Pondok Pesantren Ikmaly Gedongan Kecamatan Pengenan Kabupaten Cirebon.

2. Memberikan deskripsi-analitis mengenai pemikiran KH.Hasyim Asy’ari tentang konsep hubungan antara ustadz dengan santri. 3. Mengetahui hasil analisis dari implementasi konsep hubungan

antara ustadz dengan santri menurut KH. Hasyim As’ari di Pondok Pesantren Ikmaly Gedongan Kecamatan Pengenan Kabupaten Cirebon

5. Manfaat Penelitian

Sesuai dengan tujuan penelitian, maka diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun secara praktis. 1. ManfaatTeoretis

Manfaat hasil penelitian diharapkan dapat digunakan untuk pemenuhan hajat hidup manusia, khususnya berkenaan dengan aspek pendidikan.

a. Penelitian ini diharapkan dapat menjawab permasalahan permasalahan yang terkait dengan hubungan guru dan murid secara komperhensif dengan menggunakan data-data yang shahih dalam kitab Adabul ’alim wa al-Muta’allim karya KH.Hasyim Asy’ari. b. Untuk mengembangkan apresiasi terhadap pemikiran pakar

pendidikan sebagai wujud kebebasan berpikir dan berpendapat dalam entitas kehidupan Muslim.

(22)

c. Untuk dijadikan salah satu bahan rujukan dalam proses penataan kehidupan manusia yang semakin pelik dan majemuk, dengan cara mencari titik temu dari aneka ragam pemikiran yang dapat diaplikasikan, di antaranya bagi pengembangan pendidikan nasional.

d. Untuk memberikan sumbangan khazanah ilmu pengetahuan khususnya dalam Pendidikan Agama Islam yang berkaitan tentang akhak.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian berguna untuk mengembangkan pengetahuan ilmiah di bidang pendidikan. Hal ini mencakup:

a. Untuk mengembangkan pengetahuan yang ada dalam kitab Adabul ‘Alim Walmuta’allim yang nantinya diharapkan dapat di transfer dalam dunia Pendidikan Agama Islam di Indonesia.

b. Untuk ditransfer ke dalam kegiatan pembelajaran sehingga para mahasiswa akan memperoleh informasi yang mutakhir tentang pemikiran pakar pendidikan, yang pada ujungnya dapat mendorong peneliti untuk mengembangkan potensi berpikir kreatif sebagaimana dilakukan oleh pakar pendidikan yang ditelitinya.

c. Menambah perbendaraan referensi di perpustakaan Institut Agama Islam Bunga Bangsa Cirebon terutama fakultas tarbiyah jurusan Pendidikan Agama Islam.

d. Untuk dijadikan titik tolak bagi penelitian pemikiran pakar pendidikan lebih lanjut, baik oleh penulis maupun oleh peneliti lain, sehingga kegiatan penelitian dapat dilakukan secara berkesinambungan.

(23)

11 BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Pustaka

Sepanjang penelusuran literatur kepustakaan yang dapat penulis lakukan, terkait dengan tema bahasan, tokoh dan kitab edukatifnya ditemukan sebuah penelitian ilmiah-akademik yang mirip dengan penelitian penulis, yaitu :

Pertama, skripsi yang ditulis oleh Rini Yulianti mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam UIN Raden Intan Lampung tahun 2017 dengan judul penelitian “Hubungan Guru Dan Murid Menurut KH. Hasyim Asy’ari dan Implementasinya dalam Tradisi Pembelajaran di Pondok Pesantren Nurul Hikmah.” Menyimpulkan bahwa: Konsep hubungan ustadz dan santri dalam pembelajaran menurut KH. Hasyim Asy’ari meliputi etika santri terhadap ustadz, etika ustadz terhadap santri, dan etika keduanya dalam pembelajaran. Adapun implementasi pemikiran KH Hasyim Asy’ari dalam kitabnya Adabul Alim wa al Muta’alim dalam pembelajaran di pondok pesantren Nurul Hikmah Lampung Timur telah dilaksanakan dengan baik sehingga ustadz dan santri di pondok tersebut memiliki hubungan yang baik dan erat.

Walaupun memiliki kesamaan tokoh dan kitabnya serta tema utama yang terkait dengan guru dan murid, namun terdapat beberapa hal yang berbeda. Perbedaan penelitian penulis dengan penelitian memiliki beberapa poin, yaitu. Pertama, dalam penelitian penulis dokumen yang didapat berupa daftar nama santri, daftar hukuman yang diberikan pihak pondok pesantren, dan daftar pelanggaran santri yang telah terjadi, dimana data-data tersebut dapat menjadi penguat dari hasil observasi dan wawancara dalam penelitian ini. Sedangkan pada penelitian Rini Yuliyanti hasil dokumentasi tidak mendukung teknik pengumpulan data yang lain (observasi dan wawancara) karena hanya sebatas foto peneliti dengan pengajar dan santri. Kedua, dalam teknik pengumpulan data, pada penelitian ini dibuat kisi-kisi/instrumen dari

(24)

tiap teknik pengumpulan data dan dibuat tabel hasil penelitian sehingga dapat dipahami dengan mudah. Sedangkan dalam peelitian Rini Yulianti tidak dibuat kisi-kisi/instrumen terlebih dahulu baik wawancara maupun observasinya, sehingga hasil wawancara dan observasi tidak di sebutkan secara rinci dalam bentuk tabel.

