• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kelentingan Nafkah Rumahtangga Petani Di Wilayah Rentan Banjir: Studi Kasus Dua Desa Di Kabupaten Kudus

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kelentingan Nafkah Rumahtangga Petani Di Wilayah Rentan Banjir: Studi Kasus Dua Desa Di Kabupaten Kudus"

Copied!
133
0
0

Teks penuh

(1)

KELENTINGAN NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI DI WILAYAH RENTAN BANJIR : STUDI KASUS DUA DESA DI KABUPATEN KUDUS

ADITYA CAHYA SAPUTRA

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa proposal skripsi berjudul “Kelentingan Nafkah Rumahtangga Petani di Wilayah Rentan Banjir: Studi Kasus Dua Desa di Kabupaten Kudus” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Mei 2016

(3)

iii

ABSTRAK

ADITYA CAHYA SAPUTRA. Kelentingan Nafkah Rumahtangga Petani di Wilayah Rentan Banjir: Studi Kasus Dua Desa di Kabupaten Kudus. Dibimbing oleh ARYA HADI DHARMAWAN

Krisis ekologi memberi dampak secara langsung pada perubahan strategi nafkah rumahtangga petani. Salah satunya bencana banjir yang selalu menjadi bencana musiman bagi rumahtangga petani pada musim penghujan. Lahan pertanian yang menjadi sumber nafkah usahatani mereka terendam banjir dan tidak bisa digunakan. Hal ini memaksa rumahtangga petani harus memiliki strategi lain untuk mempertahankan kehidupannya dengan memanfaatkan modal-modal nafkah yang mereka miliki. Pemanfaatan modal-modal-modal-modal nafkah yang maksimal oleh petani berpengaruh pada strategi nafkah baru yang bisa diciptakan untuk meminimalisasi kerentanan nafkah rumahtangga petani. Dengan kata lain, rumahtangga petani yang mampu memanfaatkan modal-modal nafkah akan membawa penguatan pada kelentingan nafkah dan mengurangi kerentanan nafkah rumahtangga petani dalam menghadapi krisis ekologi yang terjadi.

Kata kunci: strategi nafkah, modal nafkah, kerentanan nafkah

ABSTRACT

ADITYA CAHYA SAPUTRA. The Livelihood Resilience of Farmer Households in Flooded Area : Case Study of Two Villages of District of Kudus. Supervised by ARYA HADI DHARMAWAN

The ecological crisis is directly impacting on farm household livelihood strategy changes. The direct impact is the economic disaster that hits farmer households in the rainy season. Agricultural lands as livelihood source of them are flooded and stay unused. In this case, the flood forces the farm households to have another strategy to sustain livelihood by utilizing the livelihood assets that they have. The utilization of livelihood assets by farmers optimally effected on new livelihood strategies to minimize the livelihood vulnerability of farmer households. In other words, farmer households utilize livelihood assets to strengthen the livelihood resilience and reduce the vulnerability to ecological crisis that occured.

(4)

KELENTINGAN NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI DI WILAYAH RENTAN BANJIR : STUDI KASUS DUA DESA DI KABUPATEN KUDUS

ADITYA CAHYA SAPUTRA

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

pada

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

(5)
(6)

PRAKATA

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat dan karunianya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Kelentingan Nafkah Rumahtangga Petani di Wilayah Rentan Banjir : Studi Kasus Dua Desa di Kabupaten Kudus” ini dengan baik. Tulisan ini memaparkan konsep kelentingan nafkah yang dialami rumahtangga petani dalam menghadapi krisis banjir melalui pendekatan kerentanan nafkah dengan membandingkan desa yang terdampak banjir dengan desa yang tidak terdampak banjir dalam wilayah satu kecamatan.

Penulis menyadari bahwa studi pustaka ini tidak dapat terselesaikan dengan baik tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan rasa terimaksih kepada

1. Bapak Dr.Ir. Arya Hadi Dharmawan, MScAgr selaku dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan waktunya untuk arahan, masukan, kritik dan saran, serta sabar dalam membimbing penulis selama penulisan studi pustaka ini,

2. Ayahanda Kasmanto Setyo Wibowo dan Ibunda Endang Megawati, adik tercintai Nabella Dwi Ayu Ramadhani sebagai sumber motivasi dan telah mendukung penulis dalam menempuh pendidikan menjadi mahasiswa Departemen Sains Komunkasi dan Pengembangan Masyarakat,

3. Semua dosen di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat yang telah banyak memberikan ilmu pengetahuan akademisi dan ilmu kehidupan kepada penulis selama studi,

4. Teman sekelompok bimbingan skripsi Egi Nurridwan dan Abednego Geovanni yang telah memberikan dukungan dan masukan selama menyusun studi pustaka,

5. Teman-teman seperjuangan SKPM 49 lainnya yang telah memberikan dukungan dan keceriaan selama melewati masa kuliah di SKPM IPB,

6. Keluarga Kudus Bogor Menara Kota, yang telah memberikan banyak pengalaman organisasi dan dukungan kepada penulis. Serta telah menjadi keluarga terdekat selama menempuh pendidikan di IPB.

7. Teman-teman Rumah Kepemimpinan PPSDMS Bogor yang menjadi sumber inspirasi untuk selalu melakukan perbaikan diri dan peningkatkan kapasitas kepemimpinan dalam upaya mewujudkan kemajuan bagi bangsa dan negara di masa mendatang.

Akhirnya penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis dan pembaca dalam memahami lebih jauh tentang pengaruh krisis ekologi terhadap strategi nafkah dan kelentingan nafkah rumahtangga petani. Kritik dan saran sangat diharapkan dari semua pihak sehingga dapat membangun ke arah yang lebih baik.

