• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAPET Khatulistiwa

8. IMPLIKASI STRATEGI PUSAT PERTUMBUHAN

Implikasi kebijakan dari penelitian ini merupakan sintesa dari gambaran umum pusat-pusat pertumbuhan di Kalimantan saat ini serta berdasarkan model- model spillover pertumbuhan dan uji multipolarisasi antar pusat-pusat pertumbuhan yang dijelaskan dalam hasil dan pembahasan. Implikasi kebijakan ini diharapkan dapat mengoptimalkan kinerja pusat-pusat pertumbuhan di Kalimantan sebagai prime mover sekaligus mengembangkan wilayah-wilayah lainnya yang berpotensi menjadi pusat pertumbuhan baru.

Sektor Basis dan Spillover Pertumbuhan

Penentuan suatu wilayah sebagai pusat-pusat pertumbuhan yang dilakukan selama ini menjadikan sektor basis/sektor ungggulan sebagai salah satu kriteria penetapannya (Pasal 1 Keputusan Presiden RI Nomor 150 Tahun 2000). Sebagian besar kabupaten/kota di Kalimantan baik yang ditetapkan sebagai pusat-pusat pertumbuhan maupun bukan pusat pertumbuhan memiliki sektor unggulan baik pada sektor pertanian maupun sektor pertambangan dan penggalian. Untuk wilayah-wilayah yang memiliki sumberdaya alam homogen seperti di Kalimantan, penggunaan sektor basis yang hanya membandingkan distribusi output pada level kabupaten/kota terhadap output pada level propinsi masih dirasa sangat sederhana. Hal ini bisa berakibat pada pengambilan keputusan yang kurang tepat dalam menentukan wilayah sebagai pusat-pusat pertumbuhan.

Pusat pertumbuhan pada kenyataannya tidak dapat berkembang tanpa adanya dukungan dari wilayah sekitar. Disisi lain, pusat-pusat pertumbuhan juga diharapkan dapat memberikan dampak spillover bagi wilayah sekitarnya. Dengan kondisi ini, kriteria dalam menentukan suatu wilayah sebagai pusat pertumbuhan sudah seharusnya mempertimbangkan adanya interaksi antarwilayah, terutama besaran spillover yang dihasilkan terhadap wilayah sekitarnya. Jika tidak, maka yang terjadi adalah pusat pertumbuhan tidak dapat berkembang dan tidak mampu memberikan dampak positif bagi wilayah pendukungnya.

Selain sektor basis, ukuran empiris yang perlu dipertimbangkan dalam penetapan suatu wilayah sebagai pusat-pusat pertumbuhan adalah spillover pertumbuhan regional. Semakin besar ukuran spillover menunjukkan bahwa antara pusat pertumbuhan dengan wilayah sekitarnya memiliki interaksi yang kuat. Besaran dari spillover spasial bergantung pada i). dimensi spasial (jarak geografi), ii.) dimensi dinamis (tingkat pertumbuhan wilayah tetangga), iii) dimensi absolut (banyaknya wilayah tetangga). Dengan lata lain, spillover spasial bergantung pada pertumbuhan wilayah-wilayah tetangga.

Dalam gambaran umum yang ditunjukkan pada Tabel 3 diuraikan bahwa seluruh pusat-pusat pertumbuhan di Kalimantan memiliki sektor basis, demikian juga dengan daerah yang bukan merupakan pusat pertumbuhan. Berdasarkan estimasi terhadap koefisien spatial lag dependent yang diuraikan dalam hasil dan pembahasan (Gambar 17), tidak semua pusat-pusat pertumbuhan dapat memberikan spillover bagi wilayah sekitarnya. Hal ini menunjukkan bahwa suatu wilayah yang memiliki LQ yang tinggi belum tentu dapat memberikan spillover bagi wilayah sekitarnya, sebaliknya wilayah yang memiliki spillover ke wilayah sekitarnya, hampir bisa dipastikan memiliki sektor basis. Dengan demikian,

penetapan wilayah sebagai pusat-pusat pertumbuhan sudah seharusnya mempertimbangkan ukuran spillover dalam menentukan suatu wilayah sebagai pusat-pusat pertumbuhan.