Kedua, skripsi yang ditulis oleh Rinda Khoirunnisfa mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam Institut Agama Islam Negeri Ponorogo 2019 dengan judul penelitian “ Etika guru menurut KH. Hasyim Asy’ari dan relevansinya dengan kode etik guru di Indonesia” menyimpulkan bahwa : dalam proses belajar mengajar Etika yang harus dimiliki guru menurut KH. Hasyim, yaitu bersikap muraqabah kepada Allah, sakinah, sebagai penasehat dan pembimbing, melaksanakan syariat Islam, memanfaatkan waktu luang untuk beribadah dan menyusun karya tulis, tidak menjadiakan ilmu media mencari tujuan duniawi, mendahulukan materi yang penting serta mengajar dengan memperhatiakan karakteristik dari masing-masing peserta didiknya, menyayangi semua murid dan memperbaiki niat untuk mencari ridha Allah. Relevansi etika guru menurut KH.Hasyim Asy’ari terhadap kode etik guru di dindonesia, yaitu memiliki relevansi baik etika guru terhadap dirinya sendiri, etika guru ketika akan mengajar dan etika guru terhadap murid.

Adapun perbedaan penelitian penulis dengan penelitian Rinda Khoirunnisfa, meskipun memiliki tokoh dan kitab yang sama namun terdapat perbedaan, yaitu : pada penelitian ini penulis membahas 3 pola hubungan guru dan murid secara lengkap yang terdiri dari etika murid terhadap guru, etika guru terhadap murid, serta etika murid dan guru dalam pembelajaran yang di implementasikan di 1 pondok pesantren. Sedangkan pada penelitian Rinda Khoirunnisfa hanya berfokus membahas tentang etika guru saja.

Ketiga, skripsi yang ditulis oleh Muhammad Mahfudz mahasiswa jurusan Ilmu Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang 2016 dengan judul penelitian “Etika Guru Dan Murid Dalam Tafsir Mafatihul Ghaib Karya Al-Razi (Studi Analisis Penafsiran Surat Al Kahfi Ayat 66-70)” yang menyimpulkan

(25)

bahwa : pemikiran al-Razi tentang etika guru dan murid dalam kontek kekinian sangatlah relevan dengan kontek saat ini yang mana seorang guru diharuskan: Orang yang ‘alim, mengetahui karakter dan kejiwaan seorang murid, sabar menghadapi murid karena seorang guru akan senantiasa menghadapi murid yang bermacam-macam, menyangi anak didiknya apapun yang terjadi, menguasai berbagai disiplin ilmu. Dan seorang murid yaitu: Mempunyai sifat tawadhu’, meminta izin kepada guru untuk diperbolehkan belajar dengannya, merasa lebih bodoh dari guru, meminta kepada guru agar bersedia mengajar sebagian ilmu, berkeyakinan bahwa Allah menganugrahkan ilmu yang lebih kepada guru Pasrah dan minta hidayah kepada Allah, bisa mensyukuri nikmat Allah dengan cara bersungguh-sungguh dalam dalam menuntut ilmu, patuh kepada guru secara mutlak bukan patuh karena hal-hal tertentu saja, khidman dan siap melayani guru dalam keadaan apapun, jangan meminta kepada guru selain ilmu.

Perbedaan penelitian penulis dengan penelitian Muhammad Mahfudz adalah penelitian penulis membahas tentang pola etika guru dan murid secara lengkap yang menitik beratkan pada perspektif pemikiran KH. Hasyim Asy’ari. Sedangkan penelitian Muhammad Mahfudz membahas perspektif Razi dalam tafsirnya Mafatihul al-Ghaib.

B. Kerangka Teoretik

a. Riwayat hidup KH. Hasyim Asy’ari

KH. Hasyim Asy’ari lahir pada tanggal 24 Dzul Qa’dah 1287 H./14 Februari 1871 M. Di desa Gedang, ia diberi nama Muhammad Hasyim oleh orang tuanya, ia lahir dari keluarga elit kiai Jawa. Ayahnya Kiai Asy’ari, adalah pendiri pesantren di Jombang, sementara kakeknya, kiai usman, adalah kiai terkenal dan pendiri pesantren Gedang yang didirikan pada akhir abad ke-19. Selain itu moyangnya, kiai Sihah, adalah pendiri pesantren Tambakberas, Jombang. Wajar saja apabila KH. Hasyim Asy’ari menyerap ilmu-ilmu agama dari lingkungan pesantren keluarganya dan mendapatkan ilmu pengetahuan agama Islam dari lingkungannya tersebut (Khuluq, 2000).

(26)

Sampai umur lima tahun, beliau dalam asuhan orang tua dan kakeknya di Pesantren Gedang. Di pesantren ini, para santri mengamalkan ajaran agama Islam. Suasana ini tidak diragukan lagi memengaruhi karakter KH. Hasyim Asy’ari yang sederhana dan rajin belajar (Rahardjo, 1974). Oleh karena itu jelaslah bahwa kehidupan masa kecilnya dilingkungan pesantren berperan besar dalam pembentukan wataknya yang haus akan ilmu pengetahuan dan kepeduliannya pada pelaksanaan ajaran-ajaran agama dengan baik (Khuluq, 2000).

KH. Hasyim Asy’ari kemudian tumbuh menjadi ulama yang seluruh kehidupannya tidak bisa lepas dari pesantren. Pesanren Tebuireng Jombang sebagai salah satu pondok terbesar dan paling berpengaruh di Jombang Jawa Timur khususnya, merupakan pesantren yang didirikan oleh KH. Hasyim Asy’ari dan hingga saat ini masih bertahan dengan ribuan santri dari berbagai penjuru tanah air (Hadi, 2018).

KH. Hasyim Asy’ari merupakan salah seorang ulama paling terkemuka di republik ini. Jasanya sangat besar dalam membumikan pandangan keagamaan yang moderat, persaudaraan ditengah-tengah umat, dan kemerdekaan dari penjajahan. Sebab itu para ulama memberinya gelar Hadratussyaikh, yang artinya Mahaguru atau maha ulama. Bersama sejumlah ulama terkemuka lain, KH. Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdlatul Ulama (NU) pada tanggal 31 Januari 1926, sebagai tonggak gerakan moderat yang menggabungkan gagasan keummatan dengan ide kebangsaan (Misrawi, 2010).