Bogor, Juni 2016

Aditya Cahya Saputra

(7)

vii

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ix

DAFTAR GAMBAR xi

DAFTAR LAMPIRAN xi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Masalah Penelitian 2

Tujuan Penelitian 4

Kegunaan Penelitian 4

PENDEKATAN TEORITIS 7

Tinjauan Pustaka 7

Krisis Ekologi 7

Konsep Nafkah 7

Rumahtangga Petani 9

Kelentingan Nafkah 9

Kerentanan Nafkah 10

Indeks Kerentanan Nafkah 11

Kerangka Pemikiran 12

Hipotesis Penelitian 14

Definisi Operasional 15

METODE PENELITIAN 19

Lokasi dan Waktu Penelitian 19

Pendekatan Penelitian 19

Teknik Pengumpulan Data 19

Teknik Pengolahan dan Analisis Data 21

GAMBARAN UMUM WILAYAH 23

Kondisi Geografis 23

Kondisi Sosial 24

Kondisi Ekonomi 26

STRUKTUR NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI 29

(8)

Struktur Pengeluaran Rumahtangga Petani di Dua Wilayah 37 Struktur Saving Capacity Rumahtangga Petani di Dua Wilayah 39

STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI 43

Bentuk-bentuk Strategi Nafkah di Wilayah Banjir 43 Bentuk-bentuk Strategi Nafkah di Wilayah Tidak Banjir 49 PENGARUH MODAL NAFKAH TERHADAP KERENTANAN NAFKAH

RUMAHTANGGA PETANI 53

Modal Nafkah Rumahtangga Petani di Kedua Wilayah 54 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kerentanan Nafkah di Wilayah Banjir 62 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kerentanan Nafkah di Wilayah Tidak Banjir 64 Pengaruh Modal Nafkah terhadap Kerentanan Nafkah Rumahtangga Petani di

Kedua Wilayah 71

INDEKS KERENTANAN NAFKAH 85

Analisis Perhitungan Livelihood Vulnerability Index di Wilayah Banjir 85 Analisis Perhitungan Livelihood Vulnerability Index di Wilayah Tidak Banjir 88

KONSEPTUALISASI GAGASAN 93

SIMPULAN DAN SARAN 95

DAFTAR PUSTAKA 97

LAMPIRAN 101

(9)

ix

DAFTAR TABEL

1. Definisi operasional variabel penelitian 15

2. Teknik pengumpulan data 20

3. Faktor-faktor yang memengaruhi tingkat kerentanan nafkah rumahtangga petani di wilayah banjir, Desa Wonosoco tahun 2014-2015 62 4. Faktor-faktor yang memengaruhi tingkat kerentanan nafkah rumahtangga

petani di wilayah tidak banjir, Desa Kalirejo tahun 2014-2015 65 5. Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kepemilikan aset di

kedua wilayah, Desa Wonosoco dan Desa Kalirejo tahun 2015 67 6. Jumlah dan persentase responden menurut tingkat modal finansial di kedua

wilayah, Desa Wonosoco dan Desa Kalirejo tahun 2015 68 7. Jumlah dan persentase responden menurut tingkat penguasaan lahan di

kedua wilayah, Desa Wonosoco dan Desa Kalirejo tahun 2015 69 8. Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kekuatan jaringan di

kedua wilayah, Desa Wonosoco dan Desa Kalirejo tahun 2015 70 9. Jumlah dan persentase responden menurut ketrampilan rumahtangga di

kedua wilayah, Desa Wonosoco dan Desa Kalirejo tahun 2015 70 10. Komponen-komponen modal nafkah yang memengaruhi kerentanan nafkah

rumahtangga petani di kedua wilayah, Desa Wonosoco dan Desa Kalirejo

tahun 2014-2015 72

11. Komponen-komponen modal nafkah yang memengaruhi kerentanan nafkah rumahtangga petani lapisan bawah di kedua wilayah, Desa Wonosoco dan

Desa Kalirejo tahun 2014-2015 74

12. Komponen-komponen modal nafkah yang memengaruhi kerentanan nafkah rumahtangga petani lapisan menengah di kedua wilayah, Desa Wonosoco

dan Desa Kalirejo tahun 2014-2015 75

13. Komponen-komponen modal nafkah yang memengaruhi kerentanan nafkah rumahtangga petani lapisan atas di kedua wilayah, Desa Wonosoco dan

Desa Kalirejo tahun 2014-2015 76

14. Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kerentanan dan tingkat luas penguasaan lahan rumahtangga petani di kawasan banjir, Desa

Wonosoco tahun 2014-2015 77

15. Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kerentanan dan tingkat penguasaan lahan rumahtangga petani di kawasan tidak banjir, Desa

Kalirejo tahun 2014-2015 77

16. Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kerentanan dan tingkat kekuatan jaringan rumahtangga petani di kawasan banjir, Desa Wonosoco

tahun 2014-2015 78

17. Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kerentanan dan tingkat kekuatan jaringan rumahtangga petani di kawasan tidak banjir, Desa

Kalirejo tahun 2014-2015 79

18. Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kerentanan dan tingkat tabungan rumahtangga petani di kawasan banjir, Desa Wonosoco tahun

(10)

19. Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kerentanan dan tingkat tabungan rumahtangga petani di kawasan tidak banjir, Desa Kalirejo tahun

2014-2015 81

20. Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kerentanan dan tingkat kepemilikan aset rumahtangga petani di kawasan banjir, Desa Wonosoco

tahun 2014-2015 82

21. Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kerentanan dan tingkat kepemilikan aset rumahtangga petani di kawasan tidak banjir, Desa Kalirejo

tahun 2014-2015 82

22. Livelihood Vulnerability Index rumahtangga petani di wilayah banjir, Desa

Wonosoco 2015 86

23. Livelihood Vulnerability Index rumahtangga petani di wilayah tidak banjir,

Desa Kalirejo 2015 89

(11)

xi

DAFTAR GAMBAR

1. Kerangka konseptual pendekatan penilaian kerentanan partisipatif berbasis komunitas dan keterlibatan stakeholder (Smit & Wandel 2006) 11

