• Tidak ada hasil yang ditemukan

KESIMPULAN DAN SARAN

MODIFIKASI AHP

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan dengan luas wilayah laut 5,8 juta Km2. Luas wilayah laut ini lebih luas dari wilayah daratan yang hanya 1,9 Km2 (KKP, 2011a). Potensi wilayah pesisir dan laut Indonesia menurut Kusumastanto (2003) dapat dibagi menjadi 4 (empat) bidang, yaitu (1) Sumber daya yang dapat diperbaharui, seperti perikanan (tangkap, budidaya, dan pascapanen), hutan mangrove, terumbu karang, industri bioteknologi kelautan dan pulau-pulau kecil; (2) Sumber daya yang tidak dapat diperbaharui, seperti minyak bumi dan gas, bahan tambang dan mineral lainnya, serta harta karun; (3) Energi kelautan, seperti pasang-surut, gelombang, angin, OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion) dan (4) Jasa-jasa lingkungan, seperti pariwisata, perhubungan dan kepelabuhanan serta penampung (penetralisir) limbah.

Garam merupakan komoditas strategik karena selain merupakan kebutuhan pokok yang dikonsumsi manusia lebih kurang 4 (empat) kg per tahun juga digunakan sebagai bahan baku industri (KKP, 2011a). Penggunaan garam secara garis besar terbagi menjadi 3 (tiga) kelompok yaitu (1) Garam untuk konsumsi manusia, (2) Garam untuk pengasinan dan aneka pangan dan (3) Garam untuk industri. Di Indonesia, garam banyak diproduksi dengan cara menguapkan air laut pada sebidang tanah pantai dengan bantuan angin dan sinar matahari sebagai sumber energi penguapan. Produksi garam dapat dilaksanakan oleh masyarakat pesisir, tanpa diperlukan keahlian khusus. Selain garam (NaCl), air laut dapat diolah menjadi gypsum dan garam magnesium. Produk hasil olahan air laut dapat dilihat pada Lampiran 1.

Potensi garam dari laut yang besar tidak memberikan kecukupan garam nasional. Pemenuhan kebutuhan garam nasional selama ini dilakukan sebagian melalui produksi sendiri dan sebagian melalui impor. Tahun 2010 pemerintah mengimpor garam 2,2 juta ton impor yang berasal dari Australia 80%, India 15%, China 3%, dan sisanya dari berbagai negara lain. Jumlah kebutuhan dan impor garam nasional pada tahun 2008-2010 dapat dilihat pada Tabel 1.1.

Tabel 1.1 Kebutuhan dan impor garam nasional Garam (Jumlah-Ton) Tahun 2008 2009 2010 Kebutuhan 2.742.000 2.768.000 2.872.326 Produksi 1.199.000 1.371.000 30.600 Impor 1.630.793 1.736.452 2.187.631 Surplus/Defisit 87.793 339.452 -654.095 Sumber : Pusdatin KKP, 2011a

Kebutuhan garam dalam negeri pada tahun 2010 mencapai sekitar 2.872.326 ton, terdiri dari kebutuhan garam industri CAP (Chlor Alkali Plant) 1.492.326 ton, garam konsumsi 720.000 ton, industri aneka pangan 465.000 ton, pengeboran minyak 135.000 ton dan lainnya 60.000 ton. Angka ini diperkirakan akan meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan berkembangnya industri yang membutuhkan garam.

Kabupaten Indramayu merupakan daerah pemasok garam untuk Propinsi Jawa Barat bersama dengan Cirebon. Menurut BPS (2007) Lahan produksi garam 1.995,81 Ha (54% dari luas lahan garam potensial 3.664,3 Ha) di Indramayu dan 1.447 Ha (64% dari luas lahan garam potensial 2.251 Ha) di Cirebon belum bisa memenuhi kebutuhan garam di Jawa Barat. Dengan kebutuhan yang tinggi seharusnya petambak dapat memperoleh penghasilan yang layak dari usaha garam, akan tetapi ironisnya kehidupan petambak garam di berbagai daerah di Indonesia, termasuk di Kabupaten Indramayu dihadapkan pada situasi sulit dan terpuruk serta dalam kondisi marjinal. Banyak petambak garam tidak dapat bertahan dengan pilihan usahanya, bahkan ada yang meninggalkan usahanya dan berpindah menekuni mata pencaharian lain. Padahal bagi masyarakat pesisir, membuat garam termasuk salah salah sumber nafkah sangat penting yang diandalkan pada musim kemarau untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka.