KH. Hasyim Asy’ari wafat pada hari Jumat Pon tanggal 25 Juli 1947 Masehi atau bertepatan dengan 7 Ramadhan 1366 Hijriyah pada pagi hari menjelang Subuh. Beberapa saat sebelum wafat, KH. Hasyim Asy’ari mengalami pendarahan otak atau hersenbloeding setelah mendengarkan kabar terakhir dari Kyai Ghufran bersama dua orang utusan Bung Tomo tentang kekalahan Pasukan Sabilillah dan Hizbullah di Singosari Malang, sebagai pertahanan terakhir dari kedua pasukan tersebut, akibat serangan besar-besaran yang dilakukan

(27)

Belanda di bawah pimpinan Jenderal S.H. Spoor, yang menyebabkan jatuhnya banyak korban di pihak rakyat Indonesia (Mukani, 2015).

Jenazah KH. Hasyim Asy’ari kemudian dimakamkan pada siang harinya, hari itu juga, di kompleks pemakaman keluarga Pesantren Tebuireng. Atas jasa-jasa KH. Hasyim Asy’ari dalam mendukung kemerdekaan Republik Indonesia, baik secara langsung maupun tidak langsung, terutama resolusi jihad-nya tanggal 22 Oktober 1945 yang berisi bahwa perang melawan Belanda dikategorikan sebagai perang suci atau jihad dan pengharamannya terhadap kaum muslim yang menuaikan ibadah haji dengan menggunakan kapal milik Belanda, maka KH. Hasyim Asy’ari ditetapkan sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional (Arifin, 1993). Penetapan ini berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 249/1964 tanggal 17 Nopember 1964.

b. Riwayat pendidikan KH. Hasyim Asy’ari

KH. Hasyim Asy’ari adalah anak ketiga dari sepuluh bersaudara. Sampai usia sepuluh tahun, KH. Hasyim Asy’ari hidup dibawah bimbingan ayah dan kakeknya di Pesantren Gedang. Suasana pesantren yang tawadlu’ berpengaruh kuat pada diri KH. Hasyim Asy’ari untuk hidup sederhana dan rajin belajar. Pada 1876 ketika berusia enam tahun, ayahnya mendirikan Pesantren Keras di (sebuah desa) sebelah selatan Jombang. Peristiwa ini semakin meneguhkan Hasyim kecil untuk bertekat menyamai ayah dan kakeknya sebagai pendiri pesantren. Pengalaman ini membuat Hasyim tekun dan haus ilmu agama serta peduli terhadap ajaran agama. Hal tersebut tampak sekali ketika Hasyim kecil (berusia 13 tahun) telah menjadi guru pengganti (badal) di pesantren dengan mengajar santri-santri yang lebih tua darinya (Ahmad, 2010). Pendidikan awal beliau, sampai berumur 15 tahun, diperoleh dengan bimbingan ayahnya. Ia mendapat pelajaran dasar-dasar tauhid, fiqih, tafsir dan hadits. KH. Hasyim Asy’ari kemudian meneruskan studi ke beberapa pesantren di Jawa dan Madura, yaitu pesantren Wonokoyo (Probolinggo), pesantren Langitan (Tuban),

(28)

pesantren Trenggilis, pesantren Kademangan (Bangkalan,Madura), dan pesantren Siwalan Panji (Sidoarjo) (Khuluq, 2000).

KH. Hasyim Asy’ari kemudian pergi ke Hijaz untuk melanjutkan pendidikannya, selama tiga tahun ia ditemani oleh saudara iparnya, kiai Alwi yang kemudian menjadi pembantu terdekatnya sekaligus teman yang paling setia dalam mendirikan pesantren Tebuireng. Di Mekah, mula-mula KH. Hasyim Asy’ari belajar di bawaah bimbingan Syaikh Mahfudz Termas ulama Indonesia yang pertama mengajar Sahih Bukhari di Mekah. Syaikh Mahfudz adalah ahli dalam ilmu hadits. KH. Hasyim Asy’ari sangat tertarik dengan ilmu ini sehingga setelah kembali ke Indonesia, ia mendirikan pesantren yang terkenal dalam pengajaran hadits. KH. Hasyim Asy’ari juga mendapat ijazah untuk mengajarkan Shahih Bukhari dari Syaikh Mahfudz Tremas, pewaris terakhir pertalian penerima (sanad) hadits dari 23 generasi penerima karya ini (Arifin, 1993).

Pada Akhir perjalanan mencari ilmunya KH. Hasyim Asy’ari telah mahir dalam ilmu tauhid, fiqih, bahasa Arab, tafsir dan Hadits. Guru-guru KH. Hasyim Asy’ari antara lain, adalah KH. Mahfudz Tremas, Pacitan, Syaikh Yusuf Al-Batawi, Syaikh Nawawi Banten dan kiai Khalil Bangkalan Madura. Mereka merupakan sosok ulama yang dihormati pada masanya. KH. Hasyim Asy’ari mempelajari ilmu tarekat Qadiriah dan Naqsabandiyah dari Syaikh Mahfudz Tremas, yang belajar dari Syaikh Ahmad Khatib Sambas (dikenal dengan Syaikh Sambas, dari Kalimantan), seorang sufi yang menggabungkan aliran Qadiriah dan Naqsabandiyah (Ahmad, 2010). Selain itu KH. Hasyim Asy’ari juga belajar pada guru-guru “non-jawi” (Bukan dari Nusantara) seperti Syaikh Shata dan Syaikh Dagistani yang merupakan ulama-ulama terkenal pada masa itu. Oleh karena itu, bisa dianggap bahwa perkembangan intelektual KH. Hasyim Asy’ari juga didorong dan dpengaruhi oleh intelektual muslim internasional. Sehingga tidak heran bila banyak murid beliau kemudian menjadi ulama yang disegani (Khuluq, 2000).

