• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak Spillover Dan Multipolaritas Pengembangan Wilayah Pusat Pusat Pertumbuhan Di Kalimantan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dampak Spillover Dan Multipolaritas Pengembangan Wilayah Pusat Pusat Pertumbuhan Di Kalimantan"

Copied!
153
0
0

Teks penuh

(1)

DAMPAK

SPILLOVER

DAN MULTIPOLARITAS

PENGEMBANGAN WILAYAH

PUSAT-PUSAT PERTUMBUHAN DI KALIMANTAN

ERNAWATI PASARIBU

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Dampak Spillover dan Multipolaritas Pengembangan Wilayah Pusat-Pusat Pertumbuhan di Kalimantan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2015

(4)

RINGKASAN

ERNAWATI PASARIBU. Dampak Spillover dan Multipolaritas Pengembangan Wilayah Pusat-Pusat Pertumbuhan di Kalimantan. Dibimbing oleh D.S. PRIYARSONO, HERMANTO SIREGAR dan ERNAN RUSTIADI.

Pengembangan wilayah pusat-pusat pertumbuhan menjadi salah satu strategi yang populer digunakan dalam mengatasi permasalahan ketimpangan antarwilayah. Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Perroux pada tahun 1950 dengan istilah Growth Pole (Kutub Pertumbuhan) yang dipercaya akan dapat memberikan dampak spillover yang positif dalam jangka panjang. Konsep ini mengalami pengembangan menjadi Growth Center (Pusat Pertumbuhan) agar lebih konkrit dan mudah diaplikasikan dalam Ilmu Perencanaan Wilayah.

Beberapa peneliti telah melakukan pengujian terhadap dampak yang ditimbulkan dan menghasilkan temuan yang menimbulkan pro dan kontra akan keberhasilan strategi ini. Demikian juga terhadap dampak polarisasi yang justru

mengarah pada “bencana migrasi” karena daya tarik yang kuat kearah wilayah

pusat pertumbuhan. Konsep ini masih terus digunakan dan banyak diadopsi terutama oleh negara-negara berkembang termasuk Indonesia.

Pembentukan pusat-pusat pertumbuhan di Indonesia baik sebagai Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) maupun sebagai Koridor Ekonomi Indonesia masih belum mampu mengurangi ketimpangan antarpulau yang justru belakangan makin membesar. Pulau Kalimantan yang dalam program Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) ditetapkan sebagai lumbung energi nasional diharapkan mampu mengejar ketertinggalannya baik dari sisi pertumbuhan output, tenaga kerja, maupun investasi. Disisi lain, penetapan Kalimantan sebagai lumbung energi nasional dalam jangka panjang dikhawatirkan menimbulkan dampak pengurasan sumberdaya (backwash effect) yang lebih besar dibanding dampak penyebarannya (spread effect).

Beragam cara telah digunakan untuk memperhitungkan dampak spillover pusat-pusat pertumbuhan, baik menggunakan model statis maupun dinamis. Penggunaan model-model tersebut dinilai belum mampu menangkap besaran dampak spillover dan multipolaritas. Analisis spasial sangat diperlukan untuk dikembangkan dalam konsep-konsep ilmu ekonomi, agar dapat memberikan alternatif sudut pandang baik dalam identifikasi permasalahan maupun pemecahannya. Disisi lain, dengan memasukkan peubah spasial akan menghindari terjadinya kesalahan spesifikasi dalam model.

Terkait dengan permasalahan tersebut, maka penelitian ini secara umum bertujuan untuk : mengeksplorasi dampak spillover dan polarisasi pusat-pusat pertumbuhan di Kalimantan, dengan tujuan khusus yaitu : (1) Mendeteksi pengaruh ketergantungan spasial (spatial lag dependent) antara hinterland dengan pusat-pusat pertumbuhan di Kalimantan (2) Mengidentifikasi faktor-faktor yang secara simultan mempengaruhi pertumbuhan output, tenaga kerja, dan investasi di Kalimantan, dan (3) Menguji multipolaritas antar pusat-pusat pertumbuhan di Kalimantan dan luar Kalimantan.

(5)

ketergantungan wilayah baik terhadap pertumbuhan output, tenaga kerja, dan investasi. Kedekatan suatu wilayah dengan pusat pertumbuhan akan berdampak makin baik (positif) manakala diikuti oleh makin besarnya aliran ekonomi yang terjadi antara pusat pertumbuhan dengan wilayah sekitarnya. Sayangnya, beberapa pusat-pusat pertumbuhan di Kalimantan yaitu Kota Palangkaraya, Kota Pontianak, Kota Singkawang, dan Kabupaten Kapuas Hulu belum dapat memberikan dampak spillover terhadap wilayah sekitarnya.

Pengujian secara simultan terhadap model pertumbuhan output, tenaga kerja, dan investasi membuktikan bahwa faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan ketiganya adalah interaksi spasial dengan pusat-pusat pertumbuhan terdekat. Pertumbuhan output dan pertumbuhan investasi membuktikan adanya efek umpan balik, dimana pengaruh pertumbuhan investasi terhadap pertumbuhan output justru lebih besar dibandingkan sebaliknya. Oleh karenanya, pengembangan wilayah pusat-pusat pertumbuhan di Kalimantan akan lebih baik bila fokus utamanya pada peningkatan investasi yang pada gilirannya juga berdampak pada pertumbuhan output. Peningkatan investasi ini bukan semata-mata bersumber dari investasi swasta, akan tetapi lebih menekankan efisiensi belanja modal yang dalam penelitian ini secara nyata menunjukkan pengaruh yang negatif terhadap pertumbuhan tenaga kerja. Sayangnya, model pertumbuhan tenaga kerja di Kalimantan belum dapat membuktikan adanya efek umpan balik dengan pertumbuhan output.

Hasil uji multipolarisasi antar pusat-pusat pertumbuhan di Kalimantan dan luar Kalimantan yang dikonfirmasi dengan uji spatio-temporal terhadap aliran barang dan aliran penumpang menunjukkan hasil yang signifikan. Polarisasi masuknya barang di Kalimantan cenderung lebih cepat, berkebalikan hasil untuk polarisasi arus penumpang ke Kalimantan. Temuan ini menunjukkan bahwa pusat-pusat pertumbuhan di Kalimantan memiliki tuntutan tinggi untuk barang dari luar wilayahnya, sementara penduduk yang tinggal pada pusat-pusat pertumbuhan di Kalimantan lebih cenderung untuk bermigrasi ke pusat-pusat pertumbuhan di luar Kalimantan.

Temuan-temuan di atas menjadi bahan untuk memberikan saran serta implikasi kebijakan. Salah satu saran yang diberikan adalah mempercepat pembangunan jalan trans Kalimantan, sebagai salah satu rencana komprehensif untuk pembangunan nasional secara terintegrasi. Oleh karenanya, dukungan pemerintah baik pusat maupun daerah terhadap MP3EI masih sangat diperlukan, utamanya dalam pembangunan infrastruktur dasar baik secara kuantitas maupun kualitas.

(6)

SUMMARY

ERNAWATI PASARIBU. Spillover and Multipolarity Effects for Regional Development of Growth Centers in Kalimantan. Supervised by D.S. PRIYARSONO, HERMANTO SIREGAR and ERNAN RUSTIADI.

The development of growth centers becomes one of the popular strategies used in overcoming the problems of inequality among regions. This concept, known as Growth Pole was first introduced by Perroux in 1950. In the long term it is believed to be able to give a positive spillover effect. Growth pole was further developed into Growth Center in a way to be more concrete and applicable in the field of Regional Planning Science. The effects were tested by several researchers and the success of this strategy is still arguable due to the research findings. They also examined the effects of polarization that lead to the "migration disaster" because of strong attraction towards the growth centers. This concept is still being used and widely adopted, especially by developing countries including Indonesia.

The growth centers in Indonesia has been established as Integrated Economic Development Zone (KAPET) and Indonesia Economic Corridor. Yet, both functions have not been able to reduce the inequality among islands which even worsened. In Indonesia’s Economic Master Plan (MP3EI), Kalimantan has been designated as a national energy barn. It is expected to catch the speed of development in terms of output growth, employment, and investment. In the long term, the establishment of Kalimantan as a national energy barn may lead to resources depletion (backwash effect) which is greater than the spread effect.

Various methods have been used to measure the spillover effects of growth centers, either using static or dynamic models. None of those models considered been able to capture the magnitude of spillover effects and multipolarity. Spatial analysis is required to be developed in the concepts of economics, in order to provide the alternative viewpoints both in the identification of problems and solutions. The errors specification of the model could be avoided by including spatial variables.

Related to those problems, this research generally aims to: explore the spillover effect and polarization in the growth centers of Kalimantan. The specific objectives are: (1) to detect the effect of spatial lag dependent between the hinterland and the growth centers in Kalimantan (2) to identify the factors that simultaneously affect the growth of output, labor and investment in Kalimantan, and (3) to test the multipolarity between growth centers in Kalimantan and beyond.

(7)

Simultaneous test on the model of output growth, labor growth, and investment growth proved that spatial interaction with the closest growth centers is the main factor for those growth. Output growth and investment growth create the feedback effect. It means that the influence of investment growth to output growth are greater than the opposite. Therefore, regional development of growth centers in Kalimantan would be better if it focus primarily on increasing investment, which in turn it has an impact on output growth. Improvement of the investment is not solely come from private investment, but more emphasis on efficiency through capital expenditures which in this study clearly shows the negative influence on the growth of employment. Unfortunately, the model of labor growth in Kalimantan has not been able to prove the existence of feedback effects with output growth.