Ketimpangan dan Polarisasi

Literatur tentang polarisasi masih terus berkembang sehingga dianggap perlu untuk melakukan klarifikasi khususnya mengenai konsep dan ukuran polarisasi. Meskipun demikian kita memahami bahwa ada sesuatu dalam konsep polarisasi yang dapat kita sandingkan dengan konsep ketimpangan. Fenomena polarisasi mampu menangkap atau melihat dengan jelas adanya gerakan ketimpangan (Anderson, 2004).

Seperti kita ketahui, bahwa hingga saat ini Kalimantan masih tertinggal dari sisi output, jumlah penduduk maupun investasi dibanding pulau-pulau lainnya seperti Jawa dan Sumatera (dapat dilihat pada Gambar 1). Meskipun memiliki sumberdaya hutan dan hasil tambang yang melimpah, pusat-pusat pertumbuhan di Kalimantan belum mampu berkembang sebagaimana yang diharapkan.

Hal yang menarik dapat kita eksplorasi dari hasil yang didapatkan atas uji multipolarisasi yaitu bahwa pusat-pusat pertumbuhan di Kalimantan menunjukkan adanya polarisasi positif terhadap pulau-pulau lainnya di Indonesia, demikian juga sebaliknya (Gambar 20 dan 21). Hal ini menunjukkan bahwa ketimpangan antarpulau yang makin besar, utamanya antara Kalimantan dan pulau-pulau lainnya di Indonesia diikuti dengan hasil uji polarisasi yang membuktikan lebih cepatnya barang masuk dari pulau-pulau lainnya ke Kalimantan dan lebih cepatnya perpindahan penduduk dari Kalimantan ke pulau-pulau lainnya di Indonesia, meskipun belum bisa ditafsirkan sebagai hubungan kausal.

Salah satu upaya untuk memperlambat laju perpindahan penduduk dari Kalimantan ke pulau-pulau di luar Kalimantan adalah dengan membangun fasilitas dan prasarana sosial ekonomi yang memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi penduduk di kawasan-kawasan dalam pulau Kalimantan. Hal ini dikenal dengan istilah agropolitan, manakala basis perekonomian di kawasan- kawasan tersebut adalah pertanian (Pranoto et al., 2006), sebagaimana yang terjadi di Kalimantan. Pembangunan daerah dengan pendekatan agropolitan diharapkan dapat meminimalkan dampak ketimpangan dan polarisasi.

Uji polarisasi dapat mengkonfirmasi besaran dampak positif antar pusat- pusat pertumbuhan baik antarpulau maupun dalam pulau. Oleh karenanya, pengujian terhadap dampak polarisasi pusat-pusat pertumbuhan secara statistik sangatlah diperlukan khususnya dalam mendeteksi ketimpangan antarwilayah yang selama ini hanya didekati dengan indeks ketimpangan saja.

Spillover dan Multipolarisasi

Penghitungan terhadap dampak spillover pusat-pusat pertumbuhan sekaligus pengujian terhadap dampak polarisasi merupakan bagian yang sangat penting untuk dilakukan utamanya dalam mengukur dampak pengembangan suatu wilayah terhadap wilayah sekitarnya. Tidak hanya saat menentukan suatu wilayah sebagai pusat-pusat pertumbuhan, namun juga dalam melakukan evaluasi terhadap kinerja pusat-pusat pertumbuhan.

90

Berdasarkan hasil analisis sebelumnya, hanya sebagian pusat-pusat pertumbuhan di Kalimantan yang memberikan dampak spillover bagi wilayah sekitarnya. Akan tetapi, dampak spillover yang dideteksi dengan model spatial lag dependent menunjukkan bahwa besaran spillover yang dihasilkan tidak merata, bahkan masih banyak wilayah-wilayah sekitar yang belum menerima dampak spillover.