(29)

c. Karya-karya KH. Hasyim Asy’ari

Semasa hidup KH. Hasyim Asy’ari merupakan salah satu ulama penulis yang produktif pada jamannya. Tulisan-tulisan tersebut berbahasa Arab dan Jawa, baik yang berkaitan dengan masalah sosial, politik, pendidikan, pertanian, ‘aqidah, fiqh, hadits, tashawuf maupun lainnya. Sebagian dari tulisan-tulisan tersebut sudah dicetak ulang dan bahkan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Mayoritas artikel atau risalah yang ditulis menunjukkan respon Hasyim Ash’ari terhadap problematika yang dihadapi masyarakat. Resolusi Jihad, sebagai studi kasus, menunjukkan upaya ijtihad KH. Hasyim Asy’ari yang sangat kreatif dan inovatif dalam membela kepentingan rakyat. Meski diakui semasa hidup KH. Hasyim Asy’ari tidak pernah menulis sebuah buku yang utuh dan tebal, tetapi berupa risalah yang membahas tema aktual dalam masyarakat (Mukani, 2015).

Di antara tulisan-tulisan KH. Hasyim Asy’ari tersebut adalah:

1. At-Tibyan fi al-Nahwy Muqatha’at al-Arham wa Aqarib wa al-ikhwan

Kitab ini selesai ditulis pada hari senin, 20 Syawal 1260 H dan kemudian diterbitkan oleh Muktabah al-Turats al-Islami, Pesantren Tebuireng. Kitab tersebut berisi penjelasan mengenai pentingnya membangun persaudaraan serta memberikan penjelasan akan bahayanya memutus tali persaudaraan atau silaturrahmi. 2. Muqaddimah al-Qanun al-Asasi li Jam’iyyat Nahdlatul Ulama

Kitab ini berisi tentang pemikiran KH. Hasyim Asy’ari, terutama yang berkaitan dengan NU. Dalam kitab tersebut, KH. Hasyim Asy’ari mengutip beberapa ayat dan hadits yang menjadi landasann ya dalam mendirikan NU. Bagi penggerak-penggerak NU, kitab tersebut barangkali dapat dikatakan sebagai bacaan wajib mereka.

3. Risalah fi Ta’kid al-Akhdzi bi Madzhab al-A’immah al-Arba’ah Dalam kitab ini KH. Hasyim Asy’ari tidak sekedar menjelaskan pemikiran empat imam madzhab, yakni Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan Imam Ahmad bin Hanbal.

(30)

Namun, ia juga memaparkan alasan-alasan kenapa pemikiran diantara keempat imam itu oatut kita jadikan rujukan.

4. Mawaidz

KH. Hasyim Asy’ari tidak hanya menulis kitab yang berhubungan dengan masalah perbedaan pandangan dalam beragama. Namun, ia juga menulis kitab yang berisi pemikiran-pemikirannya mengenai bagaimana seharusnya seseorang berperan dalam masyarakat. Kitab Mawaidz ini berisi penjelasan KH. Hasyim Asy’ari mengenai masalah tersebut dan dapat menjadi rujukan bagi pegiat di masyaraakat. Mengingat pentingnya kitab ini, Buya Hamka pernah menerjemahkannya da menerbitkan di majalah Panji Masyarakat edisi 1959.

5. Arba’ina Haditsan Tata’allaqu bi Mabadi’ Jam’iyyat Nahdlatil Ulama

Sebagaimana judulnya, kitab ini berisi empat puluh hadits pilihan yang sangat tepat dijadikan pedoman oleh warga NU. Hadits yang dipilih oleh KH. Hasyim Asy’ari terutama berkaitan dengan hadits-hadis yang menjelaskan pentingnya memegang prinsip dalam kehidupan yang penuh dengan rintangan dan hambatan ini.

6. Al-Nur al-Mubin fi Mahabbati Sayyid al-Mursalin

Kitab ini lebih tepatnya disebut sebagai karya KH. Hasyim Asy’ari tentang biografi singkat Nabi Muhammad Saw. Di dalamnya berisi penjelasan KH. Hasyim Asy’ari mengenai akhlaq Nabi. Tak hanya itu, di dalam kitab tersebut KH. Hasyim Asy’ari juga memberikan wejangan kepada umat tidak hanya menulis kitab Islam mengenai pentingnya mencintai baginda Nabi Muhammad Saw. Dengan membaca shalawat dan tentu saja mengikuti sunnah-sunnah beliau.

7. Al-Tanbihat al-Wajibat liman Yushra’ al-Maulid bi al-Munkarat KH. Hasyim Asy’ari tidak hanya menulis kitab tentang biografi Nabi Muhammad Saw. Dan penjelasan akan akhlak beliau serta keharusan mencintai dan membaca shalawat atas beliau. Namun, KH. Hasyim Asy’ari juga menulis kitab yang berisi

(31)

penjelasan tentang apa saja yang harus diperhatikan ketika seseorang hendak memperingati Maulidur Rasul.

8. Adab al-Alim wa al-Muta’allim fi ma yahtaju Ilaih al-Muta’allim fi Maqamati Ta’limihi

Pada dasarnya, kitab ini merupakan resume dari kitab Adab al-Mu’allim karya Syaikh Muhammad bin Sahnun, Ta’lim al -Muta’allim fi Thariqat al-Ta’allum karya Syaikh Burhanuddin az-Zarnuji, dan Tadzkirat al-Syaml wa al-Mutakallim fi Adab al-Alim wa al-Muta’allim karya Syaikh Ibnu Jama’ah. Meskipun merupakan bentuk resume dari kitab-kitab tersebut, tetapi dalam kitab tersebut kita dapat mengetahui betapa besar perhatian KH. Hasyim Asy’ari terhadap dunia pendidikan.

9. Risalah Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah fi Hadits al-Mauta wa Syuruth al-Sa’ah wa Bayani Mafhum al-Sunnah wa al-Bid’ah

Karya KH. Hasyim Asy’ari yang satu ini barngkali dapat diatakan sebagai kitab yang relevan untuk dikaji saat ini. Hal tersebut karena di dalamnya banyak membahas tentang bagaimana sebenarnya penegasan antara sunnah dan bid’ah. Secara tidak langsung, kitab tersebut banyak membahas persoalan-persoalan di kemudian hari. Terutama saat ini.

