• Tidak ada hasil yang ditemukan

Suatu kebijaksanaan baik berupa UU, PP, Keppres, Inpres maupun instruksi menteri, belum akan menimbulkan akibat tertentu dalam masyarakat sebelum keputusan itu dilaksanakan. Karena implementasi kebijakan bukanlah sekedar menyangkut mekanisme penjabaran keputusan politik kedalam prosedur-prosedur rutin melalui saluran birokrasi, tetapi implementasi menyangkut masalah konflik, keputusan dan siapa yang memperoleh manfaat dari kebijaksanaan itu, sehingga implementasi itu penting. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Udoji dalam Wahab (2004) bahwa :

The execution of policies is as important if not more important than policy-making. Policies will remain dreams on blueprint in file jackets unless they are implemented (Pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu yang penting bahkan mungkin jauh lebih penting dari pada pembuatan kebijakan. Kebijakan-kebijakan akan sekedar berupa impian atau rencana bagus yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak diimplementasikan).

Dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa implementasi merupakan masalah dasar dalam pembangunan, baik itu dalam bentuk program maupun dalam bentuk proyek-proyek secara nyata. Menurut Wojowasito dalam kamus Inggris-Indonesia, Indonesia Inggris menyatakan bahwa implementasi berasal dari kata "implementation" yang berarti pelaksanaan perjanjian, hal menepati janji, dan hal melengkapi perkakas (Wojowasito, 2006). Sementara itu Van Meter merumuskan proses implementasi ini sebagai :

Those actions by public or private individuals (or Groups) that are directed at the achievement of objectives set forth inprior decisons (Tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu atau pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijaksanaan (Van Meter dalam Wahab, 2004).

Dari pengertian di atas, pelaksanaan atau implementasi berarti melaksanakan apa yang telah ditetapkan, digariskan sebelumnya dalam suatu perencanaan. Dengan kata lain pelaksanaan berarti "action" atau tindakan nyata atas rencana yang telah ditetapkan sebelumnya.

Westra (1982) mendefinisikan program sebagai, “Seperangkat aktivitas yang dilaksanakan untuk mencapai tujuan atau sejumlah tujuan dan maksud dari suatu rencana pembangunan yang spesifik”. Sedangkan Djamaluddin (1977) memberikan pengertian program adalah :

Jenis rencana yang pada dasarnya sudah menggambarkan rencana yang konkrit. Konkritnya rencana itu disebabkan karena didalamnya telah tercantum bukan saja tujuannya, kebijaksanaan dan prosedur atau aturan-aturan akan tetapi disertai pula dengan budget atau anggaran. Dengan demikian program itu merupakan pula usaha untuk mengefektifkan rangkaian tindakan yang harus dilaksanakan menurut bidang tertentu. Dari beberapa pengertian diatas maka pada dasarnya program adalah suatu jenis rencana yang berisikan rangkaian aktivitas untuk mencapai tujuan tertentu. Suatu program akan mendukung implementasi apabila didukung oleh beberapa aspek. Suatu program yang baik menurut I. Nyoman Beratha dalam Westra (1982) harus memenuhi syarat-syarat tertentu, dimana setiap program tersebut harus memuat tentang :

1. Tujuan yang dirumuskan dengan jelas.

2. Penentuan dari peralatan terbaik untuk mencapai tujuan tersebut.

3. Suatu kerangka kebijakan yang konsisten dan atau proyek yang saling berkaitan untuk mencapai tujuan seefektif mungkin.

4. Pengukuran dengan ongkos-ongkos yang diperkirakan dibandingkan dengan keuntungan.

Proyek merupakan operasional dari program, berisi kegiatan-kegiatan yang diusahakan melalui penyediaan sumber dana, manusia dan peralatan atau barang (Nyoman Beratha dalam Westra, 1982). Sedangkan implementasi program adalah suatu usaha untuk merealisir pencapaian tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam suatu rencana dan kebijaksanaan yang telah digariskan terlebih dahulu, yang meliputi penggunaan macam-macam sumber daya dalam suatu pola yang sudah ditetapkan. Untuk mencapai tujuan itu implementasi ini harus berjalan secara efektif. Wojowasito dalam kamus Inggris-Indonesia, Indonesia Inggris menyatakan bahwa efektif berasal dari kata "effective". Batasan efektivitas yang terdapat dalam Ensiklopedi Administrasi, adalah " keadaan yang menunjukkan adanya derajat pencapaian tujuan yang telah ditentukan".