Di Kabupaten Indramayu, jumlah petambak garam pemilik lahan pada tahun 1990 sebanyak 984 orang, menurun menjadi 792 orang pada tahun 2000 dan pada tahun 2005 menjadi 718 orang. Peningkatan terjadi pada jumlah petambak

penggarap/buruh garap, pada tahun 2000 terdapat sebanyak 3.986 orang, pada tahun 2005 menjadi 4.793 orang dan pada tahun 2007 meningkat lagi menjadi 6.514 orang. Jumlah usaha garam di Kabupaten Indramayu juga menurun, pada tahun 1990 terdapat 29 perusahaan, pada tahun 2000 berkurang menjadi 22 perusahaan dan tahun 2005 berkurang lagi tinggal 13 perusahaan. Perusahaan garam besar seperti Sumatraco, Garindo, PT Budiono, PT Susanti Megah membangun gudang tempat penyimpanan garam di Indramayu. Tahun 2005 hanya 4 (empat) perusahaan yang masih aktif di Indramayu. Jumlah ini berkurang dari tahun 1995 yang terdapat 10 perusahaan (Darmawan, 2010).

Rataan Tingkat produktivitas lahan pergaraman di Indramayu pada tahun 2000-2010 menurut data KKP (2011b) 56 ton/Ha/tahun, cukup rendah bila dibandingkan dengan Australia atau India yang dapat mencapai produktivitas 200 ton/Ha/tahun. Meskipun mempunyai lahan potensial garam yang besar, namun usaha garam rakyat berlahan kecil dan tak berlahan menyebabkan produktivitas sangat terbatas. Lahan garam bersaing dengan lahan pertanian ataupun lahan untuk perikanan yang lain seperti tambak udang. Rataan luas unit tambak garam rakyat 0,53 Ha dengan produktivitas kurang dari 60 ton per Ha. Untuk memproduksi garam dalam skala besar dengan mutu Standar Nasional Indonesia (SNI), diperlukan unit tambak seluas ratusan hektare dengan produktivitas ± 80 ton per Ha. Unit tambak yang terbatas berisiko menaikkan biaya produksi dan menyulitkan capaian keseragaman standar. Untuk industri garam secara mekanis dapat dipertimbangkan pengembangannya bila terdapat lahan datar seluas > 5.000 ha, sedangkan luas 2.000–5.000 Ha dilakukan pembuatan garam semi mekanis dan luas < 2.000 Ha merupakan plasma inti pergaraman rakyat.

Kualitas garam yang dihasilkan oleh petambak garam umumnya masih belum memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI). Mutu garam yang dihasilkan oleh petambak memiliki kadar NaCl di bawah 94%, sedangkan garam konsumsi memerlukan kadar NaCl > 94,7%, garam industri memerlukan kadar NaCl di atas 99% (dry basis).

Sejak jaman kolonialisasi Belanda, potensi pesisir Indonesia telah dimanfaatkan dengan melakukan kebijakan monopoli pembelian dan penjualan garam. Tahun 1921 pemerintah Belanda membuat garam sendiri di atas lahan

garamnya sendiri melalui Perusahaan Jawatan Regie Garam. Tahun 1937 rakyat tidak diperkenankan lagi membuat garam karena kesulitan kontrol atas mutu garam rakyat dan banyaknya penjualan garam secara langsung kepada konsumen. Semua lahan garam dibeli oleh Pemerintah Belanda. Saat itu Garam mempunyai harga sama dengan gula karena pemerintah Belanda menghendaki kesetaraan dari berbagai komoditas penting. Pemerintah Belanda merasakan manisnya sistem monopoli garam dengan mendapatkan 27.172.378 Gulden pada tahun 1931. Pada masa pendudukan Jepang, Undang-undang monopoli (Zout Monopoli Ordonantie) yang berlaku sejak 1921 dibekukan. Rakyat boleh membuat garam sendiri. Segala bentuk monopoli yang diwariskan Belanda tidak diadopsi oleh Jepang dengan alasan mengambil hati rakyat Indonesia (Rochwulaningsih, 2007).

