• Tidak ada hasil yang ditemukan

KIMIA ORGANIK

5.3 Analisis Kebijakan

5.3.1 Indeks Keberlanjutan Industri Gula

Dalam rangka memotret pabrik gula yang ada di Indonesia, dilakukan analisis terhadap dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya-budaya, teknologi serta hukum dan kelembagaan, dan dilihat keberlanjutan dari setiap dimensi tersebut. Penilaian keberlanjutan keberadaan industri gula di lokasi penelitian dilakukan dengan metode multidimensional scaling (MDS) yang disebut dengan metode Rap-Berinla. Metode Rap-Berinla sebagaimana sudah dijelaskan pada bagian terdahulu merupakan pengembangan dari metode Rapfish yang telah digunakan untuk menilai status keberlanjutan keberadaan kegiatan industri gula di lokasi penelitian. Analisis Rap-Berinla menghasilkan status dan indeks keberlanjutan keberadaan industri gula. Dan selanjutnya dalam rangka mengetahui dimensi (aspek) pembangunan apa yang masih lemah di pabrik gula dan dimensi mana yang memerlukan perbaikan maka perlu dilakukan analisis Rap-Berinla pada setiap dimensi tersebut (ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi, hukum dan kelembagaan). Adapun hasil dari analisis tersebut adalah sebagai berikut.

Dimensi Ekologi

Berdasarkan Gambar 28 nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi ekologi adalah sebesar 58,13 pada skala sustainabilitas 0-100. Jika dibandingkan dengan nilai lkB-Berinla 55,43 yang bersifat multi dimensi maka nilai indeks dimensi ekologi berada di

atas nilai lkB-Berinla dan termasuk ke dalam kategori berkelanjutan karena memiliki kisaran nilai, masuk ke dalam kategori “berkelanjutan”, yaitu terletak pada kisaran “50 - 75” (Kavanagh, 2001). Hal ini mengandung pengertian bahwa keberadaan industri gula, aspek ekologi lebih berkontribusi positif atau memberikan manfaat dalam mewujudkan keberkelanjutan industri gula. Atau dengan kata lain keberadaan pabrik gula pada satu daerah atau wilayah, tidak akan memberikan dampak buruk terhadap aspek ekologi atau lingkungan yang berada di lokasi tersebut.

Kondisi ini sangat dimungkinkan, mengingat industri gula merupakan industri yang sudah menerapkan sistem produksi bersih. Dalam hal ini hampir semua limbah yang dihasilkan dari kegiatan dan proses-proses yang terjadi pada industri gula dimanfaatkan kembali menjadi bahan-bahan yang bernilai ekonomis, seperti untuk membuat bahan penyedap rasa, ataupun bahan dasar pembuatan produk lainnya. Selain hal itu, kegiatan pabrik gula juga merupakan kegiatan yang salah satu kegiatan utamanya adalah harus mengadakan bahan baku berupa tebu.

Adanya penanaman tebu ini merupakan hal yang cukup positif untuk dimensi ekologi, mengingat dengan adanya penanaman tebu, maka proses alih fungsi lahan menjadi tertahan atau bahkan tidak dilakukan sama sekali. Selain itu adanya penanaman tebu akan mengakibatkan lahan terbuka hijau dipertahankan, sehingga akan sangat mereduksi karbon dioksida dari atmosfir, karena karbon dioksida tersebut akan diserap oleh tanaman untuk keperluan proses fotosintesis. Kondisi ini tentu saja pada akhirnya akan secara otomatis, mengurangi proses pemanasan global, sehingga juga akan menghambat terjadinya perubahan iklim global yang saat ini semakin dikuatirkan mengingat maraknya bencana yang ditimbulkan oleh perubahan iklim global tersebut (IPCC, 2006).