Dampak spillover pusat-pusat pertumbuhan tidak hanya terjadi dengan wilayah sekitar, tetapi juga terjadi dengan pusat-pusat pertumbuhan terdekat. Pusat-pusat pertumbuhan di Kalimantan juga mengalami multipolarisasi dengan pusat-pusat pertumbuhan lainnya. Seperti yang disampaikan oleh Friedmann (1967) bahwa dampak tarikan sumberdaya dari wilayah sekitar jangan langsung dipandang sebagai dampak pengurasan sumberdaya (backwash effect). Tarikan sumberdaya dari wilayah sekitar (pusat-pusat pertumbuhan kecil disekitarnya),

akan memunculkan bahkan mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan

disekitarnya menjadi lebih besar. Hal ini tentu saja dapat terwujud apabila diikuti oleh investasi serta transfer teknologi ke wilayah sekitar (Capello, 2007).

Disisi lain, pelambatan polarisasi juga terkait dengan efek penyebaran inti- pinggiran, proses difusi teknologi, atau infrastruktur jalan yang mempengaruhi pilihan lokasi investasi swasta (Ezcurra, 2013). Dengan demikian, spilover dan multipolaritas akan bergerak secara bersama-sama menuju keseimbangan (Gambar 22). Pengembangan wilayah pusat-pusat pertumbuhan sudah seharusnya memperhatikan arah dan dapat membuat keduanya semakin cepat mengalami keseimbangan.

Gambar 22.(a) Hipotesis Polarisasi dan Spread Effect(b) Polarisasi, Spread dan Upgrading

Sumber : Kipnis (2004) (a)

Dampak spillover antar pusat-pusat pertumbuhan di Kalimantan hanya terjadi dalam lingkup satu propinsi, sedangkan dampak multipolaritas aliran barang dan aliran barang antar pusat-pusat pertumbuhan di Kalimantan bergerak lebih cepat dibanding antara pusat-pusat pertumbuhan di Kalimantan dengan luar Kalimantan. Dengan demikian, kedekatan/jarak mempengaruhi pergerakan baik terhadap spillover maupun multipolaritas.

Berdasarkan estimasi dengan model simultan, diperoleh efek umpan balik antara pertumbuhan output dengan pertumbuhan investasi. Bahkan, pertumbuhan investasi memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap pertumbuhan output. Melalui investasi, kapasitas produksi dapat ditingkatkan yang kemudian mampu untuk meningkatkan output, dan pada akhirnya akan mengurangi pengangguran. (Priyarsono, 2011).

Disisi lain, output yang dihasilkan oleh pusat-pusat pertumbuhan di Kalimantan akan lebih cepat dan lebih banyak tersebar ke wilayah-wilayah di sekitarnya, jika investasi keras seperti infrastruktur jalan baik jalur darat maupun jalur sungai/laut khususnya antar propinsi di Kalimantan dapat ditingkatkan kuantitas maupun kualitasnya. Hal penting lainnya adalah membangun sentra produksi hasil-hasil pertanian di wilayah hinterland yang potensial sehingga dapat memperpendek jalur transaksi perdagangan. Strategi pengembangan wilayah melalui investasi seperti ini (supply side strategy) akan meningkatkan pasokan komoditi yang pada umumnya diproses dari sumberdaya lokal (Rustiadi, et al., 2009). Upaya-upaya tersebut diharapkan dapat mengurangi kesenjangan antarwilayah utamanya antara pusat-pusat pertumbuhan di Kalimantan dengan wilayah sekitarnya.

Implikasi Kebijakan

Dari ketiga sintesa yang telah diuraikan sebelumnya, maka implikasi kebijakan yang ditawarkan yaitu :

1. Mempercepat pembangunan jalan trans Kalimantan

Sudah lama kita mendengar rencana pemerintah pusat untuk membangun jalan yang menghubungkan keempat propinsi di Kalimantan. Akan tetapi, hingga saat ini rencana tersebut masih terkendala oleh intervensi pemerintah daerah khususnya yang terkait dalam hal pelimpahan pekerjaan dan pembebasan lahan. Realisasi pembangunan jalan trans Kalimantan termasuk pembangunan kereta api untuk mengangkut hasil produksi seperti batubara sangat diharapkan agar spillover pertumbuhan tidak hanya terjadi antar kabupaten/kota dalam satu propinsi saja, namun juga lintas propinsi. Selain itu, pembangunan jalan trans Kalimantan sekaligus membuat polarisasi aliran barang antar pusat-pusat pertumbuhan di Kalimantan semakin cepat terjadi.