Pada jaman kemerdekaan, Perusahaan Regie Garam dinasionalisasikan menjadi Djawatan Regie Tjandu dan Garam Republik Indonesia kemudian menjadi Perusahaan Garam dan Soda Negara pada tanggal 26 September 1952. Tahun 1961 dilakukan pemisahan menjadi Perusahan Negara (PN) Soda dan Perusahaan Negara (PN) Garam. PN Garam menjadi PT Garam pada 11 Februari 1991. Kondisi PN Garam memulai penurunan ketika tahun 1959 pemerintah mencabut monopoli garam dan melaksanakan perdagangan bebas. Tahun 1977-1993 PN Garam wajib membeli garam rakyat melalui Koperasi Unit Desa (KUD) setempat. Tahun 2004 pemerintah membuat kebijakan pelarangan impor ketika musim usaha garam dan penetapan harga dasar pembelian garam. Namun hal ini tidak berjalan efektif. PT Garam sebagai satu-satunya perusahaan negara yang memproduksi garam sendiri juga mengimpor garam 79.317 ton pada tahun 2010 lebih besar dari PT Cheetam Garam Indonesia yang hanya memasukkan garam ke Indonesia 78.331 ton, Cheetham Garam Indonesia adalah perwakilan Cheetham Salt, perusahaan garam terbesar dari Australia (Rachman dan Imran, 2011).

Selama ini distribusi dan pemasaran garam kurang efisien. Lahan garam berada di pinggir pantai yang lokasinya terpencil, dengan akses terbatas menjadi salah satu penyebab rendahnya harga yang diterima petambak garam, jauh lebih rendah dibandingkan harga di tingkat konsumen. Rendahnya harga di tingkat petambak produsen garam akan menurunkan daya tarik bagi produsen garam dalam memproduksi garam, sehingga ketergantungan Indonesia kepada garam

impor akan semakin tinggi. Ketergantungan pada garam impor, khususnya untuk keperluan garam konsumsi sangat tidak mendukung ketahanan nasional karena garam adalah komoditi strategik yang secara terus menerus dibutuhkan oleh seluruh masyarakat.

Tahun 2011 pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berupaya meningkatkan produksi garam nasional dengan mendorong petambak untuk melaksanakan usaha garam melalui program Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat (PUGAR). KKP menetapkan 9 (sembilan) Kabupaten seluas 15.033 ha sebagai sentra PUGAR, yaitu Indramayu, Cirebon, Pati, Rembang, Sampang, Sumenep, Pamekasan, Tuban dan Nagekeo. PUGAR 2011 melibatkan 14.400 petambak garam yang berasal dari 2.057 kelompok usaha garam rakyat (KUGAR). Estimasi kebutuhan, target produksi dan impor garam yang menjadi target keberhasilan PUGAR dapat dilihat dalam Tabel 1.2.

Tabel 1.2 Estimasi kebutuhan, target produksi dan impor garam (jumlah ton)

Uraian 2010 2011 2012 2013 2014

Kebutuhan 2.872.326 2.942.760 3.028.630 3.117.421 3.209.241 Target Produksi PUGAR 0 304.000 874.882 1.553.464 3.764.359 Target Produksi Nasional 1.265.600 1.569.600 2.444.482 3.997.946 7.762.305 Impor 1.513.829 1.373.160 584.148 -880.525 -4.553.064 Sumber : KKP, 2011b

Pemerintah berkewajiban memenuhi hak semua warga negara untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sesuai amanat Pasal 27 ayat 2 Undang Undang Dasar (UUD) 1945. Garam yang dihasilkan melalui pola tradisional dalam PUGAR akan dapat menyerap banyak tenaga kerja. Teknologi yang diterapkan dalam PUGAR diharapkan dapat meningkatkan produktifitas dan mutu garam sehingga dapat tercapai harga dasar garam yang ditetapkan pemerintah. Dengan begitu usaha garam dapat menjadi usaha yang layak dan dapat meningkatkan kesejahteraan petambak garam.