Selain hal tersebut di atas, adanya penanaman tebu juga memberikan keuntungan sendiri secara ekologi. Dalam hal ini dengan adanya penanaman tersebut akan memberikan dampak yang sangat postif terhadap peluang kesempatan air untuk berhenti dan masuk ke dalam tanah, sehingga mempunyai kesempatan untuk menjadi air tanah. Kondisi ini akan sangat menguntungkan mengingat adanya tanaman tebu ini memberikan harapan tersedianya air tanah pada musim kemarau, karena air tidak semua melimpas (run off) masuk ke sungai dan ke laut, namun akan terhenti dan masuk ke dalam tanah (Sitorus, 2002).

Selain hal tersebut, dengan adanya lokasi penanaman tebu, maka kemungkinan terjadinya musibah banjir pada musim hujan akan dapat dikurangi, mengingat lahan tempat bertanam tebu merupakan salah satu tempat yang berfungsi untuk tangkapan air. Oleh karena itu maka dimensi ekologis harus tetap dipertahankan, mengingat kondisi ekologis yang buruk akan dapat menjadi ancaman bagi pembangunan tempat lokasi industri gula menjadi tidak berkelanjutan. Jika keadaan ini terjadi, maka pada akhirnya dapat menimbulkan dampak tidak saja pada kondisi ekologis semata, namun juga terhadap kegiatan ekonomi, ekologi dan sosial budaya yang nantinya secara langsung akan dirasakan oleh masyarakat, terutama yang ada di kawasan pabrik gula tersebut, namun juga akan dapat dirasakan oleh masyarakat secara luas.

Melihat nilai keberlanjutan tersebut, terlihat bahwa nilai tersebut masih perlu ditingkatkan lagi, agar nilai indeks dimensi ekologi di masa yang akan datang semakin meningkat. Agar keberlanjutannya meningkat, maka hal-hal yang perlu dilakukan adalah melakukan perbaikan terhadap atribut yang sensitif terhadap nilai indeks dimensi tersebut, yaitu: 1) Kerentanan lahan; 2) Pengelolaan pada masa tanam 3) Peralatan produksi di lapangan dan 4) Inisitatif perluasan lahan. Untuk lebih jelasnya, mengenai hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 27.

Gambar 27 Analisis Rap-Berinla yang menunjukkan nilai indeks sustainabilitas dimensi ekologi

Atribut-atribut dalam aspek ekologi yang ditelaah untuk mengetahui tingkat keberlanjutan keberadaan industri gula adalah tingkat kinerja tenaga dan bengkel kerja, tingkat kinerja mesin produksi, pengolahan limbah, inisiatif perluasan lahan, irigasi, peralatan produksi di lapangan, pengelolaan produksi di lapangan, pengelolaan pada masa tanam, kerentanan lahan, dan status kepemilikan lahan.

Selanjutnya dilakukan analisis leverage. Analisis ini dilakukan dengan tujuan untuk melihat atribut yang sensitif memberikan kontribusi terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi. Berdasarkan Gambar 28, ada 2 atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi, yaitu: 1) Kerentanan lahan; dan 2) Pengelolaan pada masa tanam.

Gambar 28 Peran masing-masing atribut ekologi yang dinyatakan dalam bentuk perubahan RMS lkB-Berinla

Berdasarkan hasil analisis leverage di atas, untuk mewujudkan sistem keberlanjutan industri gula berdasarkan dimensi ekologi adalah dengan mengeluarkan kebijakan untuk memperbaiki kinerja tenaga dan bengkel kerja, inisiatif perluasan lahan, kinerja mesin produksi, pengelolaan limbah dan irigasi, serta memperbaiki status kepemilikan lahan. A t r i b Pengaruh Atribut Perubahan RMS (skala 0 – 100) Pengaruh Atribut

Dimensi Ekonomi

Berdasarkan Gambar 29 nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi sebesar 52,60. Nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi mengandung pengertian bahwa keberadaan industri gula di lokasi kajian ternyata telah memberi manfaat dari aspek ekonomi yang sudah cukup tetapi belum optimal dan perlu dilakukan optimalisasi dalam peningkatan kontribusi pada nilai ekonomi (Kavanagh, 2001). Agar nilai indeks dimensi ini di masa yang akan datang semakin meningkat perlu dilakukan perbaikan terhadap atribut yang sensitif terhadap nilai indeks dimensi tersebut.