Multipolarization test between growth centers in Kalimantan and outside of Kalimantan which has been confirmed by spatio-temporal test on flow of goods and flow of passengers showed significant results. The polarization inward of goods in Kalimantan tends to be more rapid, while the opposite result has occurred to the polarization flow of passengers to Kalimantan. These findings show that growth centers in Kalimantan have high demands for goods from outside, while the residents of growth centers in Kalimantan tend to migrate to the growth centers outside of Kalimantan.

Those findings are the materials to provide advice and policy implictations. Accelerating the development of Trans Kalimantan road is an advice as one of a comprehensive plan for an integrated national development. Therefore, the support from central and local government for MP3EI is needed, mainly in basic infrastructure development in terms of quantity and quality.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)
(10)

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

DAMPAK

SPILLOVER

DAN MULTIPOLARITAS

PENGEMBANGAN WILAYAH

PUSAT-PUSAT PERTUMBUHAN DI KALIMANTAN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(11)

Penguji pada Ujian Tertutup: Prof Dr Ir Bambang Juanda, MS

Dr Hamonangan Ritonga, MSc.

Penguji pada Ujian Terbuka: Prof Dr Ir Bambang Juanda, MS

(12)
(13)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala kasih dan berkat-Nya sehingga disertasi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah Dampak Spillover dan Multipolaritas Pengembangan Wilayah Pusat-pusat Pertumbuhan di Kalimantan. Pusat-pusat pertumbuhan sangat diharapkan dapat memberikan dampak spillover ke wilayah sekitarnya. Pengembangan wilayah pusat-pusat pertumbuhan di Kalimantan diimaksudkan untuk memperkecil ketimpangan dengan pulau-pulau lain utamanya terhadap Pulau Jawa dan Sumatera. Pengukuran terhadap dampak spillover dan multipolarisasi pusat-pusat pertumbuhan diharapkan mampu memberikan gambaran akan pentingnya interaksi antarwilayah dalam meningkatkan pertumbuhan output, tenaga kerja dan investasi secara simultan tidak hanya bagi pusat pertumbuhan itu sendiri tetapi juga terhadap wilayah sekitarnya.

Penelitian ini dapat dilakukan berkat dukungan dari berbagai pihak, terutama dari komisi pembimbing. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada komisi pembimbing Prof. Ir. D.S.Priyarsono, Ph.D., Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec., dan Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr., atas bimbingannya, sejak pembentukan ide, perumusan masalah, membangun pola pikir, mengarahkan dalam menentukan metode analisis hingga proses sintesis dan analisis.

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda selaku ketua program studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) dan penguji pada ujian preliminasi tahap II, ujian tertutup dan sidang terbuka; Dr. Ir. Setia Hadi, MS selaku penguji pada ujian preliminasi tahap II; Dr. Hamonangan Ritonga selaku penguji pada ujian tertutup dan sidang terbuka.

2. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) melalui Pusat Pendidikan dan Pelatihan BPS atas kesempatan tugas belajar dan dukungan finansial yang diberikan sehingga penulis dapat menempuh program S-3 ini.

3. Rekan-rekan dari BPS Propinsi Kalimantan Tengah dan BPS-RI yang telah berpartisipasi dalam penyediaan data dan memberikan masukan berharga tentang metode dan arahan analisis.

4. Rekan-rekan mahasiswa pada program studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD), khususnya PWD 2010 atas kebersamaan dan kekompakan yang selalu terjalin.

5. Seluruh staf sekretariat PWD atas bantuannya selama masa perkuliahan sampai selesainya disertasi ini.

6. Seluruh teman-teman yang tergabung di UKM Center FEUI dan Persekutuan Doa BPS, atas motivasi dan doa yang diberikan.

7. Sahabat penulis (Bunda Hj. Amalia, Retno, dan Marsono), support kalian senantiasa mengawal penulisan disertasi ini.

(14)

9. Terima kasih kepada suami tercinta Edison Manurung, untuk kritik dan support yang diberikan sehingga memotivasi penulis untuk menghasilkan disertasi ini menjadi lebih baik.

10.Last but not least. Anak-anak tersayang Ega Eugenia Naomi, Edgar Bennedictus Natama dan Ekklesia Ignatius Najogi, terima kasih atas doa yang tak pernah putus dan kasih sayang yang tulus. Karya ini kupersembahkan untuk kalian bertiga.

Penulis menyadari bahwa keterbatasan pemahaman penulis membuat disertasi ini jauh dari kesempurnaan. Namun penulis tetap berharap semoga karya ini bermanfaat bagi berbagai pihak.

(15)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI xiii

DAFTAR TABEL xv

DAFTAR GAMBAR xvi

DAFTAR LAMPIRAN xvii

1. PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 6

Tujuan Penelitian 7

Kebaruan Penelitian 8

Manfaat Penelitian 8

Ruang Lingkup Penelitian 8

2. KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 9

Kajian Pustaka 9

Teori Kutub/Pusat Pertumbuhan 9

Kawasan Ekonomi Indonesia 13

Analisis Spasial 14

Penelitian Terdahulu 15

Kerangka Pemikiran 17

Hipotesis Penelitian 19

3. METODOLOGI PENELITIAN 21

Model Ekonometrika Spasial 21

Model Umum Regresi Spasial (General Spatial Model) 22

Model Regresi Spasial Data Panel 22

Kerangka Konseptual Pemilihan Model Spasial 23

Uji Spatial Dependency 25

Pengujian Heteroskedastisitas 25

Pengembangan Model Spillover Pertumbuhan 25

Rancangan Penelitian 26

Estimasi Regresi Data Panel 29

Estimasi Parameter Persamaan Simultan dengan Data Panel 29

Matriks Pembobot/Penimbang Spasial 30

Pemilihan Model Terbaik 32

Model Spasial Temporal 33

Uji Hipotesis terhadap Efek Jarak antar Pusat-pusat Pertumbuhan 34

Definisi Variabel dan Sumber Data 35

Definisi Variabel 35

(16)

4. GAMBARAN UMUM PUSAT PERTUMBUHAN DI KALIMANTAN 37

Kondisi Wilayah Kalimantan 37

Pusat-Pusat Pertumbuhan di Kalimantan 38

Tipologi Klassen Pusat-pusat Pertumbuhan di Kalimantan 44

Sektor Unggulan Pusat-pusat Pertumbuhan di Kalimantan 46

Spesialisasi Pusat-pusat Pertumbuhan di Kalimantan 47

5. DETEKSI KETERGANTUNGAN SPASIAL DAN POLA HUBUNGAN

ANTAR VARIABEL 55

Hasil Uji Spatial Dependency 55

Pola Hubungan Pertumbuhan Output, Tenaga Kerja dan Investasi di

Kalimantan dengan Variabel-variabel yang diteliti 58

Scatter Plot Pertumbuhan Output dan Variabel-variabel yang

mempengaruhinya 58

Scatter Plot Pertumbuhan Tenaga Kerja dan Variabel-variabel yang

mempengaruhinya 58

Scatter Plot Pertumbuhan Investasi dan Variabel-variabel yang

mempengaruhinya 59

6. DAMPAK SPILLOVER PUSAT-PUSAT PERTUMBUHAN 60

Model Pertumbuhan Output, Tenaga Kerja, dan Investasi 60

Model Pertumbuhan Output Kabupaten/Kota se-Kalimantan 60

Model Pertumbuhan Tenaga Kerja Kabupaten/Kota se-Kalimantan 62

Model Pertumbuhan Investasi Kabupaten/Kota se-Kalimantan 64

Dampak Spillover Pusat-pusat Pertumbuhan di Kalimantan 66

Sebaran Dampak Spillover Pusat-Pusat Pertumbuhan di Kalimantan 79

7. UJI MULTIPOLARISASI PUSAT-PUSAT PERTUMBUHAN 82

Distribusi Aliran Barang dan Aliran Penumpang 82

Uji Polarisasi aliran barang antara pusat-pusat pertumbuhan di Kalimantan

dan luar Kalimantan 83

Uji Polarisasi aliran penumpang antara pusat-pusat pertumbuhan di

Kalimantan dan luar Kalimantan 85

Uji Polarisasi aliran barang dan aliran penumpang antar pusat-pusat

pertumbuhan di Kalimantan 87

8. IMPLIKASI STRATEGI PUSAT PERTUMBUHAN 88

Sektor Basis dan Spillover Pertumbuhan 88

Ketimpangan dan Polarisasi 89

Spillover dan Multipolarisasi 89

Implikasi Kebijakan 91

9. SIMPULAN DAN SARAN 93

Simpulan 93

Saran 94

DAFTAR PUSTAKA 96

(17)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Perkembangan Pembangunan Wilayah Kalimantan 37

2. Kondisi Pusat Pertumbuhan di Kalimantan 43

3. LQ Rata-Rata Pusat Pertumbuhan dan Bukan Pusat Pertumbuhan

di Kalimantan Menurut Sektor, 2007-2011 46

4. ISR Pusat-Pusat Pertumbuhan di Kalimantan, 2007-2011 54

5. Hasil Uji Dependency Y1, Y2, dan Y3 dengan Bobot W-Neighborhood 56

6. Hasil Uji Dependency Y1, Y2, dan Y3 dengan Bobot W-Customized 57

7. Hasil Estimasi Parameter Model Spatial Lag Pertumbuhan Output 62 8. Hasil Estimasi Parameter Model Spatial Lag Pertumbuhan Tenaga Kerja 64 9. Hasil Estimasi Parameter Model Spatial Lag Pertumbuhan Investasi 65