Efektivitas adalah pemanfaatan sumber daya, sarana dan prasarana dalam jumlah tertentu yang secara sadar ditetapkan sebelumnya untuk menghasilkan

sejumlah barang atas jasa kegiatan yang dijalankannya (Siagian, 2001). Efektivitas menunjukkan keberhasilan dari segi tercapai tidaknya sasaran yang telah ditetapkan. Jika hasil kegiatan semakin mendekati sasaran, berarti makin tinggi efektivitasnya. Efektif tidaknya suatu program tidak hanya dipandang dari hasil akhirnya saja, tetapi juga seberapa jauh tujuan operasionalnya dapat dicapai. Dengan kata lain tujuan operasionalnya akan mempengaruhi tujuan akhir yang akan diwujudkan (Siagian, 2001), sehingga efektivitas implementasi program adalah keberhasilan proses pelaksanaan semua rencana program untuk mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan.

Menurut Syukur (1988), implementasi program akan berjalan efektif apabila didalam proses implementasi program tersebut terdapat 3 (tiga) unsur pendukung yang penting, yaitu (1) Adanya program (kebijaksanaan) yang akan dilaksanakan; (2) Target Group, yaitu kelompok masyarakat yang menjadi sasaran yang diharapkan akan menerima manfaat dari program tersebut, perubahan atau peningkatan; (3) Unsur Pelaksana (Implementator) baik organisasi, atau perorangan yang bertanggungjawab dalam pengelolaan, pelaksanaan, dan pengawasan proses implementasi tersebut.

B. Usaha Garam Rakyat

Garam adalah suatu kumpulan senyawa kimia dengan bagian terbesar terdiri dari natrium klorida (NaCl) dengan pengotor terdiri dari kalsium sulfat (gips) – CaSO4, Magnesium sulfat (MgSO4), Magnesium klorida (MgCl2), dan lain-lain (Depperindag, 2006). Apabila air laut diuapkan maka akan dihasilkan kristal garam, yang biasa disebut garam krosok. Oleh karena itu garam dapur hasil penguapan air laut yang belum dimurnikan banyak mengandung zat-zat pengotor seperti Ca2+, Mg2+, Al3+, Fe3+, SO4-, I- dan Br- (Depperindag, 2006). Untuk meningkatkan mutu garam dapat dilakukan dengan cara kristalisasi bertingkat, rekristalisasi, dan pencucian garam. Cara lain untuk meningkatkan kualitas garam adalah pemurnian dengan penambahan bahan pengikat pengotor. Tanpa adanya proses pemurnian, maka garam dapur yang dihasilkan melalui penguapan air laut masih bercampur dengan senyawa lain yang terlarut, seperti MgCl2, MgSO4, CaSO4, CaCO3, KBr dan KCl dalam jumlah kecil (Burhanuddin, 2001).

Garam dihasilkan dengan cara menguapkan air laut dalam petak-petak di pinggir pantai. Lahan pembuatan garam dibuat berpetak-petak secara bertingkat, sehingga dengan gaya gravitasi air dapat mengalir ke hilir kapan saja dikehendaki. Setiap liter air laut yang diuapkan sampai kering mengandung 7 mineral (CaSO4, KCl, MgSO4, MgCl2, NaBr, NaCl, dan air) dengan berat total 1.025,68 g. Setelah dikristalkan pada proses selanjutnya akan diperoleh garam dengan kepekatan 16,7528,50Be setara dengan 23,3576 g. Untuk menghasilkan garam dapur hanya akan diperoleh 40,97% dari jumlah bahan baku air laut semula (Burhanuddin, 2001).

Daerah potensial penghasil garam mempunyai persyaratan sebagai berikut : (1) memiliki ketersediaan bahan baku garam (air laut) yang sangat cukup, bersih dan tidak tercemar air tawar; (2) memiliki iklim kemarau yang cukup panjang (minimal 45 bulan), dengan curah hujan relatif kecil (1.0001.400 mm/tahun); (3) memiliki dataran rendah dengan tingkat kemiringan kecil dan permeabilitas (kebocoran) tanah yang rendah; mempunyai suhu udara tinggi dan penyinaran matahari yang cukup, tidak tertutup mendung/berkabut (Bakosurtanal, 2010).

Pembuatan garam di Indonesia 70% dilakukan oleh rakyat dilahan garam yang relatif sempit (0,53 Ha) dengan teknologi pengolahan dan peralatan sederhana. Proses Pembuatan garam rakyat dimulai dari proses penampungan air laut/bozeem yang berfungsi untuk tempat persediaan air laut dan mengendapkan kotoran fisik air laut, setelah itu dilakukan proses pemekatan (dengan menguapkan airnya) dan pemisahan garamnya (dengan kristalisasi). Bila seluruh zat yang terkandung diendapkan/dikristalkan akan terdiri dari campuran bermacam-macam zat yang terkandung, tidak hanya Natrium Klorida yang terbentuk tetapi juga beberapa zat yang tidak diinginkan ikut terbawa (impurities). Proses kristalisasi dengan cara menguapkan seluruh air garam yang dimasukkan meja kristal menjadi kering disebut kristalisasi total (Rachman dan Imran, 2011). Sistem pembentukan kristal garam rakyat secara tradisional dilakukan diatas tanah lahan, setelah 5-10 hari kristal garam diambil dari atas tanah. Sistem ini dikenal dengan sistem “madurese”, karena dilakukan oleh petambak garam rakyat di pulau Madura yang sejak jaman kolonial Belanda