B. Perumusan Masalah

Salah satu sentra utama garam di Indonesia yang akan ditingkatkan produksinya adalah Indramayu. Indramayu dan Cirebon merupakan daerah pemasok garam untuk wilayah Jawa Barat yang merupakan titik potensial dalam pencapaian target swasembada garam nasional. Losarang merupakan salah satu Desa di Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu yang menjadi lokasi PUGAR dengan jumlah kelompok terbanyak dibandingkan Desa lokasi PUGAR lain di Kabupaten Indramayu. PUGAR di Desa Losarang ditujukan kepada 170 petambak garam yang terhimpun dalam 17 Kelompok Usaha Garam Rakyat (KUGAR).

Dari uraian yang telah dikemukakan pada latar belakang masalah, maka dirumuskan permasalahan berikut :

1. Bagaimana efektivitas implementasi program Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat di Desa Losarang Kecamatan Losarang Kabupaten Indramayu ? 2. Faktor-faktor internal dan eksternal apakah yang mempengaruhi

keberhasilan usaha garam rakyat di Desa Losarang Kecamatan Losarang Kabupaten Indramayu ?

3. Bagaimana kelayakan usaha tambak garam anggota kelompok usaha garam rakyat peserta program Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat di Desa Losarang, Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu ?

C. Tujuan

1. Mengkaji efektivitas implementasi program Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat di Desa Losarang Kecamatan Losarang Kabupaten Indramayu. 2. Mengidentifikasi faktor-faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi

keberhasilan usaha garam rakyat di Desa Losarang Kecamatan Losarang Kabupaten Indramayu.

3. Mengevaluasi kelayakan usaha tambak garam anggota kelompok usaha garam rakyat peserta program Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat di Desa Losarang, Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu.

A. Implementasi Program

Suatu kebijaksanaan baik berupa UU, PP, Keppres, Inpres maupun instruksi menteri, belum akan menimbulkan akibat tertentu dalam masyarakat sebelum keputusan itu dilaksanakan. Karena implementasi kebijakan bukanlah sekedar menyangkut mekanisme penjabaran keputusan politik kedalam prosedur-prosedur rutin melalui saluran birokrasi, tetapi implementasi menyangkut masalah konflik, keputusan dan siapa yang memperoleh manfaat dari kebijaksanaan itu, sehingga implementasi itu penting. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Udoji dalam Wahab (2004) bahwa :

The execution of policies is as important if not more important than policy-making. Policies will remain dreams on blueprint in file jackets unless they are implemented (Pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu yang penting bahkan mungkin jauh lebih penting dari pada pembuatan kebijakan. Kebijakan-kebijakan akan sekedar berupa impian atau rencana bagus yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak diimplementasikan).

Dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa implementasi merupakan masalah dasar dalam pembangunan, baik itu dalam bentuk program maupun dalam bentuk proyek-proyek secara nyata. Menurut Wojowasito dalam kamus Inggris-Indonesia, Indonesia Inggris menyatakan bahwa implementasi berasal dari kata "implementation" yang berarti pelaksanaan perjanjian, hal menepati janji, dan hal melengkapi perkakas (Wojowasito, 2006). Sementara itu Van Meter merumuskan proses implementasi ini sebagai :

Those actions by public or private individuals (or Groups) that are directed at the achievement of objectives set forth inprior decisons (Tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu atau pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijaksanaan (Van Meter dalam Wahab, 2004).

Dari pengertian di atas, pelaksanaan atau implementasi berarti melaksanakan apa yang telah ditetapkan, digariskan sebelumnya dalam suatu perencanaan. Dengan kata lain pelaksanaan berarti "action" atau tindakan nyata atas rencana yang telah ditetapkan sebelumnya.