10. Dampak Spillover Kabupaten Sambas 66

11. Dampak Spillover Kabupaten Bengkayang 67

12. Dampak Spillover Kabupaten Landak 68

13. Dampak Spillover Kabupaten Sanggau 68

14. Dampak Spillover Kabupaten Sintang 69

15. Dampak Spillover Kabupaten Kapuas Hulu 70

16. Dampak Spillover Kota Pontianak 71

17. Dampak Spillover Kota Singkawang 71

18. Dampak Spillover Kabupaten Kapuas 72

19. Dampak Spillover Kabupaten Barito Selatan 73

20. Dampak Spillover Kabupaten Pulang Pisau 74

21. Dampak Spillover Kota Palangkaraya 74

22. Dampak Spillover Kabupaten Kotabaru 75

23. Dampak Spillover Kota Banjarmasin 76

24. Dampak Spillover Kabupaten Kutai Kertanegara 77

25. Dampak Spillover Kota Balikpapan 78

(18)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Proporsi jumlah penduduk, PDRB, PMTDB dan Tenaga Kerja

Pulau-pulau di Indonesia, 1990, 2000 & 2011 4

2. Indeks Entropy Indonesia, 2001-2010 5

3. Koefisien Gini, Persentase Pencemaran lingkungan Desa,

dan Indeks Eksploitasi Ekonomi : Kalimantan dan Indonesia, 2011 6

4. Empat tahapan Friedmann Model Pengembangan Tata Ruang 11

5. Kerangka Pemikiran Penelitian 20

6. Skema Prosedur Pembuatan Model Regresi Spasial 24

7. Diagram Keterkaitan Variabel Model Spillover Pertumbuhan di

Kalimantan 28

8. Ilustasi Contiguity dan Customized 31

9. Peta Daya Saing Posisi Strategis Wilayah Pulau Kalimantan

di Koridor Nasional, Regional, dan Global 39

10. Peta Persbaran Daerah Tertinggal, Kawasan Perbatasan, dan

Pusat Kegiatan Nasional (PKN) Wilayah Kalimantan 40

11. Peta Koridor Ekonomi Kalimantan 41

12. Tipologi Klassen Kabupaten/Kota di Kalimantan, 2008-2011 45

13. Sebaran ISR dan Persentase Pertumbuhan per Tahun, 2007-2011 48

14. Scatter Plot Pertumbuhan Output dengan Variabel yang diteliti 58

15. Scatter Plot Pertumbuhan Tenaga Kerja dengan Variabel yang

diteliti 59

16. Scatter Plot Pertumbuhan Investasi dengan Variabel yang diteliti 59 17. Dampak Spilover yang diberikan oleh Pusat-Pusat Pertumbuhan di

Kalimantan 80

18. Dampak Spilover yang diterima dari Pusat-Pusat Pertumbuhan di

Kalimantan 81

19. Persentase Aliran Barang (a) dan Aliran Penumpang (b), 2011 82

20. Hasil Test Multipolaritas terhadap Aliran Barang yang keluar dari

Kalimantan (a) dan yang masuk ke Kalimantan (b) 84

21. Hasil Test Multipolaritas terhadap Aliran Penumpang yang keluar

dari Kalimantan (a) dan yang masuk ke Kalimantan (b) 86

22. Hipotesis Polarisasi dan Spread Effect (a) Polarisasi, Spread dan

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Bobot Spasial Ketetanggaan dengan Pusat Pertumbuhan (W-Neighborhood)101 2. Bobot Spasial Berdasarkan Jarak Ekonomi dengan Pusat Pertumbuhan

(W-Customized) 103

3. Output Estimasi , , dan 105

4. Output Estimasi Persamaan Struktural Y1, Y2, dan Y3 106

5. Spatial Fixed Effect Model Pertumbuhan Output Menurut

Kabupaten/Kota se-Kalimantan 107

6. Spatial Fixed Effect Model Pertumbuhan Tenaga Kerja

Menurut Kabupaten/Kota se-Kalimantan 108

7. Spatial Fixed Effect Model Pertumbuhan Investasi

Menurut Kabupaten/Kota se-Kalimantan 109

8. Model Pertumbuhan Output Kabupaten/Kota se-Kalimanta dengan

Bobot W-Customized 110

9. Model Pertumbuhan Tenaga Kerja Kabupaten/Kota se-Kalimantan

dengan Bobot W-Customized 115

10. Model Pertumbuhan Investasi Kabupaten/Kota se-Kalimantan

dengan Bobot W-Customized 120

(20)

1.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sejak diperkenalkannya model Economic Space oleh Perroux (1950), banyak negara-negara di dunia mengadopsi model ini sebagai salah satu strategi dalam mengatasi permasalahan ketimpangan pertumbuhan antarwilayah. Perroux mendefinisikan Growth Pole (kutub pertumbuhan) sebagai struktur yang memiliki kapasitas untuk mendorong pertumbuhan struktur ekonomi yang lain. Struktur ini dipahami sebagai kelompok perusahaan-perusahaan besar yang mampu mempromosikan keunggulan kompetitif dan daya saing nasional. Meskipun ruang ekonomi tidak diidentifikasi sebagai suatu wilayah, namun dalam prakteknya kutub pertumbuhan seperti yang dianjurkan dalam model tersebut mulai diterapkan dan dikembangkan dalam studi-studi pembangunan daerah. Kutub pertumbuhan pada akhirnya berkembang menjadi pusat pertumbuhan dengan konsep keruangan yang konkrit dan diharapkan dapat menjadi prime mover bagi wilayah sekitarnya.

Secara teori, pusat-pusat pertumbuhan pada awalnya akan banyak menyerap sumber daya wilayah sekitarnya (terjadi backwash effect), tetapi dalam jangka panjang penyerapannya makin berkurang seiring makin besarnya penyebaran sumber daya ke wilayah sekitarnya (spread efffect) sehingga dikatakan terjadi net spillover effect (Capello, 2009). Interaksi yang tinggi antara pusat pertumbuhan dengan hinterland pada akhirnya akan membawa kemajuan pada kedua wilayah tersebut manakala diikuti oleh penguatan infrastruktur serta transfer teknologi ke wilayah pendukungnya. Hal ini penting mengingat interaksi pusat pertumbuhan dengan hinterland akan berdampak pada berpindahnya sumberdaya potensial ke pusat pertumbuhan sehingga tanpa dukungan infrastruktur dan teknologi yang memadai lambat laun akan menurunkan aktivitas ekonomi wilayah pendukungnya. Pemikiran tersebut menjadi pijakan penting bagi para perencana wilayah dalam merancang strategi penguatan pusat pertumbuhan sehingga pada gilirannya membawa strategi ini dapat memberikan dampak positif seperti yang diharapkan dan tidak menimbulkan dampak pengurasan sumber daya (backwash effect) ke wilayah sekitarnya.

Growth Center (Pusat pertumbuhan) ditafsirkan dalam beragam konsep sehingga upaya untuk mengidentifikasi pusat pertumbuhan dalam dunia nyata masih menimbulkan keraguan. Demikian juga dalam menentukan seberapa banyak pusat pertumbuhan tersebut ditempatkan untuk memaksimalkan dampak positif yang ditimbulkan. Tafsiran yang berbeda ini menyebabkan pusat pertumbuhan dihadirkan dalam berbagai bentuk atau dapat berbeda antarwilayah. Hal ini menimbulkan kebingungan dan berkontribusi terhadap kesulitan dalam membangun hipotesis untuk diuji secara empiris. (Moseley, 1973). Teori Kutub Pertumbuhan yang dikembangkan oleh Perroux masih dianggap kurang ampuh bila diterapkan untuk pembahasan pengelompokan tata ruang geografis. Sebaliknya, teori Tempat Sentral (Central Place) oleh Walter Christaler (1966), dikategorikan sebagai teori statis karena hanya menjelaskan pengelompokan tata ruang secara geografis dan tidak membahas adanya perubahan pola-pola tertentu.

(21)

terpolarisasi. Tata ruang polarisasi dikaji dalam pengertian ketergantungan antara berbagai elemen yang terdapat di dalamnya. Konsep ini berkaitan dengan pengertian hirarki, yang selanjutnya dapat digunakan sebagai landasan untuk studi pusat-pusat kota dan saling ketergantungannya, salah satunya dalam mengarahkan proses urbanisasi sehingga tercipta distribusi geografis yang mampu mendorong pembangunan selanjutnya.