Dari beberapa karya KH. Hasyim Asy’ari tersebut, kita dapat menyimpulkan betapa besar dan luasnya perhatian KH. Hasyim Asy’ari terhadap agama serta betapa mendalam pengetahuannya dibidang tersebut, karya-karya KH. Hasyim Asy’ari itu menjadi bukti tak terbantahkan betapa ia memang merupakan seorang ulama dan mujtahid yang telah banyak menghasilkan berbagai warisan tak ternilai, baik dari segi keilmuan maupun dari segi keorganisasian.

d. Pengertian Guru (Ustadz)

Guru merupakan komponen penting dalam pendidikan. Oleh karena guru yang mempersiapkan sumber daya manusia untuk menyongsong pembangunan bangsa dalam mengisi keerdekaan. Guru

(32)

dengan semua kemampuannya dan daya upaya yang dimiliki mempersiapkan pembelajaran bagi peserta didiknya. Oleh karena itu, guru ditempatkan sebagai salah satu kunci pembangunan bangsa, menjadi bangsa yang maju di masa yang akan datang (Sakti, 2009). Guru adalah orang yang beraktifitas menjalankan fungsi-fungsi pendidikan. Keberhasilan guru merupakan keberhasilan pendidikan. Dan guru menjadi faktor penting dalam pendidikan harus senantiasa bekerja secara kompeten dan profesional (Haryati, 2019).

Menurut UU No. 14 tahun 2005 pasal 1 ayat 1 tentang guru dan dosen, pengertian guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.

Ustad atau ustadz (Arab

ذاتسلاا

al-`Ustāż) adalah kata bahasa Indonesia yang bermakna pendidik. Kata ini diserap dari bahasa Arab dari kata, pelafalan dan makna yang sama yaitu guru atau pengajar.

Menurut Nur Uhbiyati dan Abu Ahmadi dalam buku Ilmu Pendidikan Islam pendidik merupakan orang dewasa yang bertanggung jawab memberi bimbingan atau bantuan kepada anak didik dalam perkembangan jasmani dan rohaninya agar mencapai kedewasaannya, mampu melaksanakan tugasnya sebagai makhluk Allah SWT. khalifah dimuka bumi, sebagai individu yang sanggup berdiri sendiri (Aziz, 2005). Nama lain dari ustadz yaitu pendidik, guru, mudarris, mu’allim dan lain sebagainya.

Pitalis Mawardi (Mawardi, 2020) dalam bukunya yang berjudul “Penelitian Tindakan Kelas, Penelitian Tindakan Sekolah dan Best Practise” menjelaskan pengertian guru menurut beberapa ahli berikut ini :

1. Dri Atmaka

Pendidik atau guru adalah orang yang bertanggung jawab untuk memberikan bantuan kepada siswa dalam pengembangan baik fisik dan spiritual.

(33)

2. Husnul Khotimah

Pengertian guru adalah orang yang memfasilitasi proses peralihan ilmu pengetahuan dari sumber belajar ke peserta didik. 3. Ngalim Purwanto

Menurut Ngalim Purwanto guru adalah orang yang pernah memberikan suatu ilmu atau kepandaian kepada seseorang maupun kepada kelompok orang.

4. Mulyasa

Menurut Mulyasa, pengertian guru adalah seseorang yang memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta mampu meweujudkan tujuan pendidikan nasional.

5. M. Uzer Usman

Guru adalah setiap orang yang berwenang dan bertugas dalam dunia pendidikan dan pengajaran pada lembaga pendidikan formal.

Dari uraian pengertian guru menurut beberapa ahli diatas dapat disimpulkan bahwa guru adalah tenaga pendidik dalam instansi kependidikan yang bertanggung jawab mengembangkan fisik maupun spiritual peserta didiknya, memfasilitasi proses peralihan ilmu pengetahuan, memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran.

Dalam literatur pendidikan Islam guru disebut dengan istilah-istilah sebagai berikut :

1. At-Tarbiyah dilihat dari asal bahasa, mempunyai tiga asal kata. Pertama, kata tarbiyah berasal dari kata “rabba-yarbu” bertambah dan tumbuh. Kedua, berasal dari kata “rabbiya-yarba” berarti tumbuh dan berkembang. Ketiga, berasal dari kata “rabba-yarubbu” berarti memperbaiki, menguasai urusan, menuntut, menjaga dan memelihara (Wathoni, 2018).

Di antara ayat al-Qur’an yang menggunakan kata tarbiyah yaitu :

َلاَق

اَعَم

َذ

ِهَّللٱ

ۖ

ُهَّنِإ

ىِّبَر

َىاَوْثَم َنَسْحَأ

ۖ

(34)

Artinya: “Yusuf berkata: "Aku berlindung kepada Allah, sungguh huTanku telah memeliharaku aku dengan baik”. (QS. Yususf : 23). Arti kata rabb tidak hanya dibatasi dalam makna memlihara dan membimbing, tetapi memiliki makna yang jauh lebih luas. Menurut Dr. Lalu Muhammad Nurul Wathoni (Wathoni, 2018) mengutip dari Abdurrahman Al-Nahlawi istilah tarbiyah dalam pendidikan berarti: (1) Memelihara fitrah anak; (2) Menumbuhkan seluruh bakat dan kesiapannya;(3) Mengarahkan fitrah dan bakatnya agar menjadi sempurna; (4) Bertahap dalam proses.

2. At-Ta’lim kata ini merupakan masdar dari kata ‘allama yang memiliki arti sebagai pengajaran yang bersifat pemberian atau penyampaian pengertian, dan keterampilan.