Gambar 29 Analisis Rap-Berinla yang menunjukkan nilai indeks sustainabilitas dimensi ekonomi

Keberlanjutan dimensi ekonomi yang masuk pada kategori cukup berlanjut, relatif dapat dikatakan merupakan hal yang wajar, mengingat dimanapun ada kegiatan industri, akan ada keuntungan baik untuk pemda berupa adanya pajak pendapatan perusahaan, pajak bangunan, pajak pendapatan para pekerja, berbagai jenis retibusi, dan sebagainya. Kondisi yang sama juga akan terjadi pada masyarakat, karena masyarakat akan mempunyai kesempatan kerja dan kesempatan berusaha yang lebih tinggi, jika di lokasi tersebut terdapat kegiatan industri. Sebagai contoh ibu rumah tangga yang biasanya hanya mengerjakan pekerjaan rumah tangga, dapat melakukan wirausaha, misalnya dengan berjualan makanan ringan, minuman serta berbagai upaya dapat

dilakukan di lokasi yang terdapat industri. Karena itu sangat wajar jika nilai keberlanjutan dimensi ekonomi masuk pada kategori cukup berlanjut.

Namun demikian berdasarkan pengamatan penulis selama melakukan penelitian terlihat bahwa manfaat ekonomi yang diperoleh di kawasan industri gula saat ini masih bersifat jangka pendek. Hal ini disebabkan kegiatan ekonomi yang ada di kawasan pabrik gula tersebut masih sangat terbatas pada menjadi pekerja pabrik dan berjualan makanan sedangkan kegiatan misalnya memanfaatkan limbah pabrik gula untuk dijadikan bahan industri selanjutnya, masih belum dapat dilaksanakan oleh masyarakat. Kondisi ini terjadi karena limbah pabrik gula tersebut sudah ada yang membeli secara rutin, sehingga saat ini tidak dapat dijadikan sebagai bahan baku industri rumah tangga untuk penduduk sekitar.

Gambar 30 Peran masing-masing atribut ekonomi yang dinyatakan dalam bentuk perubahan RMS lkB-Berinla

Berdasarkan hasil analisis leverage sebagaimana Gambar 30, ada sepuluh atribut yang mempengaruhi besarnya nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi dari yang

terbesar sampai yang terkecil, yaitu: 1) Pasar produk industri gula; 2) Kemitraan dalam pemasaran; 3) Modal kerja dan sumber dana; 4) Pemanfaatan limbah; 5) Hasil produksi berupa gula pasir; 6) Ketersediaan bahan baku berupa tebu; 7) Kenaikan hasil produksi; 8) Penghasilan pekerja dan penduduk sekitar; 9) Harga bahan baku gula dibanding dengan hasil penjulan; dan 10) Biaya pemeliharaan mesin-mesin.

Hasil analisis leverage di atas menunjukkan bahwa keberadaan pasar produk industri gula memiliki peranan yang sangat penting terhadap keberlanjutan keberadaan industri gula selama ini. Hasil analisis leverage di atas juga menunjukkan bahwa perlunya dilakukan perbaikan terhadap pemanfaatan limbah, perbaikan hasil produksi, peningkatan kemitraan dalam pemasaran, modal kerja dan sumber dana, penyelesaian masalah ketersediaan bahan baku berupa tebu, upaya peningkatan hasil produksi berupa gula pasir, pengadaan biaya pemeliharaan mesin-mesin, peningkatan harga bahan baku gula dibanding dengan hasil penjualan dan peningkatan penghasilan pekerja dan penduduk sekitar dalam upaya meningkatkan keberlanjutan industri gula.