Bagaimanapun, proses pertumbuhan ekonomi suatu wilayah sangat erat kaitannya dengan posisi geografis antardaerah satu dengan daerah yang lain. Hipotesis dampak tetesan ke bawah (trickle down effect) dan dampak polarisasi (polarization effect) oleh Hirschman (1958), serta dampak penyebaran-pengurasan sumber daya (spread-backwash effect) oleh Myrdal (1957) terhadap peristiwa-peristiwa geografis dan penyebaran pertumbuhan ekonomi memberikan sumbangan yang bermanfaat bagi pengembangan studi ekonomi regional, karena keduanya berusaha menjelaskan pengaruh penyebaran pertumbuhan dilihat dari aspek ekonomi. Beberapa tahun belakangan ini, telah banyak pustaka yang mengembangkan teori ekonomi geografis dan pertumbuhan endogen (Romer, 1989) yang berfokus pada model yang dikembangkan oleh Solow (1956, 1957). Solow memasukkan unsur kapital dan tenaga kerja sebagai faktor eksogen dan mengasumsikan unsur kemajuan teknologi sebagai faktor eksogen yang berpengaruh terhadap pertumbuhan. Analisis spasial makin diperlukan terutama untuk menjelaskan dampak spillover suatu pusat pertumbuhan agar tidak terjadi model yang salah spesifikasi. Di sisi lain, dengan memasukkan peubah-peubah spasial bukan saja konsep-konsep dalam ilmu ekonomi menjadi berkembang tetapi juga memberikan alternatif sudut pandang dalam identifikasi permasalahan maupun pemecahannya (Anselin & Getis, 2010).

Beberapa peneliti telah melakukan pengujian terhadap dampak yang ditimbulkan oleh keberadaan pusat pertumbuhan dan menghasilkan temuan yang menimbulkan pro dan kontra akan keberhasilan strategi ini. Dampak polarisasi pusat pertumbuhan pada kota-kota di Mid Western misalnya membuktikan adanya pengaruh jarak kedekatan dengan pusat pertumbuhan. Kota-kota besar yang bertindak sebagai pusat pertumbuhan mengerahkan efek positif pada pertumbuhan penjualan retail kota-kota kecil selama periode 1945-1967. Proses perkembangan ekonomi kota-kota kecil memunculkan ketergantungan dan menjadikan kota-kota besar sebagai konsentrasi aktivitas ekonomi (Casetti, 1973). Polaritas pertumbuhan lintas negara yang diamati oleh World Bank (Adams-Kane, 2011) menyimpulkan bahwa pusat pertumbuhan mendorong pertumbuhan global baik melalui polaritas ekonomi, perdagangan, finansial, migrasi serta spillover teknologi.

(22)

3

wilayah Appalachia pada periode 1960-1990 menghasilkan temuan bahwa kondisi ekonomi sebagian besar wilayahnya ditentukan di luar pengaruh pusat pertumbuhan (Wood, 1999).

Berbagai kritik serta kecaman juga muncul berkenaan dengan hadirnya pusat-pusat pertumbuhan khususnya di negara-negara berkembang. Beberapa diantaranya menyebutkan bahwa kutub pertumbuhan adalah konsep barat yang menekankan pembangunan industri padat modal dan berskala besar yang justru menjadi kendala utama bagi negara-negara berkembang, serta kebijakan yang memprioritaskan pada strategi industri perkotaan, yang menunjukkan adanya gejala bias perkotaan dalam perencanaan pembangunan (Richardson, 1978). Agar proses pemerataan pertumbuhan ekonomi antarwilayah semakin cepat berlangsung, Rustiadi, et al (2010) melakukan penelitian untuk menentukan calon lokasi pusat-pusat pertumbuhan baru dan kawasan hinterland-nya di luar Jawa yang memiliki kelimpahan sumber daya tetapi perkembangan wilayahnya belum optimal.

Beragam cara telah dilakukan untuk mengukur kinerja pusat-pusat pertumbuhan di suatu wilayah, antara lain oleh Conroy (1973) yang secara teoritis mengamati penyebab penolakan strategi pusat pertumbuhan sebagai perencanaan pembangunan di Amerika Latin selama pertengahan sampai akhir tahun 1960-an. Penolakan ini didasarkan pada pertimbangan ideologis, teoritis, politis, dan praktis yang memunculkan pendekatan alternatif menggunakan strategi gabungan antara industrialiasi, urbanisasi, dan polarisasi untuk menggantikan strategi pusat pertumbuhan sebagai basis perencanaan pembangunan.

Analisis yang dilakukan oleh Wood (1999) terhadap keefektifan spasial dari pemanfaatan pusat pertumbuhan dengan menggunakan pendekatan ArcView GIS menghasilkan kesimpulan bahwa spread effect tidak menyebar secara merata, dan daerah yang dekat dengan pusat perkotaan tidak selalu memperoleh keuntungan. Penyebab tidak meratanya keuntungan dari keberadaan pusat pertumbuhan dianggap karena adanya pengaruh globalisasi ekonomi dimana daerah perkotaan sering berbagi konektivitas dengan daerah-daerah diluar batas wilayah bahkan batas negara.

Shanzi dan Feser (2010) melakukan eksplorasi terhadap dampak penyebaran dan pengurasan (spread-backwash effect) yang ditimbulkan oleh keberadaan pusat-pusat pertumbuhan di wilayah Greater Central China. Berbeda dengan penelitian-penelitian terkait sebelumnya, ukuran yang dipakai untuk menghitung spread-backwash effect adalah dengan memasukkan peran wilayah di sekitar pusat pertumbuhan menurut jarak rentang tertentu. Memanfaatkan model pertumbuhan Solow (1956, 1957) dan menggabungkan dengan model spatial lag, menghasilkan temuan bahwa spread effect terjadi hanya pada level daerah yang lebih tinggi seperti provinsi sedangkan backwash effect terjadi pada level daerah yang lebih rendah.

(23)

Hingga saat ini, investasi di Indonesia masih bertumpu di Pulau Jawa dan Sumatera. Dalam rangka mengatasi ketertinggalan pembangunan utamanya antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI), pemerintah membentuk kawasan-kawasan yang memiliki wilayah yang ditetapkan sebagai pusat pertumbuhan antara lain Kawasan Andalan, Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET), Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), dan Koridor Ekonomi (MP3EI). RPJMN 2010-2014 dalam Bappenas (2010) menempatkan pengembangan pusat-pusat pertumbuhan potensial di luar Jawa sebagai salah satu skala prioritas untuk menurunkan kesenjangan kesejahteraan antarindividu, masyarakat dan antarwilayah.

Beberapa isu strategis berkaitan dengan permasalahan ketimpangan antarpulau di Indonesia terlihat dari perkembangan kondisi sosial ekonomi antarpulau di Indonesia menurut Penduduk, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto (PMTDB), dan Tenaga Kerja (Tenaker) yang sampai tahun 2011 belum menunjukkan adanya perubahan dominasi Kawasan Barat Indonesia utamanya Pulau Jawa terhadap Kawasan Timur Indonesia (Gambar 1). Penyebab masih besarnya ketimpangan antarpulau di Indonesia antara lain dikarenakan masih rendahnya kualitas dan ketersediaan dukungan sistem transportasi baik darat, udara, laut dan sungai serta tingginya persentase kondisi jalan yang rusak berat di Kawasan Timur Indonesia sehingga konektivitas antarpusat pertumbuhan belum berjalan dengan baik (Bahan Rakernas KAPET 2011).

Gambar 1. Proporsi jumlah penduduk, PDRB, PMTDB dan Tenaga Kerja Pulau-pulau di Indonesia, 1990, 2000 & 2011

Ketimpangan baik antar pulau dan di dalam pulau di Indonesia yang diukur melalui Indeks Entropy Theil menunjukkan bahwa ketimpangan di dalam pulau di Indonesia cenderung menurun, namun pada saat yang sama, ketimpangan

(24)

5

antarpulau justru semakin lama semakin membesar (Gambar 2). Konsentrasi spasial antarpulau yang terus meningkat ini menandai belum meratanya pembangunan antarpulau khususnya antara Kawasan Barat dan Kawasan Timur Indonesia, yang menunjukkan bahwa konektivitas serta interaksi antarpulau belum berjalan dengan baik.

Berbeda dengan pulau-pulau lainnya di Indonesia, kondisi ketimpangan pendapatan yang diukur dengan koefisien Gini pada keempat propinsi di Kalimantan nyatanya lebih rendah dibandingkan Koefisien Gini Indonesia (nasional) yang sudah melampaui level 0,4. Kondisi kesenjangan yang lebih rendah di Kalimantan mungkin saja dihasilkan melalui kinerja pusat-pusat pertumbuhan yang ada. Di saat yang sama, persentase pencemaran lingkungan desa dan indeks eksploitasi ekonomi di Kalimantan berada pada posisi diatas nasional (Gambar 3). Hal ini yang kemudian menimbulkan keraguan atas keberhasilan pengembangan wilayah pusat-pusat pertumbuhan di Kalimantan terhadap wilayah sekitarnya dalam jangka panjang. Oleh karenanya, kajian yang lebih mendalam untuk mengukur dampak spillover pusat-pusat pertumbuhan di Kalimantan merupakan hal penting dan mendesak untuk dilakukan.

(25)

Perumusan Masalah

Pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat dipertahankan dengan laju yang relatif tinggi apabila pusat-pusat pertumbuhan ekonomi yang baru dikembangkan secara terus menerus. Hal ini sekaligus untuk menghindari masuknya Indonesia ke dalam ”middle income trap” (Aviliani, et al., 2014). Kebijakan pembangunan pusat-pusat pertumbuhaan yang baru tidak hanya dipercayai sebagai strategi dalam mempercepat pembangunan daerah akan tetapi cukup dominan dipakai dalam perencanaan regional baik di negara maju maupun di negara berkembang termasuk Indonesia. Pada kenyataannya, ketimpangan antarwilayah masih membesar terutama antarpulau di Indonesia.

