• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab ini menjelaskan mengenai model pengukuran tingkat kerentanan nafkah yang terdiri atas tingkat keterpaparan (exposure), tingkat kepekaan (sensitivity), dan tingkat adaptasi (adaptive capacity) rumahtangga petani dalam menghadapi krisis. Indeks Kerentanan Nafkah atau Livelihood Vulnerability Index

(LVI) menggunakan tujuh komponen utama, yaitu sosio-demografi, strategi nafkah, jaringan sosial, bencana alam dan variabilitas iklim, penguasaan lahan, pangan, dan air.

Pendahuluan

Rumahtangga petani wilayah banjir dan wilayah tidak banjir memiliki tingkat kerentanan nafkah yang berbeda. Kerentanan nafkah merupakan sudut pandang lain dari kelentingan nafkah dalam menganalisis strategi nafkah rumahtangga petani. Keduanya seperti dua sisi mata uang yang berlawanan dan saling memengaruhi. Apabila kerentanan nafkah rendah dapat disimpulkan kelentingan nafkah tinggi, sebaliknya apabila kerentanan nafkah tinggi dapat dipastikan kelentingan nafkahnya rendah.

Gallopin (2006) memandang kerentanan sebagai suatu gangguan spesifik yang terjadi pada suatu sistem sehingga memaksa sistem menjadi rentan dengan adanya gangguan. Adger (2006) mengklasifikan faktor-faktor yang dapat berkontribusi untuk mengukur tingkat kerentanan. Faktor-faktor tersebut adalah (1) exposure to perturbation atau keterpaparan terhadap gangguan, (2) sensitivity to perturbation atau kepekaan terhadap gangguan, dan (3) adaptive capacity atau kemampuan adaptasi atau penyesuaian. Ketiga faktor tersebut merupakan variabel-variabel untuk mengukur Livelihood Vulnerability Index (LVI) rumahtangga di suatu wilayah.

Pada penelitian ini dilakukan pengukuran LVI melalui ketiga variabel yang diturunkan kembali menjadi tujuh komponen, yaitu variabel keterpaparan mencakup komponen krisis banjir, variabel sensitifitas mencakup komponen makanan, air, dan penguasaan lahan, serta variabel kapasitas adaptasi mencakup komponen sosio-demografi, strategi nafkah, dan jaringan sosial rumahtangga petani. Nilai komponen LVI yaitu 0,0 mempunyai arti nilai kerentanan paling rendah dan 0,5 mempunyai arti nilai kerentanan paling tinggi. Sedangkan pengukuran LVI berdasarkan Intergovernmental Panel on Climate Change

(IPCC), nilai LVI yaitu -1 mempunyai arti nilai kerentanan paling rendah dan +1 mempunyai arti nilai kerentanan paling tinggi (Shah et al. 2013)

Analisis Perhitungan Livelihood Vulnerability Index di Wilayah Banjir Kerentanan yang terjadi di wilayah banjir disebabkan adanya bencana banjir sebagai faktor utama. Bencana banjir memiliki dampak langsung terhadap kerusakan modal alam yang dimiliki rumahtangga petani. Rumahtangga yang hanya bergantung pada hasil on farm semakin terpuruk dalam menghadapi krisis karena tidak memiliki pemasukan lain untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-

harinya. Oleh karena itu, bencana banjir membawa kerentanan nafkah pada rumahtangga yang tidak mampu beradaptasi dan tidak memiliki strategi nafkah alternatif dalam mendukung aktifitas nafkahnya.

Tabel 22 Livelihood Vulnerability Index rumahtangga petani di wilayah banjir, Desa Wonosoco tahun 2015