ditetapkan sebagai daerah penghasil Garam. Proses produksi garam rakyat dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Garam produksi PT garam lebih bermutu dibanding garam rakyat karena PT Garam mempunyai luas areal produksi garam yang luas. Semakin jauh aliran air laut ke lahan pergaraman, maka tingkat konsentrasi menjadi tinggi. Proses aliran yang panjang juga dilakukan agar unsur-unsur yang tidak diinginkan dalam garam seperti oksidasi besi, magnesium sulfat, magnesium klorida dapat dikurangi, sehingga hanya tersisa unsur NaCl (Natrium Chlorida) yang dibutuhkan dalam garam. Sirkulasi air garam ini akan berujung pada tempat penampungan yang bernama air tua. Air tua ini mengandung konsentrat garam yang tinggi, yaitu 290Be. Apabila konsentrat melebihi dari standar yang ditetapkan, maka akan muncul Magnesium Sulfat, atau yang lebih populer disebut Garam Inggris. Air laut tua kemudian diuapkan, sehingga menjadi kristal-kristal garam. Metode untuk mendapatkan hasil garam Natrium Klorida dengan kemurnian tinggi yang dilaksanakan PT Garam disebut metode kristalisasi bertingkat. Kristalisasi komponen garam oleh PT Garam diatur pada tempat-tempat yang berlainan secara berturut-turut sehingga dapat membentuk komponen garam yang relatif lebih murni. Sistem pembentukan kristal garam yang dilakukan diatas lantai garam yang terbuat sebelumnya selama 30 hari berikut 10 hari waktu pemungutan kristal garam. Sistem ini dikenal dengan sistem portugese, yang digunakan portugis untuk membuat garam di pulau Madura (Rachman dan Imran, 2011). Proses produksi garam PT Garam dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Gambar 2.1 Proses produksi Garam Rakyat (Deperindag, 2006)

3,50Be 5100Be

± 150Be

Air Laut Bak Penampungan

Air Laut Areal Penguapan (Peminihan/Evaporasi) Pompa Saluran Air Areal Penampungan Air Tua Areal Kristalisasi Penirisan (Penjemuran) 19200Be

Gambar 2.2 Proses produksi Garam PT Garam (Deperindag, 2006)

Walaupun potensi lahan pergaraman di Indonesia sekitar 34 ribu Ha, namun Indonesia selalu mengimpor garam untuk memenuhi kebutuhan garam nasional, bahkan garam untuk konsumsi yang dapat dipenuhi produksi garam nasional, tidak lagi dapat dipenuhi sejak tahun 1998, karena adanya banyak persoalan yang dihadapi petambak garam rakyat, baik yang berhubungan dengan produksi dan pemasaran, kebijakan pemerintah maupun permasalahan yang dihadapinya dalam

Air Laut (dipompa)

Bak Penampungan Air Laut (Pengendapan Partikel/Lumpur)

Kolam Pengendapan Air Laut (Penambahan CO2)

Kolam Pengendapan Air Laut II (Penambahan Asam Oksalat)

Kolam Kristalisasi Garam I

Kolam Kristalisasi Garam II

Dibuang Salinitas 35 0/00 atau 3–3,50Be 5–100Be ± 150Be ± 200Be ± 28 0Be > 290Be Waduk/Bozem (serapan) Peminihan I (Penguapan + Endapan S, O, Ca dan K) Peminihan II (Penguapan + Endapan Mg) NaCl 95% NaCl 98% Bittern (Senyawa Mg) Air garam > 290Be

Kolam Penampungan Air Tua ± 250Be Waduk/Bozem

kehidupan sehari-hari seperti :

1. Proses produksi garam rakyat kebanyakan hanya tergantung pada alam (air laut dan cuaca) dengan pengalaman bertambak garam dengan teknologi terbatas. 2. Kurangnya modal petambak garam, dimana pendapatan petambak garam

hanya diterima setiap musim panen garam, sedangkan kebutuhan hidup harus dipenuhi setiap hari. Proses berproduksi garam rakyat mulai dari persiapan lahan, mengalirkan air laut sampai menjadi garam memerlukan waktu 40 hari. Pengeluaran-pengeluaran besar yang tidak dapat ditunggu sampai panen tiba, misalnya kematian dan pesta perkawinan mengakibatkan petambak garam harus menjual produknya ketika masih dalam proses kristalisasi partikel-partikel garam, yang mengakibatkan harga jual garam yang diterima petambak menjadi rendah.