Kalimantan yang ditetapkan sebagai lumbung energi nasional memiliki indeks ketimpangan pendapatan (Gini Index) yang lebih rendah dari rata-rata nasional, namun sejalan dengan kondisi nasional, ketimpangan pendapatan di Kalimantan cenderung terus meningkat. Meskipun memiliki kekayaan sumberdaya alam, Kalimantan mengalami ketertinggalan utamanya dari sisi output, tenaga kerja, dan investasi. Hasil perkebunan, hutan dan tambang di ekspor berupa bahan mentah, tanpa melalui proses produksi, sehingga tidak dapat memberikan nilai tambah terhadap output.

Indeks eksploitasi ekonomi ke-empat propinsi di Kalimantan pada gilirannya menjadi lebih tinggi dibanding nasional. Kondisi ini menunjukkan besarnya sumberdaya yang harus disediakan, yang nyatanya lebih banyak dikonsumsi oleh penduduk yang tinggal diluar wilayahnya. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya dampak spillover negatif (backwash effect)

pusat-Sumber : Statistik Indonesia-BPS dan Podes-BPS, 2011 (Diolah)

(26)

7

pusat pertumbuhan di Kalimantan terhadap wilayah sekitar dalam jangka panjang. Demikian juga halnya dengan dampak multipolarisasi antara pusat-pusat pertumbuhan di Kalimantan dan luar Kalimantan yang dikhawatirkan justru akan mengarah pada bencana migrasi.

Sampai saat ini, evaluasi terhadap kinerja pusat-pusat pertumbuhan di Kalimantan yang sudah ditetapkan oleh Pemerintah dan berlokasi pada 17 Kabupaten/Kota dari 52 Kabupaten/Kota yang ada di Kalimantan belum cukup mendalam dilakukan dan masih bersifat parsial. Interaksi antara pusat pertumbuhan dan hinterland di Kalimantan seharusnya menjadi hal penting untuk diteliti khususnya terhadap dampak spillover dan multipolarisasi yang diberikan mengingat tiap-tiap wilayah sudah menjadi bagian dari Koridor Ekonomi Kalimantan.

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi permasalahan yang dihadapi oleh pusat-pusat pertumbuhan di Kalimantan, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah dampak penyebaran (spread effect) dan penyerapan (backwash effect) pusat pertumbuhan terhadap hinterland terkait pertumbuhan output, tenaga kerja dan investasi di Kalimantan?;

2. Apakah terjadi efek umpan balik antara pertumbuhan output, tenaga kerja dan investasi secara simultan di Kalimantan?;

3. Apakah multipolarisasi akan memberikan dampak positif bagi aliran barang dan aliran penumpang antar pusat-pusat pertumbuhan di Kalimantan dan di luar Kalimantan?.

Tujuan Penelitian

Secara umum, penelitian ini mencoba untuk mengeksplorasi efek spillover dan polarisasi pusat pertumbuhan (growth centre) di Kalimantan dengan menggunakan perspektif spasial. Alasan di balik studi ini adalah menguji pendapat para ahli ekonomi regional yang meragukan keberhasilan pusat-pusat pertumbuhan khususnya yang ada di negara-negara berkembang yang bahkan mulai meninggalkan konsep ini karena spread effect yang dihasilkan dan yang diharapkan mampu untuk mengembangkan daerah sekitarnya ternyata tidak pernah terwujud bahkan menimbulkan backwash effect terhadap daerah sekitar (Richardson, 1968).

Penelitian ini disusun dalam tiga tujuan penelitian khusus yaitu :

1. Mendeteksi pengaruh spasial lag dependent untuk mengetahui apakah kedekatan pusat pertumbuhan di Kalimantan dengan hinterland dapat memberikan pengaruh spillover yang positif (spread effect) baik terhadap pertumbuhan output, tenaga kerja dan investasi;

2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan output, tenaga kerja, dan investasi di Kalimantan secara simultan untuk menangkap efek umpan balik yang ditimbulkan oleh ketiganya;

(27)

Kebaruan Penelitian

Kebaruan atau keunggulan penelitian ini secara eksplisit adalah sebagai berikut :

1. Penelitian ini menggunakan pendekatan spasial yang bertolak dari ketergantungan spasial. Suatu pendekatan kuantitatif yang tergolong langka dan relatif baru minimal untuk level di Indonesia.

2. Penelitian ini mampu memaparkan interaksi atau interplay antara spatio (tata ruang) dan temporal (waktu) untuk analisis regional growth (pertumbuhan ekonomi wilayah) yang didekati melalui pertumbuhan output (tingkat kegiatan ekonomi wilayah), ketenagakerjaan dan investasi. Hal ini juga merupakan penelitian yang relatif baru minimal untuk level nasional.

3. Penelitian ini secara spesifik mengkaji permasalahan yang disebut spatial inequality (ketimpangan spasial). Hal yang sangat penting sekali untuk konteks perekonomian Indonesia dan secara eksplisit dikaji dengan mendalam dan hasilnya diuraikan pada disertasi ini.

4. Penelitian ini memiliki keunggulan dalam metodologi yaitu pemodelan dengan menggunakan ekonometrika tata ruang (spatial econometrics modelling). Hal yang sangat langka di Indonesia, mengingat tingkat kesulitannya yang tinggi. Penelitian ini mampu menunjukkan hal-hal yang tidak akan terungkap apabila menggunakan metodologi yang berbeda. 5. Dengan alat analisis yang digunakan, penelitian ini berhasil menunjukkan

cara pendekatan/metodologi untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi pusat-pusat pertumbuhan, suatu strategi pembangunan yang sangat penting untuk konteks Indonesia. Selama ini belum ada metodologi yang formal yang diterapkan untuk mengidentifikasi maupun mengevaluasi peranan pusat-pusat pertumbuhan bagi perekonomian regional.

Manfaat Penelitian

1 Bahan masukan bagi pemerintah dalam hal mengukur efek spillover dan multipolaritas yang ditimbulkan dengan adanya pusat-pusat pertumbuhan khususnya terhadap Kawasan Ekonomi Kalimantan.

2 Sumbangan pemikiran bagi seluruh pihak terutama berkaitan dengan perencanaan wilayah yang mengedepankan konsep spasial dalam rangka pengembangan kawasan secara holistis.

Ruang Lingkup Penelitian

(28)

2. KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

Kajian Pustaka

Teori Kutub/Pusat Pertumbuhan

Perkembangan modern dari konsep-konsep kutub pertumbuhan terutama berasal dari karya ahli-ahli teori ekonomi regional Perancis, diantaranya Francois Perroux (1950) yang berpendapat bahwa “Growth does not appear everywhere and all at once, it appears in points or development poles, with variable intensities, it spreads along diverse channels and with varying terminal effects to the whole of the economy”, yang artinya: ”pertumbuhan tidak terjadi di sembarang tempat dan juga tidak terjadi secara serentak; pertumbuhan terjadi pada titik-titik atau kutub-kutub perkembangan dengan intensitas yang berubah-ubah; perkembangan itu menyebar sepanjang saluran-saluran dan dengan efek yang beraneka ragam terhadap keseluruhan perekonomian”.

Beberapa penulis melihat perbedaan skala antara kutub pertumbuhan dan pusat pertumbuhan (Perroux, 1969; Kuklinski, 1972; Parr, 1973), di mana kutub pertumbuhan adalah berkenaan dengan skala nasional dan pusat pertumbuhan adalah berkenaan dengan skala regional. Perbedaan penting antara kebijakan kutub pertumbuhan dan pusat pertumbuhan, adalah bahwa kebijakan kutub pertumbuhan menuntut pengembangan suatu fokus industri pilihan yang terdiri dari perusahaan-perusahaan besar (propulsive) sebagai ”leading effects”, dan berupaya mengembangkan keuntungan-keuntungan lokalisasi. Kebijakan pusat pertumbuhan tidak berkenaan dengan pemilihan industri-industri yang saling berhubungan, tetapi bermaksud untuk menimbulkan pemusatan investasi melalui penyediaan berbagai keuntungan-keuntungan (Adisasmita, 2008).

Mengikuti pendapat Perroux, Hirschman (1958) mengatakan bahwa untuk mencapai tingkat pendapatan yang lebih tinggi harus dibangun sebuah atau beberapa buah pusat kekuatan ekonomi dalam wilayah suatu negara atau yang disebut sebagai pusat-pusat pertumbuhan (growth point atau growth pole). Menurut Perroux terdapat elemen yang sangat menentukan dalam konsep kutub pertumbuhan yaitu pengaruh yang tidak dapat dielakkan dari suatu unit ekonomi terhadap unit-unit ekonomi lainnya. Pengaruh tersebut semata-mata adalah dominasi ekonomi yang terlepas dari pengaruh tata ruang geografis dan dimensi tata ruang. Perusahaan-perusahaan yang menguasai dominasi ekonomi tersebut pada umumnya adalah industri besar yang mempunyai kedudukan oligopolistis dan mempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap kegiatan para langganannya.

Pandangan Perroux (1950) mengenai proses pertumbuhan adalah konsisten dengan teori tata ruang ekonomi (economic space theory), dimana industri pendorong dianggap sebagai titik awal dan merupakan elemen esensial untuk pembangunan selanjutnya. Perroux lebih menekankan pada aspek pemusatan pertumbuhan. Meskipun ada beberapa perbedaan penekanan arti industri pendorong akan tetapi ada tiga ciri dasar yang dapat disebutkan yaitu :

1. Industri pendorong harus relatif besar kapasitasnya agar mempunyai pengaruh kuat baik langsung maupun tidak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi.

