• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Desk study

IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN, INDUSTRI GULA INDONESIA DAN DUNIA

4.1 Masalah yang Dihadapi Pabrik Gula di Lokasi Penelitian

Hasil penelitian ini memperlihatkan adanya berbagai permasalahan yang dihadapi oleh pabrik gula yang diteliti, adapun permasalahan tersebut antara lain adalah: 1. Masalah-masalah On farm:

a. Sulitnya penambahan areal baru dan mempertahankan lahan yang sudah ada b. Penyediaan agro input untuk budidaya tebu belum tepat jumlah, waktu, harga,

dan mutu

c. Kurangnya sarana irigasi/pengairan, terutama untuk wilayah pengembangan di lahan kering

d. Keterbatasan alat pengolahan tanah terutama di lahan kering

e. Keterbatasan infrastruktur (jalan produksi, jembatan) terutama untuk wilayah pengembangan di luar Jawa

f. Fungsi kelembagaan petani belum optimal dalam mendukung peningkatan produksi dan produktivitas

g. Penerapan teknologi budidaya oleh petani yang belum optimal terkait dengan keterbatasan permodalan

h. Manajemen tebang muat angkut (TMA) belum mencapai standar manis bersih segar (MBS)

i. Penataan varietas tebu yang masih terhambat

2. Masalah-masalah Off farm:

a. Tingkat efisiensi pabrik (overall recovery) masih jauh dibawah standar b. Kinerja mesin dan peralatan pabrik gula yang kurang memadai

c. Rendahnya tingkat otomatisasi pabrik yang mempengaruhi efisiensi dan daya saing usaha

d. Pengalihan teknologi proses sulfitasi menjadi karbonatasi belum menjadi pertimbangan oleh perusahaan gula

e. Belum berkembangnya diversifikasi produk termasuk energi untuk meningkatkan daya saing industri gula.

3. Masalah lainnya yang dihadapi industri gula antara lain:

a. Belum terjaminnya pendapatan petani dari aspek penetapan harga gula

b. Belum optimalnya peran lembaga riset dalam upaya peningkatan kinerja pergulaan nasional

c. Belum optimalnya dukungan lembaga keuangan/perbankan dalam mendukung revitalisasi industri gula nasional

d. Masih lemahnya peran dan fungsi kelembagaan usaha/koperasi dan kelembagaan organisasi petani tebu dalam mendukung upaya peningkatan produksi dan pendapatan

e. Kebijakan fiskal (tarif bea masuk, pajak, retribusi serta berbagai pungutan) belum sepenuhnya mendukung pengembangan industri gula

f. Belum adanya kebijakan terpadu untuk industri pergulaan nasional g. Belum terealisasinya SNI wajib untuk standar gula kristal putih (GKP)

Sebagai tuntutan akademis, agar didapat data yang lebih mikro telah dilakukan penelitian ke lapangan secara berkala yaitu ke Pabrik Gula Jati Tujuh yang termasuk dalam group RNI II. Pabrik gula Jatitujuh memiliki areal yang luasnya sebesar 11,821 ha tersebar di Kabupaten Majalengka. Lokasi kegiatan Pabrik Gula Jati Tujuh yang dibahas dalam studi AMDAL berada di Kabupaten Majalengka yaitu di Kecamatan Jati Tujuh, Kecamatan Kertajati. Letak lokasi kegiatan cukup strategis karena mudah dicapai dari berbagai arah baik dari arah Indramayu dan Majalengka maupun dari arah Cirebon.

4.2 Kondisi Umum Pabrik Gula di Lokasi Penelitian

Pabrik gula pada dasarnya telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan daya saing, meningkatkan keuntungan, dan sebagainya. Namun hingga saat ini belum pernah ada yang memotret apakah pabrik gula sudah berlanjut atau belum. Selain hal tersebut juga belum diketahui parameter apa yang paling dominan yang dapat meningkatkan keberlanjutan pabrik gula. Hal lainnya adalah belum ada yang membuat kajian, alternatif apa yang terbaik untuk mengembangkan pabrik gula tersebut, serta skenario apa yang dapat membuat pabrik gula menjadi pabrik yang secara ekonomi menguntungkan, secara sosial budaya menciptakan rasa aman, berkeadilan dan makmur serta tetap dapat menjaga kelestarian lingkungan, dan model seperti apa yang dapat menciptakan pabrik gula menjadi salah satu cara untuk mencapai pembangunan berkelanjutan.