2. Kerangka pemikiran 14

3. Skema penentuan responden 20

4. Struktur nafkah rumahtangga petani rata-rata per tahun menurut lapisan di

wilayah banjir, Desa Wonosoco tahun 2014-2015 30 5. Struktur nafkah rumahtangga petani rata-rata per tahun menurut lapisan di

wilayah tidak banjir, Desa Kalirejo tahun 2014-2015 31 6. Komposisi pendapatan rata-rata rumahtangga petani menurut lapisan di

wilayah banjir, Desa Wonosoco tahun 2014-2015 32 7. Komposisi pendapatan rata-rata rumahtangga petani menurut lapisan di

wilayah tidak banjir, Desa Kalirejo tahun 2014-2015 32 8. Struktur pengeluaran rumahtangga petani di wilayah banjir, Desa Wonosoco

tahun 2014-2015 37

9. Struktur pengeluaran rumahtangga petani di wilayah tidak banjir, Desa

Kalirejo tahun 2014-2015 38

10. Struktur saving capacity rumahtangga petani di wilayah banjir, Desa

Wonosoco tahun 2014-2015 39

11. Struktur saving capacity rumahtangga petani di wilayah tidak banjir, Desa

Kalirejo tahun 2014-2015 40

12. Strategi berhutang rumahtangga petani di wilayah banjir 44

DAFTAR LAMPIRAN

1. Peta Lokasi 103

2. Jadwal Kegiatan Penelitian 104

3. Hasil Uji Regresi Linier 105

4. Kuesioner 109

5. Panduan Wawancara Mendalam 117

6. Kerangka Sampling 118

(12)
(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Krisis ekologi merupakan tantangan bagi umat manusia dalam perannya memanfaatkan sumberdaya alam. Menurut Dharmawan (2007), krisis ekologi dapat dimaknai sebagai suatu keadaan dimana sistem ekologi mengalami ketidakstabilan kesetimbangan pertukaran energi-materi dan informasi, yang mengakibatkan ketidakseimbangan pada fungsi-fungsi distribusi serta akumulasi energi-materi antara satu organisme dengan organisme lain dan alam-lingkungannya, sementara itu organisme (manusia) dengan teknologi, perilaku dan organisasi sosialnya belum mampu melakukan penyesuaian yang berarti dalam mengantisipasi atau merespons guncangan tersebut. Krisis ekologi menjadi momok bagi kelangsungan hidup umat manusia dalam rangka mempertahankan kehidupannya.

Krisis ekologi memiliki hubungan yang erat antara manusia, kebudayaan, dan lingkungannya. Manusia sering dianggap sebagai aktor utama penyebab terjadinya krisis ekologi. Sebagian besar aktivitas manusia dalam usaha memenuhi kebutuhan ekonominya tidak berorientasi pada keseimbangan alam sehingga terjadi pemanfaatan sumberdaya yang tidak sustainable. Selain itu, faktor budaya juga berperan penting dalam upaya pelestarian ekologi berbasis masyarakat. Pengelolaan dan pemanfaatan alam berbasis masyarakat menjadi salah satu solusi dalam mengatasi krisis ekologi.

Rumahtangga petani merupakan pihak yang paling terdampak dengan terjadinya krisis ekologi. Rumahtangga petani menurut Sensus Pertanian 1993 (BPS 1994) dalam Turasih (2012) adalah rumahtangga yang sekurang-kurangnya satu anggota rumahtangganya melakukan kegiatan bertani atau berkebun, menanam tanaman kayu-kayuan, beternak ikan di kolam, karamba, maupun tambak, menjadi nelayan, melakukan perburuan atau penangkapan satwa liar, mengusahakan ternak/unggas, atau berusaha dalam jasa pertanian dengan tujuan sebagian atau seluruh hasilnya untuk dijual guna memperoleh pendapatan/keuntungan atas resiko sendiri. Rumahtangga petani bergantung pada sumberdaya alam (lahan) dan iklim sebagai faktor utama dalam strategi nafkah mereka. Adanya krisis ekologi mengganggu dan menghambat secara langsung terhadap upaya-upaya rumahtangga petani untuk memanfaatkan sumber-sumber nafkah yang tersedia secara maksimal.

(14)

dampak krisis ekologis yang terjadi secara akumulatif di wilayah hutan pedesaan dan ruang hijau di perkotaan. Akibat dari krisis ekologi berupa banjir tersebut memengaruhi kerentanan terhadap kebutuhan lahan (sawah) sebagai sumber nafkah utama rumahtangga petani.

Kelentingan nafkah menjadi perhatian khusus dalam bidang studi nafkah berkaitan krisis ekologi berupa banjir dan bencana alam lain yang secara langsung memengaruhi keberlangsungan strategi nafkah rumahtangga petani. Upaya untuk mengetahui kelentingan rumahtangga petani dalam menghadapi dampak bencana dapat dianalisis dengan mengukur tingkat kelentingan nafkah rumahtangga petani. Speranza et al. (2014) berpendapat bahwa kelentingan nafkah menyoroti cara mempertahankan nafkah walaupun mengalami perubahan, pendekatan terhadap masyarakat, perbedaan dalam mengatasi ancaman, dan untuk mengurangi kemiskinan, serta memperbaiki kapasitas adaptif sebagai pusat analisis.

Pada sisi yang lain, krisis ekologi secara langsung juga memengaruhi kerentanan nafkah rumahtangga petani. Rumahtangga petani yang tidak memiliki kesiapan dan modal yang kuat sangat rentan terhadap gangguan yang berpotensi menghambat aktifitas nafkah rumahtangga petani dalam memenuhi kebutuhan kehidupannya. Kajian ini menjadi penting dalam rangka melihat sudut pandang lain dampak krisis ekologi terhadap eksistensi rumahtangga petani melalui pendekatan kerentanan nafkah.

Berdasarkan logika pemikiran masyarakat umum diketahui bahwa rumahtangga dengan status sosial kaya mempunyai kelentingan yang tinggi dan kerentanan yang rendah. Sedangkan rumahtangga dengan status sosial miskin mempunyai kelentingan yang rendah dan kerentanan yang tinggi. Hal ini terjadi pula pada rumahtangga petani yang sangat bergantung pada sumberdaya alam yang penuh ketidakpastian dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari mereka. Aktifitas nafkah rumahtangga petani ditentukan oleh kondisi sumberdaya alam yang menjadi sumber nafkah mereka. Studi penelitian Azzahra (2015) menyatakan bahwa rumahtangga petani yang terdampak banjir memiliki kelentingan yang lebih tinggi dan kerentanan lebih rendah dibandingkan dengan rumahtangga petani yang tidak terdampak banjir. Oleh karena itu, menjadi bagian penting dalam kajian studi nafkah untuk menganalisis resiliensi rumahtangga petani di wilayah rentan banjir dengan mengukur tingkat kerentanan nafkah rumahtangga petani tersebut. Livelihood Vulnerability Index (LVI) atau Indeks Kerentanan Nafkah menjadi salah satu cara yang dapat digunakan berdasarkan kesepakatan yang dihasilkan dalam forum IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) untuk mengetahui kerentanan suatu masyarakat melalui pengukuran yang matematis dan terukur.