(29)

3. Jumlah dan intensitas hubungannya dengan sektor-sektor lainnya harus penting sehingga besarnya pengaruh yang ditimbulkan dapat diterapkan kepada unit-unit ekonomi lainnya.

Dari sisi tata ruang geografis, industri pendorong dan industri-industri yang dominan akan mendorong terjadinya aglomerasi-aglormerasi pada kutub-kutub pertumbuhan di mana pun mereka berada. Jelaslah bahwa industri pendorong mempunyai peranan penting dalam proses pertumbuhan ekonomi. Daerah-daerah yang menjadi kutub/pusat pertumbuhan tidak hanya terkait dengan keberadaan dan interaksi antara industri-industri inti, tetapi juga memperhatikan faktor-faktor lain. Pada daerah-daerah tersebut terdapat beberapa keuntungan yang menjadikannya lebih cepat berkembang dan diminati daripada daerah-daerah lain. Keuntungan-keuntungan tersebut antara lain, kemudahan memperoleh sumber daya alam, keuntungan-keuntungan yang berkenaan dengan pusat transportasi, prasarana yang sudah berkembang serta daerah-daerah yang memiliki potensi untuk mengalami pertumbuhan penduduk yang cepat, karena pusat-pusat penduduk yang besar memiliki potensi pasar yang tinggi. Dengan kata lain, kutub pertumbuhan merupakan suatu konsentrasi industri atau kegiatan ekonomi tertentu yang kesemuanya saling berkaitan melalui hubungan input-output dengan industri utama.

Dari berbagai tulisan mengenai kutub pertumbuhan (pole de croissance) dan pusat pertumbuhan diantaranya dalam Cappelo (2007, 2009), konsep-konsep ekonomi dasar dan perkembangan geografiknya dapat didefinisikan sebagai berikut:

a. Kutub Pertumbuhan (Growth Poles) adalah pusat-pusat dalam arti keruangan yang abstrak, sebagai tempat kekuatan-kekuatan sentrifugal (memencar) dan kekuatan sentripetal (menarik). Growth Poles bukan kota atau wilayah, melainkan suatu kegiatan ekonomi yang dinamis (industri) dan hubungan kegiatan ekonomi yang dinamis tersebut tercipta di dalam dan di antara sektor-sektor ekonomi.

b. Pusat Pertumbuhan (Growth Centers) merupakan konsep kutub

pertumbuhan yang dijadikan konsep keruangan yang konkrit. Pusat Pertumbuhan adalah sekumpulan (geografis) semua kegiatan. Pusat pertumbuhan adalah kota-kota atau wilayah perkotaan yang memiliki suatu industri propulsive yang komplek. Pertumbuhan pembangunannya sangat pesat jika dibandingkan dengan wilayah lainnya sehingga dapat dijadikan sebagai pusat pembangunan yang dapat mempengaruhi pertumbuhan perkembangan wilayah lain di sekitarnya.

(30)

11

yang sudah ada, dimana terdapat keuntungan-keuntungan karena prasarana dan penawaran tenaga kerja) dan hal lainnya.

d. Pada tahun 1950 Myrdal (1957) dan Hirshman (1958) menciptakan istilah polarisasi sebagai sinonim untuk backwash effect, yaitu konsentrasi spasial sumber daya dan kekayaan kedalam inti, dengan mengorbankan pinggiran. Deskripsi Hirschman dari proses polarisasi pertumbuhan menunjukkan bagaimana satu wilayah menjadi pusat kekuatan ekonomi sementara daerah yang berdekatan tetap terbelakang dan tertinggal (Hultman, 1970). Pertumbuhan yang cepat dari ”leading industries” akan mendorong polarisasi dari unit-unit ekonomi lainnya ke dalam kutub pertumbuhan. e. Seluruh siklus polarization-spread digambarkan pada model Core-Periphery

oleh Friedmann (1966) terdapat empat tahapan dalam perkembangan dan perubahan sistem keruangan dalam suatu wilayah, yakni pada Gambar 4 berikut (Gilbert dan Gugler, 1979):

Gambar 4. Empat Tahapan Friedmann Model Pengembangan Tata Ruang Sumber : Friedmann (1966)

1. Tahap pertama (struktur pra-industrialisasi). Ditandai oleh adanya wilayah yang belum tereksploitasi dengan ciri permukiman perdesaan yang terpencar, dengan pusat-pusat tertentu yang mengatur dan melayani masing-masing kegiatan di wilayah tersebut. Masing-masing wilayah berdiri sendiri dan tingkat ketergantungan antar wilayah kecil; 2. Tahap kedua (permulaan industri). Dicirikan dengan adanya

(31)

3. Tahap ketiga (pematangan industri). Ditandai dengan adanya proses pematangan industri dan kesadaran wilayah pinggiran atas eksploitasi terhadap sumberdaya dari wilayah pinggiran. Hal semacam ini merespon

pemerintah untuk membuat kebijakan mengenai kesenjangan

perkembangan wilayah pusat-pinggiran. Sehingga akhirnya, pada tahap ini kesenjangan wilayah pusat-pinggiran semakin berkurang;

4. Tahap Keempat (terbentuknya sistem). Ditandai dengan munculnya suatu sistem ekonomi keruangan yang terintegrasi penuh. Masing-masing pusat pertumbuhan berinteraksi dalam lingkup sebuah sistem. Dalam kondisi seperti ini, kesenjangan wilayah semakin dapat diminimalisir.

f. Konsep yang menyatakan dampak dari perkembangan kutub/pusat

pertumbuhan:

1. Spread Effect, merupakan dampak perkembangan inti (core) yang menguntungkan daerah sekitarnya karena akan memperluas penyebaran sumberdaya di wilayah sekitar.

2. Backwash Effect, merupakan dampak perkembangan inti/core yang merugikan daerah sekitarnya karena akan menyerap sumberdaya di wilayah sekitar.

3. Net Spill Over Effect, merupakan dampak pertumbuhan suatu inti yang pada awalnya akan menyerap sumberdaya daerah lainnya, tetapi dalam jangka panjang akan menguntungkan.

Time Time

E f f e c t

E f f e c t

INTI SERAP SUMBER EKONOMI

(32)

13

Beberapa jenis spillover yang terdapat dalam teori pembangunan regional yaitu spillover pertumbuhan, spillover industri, dan spillover pengetahuan yang masing-masingnya memiliki karakteristik yang berbeda dan dapat dilakukan pada level analisis tertentu (Cappelo, 2009).

Kawasan Ekonomi Indonesia

Konsep Kawasan Ekonomi Indonesia memiliki relevansi yang sangat erat dengan konsep-konsep dan teori pembangunan regional seperti teori pertumbuhan ekonomi, teori basis ekonomi, teori pusat pertumbuhan, dan teori spesialisasi. Salah satu pendekatan teori yang dapat menjelaskan fenomena pertumbuhan di setiap kawasan ekonomi (dan hinterland-nya) adalah teori cumulative causation. Teori ini menyarankan dibentuknya growth centres melalui perbaikan sarana infrastruktur, transportasi, komunikasi, dan pendidikan. Pendekatan teori ini diutamakan untuk melakukan maksimalisasi pertumbuhan ekonomi.

Penempatan kriteria pertumbuhan sebagai dasar penetapan kawasan ekonomi relevan dengan teori pusat pertumbuhan. Perroux (1950) yang mengatakan bahwa bahwa kota merupakan suatu ”tempat sentral” dan sekaligus merupakan kutub pertumbuhan. Pertumbuhan hanya terjadi di beberapa tempat, terutama daerah perkotaan, yang disebut pusat pertumbuhan dengan intensitas yang berbeda. Kaitannya dengan sektor unggulan, Perroux mengatakan bahwa industri unggulan (L’industrie matrice) merupakan penggerak utama dalam pembangunan daerah. Adanya sektor/industri unggulan memungkinkan dilakukannya pemusatan industri yang akan mempercepat pertumbuhan perekonomian, karenanya pemusatan industri akan menciptakan pola konsumsi yang berbeda antardaerah sehingga perkembangan industridi suatu daerah akan mempengaruhi perkembangan daerah lainnya. Perekonomian merupakan gabungan dari sistem industri yang relatif aktif (industri unggulan) dengan industri-industri yang relatif pasif yaitu industri yang tergantung dari industri unggulan atau pusat pertumbuhan. Daerah yang relatif maju atau aktif akan memengaruhi daerah-daerah yang relatif pasif.

Sebagai kawasan yang memiliki potensi lebih besar untuk tumbuh dibandingkan dari daerah lainnya, berarti kawasan ekonomi yang ditetapkan sebagai pusat pertumbuhan memiliki faktor-faktor kelebihan yang dapat mempengaruhi pertumbuhan wilayah sekitarnya. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi yaitu akumulasi modal, tenaga kerja, dan kemajuan teknologi (technological progress) (Todaro, 2000). Menyadari bahwa keterkaitan perekonomian kawasan ekonomi dengan daerah sekitar adalah penting sebagai salah satu kriteria yang digunakan dalam penetapannya relevan dengan konsep spasial. Adanya efek spasial memungkinkan dilakukannya pemusatan kegiatan sektoral pada masing-masing daerah, yang akan mempercepat pertumbuhan secara serentak. Adanya keterkaitan antardaerah memungkinkan bergeraknya perekonomian masing-masing daerah secara bersama-sama menuju proses pertumbuhan yang makin merata.