Hasil penelitian di beberapa pabrik gula yaitu: 1. PTPN X (10 PG), dengan profile sebagai berikut:

a. Status perusahaan,

b.

dibentuk berdasarkan PP No. 15 Tahun 1996, tanggal 14 Pebruari 1996. Perusahaan yang berstatus sebagai badan usaha milik negara (BUMN) ini merupakan penggabungan kebun-kebun di Jawa Tengah dan Jawa Timur dari eks PTP XIX, PTP XXI-XXII dan PTP XXVII.

Komoditi usaha yaitu

c.

tebu, tembakau dan tanaman serat. Tanaman tebu ditanam pada areal lahan sawah dan lahan kering seluas 65.320 ha yang terdiri dari areal tebu sendiri seluas 2.857,10 ha dan areal tebu rakyat 62.462,90 ha.

Kebun-kebun, yaitu di PG. Kria, PG. Watoetoelis, PG. Toelangan, PG. Kremboong, PG. Gempolkrep, PG. Djombang Baru, PG. Tjoekir, PG. Lestari, PG. Meritjan, PG. Pesantren Baru, PG. Ngadiredjo dan PG. Modjopanggoong.

d.

e.

Produksi tebu pertahun: Gula: 213.219 ton, Gula Industri: 19.138 ton Tetes : 229.033 ton

2. PTPN XI (16 PG), dengan profile perusahaan:

Alamat Jl. Jembatan Merah No. 3-5, Tromol Pos 5077, Surabaya 60175 ; Telepon: (031) 3523143, 3522848 ; Fax (031): 3523167, 3539744 Email F/12.A. Kebayoran Baru Jakarta Selatan; Telp (021)7396565, fax (021): 7396565.

a. Status perusahaan

Pendirian perusahaan sesuai Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 16 Tahun 1996 tanggal 14 Pebruari 1996 dan merupakan gabungan antara PT Perkebunan XX (Persero) dan PT Perkebunan XXIV-XXV (Persero) yang masing-masing didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 6 Tahun 1972 dan No. 15 Tahun 1975. Anggaran Dasar Perusahaan Perseroan yang dibuat berdasarkan Akte Notaris Harun Kamil SH, No. 44 tanggal 11 Maret 1996, telah dilakukan perubahan dan mendapat persetujuan sesuai Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia No. C-21048HT.01.04.Th.2002 tanggal 29 Oktober 2002.

adalah badan usaha milik negara (BUMN) agribisnis perkebunan dengan core business gula. Perusahaan ini bahkan satu-satunya BUMN yang mengusahakan komoditas tunggal, yakni gula, dengan kontribusi sekitar16-18% terhadap produksi nasional. Sebagian besar bahan baku berasal dari tebu rakyat yang diusahakan para petani sekitar melalui kemitraan dengan pabrik gula (PG). PT Perkebunan Nusantara XI (Persero), disingkat PTPN XI, berstatus sebagai badan usaha milik negara (BUMN) ini merupakan penggabungan kebun-kebun di Jawa Timur.

Persetujuan perubahan anggaran dasar tersebut sesuai dengan format isian Akta Notaris Model II yang tersimpan dalam database Salinan Akta Nomor 02 tanggal 02 Oktober 2002, yang dibuat oleh Notaris Sri Rahayu Hadi Prasetyo SH, berkedudukan di Tangerang.

Secara umum sebagian besar unit usaha di lingkungan PTPN XI telah beroperasi sejak masa kolonial berkuasa di Hindia Belanda. Kantor Pusat PTPN XI sendiri merupakan peninggalan HVA yang dibangun pada tahun 1924 dan merupakan

lambang konglomerasi industri gula saat itu. Bentuk perusahaan berulang kali mengalami perubahan dan restrukturisasi terakhir terjadi pada tahun 1996 bersamaan dengan penggabungan 14 PTP menjadi 14 PTPN.

b.

c.