No Sub Komponen Nilai Sub Komponen

Komponen Utama Nilai Komponen Utama

Persentase Socio-Demographic

Profile

0,46

1 Kepala rumahtangga yang berusia lanjut (>40 tahun)

0,85

2 Kepala rumahtangga tidak lulus SMP

0,77

3 Kepala rumahtangga berjenis kelamin perempuan

0,00

4 Jumlah rumahtangga lebih dari 4 0,23

Persentase Livelihood Strategies 0,62

1 Rumahtangga yang penghasilan utamanya dari bertani

0,94

2 Seluruh anggota rumahtangga bekerja di sektor pertanian

0,42

3 Rumahtangga yang tidak memiliki pendapatan non farm

0,42

4 Rumahtangga dengan kontribusi pendapatan on farm 50%

0,68

Persentase Jaringan Sosial 0,42

1 Rumahtangga berhutang kepada bank/koperasi

0,71

2 Rumahtangga berhutang kepada tetangga/kerabat

0,14

Persentase Makanan 0,92

1 Rumahtangga menyimpan sebagian hasil panen untuk konsumsi sendiri

0,85

2 Rumahtangga menjual hasil panen 1,00

Persentase Air 0,50

1 Rumahtangga yang memanfaatkan sistem mata air alami

1,00

2 Rumahtangga yang memanfaatkan sistem PDAM

0,00

Persentase Penguasaan Lahan 0,20

1 Rumahtangga dengan luas lahan <0,5 ha sertifikat hak milik

0,48

2 Rumahtangga tidak memiliki lahan 0,05

Persentase Krisis Banjir 0,74

1 Jarak lahan dari sungai < 500m 0,91 2 Luas lahan tergenang banjir (>50%) 0,71 3 Luas lahan rusak (>50%) 0,68 4 Luas gagal panen (>50%) 0,68

87

Berdasarkan Tabel 22 diatas, diketahui bahwa secara keseluruhan nilai LVI di wilayah banjir adalah 0,55 dimana nilai tersebut menjelaskan bahwa rumahtangga petani di wilayah banjir memiliki kerentanan yang tinggi akibat krisis banjir yang terjadi. Nilai kerentanan karena keterpaparan berupa krisis banjir (0,74) mempunyai nilai kerentanan yang tinggi dan sensitifitas berupa makanan (0,92), air (0,50), dan penguasaan lahan (0,20) memiliki nilai kerentanan yang tinggi. Sementara itu, kapasitas adaptasi berupa sosio-demografi (0,46), strategi nafkah (0,62), dan jaringan sosial (0,42) tergolong memiliki nilai kerentanan yang tinggi.

Nilai kerentanan pada komponen sosio-demografi yaitu 0,46. Nilai kerentanan pada komponen tergolong tinggi. Hal ini disebabkan oleh banyaknya kepala rumahtangga yang berusia lanjut. Sebanyak 85 persen kepala rumahtangga yang bekerja sebagai petani berusia di atas 40 tahun. Usia lanjut memengaruhi produktifitas petani dalam bekerja. Petani dengan umur yang tergolong tua cenderung memiliki produktifitas yang rendah dan tenaga yang lemah. Kemudian dilihat dari tingkat pendidikan kepala rumahtangga tergolong rendah. Sebanyak 77 persen kepala rumahtangga tidak tamat SD atau hanya tamat SD. Hal ini merupakan kondisi yang sulit bagi kepala rumahtangga untuk mendapatkan akses pekerjaan lain yang membutuhkan tingkat pendidikan minimal setara SMP.

Nilai kerentanan pada komponen strategi nafkah yaitu 0,62. Nilai kerentanan komponen tergolong tinggi. Hampir seluruh rumahtangga (94 persen) memiliki penghasilan utama dari hasil bertani. Kondisi tersebut sangat rentan bagi rumahtangga apabila bencana banjir datang dan merusak pertanian mereka. Sedangkan sebanyak 42 persen rumahtangga tidak memiliki penghasilan lain selain dari bertani. Mereka hanya mengandalkan pertanian dan tidak memiliki sumber pendapatan lain dari sektor non farm. Sementara itu 68 persen rumahtangga memiliki pendapatan dari sektor on farm lebih dari 50 persen pendapatan total rumahtangga sehingga memperlihatkan bahwa ketergantungan rumahtangga terhadap sektor on farm sangat tinggi. Kondisi tersebut semakin meningkatkan kerentanan rumahtangga dalam menghadapi krisis banjir yang terjadi.

Nilai kerentanan pada komponen jaringan sosial yaitu 0,42. Nilai kerentanan komponen tergolong tinggi. Sebanyak 71 persen rumahtangga di wilayah banjir memiliki hutang kepada bank atau koperasi dengan bunga yang cukup tinggi. Sementara 14 persen rumahtangga memilih meminjam uang dari saudara atau tetangga. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan uang sesegera mungkin yang dapat digunakan untuk menggantikan kerugian akibat gagal panen dan sebagai modal bertanam kembali pada musim tanam selanjutnya. Strategi berhutang menjadi pilihan utama rumahtangga untuk mendapatkan uang dengan mudah. Uang tersebut digunakan sebagai modal bercocok tanam kembali dan sebagian untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Nilai kerentanan pada komponen makanan yaitu 0,92. Nilai kerentanan komponen tergolong tinggi. Sebanyak 85 persen rumahtangga menggunakan sebagian hasil panen padi untuk konsumsi sendiri. Kemudian sisanya baru dijual untuk mendapatkan uang. Seluruh rumahtangga menjual hasil panen dengan harga

Rp 300.000,- per kuintal. Kondisi tersebut sangat rentan bagi rumahtangga yang menggantungkan sumber pangan dari hasil panen sendiri. Apabila banjir datang dan gagal panen terjadi, rumahtangga tidak memiliki cadangan makanan dan harus mencari strategi lain untuk membeli beras.