Adapun makna at-ta’lim secara umum adalah hal yang berkaitan dengan informasi, yakni aspek intelektual dan kadang berkenaan dengan penguasaan suatu keterampilan. Maka tujuannya yaitu memperoleh pengetahuan, pengalaman, dan pemahaman akan suatu ilmu, seni bahkan pekerjaan (Saehudin, 2016). Selain itu walaupun tidak memberikan pengertian secara jelas tetapi KH. Hasyim Asy’ari menggambarkan bahwasannya kata at-Ta’lim yang merupakan masdar dari kata kerja ‘allama berarti “pengajaran” bentuk isim failnya berupa kata mu’allim yang berarti seorang guru atau pendidik, ini juga berarti pemberitahuan dan penjelasan tentang sesuatu yang meliputi isi dan maksudnya dengan cara yang mudah dipahami, mengawasi, memotivasi, menggunakan cara penyampaian yang mudah diterima, menuntut adab-adab tertentu, bersahabat, berkasih sayang, sehingga muta’allimin (para pelajar) dapat mengetahui dan memahaminya, yang pada akhirnya pengetahuan itu dapat melahirkan amal shaleh baik di dunia maupun diakhirat untuk mencapai ridha Allah Swt.

3. At-Ta’dib, kata at-Ta’dib secara bahasa merupakan bentuk masdar dari kata addaba yang berarti memberi adab, mendidik (Wathoni, 2018). Makna adab, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) antara lain adalah kesopanan, kebaikan dan kehalusan budi.

(35)

Kata ini terambil dari bahasa Arab yang maknanya antara lain adalah pengetahuan dan pendidikan, sifat-sifat terpuji dan indah, ketepatan dan kelakuan yang baik (Syarbini & Gunawan, 2014). Istilah at-Ta’dib dalam arti pendidikan Islam telah dikemukakan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas dengan pernyataannya bahwa istilah at-Ta’dib merupakan istilah yang dianggap tepat untuk menunjuk arti pendidikan Islam. Pengertian ini didasarkan bahwa arti pendidikan adalah meresapkan dan menanamkan adab pada manusia (Wathoni, 2018).

Istilah at-Ta’dib erat relevansinya dengan hadits nabi yang diriwayatkan oleh Thabrani dari Ali r.a, bahwa Rasulullah bersabda:

َاِّدُب

ْو

َأ ا

ْو

َدلا

ُكْم

َعَل

َث ى

ِثلا

ِخ

َص

ٍلا

:

ُح

ُّب

َنِبِّي

ُك

ْم

َو

ُح

ُّب

َاِل

َبْيِت

ِه

,

َوِت

َولا

ِة

ُقلا

ْرَا

ِن ِف

ِظ ى

ِّل

َعْر

ِش

ِللها

َيْوَم

ِظ لا

ِّل ِا

َّل

ِظ ا

ُّلُه

َمَع

َأْنِبَي

ِئاِه

َوَأ

ْص

ِفَي

ِئاِه

Didiklah anak-anakmu dalam tiga hal: mencintai Nabimu, mencintai keluarga Nabi, dan membaca al-Qur’an. Maka sesunggunya membaca al-Qur’an berada dalam naungan Nya, bersama para Nabi dan orang-orang suci”

Istilah at-Ta’dib sudah sering digunakan oleh masyarakat Arab pada zaman dahulu, dalam hal pelaksanaan pendidikan. Perkataan “adab” dalam tradisi Arab dikaitkan dengan kemuliaan dan ketinggian pribadi seseorang (Saehudin, 2016). Rasuluulah Saw. Bersabda :

َاِّدُب

ْو

َأ ا

ْو

َدلا

ُكْم

ْمُهَباَدَأ اْوُنِسْحَأَو

Didiklah anak-anakmu dengan pendidikan yang baik”

اْوُمِّلَع

َأْو

َدلا

ُكْم

ْمُهْوُبِّدَأَوِ ْرَيْلخا ْمُكْيِلْهَأَو

Ajarkanlah kebaikan kepada anak-anakmu dan didiklah mereka” Abdullah Nasih Ulwan dikutip oleh Ahmad Izzan Saehudin

(36)

(Saehudin, 2016). Memberikan penjelasan pada hadits tersebut bahwa para pendidik, termasuk ayah dan ibu, mempunyai tanggung jawab besar dalam mendidik anak dengan kebaikan dan dasar-dasar moral. Mereka bertanggung jawab untuk mendidik anak-anak sejak kecil untuk berlaku benar, dapat dipercaya, dan istiqomah.

Dari beberapa definisi guru dalam dalam perspektif pendidikan Islam yang telah dikemukakan diatas cukup menggambarkan bahwa pendidik atau guru ialah orang-orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didik dengan tugas utamanya mengupayakan perkembangan seluruh potensi para peserta didiknya, mengajar, dan membimbing kearah pembentukan kepribadian,di samping ke arah perkembangan diri, dalam hal ini akhlak menjadi perhatian utama bagi para pendidik, dan diharapkan mampu menanamkan kepribadian yang paripurna (insan al-kamil). e. Pengertian Murid (Santri)

Kata murid dalam bahasa Indonesia menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti; orang, anak didik, siswa atau anak sekolah yang sedang mengikuti proses pendidkan. Berdasarkan pengertian secara bahasa tersebut dapatlah dipahami bahwa peserta didik adalah orang dan anak manusia yang sedang mengikuti proses kegiatan pendidikan dalam kehidupan sesuai dengan lingkungan atau tempat pendidikan yang diikutinya (Hanafi, La, & Zainuddin, 2019).

Sedangkan secara etimologis, istilah murid sebenarnya berasal dari bahasa Arab: arada, yuridu, iradatan,muridun, yang berarti orang yang menginginkan, dan menjadi salah satu sifat Allah yang berarti Maha mengehendaki. Menurut Mahfud Junaedi mengutip pendapat Abuddin Nata, pengertian tersebut bisa dimengerti karena seorang murid adalah orang yang selalu menghendaki agar mendapatkan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengelaman, dan kepribadian yang baik untuk bekal hidupnya agar dapat meraih kebahagiaan didunia dan akhirat dengan jalan belajar yang sungguh-sungguh (Junaedi, 2017).