Berdasarkan data tersebut di atas, maka perlu dilakukan perbaikan terhadap atribut yang sensitif terhadap nilai indeks dimensi ekonomi tersebut, sehingga nilai indeks dimensi ekonomi di kawasan pabrik gula yang ada di seluruh Indonesia, pada masa yang akan datang dapat ditingkatkan kembali.

Dimensi Sosial budaya

Nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial budaya memiliki nilai paling besar dibandingkan dimensi lainnya dan termasuk ke dalam kategori cukup berkelanjutan hal ini terlihat pada Gambar 33 menunjukkan nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial budaya sebesar 62,74. Hal ini mengandung pengertian bahwa keberadaan industri gula berdasarkan aspek sosial budaya lebih berkontribusi positif atau memberikan manfaat dibanding semua aspek lainnya (Kavanagh, 2001). Agar nilai indeks dimensi ini di masa yang akan datang semakin meningkat perlu dilakukan perbaikan terhadap atribut yang sensitif terhadap nilai indeks dimensi tersebut. Peningkatan dimensi sosial budaya yang sudah masuk kategori cukup berlanjut ini diperlukan, mengingat walaupun kondisi di sekitar pabrik gula terkesan aman dan relatif tidak ada masalah yang berarti, namun kadang-kadang adanya ketidak puasan terutama dari para petani terhadap penerimaan hasil (jual) tebu kadang memicu terjadinya konflik seperti yang terjadi pada tanggal 19 Agustus 2010 yang mengakibatkan terjadinya demo petani tebu di PTPN X Surabaya.

Adapun akar permasalahan terjadinya demo di PTPN X ini adalah adanya keinginan petani tebu agar rendemen tebu yang dihasilkan kelompok tani sekitar PTPN X diakui oleh pabrik gula tinggi, namun di lain pihak rendemen dari tebu yang dihasilkan para petani ini rendah (Harian Kompas 20 Agustus 2010).

Cukup tingginya nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial budaya memperlihatkan bahwa di kawasan industri gula berindikasi adanya kegiatan industri gula relatif tidak mengakibatkan melunturnya aspek sosial budaya. Hal ini terlihat dari relatif sangat rendahnya frekuensi terjadinya konflik masyarakat yang tinggal di sekitar pabrik gula, baik antara masyarakat dengan masyarakat setempat, maupun antara masyarakat asli dengan masyarakat pendatang (pekerja di pabrik gula). Konflik juga tidak pernah terjadi antara pihak masyarakat dengan pihak pengelola pabrik. Selain itu adanya industri gula relatif tidak merubah masyarakat sekitarnya menjadi lebih bersifat individual dan menjauhi sosial budaya budaya di lokasi tersebut, sehingga kondisi sosial budaya budaya masyarakat yang berada di sekitar pabrik gula relatif tidak berubah, dan pada akhirnya mengakibatkan nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial budaya ini tinggi. Adapun peran masing-masing aspek pada atribut sosial budaya ini dianalisis dengan menggunakan analisis leverage dapat dilihat pada Gambar 31.

Berdasarkan hasil analisis leverage sebagaimana Gambar 31 ada sembilan atribut yang mempengaruhi nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial budaya. Dengan demikian atribut tersebut perlu mendapat perhatian dan dikelola dengan baik agar nilai indeks dimensi ini meningkat di masa yang akan datang. Atribut-atribut lain yang mempengaruhi indeks keberlanjutan dimensi sosial budaya adalah sebagai berikut: 1) Penyediaan fasilitas untuk praktek kerja siswa/mahasiswa; 2) Penyelenggaraan peringatan hari-hari besar (agama, nasional); 3) Penyediaan fasilitas sosial budaya; 4) Penyediaan fasilitas umum; 5) Kontribusi pabrik terhadap masyarakat; 6) hubungan antar masyarakat; 7) Jaringan pengaman sosial budaya (social safety net); 8) Tingkat penyerapan tenaga kerja; dan 9) Tingkat pendidikan formal masyarakat.