Nilai kerentanan pada komponen air yaitu 0,5. Nilai kerentanan komponen tergolong tinggi. Seluruh rumahtangga di wilayah banjir memanfaatkan sumber mata air alami di desa sebagai sumber air mereka. Sumber air tersebut digunakan untuk keperluan sehari-hari rumahtangga. Ketergantungan rumahtangga hanya pada sumber mata air menimbulkan kerentanan. Bencana banjir biasanya membawa lumpur yang berpotensi merusak atau mencemari sumber mata air milik desa sehingga berpotensi meningkatkan kerentanan rumahtangga terhadap kebutuhan air di desa. Nilai kerentanan pada komponen penguasaan lahan yaitu 0,2. Nilai kerentanan komponen tergolong rendah. Hal ini disebabkan sebanyak 52 persen rumahtangga memiliki luas lahan sertifikat hak milik lebih dari 0,5 hektar. Dengan luas lahan tersebut mampu menghasilkan pendapatan on farm

yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup rumahtangga petani. Namun apabila banjir datang, lahan tersebut tidak menghasilkan pendapatan bagi petani.

Nilai kerentanan pada komponen dampak krisis banjir yaitu 0,74. Nilai komponen tersebut tergolong tinggi. Sebanyak 91 persen rumahtangga memiliki sawah dengan jarak kurang dari 500 meter dari Sungai Landa. Keberadaan sawah yang dekat dengan sungai meningkatkan potensi sawah terendam banjir akibat luapan Sungai Landa. Sebanyak 71 persen luas sawah milik rumahtangga petani terendam banjir sehingga menyebabkan 68 persen luas sawah mengalami gagal panen yang menyebabkan kerugian besar bagi petani. Hal ini menjadi penyebab utama kerentanan nafkah yang dialami rumahtangga karena kehilangan pendapatan yang cukup besar akibat gagal panen.

Analisis Perhitungan Livelihood Vulnerability Index di Wilayah Tidak Banjir Berbeda dengan kerentanan yang terjadi di wilayah banjir, rumahtangga di wilayah tidak banjir mengalami kerentanan yang faktor utamanya bukan berasal dari dampak bencana banjir. Secara keseluruhan kerentanan yang dialami rumahtangga di wilayah tidak banjir tergolong rendah. Hal ini disebabkan tidak adanya faktor pengganggu yang menjadi penyebab utama terjadinya kerentanan di wilayah tidak banjir. Berikut pemaparan pengukuran LVI di wilayah tidak banjir yang menggambarkan tingkat kerentanan nafkah rumahtangga.

89

Tabel 23 Livelihood Vulnerability Index rumahtangga petani di wilayah tidak banjir, Desa Kalirejo tahun 2015

No Sub Komponen Nilai Sub

Komponen Komponen Utama

Nilai Komponen Utama

Persentase Socio-Demographic

Profile 0,42

1 Kepala rumahtangga yang berusia

lanjut (>40 tahun) 0,88 2 Kepala rumahtangga tidak lulus SMP 0,68 3 Kepala rumahtangga berjenis kelamin

perempuan 0,00

4 Jumlah rumahtangga lebih dari 4 0,14

Persentase Livelihood

Strategies 0,53

1 Rumahtangga yang penghasilan

utamanya dari bertani 0,94 2 Seluruh anggota rumahtangga bekerja

di sektor on farm 0,20

3 Rumahtangga yang tidak memiliki

pendapatan non farm 0,17

4 Rumahtangga dengan kontribusi

pendapatan on farm 50% 0,80

Persentase Jaringan Sosial 0,12

1 Rumahtangga berhutang kepada

bank/koperasi 0,20

2 Rumahtangga berhutang kepada

tetangga/kerabat 0,03

Persentase Makanan 0,75

1 Rumahtangga menyimpan hasil panen

untuk konsumsi sendiri 0,50 2 Rumahtangga menjual hasil panen 1,00

Persentase Air 0,5

1 Rumahtangga yang memanfaatkan

sistem mata air alami 0,00 2 Rumahtangga yang memanfaatkan

sistem PDAM 1,00

Persentase Penguasaan Lahan 0,11

1 Rumahtangga dengan luas lahan <0,5

ha sertifikat hak milik 0,14 2 Rumahtangga tidak memiliki lahan 0,08

Persentase Krisis Banjir 0,02

1 Jarak lahan dari sungai <500 m 0,11 2 Luas lahan tergenang banjir (>50%) 0,00 3 Luas lahan rusak (>50%) 0,00 4 Luas gagal panen (>50%) 0,00