Pembangunan jalan trans Kalimantan dan infrastruktur lainnya merupakan syarat keharusan untuk pengembangan potensi ekspor maupun untuk masuknya investasi ke dalam kawasan Kalimantan. Hal ini tidak saja untuk mengembangkan kawasan Kalimantan sendiri, namun sekaligus dapat menjadi sumber pertumbuhan baru bagi Indonesia yang dapat memperkokoh perekonomian Indonesia dari krisis-krisis ekonomi yang semakin sering terjadi (Siregar, et al., 2012). Investasi publik untuk pembangunan jalan dan infrastruktur lainnya, dengan demikian harus diprioritaskan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah di pulau Kalimantan.

92

2. Pembangunan ekonomi pada kabupaten/kota yang memiliki potensi sebagai pusat pertumbuhan baru.

Pengembangan wilayah yang dilakukan selama ini lebih memprioritaskan pada pembangunan kabupaten/kota di Kalimantan yang ditetapkan sebagai pusat- pusat pertumbuhan. Hal ini justru semakin mempertajam disparitas antarwilayah. Pusat-pusat pertumbuhan dirasakan belum mampu menjadi prime mover bagi wilayah sekitar, dikarenakan keputusan penetapannya yang kurang tepat. Beberapa pusat-pusat pertumbuhan di Kalimantan terbukti belum mampu memberikan dampak spillover terhadap wilayah sekitar seperti Kota Palangkaraya, Kota Pontianak, Kota Singkawang dan Kabupaten Kapuas Hulu. Penelitian ini juga berhasil mengidentifikasi beberapa kabupatena yang berpotensi sebagai pusat pertumbuhan baru, seperti Kutai Timur, Tabalong, Balangan, dan Kotawaringin Barat. Wilayah-wilayah ini seharusnya mendapat dukungan infrastruktur yang memadai seperti pembangunan jalan, pelabuhan, dan pembangkit listrik untuk memperluas jangkauan pasar.

Disamping itu, pembangunan sentra produksi dari sektor-sektor yang merupakan unggulan masing-masing wilayah seperti sektor pertanian antara lain perkebunan kelapa sawit dan karet serta sektor pertambangan dan penggalian. Pembangunan sentra produksi ini akan memberikan multiplier efek yang tinggi sehingga mampu mendorong pertumbuhan ekonomi yang cepat, berkelanjutan, dan berkeadilan. Pembangunan infrastruktur sekaligus fasilitas-fasilitas sosial ekonomi untuk mengembangkan potensi ekonomi daerah yang berbasis pertanian, atau pembangunan daerah dengan pendekatan agropolitan, diharapkan sesuai untuk diterapkan pada daerah-daerah yang dimaksud.

3. Dukungan terhadap interkonektivitas antarpulau

Berbagai permasalahan dalam pengembangan pusat pertumbuhan di Kalimantan seperti yang disampaikan dalam laporan Strategic Asia (2012) mengenai implementasi MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) diantaranya mengungkapkan masih kurang memadainya infrastruktur dasar di Kawasan Timur Indonesia baik secara kuantitas maupun kualitas utamanya pembangunan jalan raya. Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) dirumuskan dalam upaya membuat strategi pembangunan infrastruktur perhubungan yang diperlukan untuk mempersatukan pasar dalam negeri. Namun, ada banyak kritik terhadap inisiatif ini bahkan sampai sekarang MP3EI belum mengalami banyak kemajuan.

Ditengah segala kekurangannya, konsep interkonektivitas antarpulau yang dikedepankan dalam MP3EI menjadi satu-satunya rencana komprehensif untuk pembangunan nasional secara terintegrasi. Oleh karenanya, dukungan pemerintah baik pusat maupun daerah terhadap konsep ini masih sangat diperlukan, utamanya dalam pembangunan infrastruktur dasar baik secara kuantitas maupun kualitas. Disamping itu pemerintah diharapkan dapat melakukan efisiensi khususnya terhadap belanja modal dan terus mendorong pihak swasta dan BUMN untuk ikut terlibat dalam pembangunan infrastruktur seperti yang dijelaskan dalam poin 1 dan 2 diatas.