Dalam masyarakat daerah pedesaan di Jawa, ada kelompok komunitas muslim yang disebut santri. Santri adalah mereka yang

(37)

dengan taat melaksanakan perintah agamanya, yaitu malsiSedangkan asal-usul perkataan santri setidaknya ada 2 pendapat yang dapat dijadikan rujukan. Pertama santri berasal dari kata “Santri” dari bahasa sansekerta yang artinya melek huruf. Kedua, kata santri yang berasal dari bahasa Jawa “Cantrik” yang berarti seseorang yang mengikuti seorang guru kemanapun pergi atau menetap dengan tujuan dapat belajar suatu keilmuwan kepadanya. Pengertian ini senada dengan pengertian santri secara umum, yakni orang yang belajar agama Islam dan mendalami agama Islam di sebuah pesantrian (pesantren) yang menjadi tempat belajar bagi para santri (Mansur, 2016).

nusauApengertian peserta didik menurut undang-undang No. 20 tahun 2003 adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu.

Pengertian peserta didik iuAunum Zainuddin dkk (Hanafi, La, & Zainuddin, 2019). Mengemukakan konsep peserta didik menurut literatur pendidikan Islam. Untuk hal tersebut dapat dilihat menurut pendapat beberapa ahli berikut ini:

1. Bukhari Umar

Dalam pendidikan Islam yang menjadi peserta didik bukan hanya anak-anak, melainkan juga orang dewasa yang masih berkembang, baik fisik maupun psikis. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah Saw.

دِْحَّللا ىَلِا ِدْهَمْلا َنِم َمْلِعلا ُبُلْطُأ

Artinya : “Tuntutlah ilmu sejak dari buaian hingga ke liang lahat.”

Dalam hadits Nabi diatas dapat kita pahami bahwa menuntut ilmu atau belajar tidak mengenal batas usia dan waktu. Sebutan untuk peserta didik beragam. Di lingkungan keluarga, peserta didik disebut anak. Di sekolah ia disebut siswa. Pada tingkat perguruan

(38)

tinggi di sebut mahasiswa. Dalam lingkungan pesantren disebut santri. Sedangkan dimajelis ta’lim, ia disebut jam’ah.

2. Hasan Basri

Dalam perspektif pendidikan Islam, hakikat anak didik terdiri dari beberapa macam. (1) Anak didik adalah darah daging sendiri dan orang tua adalah pendidik bagi anak-anaknya. (2) anak adalah semua anak yang berada dibawah bimbingan pendidik di lembaga pendidikan, baik formal maupu non formal, seperti sekolah, pondok pesantren, tempat pelatihan, sekolah keterampilan, majelis ta’lim, dan sejenisnya. (3) anak didik secara khusus adalah orang-orang yang belajar di lembaga pendidikan tertentu yang menerima bimbingan, pengarahan, nasihat, pembelajaran, dan berbagai hal yang berkaitan dengan proses kependidikan.

3. Abuddin Nata

Di lihat dari segi kedudukan, anak didik adalah makhluk yang sedang berada dalam proses perkembangan dan pertumbuhan menurut fitrahnya masing-masing. Mereka memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisiten menuju arah titik optimal kemampuan fitrahnya. Dalam pandangan pendidikan modern, anak didik tidak hanya dianggap sebagai objek atau sasaran pendidikan sebagaimana disebutkan diatas melainkan juga harus diperlakukan sebagai subjek pendidikan.

Dari beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengertian peserta didik dalam pendidikan Islam adalah : Setiap individu manusia yang sedang mengikuti proses pembelajaran demi mengoptimalkan potensi diri, baik dalam lingkup pendidikan formal maupun informal, yang tidak dibatasi oleh usia,dengan tujuan mengembangkan fitrahnya sebagai makhluk yang membutuhkan bimbingan, agar segala potensi yang dimilikinya dapat difungsikan dalam kehidupannya sehari-hari yang sesuai dengan nilai-nilai ajaran agama Islam.

(39)

f. Hubungan Guru dan Murid

Guru yang baik adalah yang seluruh pikiran, hati dan tindakannya dicurahkan untuk menumbuhkembangkan potensi yang dimiliki siswanya. Guru merupakan agen perubahan perilaku siswa melalui interaksi dalam pembelajaran. Hubungan guru-murid akan sangat mempengaruhi keberhasilan proses pembelajaran. Sikap guru yang salah akan berakibat kegagalan dalam proses pendidikan pada umumnya (Tobroni, 2018).

Selanjutnya (Tobroni, 2018) menjelaskan konsep hubungan guru dan murid dan membaginya dalam tiga pola hubungan yang baik : pola pikiran, ucapan, dan perbuatan.

1. Pola pikiran

Dalam hubungan guru dan murid berupa mindset guru terhadap murid dan mindset murid terhadap guru. Guru dan murid masing-masing harus memiliki sikap positif (husnudzon) antara satu dengan lainnya. Guru yang memiliki sikap positif terhadap murid akan berpikir tentang strategi apa dan tindakan apa yang bisa mengubah muridnya menuju perilaku yang lebih baik dan pada gilirannya dapat membawa muridnya menuju keberhasilan. Guru yang menjadi teladan role model akan memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam pembentukan keribadian murid. Guru yang demikian adalah yang dekat dengan muridnya, bukan hanya dalam masalah pelajaran saja, tetapi secara persona ia mampu mengilhami dan mempengaruhi mindset kepribadian seorang murid.

2. Pola ucapan

Pepatah mengatakan: ketajaman lisan dapat melebihi pedang. Ucapan yang menyakiti akan membekas hingga waktu yang lama. Lisan guru adalah penyampai ilmu, nasihat dan hikmah kepada murid-muridnya. Lisan yang lembut akan menghasilkan hati yang lembut, namun lisaan yang kasar dan kotor akan membentuk hati yang keras. Pola hubungan guru dan murid yang harmonis ditandai dengan sikap sopan-santun, saling menghormati dan menghargai.