Berdasarkan analisis leverage di atas tingkat pendidikan formal masyarakat yang cukup baik secara nyata sangat berpengaruh terhadap peningkatan indeks sistem keberlanjutan industri gula. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi sosial budaya masyarakat di lokasi kajian selama ini sedikit banyak membantu terhadap pengembangan industri gula di lokasi tersebut. Walaupun aspek sosial budaya memiliki tingkat keberlanjutan yang cukup baik, namun berdasarkan Gambar grafik lkb-Rap

Berinla ada kecenderungan bahwa di masa-masa akan datang akan terjadi penurunan nilai keberlanjutan aspek sosial budaya tersebut. Oleh karena itu maka walaupun aspek social pada kawasan industri gula cukup baik, namun mengingat pesatnya perkembangan zaman, dan mudahnya akses informasi, maka aspek social perlu mendapat perhatian yang serius dimasa yang akan datang.

Gambar 31 Analisis Rap-Berinla yang menunjukkan nilai indeks sustainabilitas dimensi sosial budaya

Dimensi Teknologi

Nilai indeks kebelanjutan dimensi teknologi sebesar 77,32. Nilai indeks tersebut termasuk ke dalam kategori berkelanjutan dengan “baik” (Kavanagh, 2001). Nilai ini sekaligus mengindikasikan cukup baiknya aplikasi teknologi pada keberlanjutan keberadaan industri gula. Aplikasi teknologi akan sangat membantu untuk meningkatkan produktivitas hasil produksi, sehingga pada akhirnya akan meningkatkan keberlanjutan proses kegiatan produksi gula.

Tingginya nilai keberlanjutan dimensi teknologi diduga erat kaitannya dengan teknologi eksisting yang saat ini ada di pabrik gula. Hal ini sesuai dengan hasil pengamatan lapang dan hasil wawancara dengan para stakeholder terkait yang memperlihatkan bahwa aplikasi teknologi pada kegiatan industri gula sangat tinggi, walau mesin yang dimanfaatkan hingga saat ini pada umumnya masih berasal dari Zaman Belanda. Pada dasarnya mesin-mesin yang ada di pabrik gula merupakan mesin yang sudah tua (sejak Zaman Belanda) sehingga memerlukan adanya revitalisasi, namun cukup canggihnya mesin yang ada di pabrik gula seluruh Indonesia dan relatif tidak mengalami kerusakan yang sangat berarti serta ditambah dengan adanya kenyataan bahwa dengan semakin majunya pendidikan telah berdampak positif pada kualitas SDM, sehingga putra-putri Indonesia sudah mampu membuat suku cadang mesin pabrik gula tersebut. Kondisi ini mengakibatkan pada saat diwawancara para stakeholder tetap berpendapat bahwa keberlanjutan dimensi teknologi relatif sangat tinggi (Gambar 32).

Gambar 32 Peran masing-masing atribut sosial budaya yang dinyatakan dalam bentuk perubahan RMS lkB-Berinla.

Pendapat bahwa keberlanjutan dimensi teknologi relatif sangat tinggi, padahal teknologi yang dimanfaatkan industri gula pada umumnya adalah teknologi lama yang sudah ada sejak zaman penjajahan, dan belum mengalami perubahan yang berarti, juga diesbabkan kondisi mesin yang ada hingga saat ini masih ada dalam kondisi baik hingga saat ini, sehingga tidak mengakibatkan terganggunya proses produksi, bahkan ada indikasi teknologi tersebut tidak terkalahkan oleh negara lain. Begitu pula halnya dengan pengelolaan kawasan industri gula yang relatif tetap mulai dari zaman penjajahan Belanda hingga saat ini, ternyata tidak menurunkan nilai keberlanjutan dimensi teknologi. Adapun teknologi yang sudah diaplikasikan pada industri gula tersebut, antara lain adalah teknologi dalam proses industri gula, baik teknologi di bidang proses produksi gula, proses rafinasi proses pengolahan limbah, proses penanaman tebu, proses pemanenan dan berbagai teknologi yang diperlukan dalam rangka pengendalian dan pengamanan pada kegiatan budidaya tanaman tebu.