Simpulan

Simpulan umum dari penelitian ini adalah belum meratanya dampak spillover yang diberikan oleh pusat-pusat pertumbuhan di Kalimantan terhadap wilayah sekitarnya. Bahkan, beberapa pusat pertumbuhan dibuktikan belum dapat memberikan dampak spillover positif (spread effect) sebagaimana yang diharapkan. Disisi lain, polarisasi aliran barang antar pusat-pusat pertumbuhan di Kalimantan dan luar Kalimantan menunjukkan masih besarnya ketergantungan Kalimantan dengan pulau-pulau lainnya terutama Jawa. Demikian juga dengan polarisasi aliran penumpang dari Kalimantan ke luar Kalimantan yang lebih cepat terjadi. Dengan kata lain, pengembangan wilayah pusat-pusat pertumbuhan di Kalimantan masih belum optimal memberikan dampak spillover bagi daerah sekitar serta belum mampu mengatasi permasalahan ketimpangan dengan pulau- pulau lainnya di Indonesia.

Secara lebih rinci, simpulan yang terkait dengan masing-masing tujuan penelitian adalah sebagai berikut:

1. Interaksi spasial antara pusat-pusat pertumbuhan di Kalimantan dengan wilayah sekitarnya yang diuji menggunakan model LM Spatial Lag Dependent secara signifikan membuktikan adanya ketergantungan wilayah sekitar pusat-pusat pertumbuhan baik terhadap pertumbuhan output, pertumbuhan tenaga kerja, dan juga pertumbuhan investasi. Deteksi spasial tersebut menjadikan penelitian ini dapat mengukur dampak spillover pusat-pusat pertumbuhan di Kalimantan. Kedekatan suatu wilayah dengan pusat pertumbuhan akan berdampak positif manakala diikuti oleh makin besarnya aliran ekonomi yang terjadi antara pusat pertumbuhan dengan wilayah sekitarnya. Beberapa pusat pertumbuhan dideteksi belum dapat memberikan dampak spillover bagi wilayah sekitarnya, bahkan ada yang mengalami penurunan output bila faktor- faktor lainnya konstan.

2. Pengujian secara simultan terhadap ketiga model pertumbuhan

membuktikan bahwa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan suatu wilayah utamanya adalah interaksi spasial dengan pusat-pusat pertumbuhan terdekat. Pertumbuhan output dan pertumbuhan investasi membuktikan adanya efek umpan balik. Pertumbuhan investasi secara signifikan memberikan pengaruh yang lebih besar terhadap pertumbuhan output. Sementara itu, pertumbuhan output secara signifikan memberikan pengaruh yang lebih kecil terhadap pertumbuhan investasi. Oleh

karenanya, pengembangan wilayah pusat-pusat pertumbuhan di

Kalimantan akan lebih baik bila fokus utamanya pada peningkatan investasi yang pada gilirannya juga berdampak pada pertumbuhan output. Peningkatan investasi ini bukan semata-mata bersumber dari investasi swasta, akan tetapi lebih menekankan efisiensi belanja modal yang dalam penelitian ini secara nyata menunjukkan pengaruh yang negatif terhadap pertumbuhan tenaga kerja. Sayangnya, model pertumbuhan tenaga kerja di Kalimantan belum dapat membuktikan adanya efek umpan balik dengan pertumbuhan output.

94

3. Data arus barang dan arus penumpang telah mengkonfirmasi polarisasi antara pusat-pusat pertumbuhan. Belum semua pulau dapat membuktikan adanya polarisasi baik untuk aliran barang dan aliran penumpang. Kalaupun ada polarisasi, kecepatan polarisasi antara pusat-pusat pertumbuhan di Kalimantan dan luar Kalimantan sangat jauh berbeda, bahkan polarisasi ada yang bertanda negatif. Polarisasi masuknya barang di Kalimantan cenderung lebih cepat, berkebalikan hasil untuk polarisasi arus penumpang ke Kalimantan. Temuan ini menunjukkan bahwa pusat- pusat pertumbuhan di Kalimantan memiliki tuntutan tinggi untuk barang dari luar wilayahnya, sementara penduduk yang tinggal pada pusat-pusat pertumbuhan di Kalimantan lebih cenderung untuk bermigrasi ke pusat- pusat pertumbuhan di luar Kalimantan. Hal inilah yang menjadi penyebab mengapa ketimpangan masih terjadi utamanya antara pusat-pusat pertumbuhan di Kalimantan dan luar Kalimantan. Oleh karena itu, pemerintah daerah baik pada tingkat kabupaten/kota ataupun tingkat propinsi di Kalimantan dituntut untuk dapat menciptakan lapangan pekerjaan seluas-luasnya kepada masyarakat khususnya membangun sentra produksi yang dihasilkan dari sektor pertanian agar dapat mengejar ketertinggalan dengan pulau-pulau lainnya di Indonesia.