Masalah Penelitian

(15)

3

tidak mempunyai kesiapan dan ketahanan yang kuat berpotensi menghadapi kerentanan nafkah.

Bencana banjir yang sering terjadi di Kecamatan Undaan, Kabupaten Kudus membawa dampak pada strategi nafkah rumahtangga petani di daerah tersebut. Bencana banjir merendam sawah produktif rumahtangga petani sehingga berakibat pada hilangnya sumber mata pencaharian mereka untuk sementara waktu karena kondisi lahan yang tidak bisa digunakan. Lahan pertanian yang menjadi sumber mata pencaharian rumahtangga petani rusak diterjang banjir dan tidak bisa dimanfaatkan. Sedangkan rumahtangga petani harus tetap memiliki sumber matapencaharian untuk terus bertahan hidup. Oleh karena itu penting untuk mengetahui apa strategi nafkah rumahtangga petani dalam menghadapi krisis banjir.

Hampir setiap tahun pada musim hujan, Kecamatan Undaan memang menjadi langganan banjir sejak dulu. Kondisi geografis yang merupakan dataran rendah dengan dikelilingi banyak aliran sungai menjadikan daerah ini sangat rentan terkena bencana banjir pada musim penghujan. Banyak persawahan mengalami kerusakan yang parah karena terendam oleh banjir dan menggagalkan budidaya pertanian yang telah diusahakan rumahtangga petani. Hal ini mengancam keberlangsungan dan keberlanjutan nafkah dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari rumahtangga petani.

Sebagai contoh kasus pada penelitian Wulan (2014) di Desa Ciganjeng, Kabupaten Pangandaran yang rutin mengalami bencana banjir dan kekeringan setiap tahun. Hal ini memengaruhi strategi nafkah rumahtangga petani dan tingkat resiliensi masyarakat Desa Ciganjeng dalam menghadapi krisis yang melanda setiap tahun tersebut. Hasil penelitian Wulan (2014) menunjukkan bahwa semua lapisan rumahtangga petani memiliki porsi pendapatan sektor non pertanian yang lebih tinggi dibanding pendapatan dari sektor pertanian di Desa Ciganjeng. Hal ini dipengaruhi dampak dari kondisi Desa Ciganjeng yang rutin mengalami banjir dan kekeringan tiap tahunnya. Hal ini berpengaruh pula terhadap strategi nafkah yang diusahakan oleh petani. Bentuk-bentuk penerapan strategi nafkah yang digunakan rumahtangga petani Desa Ciganjeng, diantaranya strategi alokasi sumberdaya manusia, strategi pola nafkah ganda, strategi migrasi, strategi intensifikasi pertanian, strategi berhutang, dan strategi investasi non pertanian. Beragamnya strategi nafkah yang diusahakan rumahtangga petani Desa Ciganjeng berdampak pada tingkat kelentingan nafkah yang tinggi. Hal ini terjadi karena rumahtangga petani mempunyai sumber-sumber nafkah lain selain sektor on farm

yang mampu menopang kehidupan dan penghidupan rumahtangga petani sehari-hari.

Kondisi di Desa Ciganjeng mirip dengan kondisi yang terjadi pada sebagian besar desa-desa di Kecamatan Undaan yang terendam banjir pada musim penghujan hampir setiap tahun. Bencana banjir berpengaruh pada strategi nafkah rumahtangga petani dalam mengusahakan alternatif untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya selama krisis melalui livelihood assets (modal nafkah) yang mereka miliki. Modal nafkah yang dimiliki rumahtangga petani mampu mendukung peningkatkan kelentingan nafkah rumahtangga petani.

(16)

Kecamatan Undaan, banjir yang sering terjadi setiap tahun akan membawa kerentanan nafkah bagi setiap rumahtangga petani. Lahan persawahan dan hasil usahatani sebagai sumber nafkah mereka terendam banjir sehingga memberi ancaman penundaan musim tanam dan gagal panen yang diakibatkan gangguan banjir. Modal nafkah yang dimiliki rumahtangga petani melalui modal alam, modal fisik, modal finansial, modal sosial, dan modal manusia mempunyai peran penting dalam memengaruhi tinggi rendahnya tingkat kerentanan nafkah rumahtangga petani. Sebagai contoh pada penelitian Azzahra (2015) bahwasanya modal sosial melalui kekuatan jaringan dan kepercayaan yang tinggi berdampak pada tingkat kerentanan nafkah yang rendah, sedangkan pada penelitian Ginting (2015) modal manusia melalui tingkat pendidikan dan ketrampilan yang tinggi berdampak pada tingkat kerentanan nafkah rumahtangga petani yang rendah. Oleh karena itu penting untuk mengetahui seberapa jauh modal nafkah rumahtangga petani memengaruhi kerentanan nafkah rumahtangga petani.

Selain itu penelitian untuk menganalisis tingkat kerentanan nafkah rumahtangga petani dalam menghadapi krisis ekologi ini menjadi suatu kajian yang penting. Indeks Kerentanan Nafkah (Livelihood Vulnerability Index) dapat menjadi rujukan untuk mengukur tingkat kerentanan nafkah rumahtangga petani dalam rangka mencari solusi, kebijakan, dan tindakan yang tepat untuk menyelamatkan rumahtangga petani dari kerentanan nafkah. Oleh karena penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar Indeks Kerentanan Nafkah (Livelihood Vulnerability Index)yang dialami rumahtangga petani.

Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah tersebut, maka tujuan penelitian adalah sebagai berikut :

1. Mengidentifikasi strategi nafkah rumahtangga petani dalam menghadapi krisis banjir

2. Menganalisis seberapa jauh modal nafkah rumahtangga petani memengaruhi tingkat kerentanan nafkah rumahtangga petani

3. Menganalisis Indeks Kerentanan Nafkah (Livelihood Vulnerability Index) rumahtangga petani

Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan kegunaan bagi para stakeholder yang terkait mengenai kelentingan nafkah rumahtangga petani di wilayah rentan banjir Kecamatan Undaan :

1. Masyarakat

(17)

5

2. Pemerintah

Penelitian diharapkan menjadi referensi dan landasan dalam merumuskan kebijakan dan tindakan yang tepat dalam membantu rumahtangga petani yang mengalami krisis terutama bagi rumahtangga petani yang memiliki tingkat kelentingan nafkah yang rendah

3. Peneliti dan akademisi

(18)
(19)

PENDEKATAN TEORITIS

Tinjauan Pustaka

Krisis Ekologi

Menurut Dharmawan (2007) krisis ekologi dapat dimaknai sebagai suatu keadaan dimana sistem ekologi mengalami ketidakstabilan kesetimbangan pertukaran energi-materi dan informasi, yang mengakibatkan ketidakseimbangan pada fungsi-fungsi distribusi serta akumulasi energi-materi antara satu organisme dengan organisme lain dan alam-lingkungannya. Sementara itu organisme (manusia) dengan teknologi, perilaku dan organisasi sosialnya belum mampu melakukan penyesuaian yang berarti dalam mengantisipasi atau merespons guncangan tersebut. Selanjutnya Raharja (2011) dalam Wulan (2014) menjelaskan bahwa krisis ekologi merupakan krisis hubungan antar manusia dan kebudayaannya dengan lingkungan hidup tempat mereka berlindung, bermukim, dan mengeksploitasi sumberdaya alam. Krisis ekologi telah menjadi realita kontemporer yang melebihi batas toleransi dan kemampuan adaptasi lingkungan.

Penelitian yang dilakukan Wulan (2014) di Desa Ciganjeng, Kecamatan Padaherang, Kabupaten Pangandaran menyimpulkan bahwasanya krisis ekologi di Desa Ciganjeng, yaitu banjir dan kekeringan memengaruhi strategi nafkah rumahtangga petani. Krisis ekologi memberi dampak secara langsung terhadap perubahan strategi nafkah. Berbeda kasus dengan penelitian Kuswijayanti, et. al

(2007), krisis ekologi yang terjadi di wilayah Gunung Merapi pasca penetapan sebagai Taman Nasional memengaruhi strategi nafkah masyarakat lokal yang dipicu oleh aktivitas tambang pasir dan wisata yang dilakukan oleh komunitas luar. Krisis ekologi era sekarang sudah menjadi isu publik yang menyedot perhatian dunia pada masalah keberlanjutan lingkungan dalam memenuhi kebutuhan kehidupan manusia di masa depan.

Konsep Nafkah

a) Definisi Nafkah

Dalam sosiologi nafkah, Dharmawan (2007) memberikan penjelasan bahwa livelihood memiliki pengertian yang lebih luas daripada sekedar means of living yang bermakna sempit mata pencaharian. Pengertiannya lebih mengarah pada livelihood strategy (strategi penghidupan) daripada means of living strategy

(strategi cara hidup). Strategi nafkah merupakan taktik dan aksi yang dibangun oleh individu maupun kelompok dalam rangka mempertahankan kehidupan mereka dengan tetap memperhatikan eksistensi infrastruktur sosial, struktur sosial, dan sistem nilai budaya yang berlaku.

b) Strategi Nafkah

(20)

hubungan sosial) yang bersama-sama menentukan kehidupan individu atau rumahtangga. Ellis (2000) juga menyatakan bahwa tiga klasifikasi sumber nafkah mengacu pada tiga sektor, yaitu sektor farm income, sektor off farm income, dan sektor non farm income. Sebagai contoh pola penguasaan lahan di Desa Cipeuteuy, Kabupaten Sukabumi mengalami dampak perluasan wilayah hutan konservasi Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Kecenderungan yang terjadi adalah perubahan strategi nafkah dari sektor pertanian menuju sektor non pertanian, seperti menjadi pedagang, tukang ojek, buruh bangunan, dan lain-lain. Perbandingan kontribusi sektor pertanian dan non pertanian terhadap pendapatan rata-rata rumahtangga petani menunjukkan angka yang hampir seimbang. Sektor pertanian menyumbang kontribusi sebesar 57%, sedangkan sektor non pertanian menyumbang kontribusi sebesar 43%. Hal ini dipengaruhi ketidakjelasan penguasaan dan pemanfaatan lahan di sekitar wilayah hutan konservasi yang menyebabkan petani enggan untuk mengakses dan memanfaatkan lahan hutan sehingga berpengaruh pada strategi nafkah mereka.

Scoones (1998) dalam Ginting (2015) mengatakan bentuk-bentuk strategi nafkah, dintaranya adalah intensifikasi pertanian (lebih banyak output per satuan luas melalui investasi modal atau peningkatan penyerapan tenaga kerja), ekstensifikasi (lebih banyak mengusahakan lahan untuk ditanami/perluasan lahan untuk kepentingan peningkatan produksi), diversifikasi (mengusahakan strategi nafkah ganda untuk menghasilkan pendapatan), dan migrasi (pindah dan mencari mata pencaharian, baik sementara maupun permanen di tempat lain). Menurut Ellis (2000) dalam Ginting (2015) terdapat tiga sumber nafkah atau struktur nafkah yaitu on farm income, off farm income, dan non farm income.

c) Modal Nafkah

Menurut Ellis (2000) terdapat lima modal sebagai livelihood assets yaitu modal alam, modal fisik, modal manusia, modal sosial, dan modal finansial. Modal alam merujuk pada sumberdaya alam (tanah, air, barang tambang) yang digunakan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Modal fisik merujuk pada aset-aset yang dibawa ke dalam ekstensi proses produksi ekonomi, seperti alat-alat, mesin, saluran irigasi, dan lain-lain. Modal manusia merujuk pada eksistensi sumberdaya manusia melalui tingkat pendidikan dan status kesehatan dalam populasi. Modal sosial merujuk jaringan sosial dan kelembagaan dimana orang terlibat dan berpartisipasi untuk memberui dukungan pada kehidupan mereka. Sedangkan modal finansial merujuk pada persediaan uang tunai dan kemudahan kredit untuk diakses masyarakat dalam mendukung kehidupan mereka.