Komoditi usaha, mengusahakan hanya satu macam komoditi yaitu tebu. Tanaman tebu ditanam pada areal lahan sawah dan lahan kering seluas 69.516 ha yang terdiri dari areal tebu sendiri seluas 27.946 ha dan areal tebu rakyat 41.570 ha. Hasil olahan tanaman tebu tersebut dalam bentuk gula tebu/pasir, tetes, alkohol dan spiritus.

d.

Kebun-kebun yang dimiliki 16 unit usaha kebun yang dilengkapai dengan pabrik pengolahan (PG), yaitu: PG. Soedhono; PG. Poerwodadie; PG. Redjosarie PG. Pagottan; PG. Kanigoro; PG. Kedawung; PG.Wonolangan; PG. Gending; PG Padjarakan; PG. Djatiroto; PG. Semboro; PG. D Maas; PG. Wringin Anom; PG. Olean; PG. Panji; PG. Asembagoes; PG. Pradjekan

Produksi pertahun: gula: 291.894,4 ton, tetes : 208.980,2 ton, alkohol : 459.000,0 ton, spiritus: 274.993,2 ton

3. PT Jawa Manis (1 PG)

PT Jawamanis Rafinasi merupakan salah satu perusahaan gula rafinasi yang memproduksi gula putih berkualitas tinggi. Di tingkat nasional, produk-produk terkenal dengan kualitasnya yang tinggi, berkelas internasional dan proses pembuatan gulanya di atur sedemikian rupa agar sesuai dengan standard management kualitas global.

Pabrik yang berlokasi di Ciwandan, Propinsi Banten, dekat dengan pelabuhan Ciwandan dan Cigading, yang memudahkan fasilitasi proses pembuatan gula. Akses yang mudah ke Jalan Tol Jakarta membuat pergerakan produk yang cepat pula ke seluruh Jawa.

PT Jawa Manis Rafinasi didirikan pada tahun 2002 sebagai perusahaan joint venture antara perusahaan lokal dan investor asing. Pada saat itu, dibutuhkan produsen lokal agar produksinya dapat menggantikan produk-produk impor. Kapasitas awal yang hanya 150.000 ton per tahun, meningkat menjadi 340.000 ton gula setiap tahunnya. Pasar produksi ini pada prinsipnya difokuskan kepada kualitas.

4. PT RNI II (5 PG)

PT. PG Rajawali II yang bergerak dibidang agro industri sebelumnya mengelola 8 PG dan 1 PSA ex PTP XIV – Cirebon, setelah pengalihan kepada PT RNI pada tahun 1989, dalam perjalanannya 3 PG yang berlokasi di Kabupaten Majalengka dan Cirebon yaitu PG Kadipaten, PG Jatiwangi dan PG Gempol ditutup karena kekurangan bahan baku. Berdasarkan RUPS tanggal 15 Januari 2003, telah diangkat Dewan Komisaris dan Direksi PT.PG. Rajawali II yang berstatus sebagai anak perusahaan PT RNI dan beroperasi hingga sekarang.

Manajemen PT PG Rajawali II dalam kurun waktu 2003 sampai 2005, seiring dengan kebijakan yang ditetapkan oleh PT RNI Holding, telah melakukan berbagai tindakan terobosan yang inovatif guna meningkatkan kinerja perusahaan secara signifikan yaitu dengan melakukan restrukturisasi organisasi, konsolidasi SDM, penataan portofolio bisnis, revitalisasi peralatan pabrik dan lain-lain sehingga mampu meningkatkan daya saing produk-produk yang dihasilkan. Dalam 3 tahun terakhir PT Rajawali II telah mencapai kinerja terbaik sejak perusahaan ini didirikan. Sebagai perusahaan dengan kinerja terbaik dalam bidang agro industri berbasis tebu di Indonesia, siap menghadapi tantangan, unggul dalam kompetisi global dan bertumpu pada kemampuan sendiri (own capabilities).