Walaupun nilai indeks keberlanjutan teknologi masuk pada kategori sangat berlanjut, namun tetap harus dilakukan berbagai usaha untuk mempertahankannya atau bahkan untuk meningkatkannya, sehingga tidak kalah bersaing dengan Negara lain. Oleh karena itu maka dalam rangka mempertahankan atau meningkatkan nilai indeks keberlanjutan dimensi teknologi, maka perlu dilakukan perbaikan terhadap beberapa atribut yang sensitif mempengaruhi nilai indeks teknologi pada pengelolaan kawasan industri gula di seluruh Indonesia.

Berdasarkan hasil analisis leverage, ada delapan atribut yang mempengaruhi besarnya nilai indeks keberlanjutan dimensi teknologi antara lain perencanaan mengantisipasi sistem global, peningkatan produktivitas SDM, kolaborasi dengan pihak luar, rencana revitalisasi mesin-mesin produksi, bahan baku untuk perbaikan, teknologi mesin pabrik, teknologi pengolahan limbah, dan tingkat penguasaan teknologi

Agar nilai indeks keberlanjutan dimensi teknologi dapat ditingkatkan perlu dilakukan perbaikan terhadap beberapa atribut yang sensitif mempengaruhi nilai indeks tersebut, yaitu: 1) Rencana revitalisasi mesin-mesin produksi dan 2) Peningkatan produktivitas SDM. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 33.

Gambar 33 Analisis Rap-Berinla yang menunjukkan nilai indeks dimensi teknologi

Hasil analisis leverage di atas menunjukkan bahwa keberadaan rencana revitalisasi mesin-mesin produksi dan peningkatan produktivitas SDM memiliki peranan yang sangat penting terhadap keberlanjutan keberadaan industri gula selama ini. Hasil analisis leverage di atas juga menunjukkan bahwa perlunya dilakukan perbaikan terhadap perencanaan mengantisipasi sistem global, kolaborasi dengan pihak luar, tingkat penguasaan teknologi, teknologi pengolahan limbah, teknologi mesim pabrik, bahan baku untuk perbaikan.

Dimensi Hukum dan Kelembagaan

Berdasarkan Gambar 34, nilai indeks keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan sebesar 25,90. Nilai indeks keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan ini merupakan nilai indeks keberlanjutan terendah dari kelima dimensi yang digunakan dan termasuk kedalam kategori kurang berkelanjutan (Kavanagh, 2001). Hal ini mengandung pengertian bahwa pemanfaatan keberadaan industri gula selama ini kurang memperhatikan aspek hukum dan kelembagaan. Agar nilai indeks dimensi ini di masa yang akan datang semakin meningkat perlu dilakukan perbaikan terhadap dimensi tersebut.

Gambar 34 Peran masing-masing atribut teknologi yang dinyatakan dalam bentuk perubahan RMS lkB-Berinla

Dimensi hukum dan kelembagaan pada pengelolaan industri gula termasuk ke dalam kategori kurang berkelanjutan. Hal ini juga terlihat dari kondisi yang terdeteksi di lokasi penelitian yang memperlihatkan bahwa ada indikasi bahwa kelembagaan yang ada di kawasan lokasi pabrik gula berdiri, relatif lemah. Hal ini dapat ditunjukan dari belum adanya wadah yang dimiliki petani tebu untuk menyampaikan aspirasi dan pendapatnya serta belum adanya keterkaitan antara dinas yang satu dengan dinas yang lain yang terkait dengan industri gula tersebut atau dengan kata lain masih adanya sifat egosektoral pada dinas-dinas terkait. Tidak berlanjutnya dimensi hukum juga terlihat secara jelas dari masih lemahnya penegakan hukum, bahkan ada kecenderungan masyarakat dan para stakeholder yang relatif kurang mempercayai penegakan hukum di daerahnya masing-masing