3. Ketergantungan impor garam karena mutu yang lebih baik dan harga yang lebih murah, menjadikan petambak garam enggan untuk melaksanakan produksi karena kalah bersaing. Pemerintah berupaya melindungi produsen skala kecil melalui Peraturan Menteri Perdagangan No.44/M-DAG/per/10/2007 yang mengatur tentang larangan impor selama musim panen garam di Indonesia yang pada tahun 2011 ditetapkan pada bulan Agustus-Nopember, dan kewajiban bagi industri untuk membeli minimal 50% kebutuhannya dari garam rakyat sebelum melakukan impor tidak berjalan efektif. Bulan Juli 2011 yang merupakan batas akhir impor garam di Indonesia masih dilanggar, banyak kapal pengangkut garam impor siap bongkar pelabuhan pada bulan Agustus 2011. Importir garam beralasan garam yang masuk merupakan garam impor yang diijinkan pada bulan Juli 2011 hanya belum masuk dan dipasarkan. Dengan membanjirnya garam impor dengan mutu lebih bagus dengan harga Rp. 450,-/kg menjadikan petambak garam tidak pernah menikmati harga dasar garam yang mengatur pembelian garam rakyat Rp. 750,- untuk garam mutu 1 (satu), Rp. 550,- untuk garam mutu 2 (dua) dan Rp. 350,- untuk garam mutu 3 (tiga).

4. Mutu garam rakyat yang tidak sesuai SNI dengan kandungan NaCL minimal 97%, sehingga pabrik garam tidak bersedia membeli garam rakyat dengan harga sesuai ketentuan pemerintah. Ketidakmampuan petambak, karena luas

lahan produksi yang kecil, menyebabkan petambak hanya dapat berproduksi secara sederhana (kristalisasi total). Rendahnya mutu garam rakyat juga dikarenakan minimnya infrastruktur yang menyebabkan salah satunya ketidaklancaran air laut ke tambak-tambak garam akibat pendangkalan di saluran utama. Teknologi usaha garam yang belum memadai, proses produksi sejak tahap pemasukan bahan baku air laut sehingga proses pengemasan belum mencapai kualitas yang diharapkan sehingga garam yang dihasilkan petambak garam masih berupa garam krosok atau garam kasar yang belum layak konsumsi.

Di Indonesia walaupun merupakan negara kepulauan, tetapi pusat pembuatan garam terkonsentrasi di Jawa dan Madura yaitu di Jawa seluas 10.231 Ha (Jawa Barat 1.159 Ha, Jawa Tengah 2.168 Ha, Jawa Timur 6.904 Ha) dan Madura 15.347 Ha (Sumenep 10.067 ha, Pemekasan 3.075 Ha, Sampang 2.205 Ha). Luas areal yang dikelola oleh PT Garam hanya 5.116 Ha yang seluruhnya berada di pulau Madura yaitu di Sumenep 3.163 Ha, Pemekasan 907 Ha dan di Sampang 1.046 Ha. Lokasi lainnya, yaitu di NTB 1.155 Ha, Sulawesi Selatan 2.040 Ha, Sumatera dan lain-lain 1.885 Ha, sehingga luas areal penggaraman seluruhnya sebesar 30.658 Ha dimana 25.542 Ha dikelola secara tradisional oleh rakyat. Areal garam yang dikelola oleh PT. Garam produksinya dapat mencapai 80 ton/Ha/tahun, sedangkan garam rakyat kurang 60 ton/Ha/tahun (Depperindag, 2006).

Garam proanalisis dan garam farmasi, mempunyai kandungan NaCl > 99%, garam konsumsi mempunyai kandungan NaCl > 94% dan garam untuk pengawetan memiliki kandungan NaCl > 90%. Semakin besar kandungan NaCl-nya, akan semakin kompleks dan rumit proses produksi dan pemurniannya. Garam rakyat yang diproduksi pada 25.542 ha atau sekitar 83,31% dari luas areal pergaraman nasional. Garam rakyat yang pada umumnya dibuat dengan metode total kristalisasi, harus diolah kembali untuk dijadikan garam konsumsi maupun untuk garam industri, karena berkadar NaCl kurang dari 90% dan banyak mengandung pengotor. Garam dapat dimurnikan dengan teknik pencucian dengan menggunakan brine untuk menghilangkan zat pengotor, hanya saja semakin sedikit kandungan NaCl-nya, akan semakin rumit dan mahal biaya pemurniannya.

Dokumen terkait