Jika pabrik gula akan direstrukturisasi atau dipermodern, memerlukan biaya yang sangat mahal, walaupun demikian mau tidak mau harus diteliti lebih lanjut tingkat keuntungan jangka panjangnya. Dengan demikian, diharapkan akan memperkecil ketergantungan terhadap luar negeri, penghematan devisa, nilai usaha menjadi meningkat, industri pendukung (industri permesinan, industri logam) menjadi tumbuh, pemberdayaan masyarakat sekitar dan masyarakat konsumen, dan yang lebih penting yaitu kelestarian lingkungan, baik masyarakat petani maupun pada industri gula itu sendiri. Dalam memperoleh dukungan finansial, industri gula belum mendapat preferensi yang menguntungkan, baik untuk modal kerja maupun dalam rangka revitalisasi mesin peralatan produksi. Tingkat suku bunga sama dengan pinjaman umum, berkisar antara 14 sampai 24% pertahun. Hal tersebut sangat menyulitkan berkembangnya industri gula di dalam negeri.

Sistem perpajakan terhadap industri gula, baik tata niaga maupun bea masuk dan PPn impor terhadap mesin perlatan produksi pada umumnya belum berpihak kepada dukungan revitalisasi idustri. Namun demikian ada celah yang agak meringankan yaitu

seperti yang termaktub dalam Keppres 80/2003 dan yang diatur dalam SK Menperin No. 11/2004 yang mengatur tingkat komponen dalam negeri (TKDN) mengamanatkan bahwa dalam pengadaan barang-barang yang telah mencapai tingkat tertentu diberikan preferensi harga sampai 30%.

Iklim usaha di sektor industri gula belum sepenuhnya menjanjikan, akibat beberapa faktor yang sangat berpengaruh seperti penyelundupan, penimbunan, kualitas gula lokal yang lebih rendah dari gula impor. Berbagai faktor ini juga sangat berpengaruh pada harga eceran. Disamping itu hingga saat ini belum ada kebijakan yang melindungi (proteksi) bagi para pelaku industri gula dalam arti luas dan layak (Soentoro et al., 1999; Adisasmito, 1998; Sudana et al., 2000).

Kemampuan penyediaan lahan oleh industri gula tidak sepenuhnya oleh pabrik gula itu sendiri, akan tetapi banyak pula industri gula yang lahan tebunya punya masyarakat. Pola tanaman tebu rakyat yang dilakukan oleh pemerintah tahun 80-an, yaitu pola TRI (Tebu Rakyat Intensifikasi) dimana pola plasma dan inti dikembangkan, pada awalnya memperoleh antusiasme oleh berbagai fihak, termasuk penyediaan dana oleh perbankan. Akan tetapi selanjutnya sistem yang secara teoritis sangat bagus, selalu ada perubahan yang pada akhirnya mengganggu terhadap program dimaksud. Sebagai contoh bahwa masyarakat yang mengelola/menanam tebu tidak lagi mendapat harga yang baik, karena dengan perubahan kondisi tanah yang terus-menerus dieksplorasi menyebabkan kurangnya daya dukung terhadap hasil panen. Disamping itu, para petani dengan keterbatasan dana tidak mungkin mengubah sistem pola tanam yang harus bergantian jenis tebunya sesuai dengan kondisi tanah ataupun irigasi yang sangat dibutuhkan oleh tanaman tebu yang semakin hari berebutan dengan alih konversi lahan.

Oleh karena itu, maka partisipasi masyarakat dalam mendukung industri gula nasional masih perlu diperhitungkan dengan seksama. Prinsip kemitraan/partisipasi masyarakat adalah prinsip yang kuat membantu yang lemah dalam berbagai aspek seperti aspek produktivitas, aspek pemasaran dan aspek kelembagaan (Purnaningsih, 1991 dalam Sitorus, 1994).

Hal yang sama terjadi pada peralatan giling langsung tebu yang terbuat dari tembaga, setiap selesai giling pasti mengalami keausan. Untuk memperbaikinya tidak langsung di ”inhouse workshop”, tetapi dilakukan diluar pabrik seperti di PT Barata Indonesia (Surabaya), PT Boma Bisma Indra (Surabaya) dan PT Rekayasa Industri (Jakarta), yang pada gilirannya akan memakan ongkos tinggi dilihat dari transportasi