Westra (1982) mendefinisikan program sebagai, “Seperangkat aktivitas yang dilaksanakan untuk mencapai tujuan atau sejumlah tujuan dan maksud dari suatu rencana pembangunan yang spesifik”. Sedangkan Djamaluddin (1977) memberikan pengertian program adalah :

Jenis rencana yang pada dasarnya sudah menggambarkan rencana yang konkrit. Konkritnya rencana itu disebabkan karena didalamnya telah tercantum bukan saja tujuannya, kebijaksanaan dan prosedur atau aturan-aturan akan tetapi disertai pula dengan budget atau anggaran. Dengan demikian program itu merupakan pula usaha untuk mengefektifkan rangkaian tindakan yang harus dilaksanakan menurut bidang tertentu. Dari beberapa pengertian diatas maka pada dasarnya program adalah suatu jenis rencana yang berisikan rangkaian aktivitas untuk mencapai tujuan tertentu. Suatu program akan mendukung implementasi apabila didukung oleh beberapa aspek. Suatu program yang baik menurut I. Nyoman Beratha dalam Westra (1982) harus memenuhi syarat-syarat tertentu, dimana setiap program tersebut harus memuat tentang :

1. Tujuan yang dirumuskan dengan jelas.

2. Penentuan dari peralatan terbaik untuk mencapai tujuan tersebut.

3. Suatu kerangka kebijakan yang konsisten dan atau proyek yang saling berkaitan untuk mencapai tujuan seefektif mungkin.

4. Pengukuran dengan ongkos-ongkos yang diperkirakan dibandingkan dengan keuntungan.

Proyek merupakan operasional dari program, berisi kegiatan-kegiatan yang diusahakan melalui penyediaan sumber dana, manusia dan peralatan atau barang (Nyoman Beratha dalam Westra, 1982). Sedangkan implementasi program adalah suatu usaha untuk merealisir pencapaian tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam suatu rencana dan kebijaksanaan yang telah digariskan terlebih dahulu, yang meliputi penggunaan macam-macam sumber daya dalam suatu pola yang sudah ditetapkan. Untuk mencapai tujuan itu implementasi ini harus berjalan secara efektif. Wojowasito dalam kamus Inggris-Indonesia, Indonesia Inggris menyatakan bahwa efektif berasal dari kata "effective". Batasan efektivitas yang terdapat dalam Ensiklopedi Administrasi, adalah " keadaan yang menunjukkan adanya derajat pencapaian tujuan yang telah ditentukan".

Efektivitas adalah pemanfaatan sumber daya, sarana dan prasarana dalam jumlah tertentu yang secara sadar ditetapkan sebelumnya untuk menghasilkan

sejumlah barang atas jasa kegiatan yang dijalankannya (Siagian, 2001). Efektivitas menunjukkan keberhasilan dari segi tercapai tidaknya sasaran yang telah ditetapkan. Jika hasil kegiatan semakin mendekati sasaran, berarti makin tinggi efektivitasnya. Efektif tidaknya suatu program tidak hanya dipandang dari hasil akhirnya saja, tetapi juga seberapa jauh tujuan operasionalnya dapat dicapai. Dengan kata lain tujuan operasionalnya akan mempengaruhi tujuan akhir yang akan diwujudkan (Siagian, 2001), sehingga efektivitas implementasi program adalah keberhasilan proses pelaksanaan semua rencana program untuk mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan.

Menurut Syukur (1988), implementasi program akan berjalan efektif apabila didalam proses implementasi program tersebut terdapat 3 (tiga) unsur pendukung yang penting, yaitu (1) Adanya program (kebijaksanaan) yang akan dilaksanakan; (2) Target Group, yaitu kelompok masyarakat yang menjadi sasaran yang diharapkan akan menerima manfaat dari program tersebut, perubahan atau peningkatan; (3) Unsur Pelaksana (Implementator) baik organisasi, atau perorangan yang bertanggungjawab dalam pengelolaan, pelaksanaan, dan pengawasan proses implementasi tersebut.