(21)

9

rumahtangga petani di wilayah tidak terdampak banjir. Modal sosial yang dimiliki kedua komunitas menunjukkan sama-sama tinggi. Sedangkan modal finansial yang dimiliki kedua komunitas menunjukkan sama rendah. Dengan demikian tingkat resiliensi rumahtangga petani di wilayah tidak terdampak banjir lebih tinggi dibanding rumahtangga petani di wilayah terdampak banjir.

Rumahtangga Petani

Menurut Purnomo (2006) menjelaskan bahwa rumahtangga merupakan lembaga dasar yang melakukan pengaturan konsumsi dan produksi, alokasi tenaga kerja dan sumberdaya sebagai upaya memenuhi kebutuhan hidup anggotanya. Rumahtangga merupakan unit sosial yang mengikat anggotanya dalam kesatuan sosial dan ekonomi dengan menjalankan strategi nafkah sebagai upaya mempertahankan kehidupannya. Rumahtangga bisa berarti hubungan berdasarkan ikatan darah maupun hubungan yang tidak berdasarkan ikatan darah.

Menurut Shanin (1966) dalam Widiyanto et al. (2010) mencirikan petani dengan beberapa karakteristik, yaitu 1) ciri-ciri ekonomi petani ditentukan oleh keterkaitan petani dengan lahan dan karakteristik produksi pertanian yang khas, 2) usahatani keluarga adalah unit dasar dari kepemilikan petani, produksi, konsumsi, dan kehidupan sosial, 3) tidak terlalu memperhatikan spesialisasi kerja, 4) budaya tradisional petani sangat berkaitan dengan kehidupan masyarakat desa, dan 5) didominasi oleh pihak luar melalui land tenure, penyalahgunaan dalam kekuatan pasar. Basis ekonomi petani dikelola pada unit rumahtangga dan komunitas berbasis kekerabatan.

Rumahtangga petani menurut Sensus Pertanian 1993 (BPS 1994) dalam Turasih (2012) adalah rumahtangga yang sekurang-kurangnya satu anggota rumahtangganya melakukan kegiatan bertani atau berkebun, menanam tanaman kayu-kayuan, beternak ikan di kolam, karamba, maupun tambak, menjadi nelayan, melakukan perburuan atau penangkapan satwa liar, mengusahakan ternak/unggas, atau berusaha dalam jasa pertanian dengan tujuan sebagian atau seluruh hasilnya untuk dijual guna memperoleh pendapatan/keuntungan atas resiko sendiri. Menurut Nakajima (1986) dalam Wulan (2014) rumahtangga petani mempunyai pengertian dan karakteristik yaitu satu unit kelembagaan yang setiap saat mengambil keputusan produksi pertanian, konsumsi, curahan kerja, dan reproduksi.

Kelentingan Nafkah

Speranza et al. (2014) berpendapat bahwa kelentingan atau resiliensi nafkah menyoroti cara mempertahankan nafkah walaupun mengalami perubahan, pendekatan terhadap masyarakat, perbedaan dalam mengatasi ancaman, dan untuk mengurangi kemiskinan, serta memperbaiki kapasitas adaptif sebagai pusat analisis. Speranza et al. (2014) menjabarkan konsep dan kerangka analisis karakteristik resiliensi menjadi tiga, yaitu buffer capacity, self-organization, dan

(22)

air, barang tambang) yang digunakan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Modal fisik merujuk pada sosial-aset yang dibawa ke dalam ekstensi proses produksi ekonomi, seperti alat-alat, mesin, saluran irigasi, dan lain-lain. Modal manusia merujuk pada eksistensi sumberdaya manusia melalui tingkat pendidikan dan status kesehatan dalam populasi. Modal sosial merujuk jaringan sosial dan kelembagaan dimana orang terlibat dan berpartisipasi untuk memberui dukungan pada kehidupan mereka. Sedangkan modal finansial merujuk pada persediaan uang tunai dan kemudahan kredit untuk diakses masyarakat dalam mendukung kehidupan mereka. Sedangkan konsep kelentingan yang dijelaskan oleh Sapirstein (2006) dalam Wulan (2014) menyatakan bahwa kelentingan adalah kemampuan individu ataupun kelompok dalam menghadapi krisis internal atau eksternal dan tidak hanya menyelesaikannya secara efektif tetapi juga belajar dari hal tersebut, menjadi lebih kuat oleh hal tersebut, dan muncul perubahan dari hal tersebut.

Kerentanan Nafkah

Fussel (2006) menyebutkan bahwa para Ilmuwan menggunakan istilah

“Kerentanan” pada kondisi yang merujuk pada penelitian mengenai bencana alam

di dunia. Namun saat ini istilah Kerentanan sudah digunakan dalam penelitian yang merujuk pada konteks ekologi, kesehatan masyarakat, kemiskinan, studi nafkah, dan adaptasi perubahan iklim. Kerentanan dikonsepsikan berbeda dalam berbagai konteks keilmuan sesuai bidang masing-masing dengan indikator-indikator pengukuran kerentanan yang berbeda pula.

Kerentanan nafkah merupakan sudut pandang lain dari kelentingan nafkah dalam menganalisis strategi nafkah rumahtangga petani. Keduanya seperti dua sisi mata uang yang berlawanan dan saling memengaruhi. Apabila kerentanan nafkah rendah dapat disimpulkan kelentingan nafkah tinggi, sebaliknya apabila kerentanan nafkah tinggi dapat dipastikan kelentingan nafkahnya rendah. Gallopin (2006) memandang kerentanan sebagai suatu gangguan spesifik yang terjadi pada suatu sistem sehingga memaksa sistem menjadi rentan dengan adanya gangguan. Adger (2006) mengklasifikan faktor-faktor yang dapat berkontribusi untuk mengukur tingkat kerentanan. Faktor-faktor tersebut adalah (1) exposure to perturbation atau keterpaparan terhadap gangguan, (2) sensitivity to perturbation

atau kepekaan terhadap gangguan, dan (3) adaptive capacity atau kemampuan adaptasi atau penyesuaian.