Pengembangan kawasan ekonomi perlu diintegrasikan dengan

(33)

pilihan wajib yang harus secepatnya diimplementasikan. Sinergi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, investor swasta, domestik, dan pihak-pihak terkait sangat dibutuhkan untuk bersama-sama mencari cara dalam membiayai pembangunan infrastruktur dan tidak lagi mengandalkan pembiayaan yang berasal dari utang luar negeri.

Analisis Spasial

Analisis spasial mempunyai pengertian sebagai suatu analisis yang mengacu pada posisi lokasi dari suatu pengamatan yang memungkinkan adanya hubungan dengan pengamatan lain yang berdekatan. Hubungan antar pengamatan tersebut dapat berupa persinggungan antarpengamatan maupun kedekatan jarak antarpengamatan. Waldo Tobler dalam Anselin (1988) mengemukakan hukum pertama tentang geografi : “Everything is related to everything else, but near

things are more related than distant things” yang artinya: “Segala sesuatu memiliki hubungan dengan yang lainnya, akan tetapi sesuatu yang berdekatan akan memiliki hubungan yang lebih daripada sesuatu yang berjauhan”. Adanya efek spasial merupakan hal yang sering terjadi antarwilayah dengan wilayah lainnya. Efek spasial yang terjadi antarwilayah dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu spatial dependence dan spatial heterogeneity (Anselin, 1988).

(i) Spatial Dependency

Pada hampir setiap penelitian mengenai kewilayahan, data diperoleh dari pengamatan berdasarkan ruang maupun ruang dan waktu (Anselin,1988). Pengamatan tersebut ditandai dengan lokasi absolut menggunakan sistem koordinat maupun lokasi relatif, sehingga data yang diperoleh dapat diatur berdasarkan unit spasial dari pengamatan. Sebagai contoh yaitu data ketenagakerjaan yang dikumpulkan berdasarkan unit administratif seperti propinsi, kabupaten/kota, kecamatan yang berada pada ruang geografis.

Salah satu masalah yang terjadi yang disebabkan oleh perbedaan lokasi yaitu adanya ketergantungan spasial (Spatial Dependence). Spatial Dependence dapat dianggap sebagai adanya hubungan fungsional antara apa yang terjadi pada suatu lokasi pengamatan dengan apa yang terjadi pada lokasi pengamatan lainnya. Spatial Dependence mengacu pada hubungan antara data spasial berdasarkan sifat dari variabel yang diamati dengan ukuran dan bentuk dari unit spasial (Anselin, 1988). Semakin kecil unit spasial, maka semakin besar probabilitas bahwa unit di dekatnya akan bergantung secara spasial. Jika unit spasial panjang dan sempit, kemungkinan ketergantungan spasial dengan unit didekatnya akan lebih besar dibandingkan dengan unit lainnya.

(ii) Spatial Heterogeneity

Asumsi yang digunakan pada pemodelan regresi global adalah bahwa hubungan dalam pemodelan adalah sama di setiap lokasi pengamatan dimana data diambil, yang biasa disebut dengan asumsi homogeneity. Pemodelan regresi global dengan asumsi tersebut akan menghasilkan parameter yang sama untuk setiap wilayah. Bagaimana ketika menghadapi data spasial yang mungkin bervariasi secara kewilayahan, atau biasa disebut dengan Spatial Heterogeneity.

(34)

15

(LeSage, 1999). Akibatnya, parameter global yang diduga dari data geografis tidak menggambarkan dengan baik fenomena geografis pada suatu lokasi tertentu. (iii) Matrik Penimbang

Alat yang digunakan dalam mengukur spasial pada model ekonometrik adalah melalui matriks penimbang yang biasanya dilambangkan dengan W. Untuk observasi R, matriks W adalah RxR dengan elemen diagonalnya bernilai 0 dan elemen wij merepresentasikan intensitas efek antara dua daerah i dan j (Anselin et

al,. 1996). Seringkali aplikasi penimbang adalah matriks penimbang spasial biner yang bernilai wij = 1 jika daerah i dan j berbatasan dan wij =0 jika tidak.

Penimbang matriks dapat distandarisasikan dengan lambang superscript s adalah:

wiSj =

Matriks ini, elemen barisnya berjumlah 1 dan menginterpretasikan nilai penimbang antara 0 dan 1 sebagai rata-rata nilai kedekatan (Anselin et al,. 1996). Standarisasi ini berguna untuk membandingkan antara model parameter spatial dalam proses stokastik spasial.

Cliff & Ord (1973, 1981) mengusulkan unsur-unsur elemen matriks adalah merupakan panjang jarak relatif perbatasan yang didefinisikan:

wij = di-ajβij

Dimana a adalah parameter, dij adalah jarak antara daerah i dan j, βij

merupakan proporsi dari batas antara i dan j, serta hasil matriks adalah simetris yaitu βij=βji.

Penelitian Terdahulu

Berbagai penelitian sebelumnya pernah dilakukan berkenaan dengan pembentukan pusat-pusat pertumbuhan baik secara teoritis mupun empiris. Menggunakan metodologi dan teknik analisis yang berbeda, para peneliti berupaya mengukur dampak spillover atau pun menguji multipolaritas yang ditimbulkan oleh adanya pusat-pusat pertumbuhan. Keberadaan pusat-pusat pertumbuhan serta dampak yang ditimbulkannya hingga kini masih menjadi perdebatan dalam literatur studi pembangunan regional.

(i) Penelitian mengenai pengukuran dampak spillover pusat pertumbuhan Wood (1999) melakukan penelitian dengan tujuan mengevaluasi efektifitas

spasial dari pemanfaatan pusat pertumbuhan untuk mempromosikan

pembangunan daerah di wilayah Appalachian antara tahun 1960-1990. Baik pusat pertumbuhan maupun non pusat pertumbuhan di analisis dengan melihat efek penyebaran (spread effect) menggunakan teknik pendekatan centroid dengan ARCView GIS. Analisis ini membedakan kabupaten berdasarkan jangkauan pengaruh pusat pertumbuhan yang diasumsikan bahwa jangkauan pengaruh terbatas pada jarak 30 mil. Adapun jenis-jenis kabupaten yang dibentuk yaitu : kabupaten berada dalam jangkauan pengaruh pusat pertumbuhan, kabupaten diluar jangkauan pengaruh pusat pertumbuhan, kabupaten sebagai pusat pertumbuhan, dan kabupaten terdekat di luar wilayah pusat pertumbuhan.

(35)

menyebabkan daerah perkotaan sering berbagi konektivitas yang lebih besar dengan kota-kota di luar batas wilayah mereka ketimbang dengan wilayah yang berjarak 30 mil dari pusat kota/pertumbuhan. Kesimpulan menjadi bukti selanjutnya bahwa strategi pusat pertumbuhan bukanlah solusi yang cocok untuk masalah yang paling mendesak di Appalachian.

Shanzi dan Feser (2010) melakukan penelitian dengan tujuan untuk mencari faktor-faktor penentu pertumbuhan ekonomi di seluruh kabupaten/kota serta mengeksplorasi spread-backwash effect terkait dengan pertumbuhan ekonomi di wilayan China Tengah. Menggunakan model pertumbuhan Solow (1956, 1957), dimana dalam proses produksi, output yang dihasilkan menggunakan dua input yaitu kapital dan tenaga kerja, sedangkan teknologi sebagai faktor eksogen. Penelitian ini mengasumsikan bahwa kapital sebagai variabel eksogen, sehingga hanya dua model persamaan yang akan diestimasi secara simultan (Output dan Tenaga Kerja) dalam mendeteksi faktor-faktor penentu pertumbuhan kedua variabel endogen tersebut. Seberapa jauh jangkauan pengaruh Pusat Pertumbuhan terhadap wilayah sekitar secara hirarki diteliti dengan menggunakan model Spatial Lag berdasarkan jenis penerima spillover. Hasil analisis menunjukkan bahwa spread-effect terjadi pada wilayah perkotaan, sementara wilayah perdesaan justru terjadi backwash-effect. Dengan demikian, diperoleh gambaran bahwa dampak dari strategi Pusat Pertumbuhan berbeda antar hirarki sehingga memberikan kesimpulan bahwa trickle down effect yang diharapkan terjadi di sekitar wilayah Pusat Pertumbuhan tidak terjadi secara merata.

(ii) Penelitian mengenai pengujian terhadap multipolaritas Pusat Pertumbuhan Hipotesis terhadap polarisasi spasial diuji untuk kasus penjualan retail di kota-kota Midwestern selama periode 1948-1967 oleh Casseti, King dan Orland (1973), yaitu menguji efek jarak antar pusat-pusat pertumbuhan terhadap banyaknya penjualan. Pusat-pusat pertumbuhan dikelompokkan berdasarkan hirarki dengan mengelompokkan kota-kota ke dalam 8 kelas berdasarkan ukuran populasi. Polarisasi positif terhadap pertumbuhan didapatkan jika turunan parsial z yang merupakan fungsi dari (x, y, t) terhadap jarak (s) dan intensitas waktu (t) lebih kecil dari nol (δz2/δsδt < 0). Sebaliknya polarisasi pusat pertumbuha

n terbukti negatif jika lebih besar dari nol (δz2/δsδt > 0). Penelitian ini berfokus

hanya menggunakan faktor jarak, meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa pertumbuhan kota jelas bervariasi sehubungan karena faktor-faktor lain. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa pola pertumbuhan di Midwestern bergantung pada jarak terhadap pusat pertumbuhan. Penjualan retail semakin besar pada kota-kota yang berjarak makin dekat dengan pusat-pusat pertumbuhan di level tertinggi.