B. Usaha Garam Rakyat

Garam adalah suatu kumpulan senyawa kimia dengan bagian terbesar terdiri dari natrium klorida (NaCl) dengan pengotor terdiri dari kalsium sulfat (gips) – CaSO4, Magnesium sulfat (MgSO4), Magnesium klorida (MgCl2), dan lain-lain (Depperindag, 2006). Apabila air laut diuapkan maka akan dihasilkan kristal garam, yang biasa disebut garam krosok. Oleh karena itu garam dapur hasil penguapan air laut yang belum dimurnikan banyak mengandung zat-zat pengotor seperti Ca2+, Mg2+, Al3+, Fe3+, SO4-, I- dan Br- (Depperindag, 2006). Untuk meningkatkan mutu garam dapat dilakukan dengan cara kristalisasi bertingkat, rekristalisasi, dan pencucian garam. Cara lain untuk meningkatkan kualitas garam adalah pemurnian dengan penambahan bahan pengikat pengotor. Tanpa adanya proses pemurnian, maka garam dapur yang dihasilkan melalui penguapan air laut masih bercampur dengan senyawa lain yang terlarut, seperti MgCl2, MgSO4, CaSO4, CaCO3, KBr dan KCl dalam jumlah kecil (Burhanuddin, 2001).

Garam dihasilkan dengan cara menguapkan air laut dalam petak-petak di pinggir pantai. Lahan pembuatan garam dibuat berpetak-petak secara bertingkat, sehingga dengan gaya gravitasi air dapat mengalir ke hilir kapan saja dikehendaki. Setiap liter air laut yang diuapkan sampai kering mengandung 7 mineral (CaSO4, KCl, MgSO4, MgCl2, NaBr, NaCl, dan air) dengan berat total 1.025,68 g. Setelah dikristalkan pada proses selanjutnya akan diperoleh garam dengan kepekatan 16,7528,50Be setara dengan 23,3576 g. Untuk menghasilkan garam dapur hanya akan diperoleh 40,97% dari jumlah bahan baku air laut semula (Burhanuddin, 2001).

Daerah potensial penghasil garam mempunyai persyaratan sebagai berikut : (1) memiliki ketersediaan bahan baku garam (air laut) yang sangat cukup, bersih dan tidak tercemar air tawar; (2) memiliki iklim kemarau yang cukup panjang (minimal 45 bulan), dengan curah hujan relatif kecil (1.0001.400 mm/tahun); (3) memiliki dataran rendah dengan tingkat kemiringan kecil dan permeabilitas (kebocoran) tanah yang rendah; mempunyai suhu udara tinggi dan penyinaran matahari yang cukup, tidak tertutup mendung/berkabut (Bakosurtanal, 2010).

Pembuatan garam di Indonesia 70% dilakukan oleh rakyat dilahan garam yang relatif sempit (0,53 Ha) dengan teknologi pengolahan dan peralatan sederhana. Proses Pembuatan garam rakyat dimulai dari proses penampungan air laut/bozeem yang berfungsi untuk tempat persediaan air laut dan mengendapkan kotoran fisik air laut, setelah itu dilakukan proses pemekatan (dengan menguapkan airnya) dan pemisahan garamnya (dengan kristalisasi). Bila seluruh zat yang terkandung diendapkan/dikristalkan akan terdiri dari campuran bermacam-macam zat yang terkandung, tidak hanya Natrium Klorida yang terbentuk tetapi juga beberapa zat yang tidak diinginkan ikut terbawa (impurities). Proses kristalisasi dengan cara menguapkan seluruh air garam yang dimasukkan meja kristal menjadi kering disebut kristalisasi total (Rachman dan Imran, 2011). Sistem pembentukan kristal garam rakyat secara tradisional dilakukan diatas tanah lahan, setelah 5-10 hari kristal garam diambil dari atas tanah. Sistem ini dikenal dengan sistem “madurese”, karena dilakukan oleh petambak garam rakyat di pulau Madura yang sejak jaman kolonial Belanda