Kondisi tersebut akan menjadi ancaman bagi pengelolaan kawasan industri gula untuk menjadi tidak berkelanjutan. Hal ini mengingat keadaan ini pada akhirnya dapat menimbulkan dampak, baik terhadap kegiatan ekonomi, ekologi dan sosial budaya yang nantinya secara langsung akan dirasakan oleh masyarakat, terutama yang ada di kawasan minapolitan tersebut, namun juga akan dapat dirasakan oleh masyarakat secara luas.

Berdasarkan hasil analisis leverage sebagaimana Gambar 35, semua atribut yang ada tersebut mempengaruhi besarnya nilai indeks keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan dari yang terbesar sampai yang terkecil, yaitu: 1) kerjasama pengusaha dan masyarakat; 2) kebijakan pendorong industri gula; 3) keterlibatan pemerintah daerah; 4) sinkronisasi kebijakan pusat dan daerah; 5) kerjasama dengan pihak asing; 6) Status industri gula; 7) Pembinaan dan dukungan kelembagaan dan 8) Ketersediaan perangkat hukum.

Gambar 35 Analisis Rap-Berinla yang menunjukkan nilai indeks sustainabilitas dimensi hukum dan kelembagaan.

Hasil analisis leverage di atas juga menunjukkan bahwa peranan dimensi hukum kelembagaan yang kurang mendukung terhadap sistem keberlanjutan industri gula

sangat dipengaruhi oleh faktor kurangnya ketersediaan perangkat hukum, pembinaan dan dukungan kelembagaan yang rendah dan status industri gula yang kurang jelas.

Gambar 36 Peran masing-masing atribut hukum dan kelembagaan yang dinyatakan dalam bentuk perubahan RMS lkB-Berinla.

Multi-Dimensi

Hasil analisis Rap-Berinla dengan menggunakan metode MDS menghasilkan nilai IkB-Berinla (indeks keberlanjutan keberadaan industri gula) adalah sebesar 55,43 pada skala sustainabilitas 0 – 100. Nilai lkB-Berinla tersebut diperoleh berdasarkan penilaian terhadap 44 atribut yang tercakup dalam lima dimensi (ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi, hukum dan kelembagaan) termasuk ke dalam kategori cukup berkelanjutan, mengingat nilai lkB-Berinla-nya berada pada selang nilai 50 – 75.

Beberapa parameter statistik yang diperoleh dari analisis Rap-Berinla dengan menggunakan metode MDS berfungsi sebagai standar untuk menentukan kelayakan terhadap hasil kajian yang dilakukan di wilayah studi. Tabel 16 di bawah ini menyajikan

nilai “stress” dan R2 (koefisien determinasi) untuk setiap dimensi maupun multidimensi. Nilai tersebut berfungsi untuk menentukan perlu tidaknya penambahan atribut untuk mencerminkan dimensi yang dikaji secara akurat (mendekati kondisi sebenarnya).

Tabel 16. Hasil analisis Rap-Berinla untuk beberapa parameter statistik

Ekologi Ekonomi Sosial

budaya Teknologi Hukum & Kelembagaan Multi-Dimensi Stress = 0,1152471 0,1100917 0,1399428 0,2113747 0,1001564 0,135363 Squared Correlation (RSQ) = 0,976606 0,9735096 0,9538016 0,8956022 0,98760909 0,957426 % Analisis 58,13% 52,60% 62,74% 77,32% 25,90% 55,34%

Berdasarkan Tabel 16 di atas setiap dimensi maupun multidimensi memiliki nilai “stress” yang jauh lebih kecil dari ketetapan yang menyatakan bahwa nilai “stress