(23)

11

Gambar 1 Kerangka konseptual pendekatan penilaian kerentanan partisipatif berbasis komunitas dan keterlibatan stakeholder (Smit & Wandel 2006)

Menurut Smit & Wandel (2006) menjelaskan bahwa keterpaparan dan sensitifitas yang terjadi sekarang akan memengaruhi keterpaparan dan sensitifitas pada masa mendatang. Begitu pula pada kapasitas adaptasi suatu wilayah akan mengalami perubahan dalam menghadapi krisis yang terjadi. Faktor-faktor yang memengaruhi perubahan ketiga faktor kerentanan tersebut ditandai dengan adanya perubahan lingkungan dan alam. Selain itu sistem sosial masyarakat yang berkembang juga turut andil memengaruhi perubahan yang terjadi. Suatu wilayah yang menghadapi kerentanan akan belajar dan berupaya keras beradaptasi untuk bertahan di tengah-tengah krisis yang mungkin akan kembali terjadi di masa mendatang.

Indeks Kerentanan Nafkah

(24)

yang paling rentan kemampuan adaptasi (adaptive capacity) rumahtangganya dengan kondisi sosio-demografi, jaringan sosial, dan strategi nafkah rumahtangga yang memiliki kerentanan tinggi.

Metode pengukuran Indeks Kerentanan Nafkah atau Livelihood Vulnerability Index (LVI) model IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) yang digunakan dalam penelitian Etwire et al. (2013) dapat dihitung melalui rumus berikut:

) Keterangan :

= tingkat keterpaparan (exposure) rumahtangga

= tingkat kemampuan adaptasi (adaptive capacity) rumahtangga = tingkat kepekaan (sensitivity) rumahtangga

LVI-IPCC merupakan model penghitungan Indeks Kerentanan Nafkah suatu daaerah dengan menggunakan kerangka kerentanan model IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) untuk mengukur tingkat kerentanan masyarakat dalam suatu regional (daerah). merupakan penghitungan mengenai tingkat keterpaparan rumahtangga petani, merupakan tingkat kemampuan adaptasi rumahtangga petani, dan merupakan tingkat kepekaan rumahtangga petani. Rumus model IPCC merupakan cara praktis untuk mengukur tingkat kerentanan rumahtangga petani di wilayah terdampak banjir menggunakan pengukuran tiga komponen tersebut. Skala pengukuran LVI-IPCC

adalah mulai dari -1 (wilayah paling tidak rentan) hingga +1 (wilayah paling rentan). Artinya, semakin tinggi nilai LVI-IPCC maka semakin tinggi pula tingkat

vulnerability (kerentanan) rumahtangga petani tersebut. Begitu pula sebaliknya, semakin rendah nilai LVI-IPCC maka semakin rendah pula tingkat vulnerability

(kerentanan) rumahtangga petani tersebut.

Kerangka Pemikiran

Krisis ekologi merupakan ketidakseimbangan yang terjadi pada lingkungan atau sumberdaya alam yang disebabkan oleh berbagai faktor yang berpotensi mengganggu akses dan pemanfaatan lingkungan dan atau sumberdaya alam tersebut untuk pemenuhan kebutuhan organisme (manusia). Krisis ekologi berpotensi menimbulkan bencana yang secara langsung memengaruhi pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Indonesia merupakan negara yang sebagian besar wilayahnya berada pada wilayah rawasan bencana. Banjir, tanah longsor, angin puting beliung, gunung meletus, gempa bumi dan lain-lain merupakan bencana-bencana yang sering terjadi di Indonesia dengan ciri khas iklim tropisnya.

(25)

13

produksi utama mereka terganggu otomatis akan memengaruhi bentuk-bentuk strategi nafkah mereka. Rumahtangga petani akan menerapkan beragam strategi nafkah dalam upaya mempertahankan kehidupannya. Hal ini mendorong mereka untuk memanfaatkan modal-modal nafkah (livelihood assets) sebagai upaya bertahan dan mendapatkan sumber-sumber nafkah baru dengan strategi-strategi nafkah yang baru pula.

Kondisi pasca bencana menjadi titik balik bagi rumahtangga petani dalam menghadapi krisis yang mengancam strategi nafkah mereka. Resiliensi nafkah rumahtangga petani menjadi isu yang harus menjadi perhatian khusus bagi pemangku kebijakan daerah setempat. Rumahtangga petani yang mempunyai

livelihood assets yang kuat akan mempunyai tingkat resiliensi yang tinggi dalam menghadapi krisis. Sebaliknya, rumahtangga petani yang mempunyai livelihood assets yang lemah berpotensi besar mengalami kerentanan nafkah atau tingkat resiliensi yang rendah.

(26)

Berdasarkan kerangka pemikiran diatas, hipotesis penelitian yang akan diajukan adalah :

1. Diduga bahwa kepemilikan modal alam rumahtangga petani memengaruhi kerentanan nafkah rumahtangga petani

2. Diduga bahwa kepemilikan modal fisik rumahtangga petani memengaruhi kerentanan nafkah rumahtangga petani

Strategi Nafkah

(27)

15

3. Diduga bahwa kepemilikan modal finansial rumahtangga petani memengaruhi kerentanan nafkah rumahtangga petani

4. Diduga bahwa kepemilikan modal sosial rumahtangga petani memengaruhi kerentanan nafkah rumahtangga petani

5. Diduga bahwa kepemilikan modal manusia rumahtangga petani memengaruhi kerentanan nafkah rumahtangga petani

Definisi Operasional

Untuk menguji dan mengukur variabel-variabel penelitian dibutuhkan definisi operasional sebagai pembatas dan acuan dalam menetapkan lingkup pertanyaan yang akan menjadi bahan pengumpulan data untuk mengukur variabel penelitan. Adapun definisi operasional masing-masing variabel yang akan diukur adalah sebagai berikut :