Kualitas ucapan murid merupakan salah satu parameter karakter terdidik. Kata-kata yang tertata dengan baik dan dibarengi

(40)

dengan sikap yang sopan, menandakan bahwa murid tersebut memiliki etika lisan dan penghormatan kepada orang lain, salah satu faktor yang mempengaruhi hal tersebut adalah karena meneladani orang-orang sekitar, dan guru.

3. Pola tindakan

Tindakan adalah nilai-nilai etis paduan antara etika berpikir dan etika lisan. Potensi tindakan seorang guru adalah hal yang nayata maupun yang tersembunyi, yang dapat dilihat dan dirasakan oleh murid. Semua yang diperbuat guru mulai dari cara berfikir, gaya berbicara, cara bersikap, cara berjalan, dan bahkan kata-kata yang sering diucapkan oleh sang guru diperhatikan oleh murid. Kalau seorang guru menunjukkan sikap bersahabat, lemah lembut, sopan santun dan peduli terhadap muridnya, akan berpengaruh besar dalam membentuk kepribadian seorang murid dalam mengembangkan persaudaraan dan perdamaian. Tingkah laku murid sebanding dengan tingkah laku guru, semua saling berhubungan, tidak ada yang berdiri sendiri.

g. Pengertian Etika

Etika berasal dari bahasa Yunani “ethos” dalam bentuk tunggal yang berarti kebiasaan. Etika merupakan dunianya filsafat, nilai, dan moral yang mana etika bersifat abstrak dan berkenaan dengan persoalan baik dan buruk. Pengertian ini menunjukkan bahwa etika ialah teori tentang perbuatan manusia yang ditimbang menurut baik dan buruknya yang juga merupakan inti sari atau sifat dasar manusia: baik dan buruk manusia. Selain etika, terdapat istilah lain, yaitu: “Susila” (Sanskerta), lebih menunjukkan kepada dasar-dasar, prinsip, aturan hidup (sila) yang lebih baik (su). Secara etimologi etika dapat disamakan dengan moral, tetap moral lebih kepada rasa dan karsa manusia dalam melakukan segala hal dalam kehidupannya (Hasbi, 2019).

Etika adalah teori tentang laku perbuatan manusia dipandang dari segi nilai dan buruk sejauh yang dapat ditentukan akal, apa yang

(41)

seharusnya dilakukan seseorang dan menunjukkan apa yang seharusnya dilakukan (Dahlan).

Etika adalah bagian dari fisafat yang membahas tentang baik dan buruk. Dengan kata lain etika adalah teori-teori (ilmu) tentang baik dan buruk. Moral adalah etika (ilmu tentang baik dan buruk) yang dianut atau dipili oleh suatu masyarakat. Dengan kata lain moral adlah etika konseptual atau etika terapan. Etika adalah table manner atau seperangkat petunjuk, tata cara bertindak atau berperilaku, aturan pelaksanaan dalam bentuk sopan santun dan budi pekerti dalam berbagai aspek kehidupan. Misalnya sopaan santun dalam bertamu, sopan santun dalam berkomunikasi, sopan santun dalam perjamuan dan lain sebagainya (Tobroni, 2018).

Dimensi akhlak (moral-etik) mempunyai kedudukan penting dalam Islam.Allah Swt. Memuji Nabi Muhammad Saw. Karena akhlaknya yang baik. Allah berfirman :

ٍميِظَع ٍقُلُخ ٰىَلَعَل َكَّنِإَو

Artinya :“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”.(QS. al-Qalam:4)

Dan Allah mengutus Nabi Muhammad Saw. Tidak lain untuk menyempurnakan akhlak.

Nabi Muhammad Saw. Bersabda (hadits dari Abu Hurairah) :

ِقلاْخَلأا َمِراَكَم َمِّمَتُلأ ُتْثِعُب اَمَّنِإ

Artinya: “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak.” (HR Al-Baihaqi dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu).

Gambar

Foto  penulis  dengan  K.iai  Khozinatul  Asror  (Pengasuh  sekaligus pengajar kitab  Adabul  ‘Alim wa al Muta’allim)
Foto  dokumentasi  wawancara  penulis  dengan  santri  putra  dan  santri  putri  Pondok Pesantren Ikmaly Gedongan  (Wawancara dilakukan setelah darurat  covid-19  sehingga  proses  wawancara  dilakukan secara virtual).
Foto asrama pondok pesantren dan rumah pengasuh  Pondok pesantren Ikmaly Gedongan

Referensi

Dokumen terkait

Ini mengindikasikan bahwa pemikiran KH Hasyim Asy’ari tidak hanya tertuju pada perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh peserta didik dan guru, namun juga keasamaan

perbadaan penelitian yang dilakukan oleh M. Ainun Najib dengan penulis, adalah penelitian M. Ainun Najib menekankan pada aspek konsep etika terhadap buku, sedangkan penelitian

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan antara kelekatan dengan kecerdasan moral pada santri Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari... Metode Variabel

Kitab Adabul’Alim wal Muta’alim merupakan salah satu karya terpopuler KH. Hasyim Asy’ari dalam bidang pendidikan, kitab ini adalah kitab yang mengupas masalah etika

Ketiga, Penelitian yang dilakukan saudara Musthofa Angga Prasetyo, Program Studi Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan Universitas Islam

Hasil penelitian menunnjukkan perbedaan bahwa: pendidikan akhlak dari kedua tokoh tersebut yaitu Hasyim Asy’ari mempunyai dua objek pembahasan yaitu guru dan

Dengan hasil penelitian yang dilakukan dengan menggunakan metode observasi dan wawancara di Pondok Pesantren At-Tamur bahwa Pondok Pesantren At-Tamur memiliki

Namun hal ini tidak menghalangi pihak pesantren untuk mulai membangun tanah yang telah ditukarkansebab bersamaan dengan itu pihak Pesantren sedang mengurusinya lagi