ditetapkan sebagai daerah penghasil Garam. Proses produksi garam rakyat dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Garam produksi PT garam lebih bermutu dibanding garam rakyat karena PT Garam mempunyai luas areal produksi garam yang luas. Semakin jauh aliran air laut ke lahan pergaraman, maka tingkat konsentrasi menjadi tinggi. Proses aliran yang panjang juga dilakukan agar unsur-unsur yang tidak diinginkan dalam garam seperti oksidasi besi, magnesium sulfat, magnesium klorida dapat dikurangi, sehingga hanya tersisa unsur NaCl (Natrium Chlorida) yang dibutuhkan dalam garam. Sirkulasi air garam ini akan berujung pada tempat penampungan yang bernama air tua. Air tua ini mengandung konsentrat garam yang tinggi, yaitu 290Be. Apabila konsentrat melebihi dari standar yang ditetapkan, maka akan muncul Magnesium Sulfat, atau yang lebih populer disebut Garam Inggris. Air laut tua kemudian diuapkan, sehingga menjadi kristal-kristal garam. Metode untuk mendapatkan hasil garam Natrium Klorida dengan kemurnian tinggi yang dilaksanakan PT Garam disebut metode kristalisasi bertingkat. Kristalisasi komponen garam oleh PT Garam diatur pada tempat-tempat yang berlainan secara berturut-turut sehingga dapat membentuk komponen garam yang relatif lebih murni. Sistem pembentukan kristal garam yang dilakukan diatas lantai garam yang terbuat sebelumnya selama 30 hari berikut 10 hari waktu pemungutan kristal garam. Sistem ini dikenal dengan sistem portugese, yang digunakan portugis untuk membuat garam di pulau Madura (Rachman dan Imran, 2011). Proses produksi garam PT Garam dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Gambar 2.1 Proses produksi Garam Rakyat (Deperindag, 2006)

3,50Be 5100Be

± 150Be

Air Laut Bak Penampungan

Air Laut Areal Penguapan (Peminihan/Evaporasi) Pompa Saluran Air Areal Penampungan Air Tua Areal Kristalisasi Penirisan (Penjemuran) 19200Be

Gambar 2.2 Proses produksi Garam PT Garam (Deperindag, 2006)

Walaupun potensi lahan pergaraman di Indonesia sekitar 34 ribu Ha, namun Indonesia selalu mengimpor garam untuk memenuhi kebutuhan garam nasional, bahkan garam untuk konsumsi yang dapat dipenuhi produksi garam nasional, tidak lagi dapat dipenuhi sejak tahun 1998, karena adanya banyak persoalan yang dihadapi petambak garam rakyat, baik yang berhubungan dengan produksi dan pemasaran, kebijakan pemerintah maupun permasalahan yang dihadapinya dalam

Air Laut (dipompa)

Bak Penampungan Air Laut (Pengendapan Partikel/Lumpur)

Kolam Pengendapan Air Laut (Penambahan CO2)

Kolam Pengendapan Air Laut II (Penambahan Asam Oksalat)

Kolam Kristalisasi Garam I

Kolam Kristalisasi Garam II

Dibuang Salinitas 35 0/00 atau 3–3,50Be 5–100Be ± 150Be ± 200Be ± 28 0Be > 290Be Waduk/Bozem (serapan) Peminihan I (Penguapan + Endapan S, O, Ca dan K) Peminihan II (Penguapan + Endapan Mg) NaCl 95% NaCl 98% Bittern (Senyawa Mg) Air garam > 290Be

Kolam Penampungan Air Tua ± 250Be Waduk/Bozem

kehidupan sehari-hari seperti :

1. Proses produksi garam rakyat kebanyakan hanya tergantung pada alam (air laut dan cuaca) dengan pengalaman bertambak garam dengan teknologi terbatas. 2. Kurangnya modal petambak garam, dimana pendapatan petambak garam

hanya diterima setiap musim panen garam, sedangkan kebutuhan hidup harus dipenuhi setiap hari. Proses berproduksi garam rakyat mulai dari persiapan lahan, mengalirkan air laut sampai menjadi garam memerlukan waktu 40 hari. Pengeluaran-pengeluaran besar yang tidak dapat ditunggu sampai panen tiba, misalnya kematian dan pesta perkawinan mengakibatkan petambak garam harus menjual produknya ketika masih dalam proses kristalisasi partikel-partikel garam, yang mengakibatkan harga jual garam yang diterima petambak menjadi rendah.

3. Ketergantungan impor garam karena mutu yang lebih baik dan harga yang lebih murah, menjadikan petambak garam enggan untuk melaksanakan produksi karena kalah bersaing. Pemerintah berupaya melindungi produsen skala kecil melalui Peraturan Menteri Perdagangan

Dokumen terkait