maupun waktu penyelesiannya. Disamping itu perlatan produksi yang sifatnya ”electrical system”, teknologinya sangat bervariatif tergantung pada merek asal unit peralatan produksi tersebut; misalnya dari Belanda, Perancis atau Jerman. Disamping itu kebutuhan untuk mengkonsumsi gula secara langsung maupun tidak langsung terjadi peningkatan, sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan tingkat daya beli masyarakat. Pembuatan makanan (kue-kue) yang memerlukan gula sangat bervariatif sesuai dengan temuan-temuan teknologi dan cita rasa yang berkembang dengan pesat, sehingga memerlukan jumlah tonase gula yang meningkat pula dan besarnya mencapai 2,96%. Padahal kenyataan tersebut tidak sejalan dengan terjadinya penurunan produktivitas industri gula yang besarnya mencapai -6,14% (Dewan Gula Indonesia, 2002).

Dalam melaksanakan kegiatannya, Pabrik Gula Jatitujuh memanfaatkan sumberdaya yang ada disekitarnya baik berupa sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Kegiatan pemanfaatan kedua sumber daya ini memperhatikan aspek lingkungan sekitarnya yang meliputi komponen fisik, kimia, biologi, sosial budaya, ekonomi, dan budaya serta komponen kesehatan masyarakat. Namun sebaliknya, bila terdapat kegiatan yang tidak memperhatikan aspek lingkungan, maka akan berdampak negatif.

Masa hak guna usaha (HGU) pabrik gula Jatitujuh adalah 25 tahun. Umur kegiatan berlaku selama hak guna usaha berlaku yaitu berdasarkan SK Kepala Badan Pertahanan Nasional No. 12/HGU/BPN/2004.

Lokasi kegiatan afleding (kebun) tebu terbagi menjadi 4 (empat) afdeling yaitu di Jatimunggul, Cibenda, Kerticala dan Jatitujuh. Lokasi kebun ini berada pada elevasi + 25-50 m dpl. Letak lokasi secara geografis berada pada 108o 6’ 3” BT dan 6o 6’ 3” LS. Adapun penggunaan lahan di Pabrik Gula Jati Tujuh luasnya mencapai 12 ha, dengan penggunaan lahan rincinya dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Penggunaan lahan di Pabrik Gula Jati Tujuh

No. Penggunaan Lahan Luas

m2 %

1. Lahan tertutup bangunan/ kedap air

a. Emplasemen 135,4 11,4

b. Jalan 682,4 5,72

c. Kantong air 479,5 4,02

d. Pertamina 66,5 0,56

e. Sungai/daerah genangan 105,7 0,89 f. Luas lahan tertutup 1.469,5 12,33

2. Lahan terbuka

a. Penghijauan dan hortikultura 253,0 2,12 b. Kebun produksi:

- Tebu giling 8.400 70,46

- Tebu bibit 1.000 8,37

c. Lahan terbuka 799,05 6,70

Luas lahan terbuka 10.452,05 87,67

Total luas lahan yang dikuasai 11.921,55 100

Sumber: PT. PABRIK GULA. Rajawali II

4.3 Gambaran Umum Industri Gula Dunia

Produksi dunia gula menurun sebesar 9 juta ton pada tahun 2008/09. FAO telah merevisi perkiraan 158,5 juta ton, yaitu 2,5 juta ton dibawah perkiraan pertama yang dirilis pada November 2008, dan 9 juta ton atau 5,4% kurang dari pada 2007/08. Penurunan tersebut terutama disebabkan oleh produksi di India, di mana output gula sekarang sudah menurun drastis 45%. Penurunan terjadi dari luas tanaman, seperti banyak produsen mengalokasikan tanah untuk alternatif yang lebih menguntungkan seperti jagung dan kedelai. Selain India, produksi gula di Australia, Uni Eropa, Pakistan, Thailand dan Amerika Serikat juga mengalami penurunan yang relatif kecil. Namun, di Amerika Latin dan kawasan Karibia, produksi gula di Brasil (Oktober/September) meningkat menjadi 39,6 juta ton pada tahun 2008/09, sekitar 29% lebih tinggi dari pada 2007/08, meskipun hujan lebat pada saat panen, yang menurunkan hasil panen.