Nilai LVI 0,35

Berdasarkan Tabel 23 diatas, diketahui bahwa secara keseluruhan nilai LVI di wilayah tidak banjir adalah 0,35 dimana nilai tersebut menjelaskan bahwa rumahtangga petani di wilayah banjir memiliki kerentanan yang rendah. Nilai kerentanan karena keterpaparan berupa krisis banjir (0,02) mempunyai nilai kerentanan yang rendah dan sensitifitas berupa makanan (0,75), air (0,50), dan penguasaan lahan (0,11) memiliki nilai kerentanan yang rendah. Sementara itu, kapasitas adaptasi berupa sosio-demografi (0,42), strategi nafkah (0,53), dan jaringan sosial (0,12) tergolong memiliki nilai kerentanan yang rendah.

Nilai kerentanan pada komponen sosio-demografi yaitu 0,42. Nilai kerentanan pada komponen tergolong tinggi. Hal ini disebabkan oleh banyaknya kepala rumahtangga yang berusia lanjut. Sebanyak 88 persen kepala rumahtangga yang bekerja sebagai petani berusia di atas 40 tahun. Usia lanjut memengaruhi produktifitas petani dalam bekerja. Petani dengan umur yang tergolong tua cenderung memiliki produktifitas yang rendah dan tenaga yang lemah. Kemudian dilihat dari tingkat pendidikan kepala rumahtangga tergolong rendah. Sebanyak 68 persen kepala rumahtangga tidak tamat SD atau hanya tamat SD. Hal ini merupakan kondisi yang sulit bagi kepala rumahtangga untuk mendapatkan akses pekerjaan lain yang membutuhkan tingkat pendidikan minimal setara SMP.

Nilai kerentanan pada komponen strategi nafkah yaitu 0,53. Nilai kerentanan komponen tergolong tinggi. Hampir seluruh rumahtangga (94 persen) memiliki penghasilan utama dari hasil bertani. Kondisi tersebut sangat rentan bagi rumahtangga apabila bencana banjir datang dan merusak pertanian mereka. Hanya 20 persen rumahtangga yang tidak memiliki penghasilan selain dari bertani. Sedangkan 80 persen lainnya mampu mengandalkan sumber pendapatan lain dari sektor non farm untuk mendukung pendapatan on farm mereka. Keberadaan pasar sebagai pusat ekonomi desa menjadi potensi bagi rumahtangga untuk memperoleh pendapatan non farm dengan menjadi pedagang pasar. Sebanyak 80 persen rumahtangga memiliki pendapatan dari sektor on farm lebih dari 50 persen pendapatan total rumahtangga sehingga memperlihatkan bahwa ketergantungan rumahtangga terhadap sektor on farm sangat tinggi. Kondisi tersebut semakin meningkatkan kerentanan rumahtangga dalam menghadapi krisis banjir yang mungkin terjadi.

Nilai kerentanan pada komponen jaringan sosial yaitu 0,12. Nilai kerentanan komponen tergolong rendah. Hanya 20 persen rumahtangga di wilayah tidak banjir yang memiliki hutang kepada bank atau koperasi dengan bunga yang cukup tinggi. Sementara 2 persen rumahtangga memilih meminjam uang dari saudara atau tetangga.Nilai kerentanan pada komponen makanan yaitu 0,75. Nilai kerentanan komponen tergolong tinggi. Sebanyak 50 persen rumahtangga menggunakan sebagian hasil panen padi untuk konsumsi sendiri. Sedangkan 50 persen lainnya memilih menjual seluruh hasil panen mereka. Seluruh rumahtangga menjual hasil panen dengan harga Rp 300.000,- per kuintal.