Adam-Kane dan Lim (2011) melakukan penelitian dengan tujuan pertama untuk melihat polaritas lintas negara dengan melakukan pengukuran empiris baik terhadap polaritas pertumbuhan (Pit), polaritas pertukaran (PitT), polaritas finansial

(PitFt), polaritas migrasi (Pitm), dan spillover teknologi (PitA); Kedua, menentukan

(36)

17

merata, yang menunjukkan bahwa pembagian aktivitas perekonomian belum proporsional, kedua : adanya hubungan yang sangat kuat antara kualitas institusi dan polaritas pertumbuhan, dan ketiga : ukuran konsentrasi menunjukkan trend yang makin menurun padahal di era globalisasi saat ini menuntut hubungan multipolaritas kutub yang makin meningkat.

Kerangka Pemikiran

Kesenjangan pendapatan (Gini Ratio) pada masing-masing propinsi di Kalimantan masih dibawah Gini Ratio Nasional yang sudah melampaui angka 0,4. Meskipun demikian, perkembangan ketimpangan pendapatan di Kalimantan cenderung makin tinggi, seiring makin besarnya ketimpangan nasional. Dibanding dengan pulau Jawa dan Sumatera, Kalimantan mengalami ketertinggalan utamanya dari sisi output, tenaga kerja, dan investasi. Hasil perkebunan, hutan dan tambang yang di ekspor pada umumnya masih berupa bahan mentah, tanpa melalui proses produksi, sehingga tidak dapat memberikan nilai tambah terhadap output.

Pembentukan pusat-pusat pertumbuhan menjadi bagian dari strategi pemerintah dalam upaya mengurangi kesenjangan antarwilayah terutama antara kawasan barat dan kawasan timur Indonesia. Keberpihakan kepada percepatan pembangunan khususnya di kawasan timur Indonesia dikembangkan antara lain melalui Kawasan Andalan (RTRWN 1997), KAPET (Kepres RI No. 150 Tahun 2000), dan Koridor Ekonomi Indonesia (Perpres RI No. 32 Tahun 2011). Pusat-pusat pertumbuhan ditetapkan pada beberapa kabupaten-kota yang memiliki sektor unggulan dan diharapkan mampu memberikan dampak spillover dan multipolaritas positif bagi daerah sekitarnya (hinterland).

Pengembangan wilayah pusat-pusat pertumbuhan di Kalimantan masih belum mampu meminimalisasi ketimpangan antarwilayah. Beberapa pusat pertumbuhan di Kalimantan bahkan berada pada kategori daerah relatif tertinggal. Disisi lain, pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak diikuti oleh penyerapan tenaga kerja yang tinggi. Makin tingginya Indeks eksploitasi ekonomi menunjukkan besarnya sumberdaya yang harus disediakan, yang nyatanya lebih banyak dikonsumsi oleh penduduk yang tinggal diluar wilayahnya. Hal ini justru memunculkan kekhawatiran telah terjadi backwash effect di Kalimantan. Demikian juga halnya dengan dampak multipolarisasi antara pusat-pusat pertumbuhan di Kalimantan dan luar Kalimantan yang dikhawatirkan justru akan mengarah pada bencana migrasi. Oleh karenanya, menjadikan alasan utama untuk melakukan kajian yang lebih mendalam untuk mengukur dampak spillover dan multipolaritas pusat-pusat pertumbuhan di Kalimantan.

(37)

Menurut Cappelo (2007), pusat pertumbuhan bisa memberikan dampak spillover positif (spread effect) dan spillover negatif (backwash effect). Pusat pertumbuhan juga dapat menimbulkan dampak polarisasi yaitu terkonsentrasinya aliran ekonomi secara hirarki dari daerah sub inti/periphery ke daerah inti (core) yang berdekatan (Friedmann, 1967). Beberapa ahli ekonomi baik di negara-negara maju maupun negara-negara berkembang telah mencoba untuk mencari ukuran yang menggambarkan besaran dampak spillover pusat pertumbuhan terhadap hinterland pada wilayah tertentu serta menguji adanya multipolaritas pusat pertumbuhan dengan menggunakan berbagai teknik analisis baik statis maupun dinamis. Kesimpulan yang dihasilkan menunjukkan perbedaan baik terhadap dampak yang ditimbulkan serta sampai seberapa jauh dampak tersebut berpengaruh.

Pengembangan model spillover pertumbuhan dilakukan dengan mengadopsi penelitian Shanzi-Feser (2010), yang memanfaatkan model pertumbuhan Solow (1956,1957), dimana output ditentukan oleh input modal, tenaga kerja dan teknologi. Penelitian ini melakukan pengembangan dengan merubah asumsi investasi yang semula dalam model Shanzi-Feser merupakan variabel eksogenus menjadi endogenus agar dapat memberikan hasil yang lebih tepat untuk kondisi di Indonesia khususnya di Kalimantan. Pada beberapa penelitian, investasi tidak hanya menjadi faktor penentu pertumbuhan output tetapi terjadi efek umpan balik dimana pertumbuhan investasi juga dipengaruhi oleh pertumbuhan output (Gebremariam, 2008). Peranan investasi justru merupakan injeksi bagi perluasan penyebaran pertumbuhan di suatu wilayah melalui pembangunan infrastruktur dan belanja modal lainnya. Pertimbangannya adalah karena investasi masih merupakan faktor penunjang utama dalam menggerakkan pertumbuhan di Indonesia (Adisasmita, 2008).

Dinamika pertumbuhan Kalimantan dipengaruhi oleh keberagaman spasial dan interaksi antarwilayah di Kalimantan. Pusat-pusat pertumbuhan di Kalimantan diharapkan memberikan dampak spillover pertumbuhan bagi wilayah sekitarnya. Sebaliknya, daerah-daerah disekitar pusat-pusat pertumbuhan diharapkan memiliki ketergantungan spasial dengan pusat-pusat pertumbuhan. Hubungan spasial yang bersifat spesifik ini perlu dibuktikan secara empiris. Penggunaan ekonometrika biasa tidak mampu menangkap keberagaman dan keterkaitan antarwilayah. Oleh karenanya, model-model ekonomi seperti model pertumbuhan Solow perlu dikembangkan dengan memasukkan efek spasial melalui penggunaan metode ekonometrik spasial.

Penelitian ini menggunakan metode Generalized Spatial Two Stage Least Square (GS2SLS) dalam mengidentifikasi faktor-faktor penentu pertumbuhan output, tenaga kerja dan investasi secara simultan sekaligus mempertimbangkan ketergantungan spasial (spatial dependency) antara hinterland dengan pusat pertumbuhan. Peranan spasial di masukkan ke dalam model melalui penggunaan dua jenis bobot yaitu bobot ketetanggaan dengan pusat pertumbuhan ( W-Neighborhood) dan jarak ekonomi (aliran barang) dengan pusat pertumbuhan terdekat (W-Customized) untuk mendapatkan model spillover pertumbuhan yang terbaik. Tanda positif dari variabel spatial lag dependent menunjukkan adanya spread effect, sebaliknya tanda negatif menunjukkan adanya backwash effect.

Gambar

Gambar 4. Empat Tahapan Friedmann Model Pengembangan Tata Ruang Sumber : Friedmann (1966)
Gambar 5. Kerangka Pemikiran Penelitian
Gambar 6. Skema Prosedur Pembuatan Model Regresi Spasial
Gambar 7. Diagram Keterkaitan Variabel Model Spillover Pertumbuhan di Kalimantan
+7

Referensi

Dokumen terkait

parameter debit, kedalaman aliran, kecepatan aliran, dan koefisien debit, serta hubungan pengaruh antara keda;laman aliran di sebelah hilir dan hulu ambang dengan

Berdasarkan rumusan masalah, tujuan dari dilakukanya penelitain ini adalah mengimplementasikan metode Shallow Parsing pada kalimat tanya dan teks dari teknologi

Aplikasi AR Digestive telah di uji kelayakannya oleh dua ahli media dan dua ahli materi dan dinyatakan layak untuk diuji cobakan terhadap siswa.Sedangkan

dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak.. perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau

luas lahan, jumlah populasi, umur tanaman, jumlah penggunaan pupuk, jumlah pestisida, curahan tenaga kerja, dan jenis lahan mempengaruhi produksi kelapa sawit

Hasil keragaan aktivitas fagositik (PA) dan indeks fagositik (lP) dari benih ikan kerapu lumpur dengan perlakuan imunostimulan bakterin, terlihat bahwa besamya nilai

Berisi tentang kesimpulan dari data–data yang telah dianalisa dan selanjutnya akan diberikan saran dari kesimpulan yang telah didapat terutama bagi pihak

Warna kuning dan coklat merupakan warna dasar dari logo Bernardi, sedang warna merah dipakai untuk memberi kesan sosis dan untuk kesan “peringatan” Warna biru dan hijau