Produksi dunia mencapai 566 juta ton, yang berarti ada kenaikan 15% dari tahun lalu, dengan ekspansi luas tanaman tebu 12%. Diperkirakan kurang lebih 60% dari

panen 2008/09 Brazil diolah menjadi etanol berbasis tebu yang didukung pasar ekspor yang lebih tinggi. Namun jika harga gula internasional terus naik, sedangkan harga minyak mentah tidak mengalami kenaikan, maka gula berbasis tebu diarahkan untuk ditingkatkan. Di tempat lain di wilayah ini, produksi gula di Kolombia meningkat sebesar 3 % pada tahun 2008/09, sementara itu di Argentina relatif tetap / tidak berubah dan di Peru sedikit penurunan.

Di Eropa, Perancis menduduki peringkat pertama dengan menjadi produsen gula terbesar yang memproduksi sebanyak 22.60% dari total produksi pada tahun 2004/2005, yaitu sebesar 4,5 juta ton. Posisi selanjutnya diisi oleh Jerman, Polandia dan Inggris. Di negara-negara Eropa Timur, seperti Latvia dan Slovenia hanya memiliki share 0,3% dan 0,2 % dari total produksi Eropa, yang berkisar 19,9 juta ton (Tabel 4).

Tabel 4. Produksi dan konsumsi gula dunia (juta ton)

(World Balance) Keseimbangan 2006-2007 2007-2008 2008-2009 Perubahan 2008-2009 thd tahun 2007-2008 166.1 Produksi 167.6 158.5 -5.4 46.7 Perdagangan 47.3 50.2 6.0 154.0 Pemakaian 158.4 162.2 2.4 73.3 Persediaan (stock) 80.9 76.3 -5.7 Indikator Suplai & Demand Konsumsi perkapita Dunia (kg/th) 22.5 23.1 23.4 1.3 LIFDC(kg/th) 12.9 13.4 13.7 1.8 World stock-to-use ratio (%) 47.6 51.1 47.0 10.08 Harga di AS (US $ (cent/lb) 12.80 13.78 8.8

Sumber: United States Department of Agriculture Supply and Distribution Foreign Agricultural Service Sugar, 2009

Di Meksiko (Januari-Mei 2009), produksi gula mencapai 5,8 ton, relatif tidak berubah dari musim lalu. Pemakaian pupuk tanaman dan peternakan sangat sedikit, cukup untuk mengimbangi insentif produksi yang ditawarkan oleh program Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA), yang memberikan Gula Meksiko akses

bebas ke Pasar Kanada maupun Amerika Serikat. Guatemala, produsen gula terbesar kedua di wilayah tersebut yang memperluas juga tingkat pasar, sebagai akibat dari meningkatnya areal tebu, karena didorong oleh harga gula tebu yang lebih tinggi. Di Kuba, produksi gula sekarang mengalami penurunan dibanding 2008/2009 sebagai akibat dari kerusakan oleh Badai Ike dan Gustave, yang melanda negeri tersebut pada bulan September 2008.

Agregat produksi gula di Afrika naik sebesar 8,3% menjadi 11 juta ton pada tahun 2008/2009, melampaui pertumbuhan tahunan 3% selama tiga tahun terakhir. Ekspansi terutama disebabkan oleh peningkatan lahan tanam dan kapasitas pengolahan baru. Investasi ini berlangsung sebagian besar untuk mengantisipasi ekspor yang lebih besar ke pasar dan harga gula yang lebih tinggi. Uni Eropa di bawah Everything-But Arms Initiative (EBA), yang memungkinkan negara-negara paling terbelakang di Afrika mempunyai akses bebas kuota ke Pasar Uni Eropa. Di Afrika Selatan, produsen gula terbesar benua itu, produksi gula mencapai 2,3 juta ton pada tahun 2008/09, naik 6,6% dari 2007/08, karena cuaca baik meskipun peningkatan biaya pupuk sebesar 100% sejak 2007/08. Pada saat yang sama, devaluasi rand terhadap Dolar Amerika Serikat sejak 2007/08 telah memberikan beberapa keuntungan kepada eksportir gula. Produksi gula di Mesir diperkirakan 1,9 juta ton, hanya 1,4% lebih banyak daripada di 2007/2008, karena harga sereal lebih menarik, terutama perluasan wilayah untuk gandum. Produksi di Sudan naik 3,6% dari 2007/2008, karena kondisi cuaca yang menguntungkan dan kondusif berkat dukungan publik juga. Produksi direncanakan untuk dikembangkan secara signifikan di tahun-tahun mendatang, terutama dengan selesainya Proyek Gula Nil (Nile Sugar Project), yang menyediakan infrastruktur irigasi untuk meningkatkan kawasan tebu. Keuntungan sekitar 8% juga di Kenya meskipun subsektor gula negara menghadapi persaingan kuat dari produsen yang lebih efisien dalam anggota lain dari pasar bersama Common Market for Eastern and Southern Africa (COMESA). Peningkatan produksi gula pada tahun 2008/09 juga dialami oleh Mauritius, Mozambik, Swaziland dan Republik Tanzania.