Saran

Pengembangan wilayah pusat-pusat pertumbuhan harus diarahkan pada upaya memperbaiki pola interaksi dan peningkatan transaksi perdagangan utamanya terhadap wilayah-wilayah di sekitarnya. Hal ini dimaksudkan agar pertumbuhan output, tenaga kerja, dan investasi pada akhirnya tidak hanya dinikmati oleh pusat-pusat pertumbuhan itu sendiri tetapi juga dapat dinikmati oleh daerah-daerah sekitarnya. Untuk itu, percepatan pembangunan jalan yang menghubungkan keempat propinsi di Kalimantan (Trans Kalimantan) menjadi prioritas utama.

Di sisi lain, perlu mengkaji ulang kebijakan penetapan pusat-pusat

pertumbuhan dengan menetapkan serta membangun perekonomian

kabupaten/kota yang berpotensi sebagai pusat pertumbuhan baru. Untuk meningkatkan dampak spillover pusat-pusat pertumbuhan di Kalimantan, kebijakan ekonomi yang disarankan adalah peningkatan investasi yang mendorong produktivitas di wilayah-wilayah pusat pertumbuhan, yang pada akhirnya akan meningkatkan output dan penyerapan tenaga kerja tidak hanya di wilayah pusat-pusat pertumbuhan namun juga bagi wilayah sekitarnya.

Dalam mengatasi permasalahan ketimpangan antarpulau, khususnya antara Kalimantan dengan pulau-pulau lainnya di Indonesia, salah satu cara yang dapat ditempuh adalah memperbaiki pola interaksi khususnya aliran barang antar pusat- pusat pertumbuhan di Kalimantan dengan luar Kalimantan. Hal ini disebabkan pola interaksi antar pusat-pusat pertumbuhan yang terjalin selama ini khususnya untuk aliran barang hanya didasarkan pada keunggulan sumber daya daerah. Pola interaksi aliran barang harus disesuikan dengan spesialisasi masing-masing wilayah. Untuk itu, pemerintah perlu memberikan dukungan terhadap program- program yang mengedepankan spesialisasi dan interkonektivitas seperti MP3EI dengan catatan bahwa transaksi perdagangan dari Kalimantan seharusnya

merupakan diversifikasi produk, tidak lagi berbasis bahan mentah. Pengembangan produk-produk diharapkan tidak hanya dapat meningkatkan kuantitas output, namun sekaligus memperluas lapangan pekerjaan. Cara-cara ini pada akhirnya dapat meningkatkan polarisasi aliran barang dari Kalimantan dan sekaligus memperlambat polarisasi aliran penumpang ke luar Kalimantan.

Pengukuran terhadap dampak spillover tidak cukup dilakukan hanya pada level kabupaten/kota. Pengukuran ini jugaperlu dilakukan pada unit analisis yang lebih kecil seperti pada level kecamatan/desa. Di samping itu, penelitian ini bisa dikembangkan pada pusat-pusat pertumbuhan lainnya di Indonesia. Oleh karena itu, perlu dukungan data yang lebih memadai untuk melanjutkan penelitian ini ke dalam cakupan yang lebih luas dan komprehensif.

Adams-Kane, J. and Lim J.J., (2011). Global Growth Poles in a Multipolar World Economy. Worldbank.

Adisasmita, R, (2008). Pengembangan Wilayah : Konsep dan Teori. Graha Ilmu. Anderson, G., 2004, Toward an Empirical Analysis of Polarization, Journal of

Econometrics,122, pp. 1-26.

Anselin, L. 1988. Spatial Econometrics: Methods and Models. Dordrecht: Academic Publishers.