Nilai kerentanan pada komponen air yaitu 0,5. Nilai kerentanan komponen tergolong tinggi. Seluruh rumahtangga di wilayah tidak banjir memanfaatkan sistem PDAM sebagai sumber air mereka. Sumber air tersebut digunakan untuk keperluan sehari-hari rumahtangga. Ketergantungan rumahtangga hanya pada sistem PDAM menimbulkan kerentanan apabila sistem PDAM mengalami gangguan. Rumahtangga tidak dapat berbuat banyak karena sistem dikelola oleh perusahaan air secara privat. Nilai kerentanan pada komponen penguasaan lahan yaitu 0,11. Nilai kerentanan komponen tergolong rendah. Hal ini disebabkan hanya 14 persen rumahtangga yang memiliki luas lahan dibawah 0,5 hektar. Sedangkan 78 persen lainnya merupakan petani dengan kepemilikan lahan yang cukup luas. Dengan luas lahan tersebut rumahtangga mampu menghasilkan pendapatan on farm yang tinggi sehingga menurunkan kerentanan nafkahnya.

91

Nilai kerentanan pada komponen dampak krisis banjir yaitu 0,02. Nilai komponen tersebut tergolong rendah. Sebanyak 11 persen rumahtangga memiliki sawah dengan jarak kurang dari 500 meter dari Sungai Juwana. Sedangkan 89 persen lainnya memiliki sawah dengan lokasi yang cukup jauh dari Sungai Juwana sehingga potensi terendam banjir akibat luapan sungai tergolong rendah. Kondisi desa yang tidak terdampak bencana banjir menyebabkan tingkat kerentanan rumahtangga tergolong rendah sehingga rumahtangga di wilayah tidak banjir relatif lebih resilien dibandingkan rumahtangga di wilayah banjir.

Tabel 24 Perbandingan Livelihood Vulnerability Index rumahtangga petani di kedua wilayah, Desa Wonosoco dan Desa Kalirejo tahun 2015 Komponen Utama Wilayah Banjir (Wonosoco) Wilayah Tidak Banjir (Kalirejo) Faktor IPCC Wilayah Banjir (Wonosoco) Wilayah Tidak Banjir (Kalirejo) Sosio-demografi 0,46 0,42 Kapasitas Adaptasi 0,5 0,35 Strategi Nafkah 0,62 0,53 Jaringan Sosial 0,42 0,12 Makanan 0,92 0,75 Sensitifitas 0,54 0,45 Air 0,50 0,50 Penguasaan Lahan 0,20 0,11 Dampak Krisis Banjir 0,74 0,02 Keterpapara n 0,74 0,02 LVI 0,55 0,35 LVI-IPCC 0,13 -0,15

Berdasarkan Tabel 24 diatas, diketahui perbandingan LVI antara wilayah banjir dan wilayah tidak banjir. Berdasarkan tabel dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan nilai kerentanan komponen utama di wilayah banjir lebih tinggi dibandingkan nilai kerentanan komponen utama di wilayah tidak banjir. Hal ini berdampak pada nilai LVI wilayah banjir yaitu 0,55 dibandingkan dengan nilai LVI di wilayah tidak banjir yaitu hanya 0,35. Kemudian apabila dilihat merujuk pada tiga faktor utama IPCC dalam mengukur tingkat kerentanan dapat disimpulkan juga bahwa nilai LVI-IPCC di wilayah banjir mendekati +1 yaitu 0,13. Berbeda dengan nilai LVI-IPCC di wilayah tidak banjir yang mendekati -1 yaitu -0,15. Hal ini dapat dipastikan bahwa rumahtangga di wilayah banjir memiliki nilai kerentanan yang lebih tinggi dibandingkan rumahtangga di wilayah tidak banjir.

Ikhtisar

Desa Wonosoco sebagai wilayah banjir memiliki nilai LVI yang tergolong tinggi. Nilai kerentanan tinggi terdapat pada komponen strategi nafkah, makanan, air, dan dampak krisis banjir. Sedangkan seluruh faktor yang berkontribusi pada tingkat kerentanan nafkah di wilayah banjir memiliki nilai kerentanan yang tinggi. Desa Kalirejo sebagai wilayah tidak banjir memiliki nilai LVI yang tergolong rendah. Nilai kerentanan tinggi hanya terdapat pada komponen strategi nafkah, makanan, dan air. Sedangkan seluruh faktor yang berkontribusi terhadap tingkat kerentanan nafkah di wilayah tidak banjir tergolong rendah.

Berdasarkan penelitian di Desa Wonosoco sebagai wilayah banjir dan Desa Kalirejo sebagai wilayah tidak banjir dapat disimpulkan bahwa LVI rumahtangga di wilayah banjir lebih tinggi dibandingkan LVI rumahtangga di wilayah tidak banjir. Komponen utama yang paling berpengaruh terhadap nilai kerentanan nafkah rumahtangga adalah dampak krisis banjir, sedangkan faktor utama yang berkontribusi terhadap tingkat kerentanan nafkah adalah keterpaparan.

Dokumen terkait