Program EBA adalah sebuah inisiatif Uni Eropa yang memberikan akses bebas terbatas kepada 50 negara-negara berkembang untuk melemparkan produksinya ke pasar Uni Eropa. Program EBA diberlakukan pada tahun 2001 untuk semua produk, kecuali untuk pisang segar dan beras. Impor komoditas ini dari negara-negara berkembang sangat menarik walaupun tunduk pada kuota yang secara bertahap berakhir

pada tahun 2009. Dalam kasus gula, tidak ada tarif atau pembatasan kuantitatif diterapkan pada impor dari negara-negara berkembang. Sejauh ini, investasi besar yang telah dibuat oleh negara-negara berkembang, khususnya di Afrika, untuk memperluas kapasitas produksi gula dan pengolahan di tingkat pertanian dan pabrik untuk mengantisipasi peningkatan akses pasar ke Uni Eropa. Pada tahun 2008, gula negara-negara berkembang diekspor ke Uni Eropa sebesar 400.000 ton, meningkat 33,6 % dari tahun 2007. Terlepas dari itu semua ekspornya sekitar 100% lebih rendah untuk negara-negara berkembang daripada pemasok Most Favoured Nation (MFN) lain, sekitar 66% dari peningkatan impor Uni Eropa di tahun 2008 diisi oleh pengiriman dari Brazil. Suplainya terkendala, termasuk kurangnya kapasitas penyimpanan gula, yang terus menghalangi kemampuan negara-negara berkembang guna memperluas ekspor.

Penelitian menunjukkan hasil yang bertolak belakang pada efek kemungkinan EBA mengimpor dari Uni Eropa dari negara-negara berkembang, walaupun akses pasar telah penuh diberikan kepada mereka pada Oktober 2009. Beberapa penelitian memperkirakan mereka tidak melampaui 1 juta ton, dengan alasan biaya usaha (production cost) besar, sementara yang lain proyek mereka untuk lebih dari 2 juta ton. Selain dari kesenjangan yang ada dalam infrastruktur fisik, konvergensi harga internal Uni Eropa dan harga gula dunia dalam beberapa tahun terakhir secara substansial mengurangi daya tarik pasar Uni Eropa, yang dapat menyebabkan negara-negara berkembang untuk memikir ulang beberapa atau semua dari mereka menggunakan Uni Eropa untuk lain wilayah baik regional dan atau pasar internasional.

Prospek produksi gula di Asia menunjukkan penurunan tajam dari tingkat dicapai dalam 2007/2008, karena pengurangan substansial di India dan Pakistan. Output gula di Negara-negara Asia tersebut, sekarang diperkirakan mencapai 15,8 juta ton, turun 45% dari tahun lalu, mengingat curah hujan tidak teratur dan perubahan alokasi tanah untuk konversi lahan lainnya. Akibatnya, produksi India diperkirakan jatuh, dan hanya untuk konsumsi dalam negeri, untuk pertama kalinya sejak 2004/05. Harga domestik telah meningkat sejak awal tahun 2009, memaksa pemerintah untuk merekomendasikan perubahan harga minimum resmi/the statutory minimum price (SMP) untuk tebu, yang dapat menyebabkan kenaikan harga 54% untuk musim 2009/2010. Demikian pula, produksi gula di Pakistan menurun sebanyak 23%, terutama karena harga yang diberikan tidak memberikan insentif yang cukup untuk produsen,

sementara pengurangan akses ke kredit membuatnya sulit bagi beberapa pabrik untuk membeli dan memproses tebu.