Anselin, L., Bera, A., Florax, R., Yoon, M., (1996). Simple diagnostic tests for spatial dependence. Regional science and urban economics. Vol. 26. pp. 77- 104

Anselin, L., Getis, A., (2010). Spatial statistical analysis and geographic information systems: Perspectives on Spatial Data Analysis. Springer. pp. 35-47.

Arbia, G. (2006). Spatial Econometrics: Statistical Foundations and Applications to Regional Convergence. Springer, Berlin.

Artige, L. (2009). Market Potential, Productivity dan Foreign Direct Investment : Some evidence from three case studies. European Planning Studies. Vol. 18. pp. 147-168

Aviliani, A., Siregar H., and Hasanah H. (2014). Addressing the middle-income trap : Experience of Indonesia. Asian Social Science, 10 (7).

Bappenas, (2010), RPJMN 2010-2014, Buku III.

Boudeville, J.R. (1966). Problems of Regional Economics Planning, Edinburgh: Edinburgh University Press.

BPS-Statistics Indonesia. 2008, 2009, 2010, 2011, 2012. Daerah dalam Angka. Jakarta: Badan Pusat Statistik

Capello, R., (2007). Regional Economics. Routledge. Ch. 7. pp. 161-166

Capello, R., (2009). Spatial Spillover and Regional Growth : A Cognitive Approach. European Planning Studies. Volume 17, Number 5, pp. 639-658 (20).

Casetti E., King L.J., and Orland J., (1973). Testing Hypothesis Of Polarized Growth Within A Central Place Hierarchy. JSTOR. 74-79.

Christaller, W., (1966). Central Places in South Germany, Terjemahan Baskin, W.W, Wnglewoods Cliffs, N.J : Prentice Hall, Inc.

Cliff, A.D., and Ord, John K., (1973). “SpatialAutocorrelation”, London : Pion. Cliff, A.D., and Ord, John K., (1981). “Spatial Processes : Models and

Applications”, London : Pion.

Conroy, Michael E., (1973). Rejection of Growth Center Strategy in Latin American Regional Development Planning. Land Economics, Vol. 49, No. 4 (Nov., 1973), pp. 371-380.

Demurger S. (2001). Infrastructure Development and Economic Growth: an explanation for regional disparities in China?, Journal of Comparative Economics 29, 95-117.

Elhorst, J.Paul, (2003). “Spesification and Estimation of Spatial Panel Data Models”, International Regional Science Review, 26(3). 244-268.

Ezcurra, R., (2013). Polarization Trends Across The European Regions. Region et Developpement. Spain. No. 38-2013.

97

Friedmann, J. R. "A General Theory of Polarized Development," Santiago, Chile, 1967.

Fujita, M., Krugman P., and Venables A.J. (1999). The Spatial Economy : Cities, Regions, and International Trade. MIT Press, Cambridge, MA.

Gebremariam, G.H., Gebremedhin, T.G., Schaeffer, P.V (2008). A Simultaneous Spatial Panel Data Model of Regional Growth Variation : An Empirical Analysis of Employment, Income, Migration, and Local Public Services. Journal of Economic Literature.

Getis, A., Aldstadt, J., (2004). Constructing the Spatial Weights Matrix Using Local Statistic. Gographical Analysis, Vol. 36, No. 2.

Glaeser, Edward L., (1994). Cities, information, and economic growth. Cityscape. Gujarati. (2003), Basic Econometrics. McGraw-Hill. New York.

Henderson, J.V., (1986). Efficiency of resource usage and city size, Journal of Urban Economics 19, 47-70.

Hirschman, A. O. (1958). The Strategy of Economic Development. New Haven, Conn.:Yale Univeristy Press.

Kelejian H.H., and Prucha I.R., (1998). A Generalized Spatial Two Stage Least Square Procedure for Estimating a Spatial Autoregressive Model with Autoregressive Disturbance. Journal of Real Estate Finance and Economics, Vol. 17:1,99-121.

Kelejian H.H., and Prucha I.R., (2010). Spatial Model with Spatial Lagged Dependent Variables and Incomplete Data. Springer-Verlag.

Kipnis, BA. (2004). Polarization, spread and upgrading of urban functions : From a Dominating “First City” to a “Network of Cities” Structure. Journal of