Tabel 1 Definisi operasional variabel penelitian

No Variabel Data Pengukuran

(28)

kurun waktu setahun

Ordinal Rendah : Hanya 1 orang Sedang : Dua orang

Ordinal Rendah : Hanya bertani Sedang : Bertani dan satu ketrampilan lain

Tinggi : Bertani dan ebih dari satu ketrampilan

Ordinal Rendah : Hanya petani saja Sedang : Petani dan anggota

9b Tingkat Derajat tingkat kepekaan rumahtangga petani dalam

Ordinal Sangat Tidak Setuju Tidak Setuju

(29)

17

Kepekaan menghadapi krisis banjir Tidak Tahu Setuju Sangat Setuju

: 3 : 4 : 5 9c Tingkat

Kapasitas Adaptasi

Derajat respon/penyesuaian yang dilakukan rumahtangga petani untuk menghadapi dampak banjir

Ordinal Sangat Tidak Setuju Tidak Setuju Tidak Tahu Setuju Sangat Setuju

(30)
(31)

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di Desa Wonosoco dan Desa Kalirejo, Kecamatan Undaan, Kabupaten Kudus. Desa Wonosoco merupakan desa yang terdampak banjir sedangkan Desa Kalirejo merupakan desa yang tidak terdampak banjir. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja dengan beberapa faktor yang menjadi pendukung. Pertama, mengenai Desa Wonosoco dan Desa Kalirejo yang masing-masing merupakan representasi desa terdampak banjir dan tidak terdampak banjir. Kedua, sebagian besar penduduknya bekerja di sektor pertanian. Dan ketiga, masih banyaknya lahan persawahan yang menjadi sumber nafkah sebagian besar penduduk di kedua desa. Penelitian ini akan dilaksanakan dalam kurun waktu dua bulan dari akhir bulan Februari 2016 sampai akhir bulan Maret 2016.

Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang akan digunakan dalam penelitian adalah pendekatan kuantitatif yang didukung dengan pendekatan kualitatif. Pendekatan kuantitatif dilaksanakan melalui penelitian survei dengan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data. Penelitian survei merupakan penelitian yang mengambil sampel dari suatu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok (Singarimbun 1989). Pendekatan kuantitatif digunakan untuk menganalisis hubungan antar variabel secara terukur dan obyektif dalam penelitian. Tes validity dan reliability akan dilakukan untuk menguji kevalidan dan kesesuaian kuesioner dengan kondisi di lapangan melalui proses uji coba terhadap minimal 10 responden rumahtangga petani.

Selain itu penelitian juga didukung dengan pendekatan kualitatif yang berfungsi untuk memperkaya data dan lebih memahami fenomena sosial yang diteliti (Singarimbun 1989). Pendekatan kualitatif dilaksanakan melalui teknik wawancara mendalam (indepth interview) kepada responden dan informan dengan menggunakan beberapa pertanyaan sebagai panduan wawancara (Lampiran 4). Pendekatan kualitatif berfungsi sebagai infornasi pendukung yang ditambahkan untuk memperkuat data kuantitatif yang akan didapatkan melalui kuesioner (Lampiran 3). Kemudian jenis penelitian yang akan dilakukan merupakan jenis penelitian eksplanatori yang bertujuan untuk menjelaskan hubungan-hubungan kausal antara variabel-variabel melalui pengujian hipotesa atau penelitian penjelasan (Singarimbun 1989).

Teknik Pengumpulan Data

(32)

rumahtangga petani dengan menggunakan teknik sampel acak terstratifikasi (stratified random sampling). Teknik ini dipilih untuk melihat kondisi masyarakat pada setiap lapisan sosialnya dengan membandingkan Desa Wonosoco sebagai wilayah banjir dan Desa Kalirejo sebagai wilayah tidak banjir. Unit analisis yang menjadi populasi sasaran dalam penelitian ini adalah rumahtangga petani. Definisi rumahtangga petani yang dijadikan responden adalah mereka yang memenuhi syarat-syarat, diantaranya 1) salah satu anggota rumahtangga bekerja pada sektor pertanian on farm dan atau off farm, 2) memiliki lahan garapan baik milik sendiri atau milik orang lain, dan 3) sektor pertanian merupakan mata pencaharian utama mereka. Responden yang akan dipilih berasal dari populasi sampel yang kemudian disusun dalam kerangka sampling. Selanjutnya dari kerangka sampling akan diambil responden sebanyak 35 orang masing-masing desasehingga jumlah responden yang akan diambil sebanyak 70 orang.

Gambar 3 Skema penentuan responden

Sedangkan pemilihan informan dilakukan melalui teknik sampel sistem bola salju (snowball sampling) yang dibutuhkan untuk mendapatkan informasi secara berkesinambungan antara informan satu dengan informan lainnya. Sumber data sekunder akan diperoleh melalui data monografi desa, dokumen desa, dan kajian pustaka dari literatur yang mendukung penelitian. Metode pengumpulan data yang akan dipakai dijelaskan dalam tabel berikut :

Tabel 2 Teknik pengumpulan data

Teknik pengumpulan data Data yang akan dikumpulkan

Kuesioner - Karakteristik responden

(rumahtangga petani)

- Struktur pendapatan sektor pertanian

- Struktur pendapatan sektor non pertanian

- Tingkat pengeluaran rumahtangga petani

- Tingkat saving rumahtangga petani

- Pemanfaatan livelihood assets

- Tingkat kerentanan nafkah rumahtangga petani

(33)

21

strategi nafkah

- Bagaimana variasi strategi nafkah petani yang terbentuk - Bagaimana bentuk kerentanan

petani

Observasi lapang - Kondisi desa

- Aktivitas yang dilakukan petani Analisis dokumen - Data monografi desa

- Gambaran umum desa melalui peta desa

- Dokumen desa - Kajian literatur

Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan data dilakukan melalui reduksi data, baik data kuantitatif maupun kualitiatif dengan tujuan memusatkan, memilih, dan menyederhanakan data sehingga dapat digunakan untuk menjawab tujuan penelitian. Data kuantitatif yang diperoleh melalui kuesioner diolah menggunakan Microsoft Excel 2010

terlebih dahulu sebelum dimasukkan ke perangkat lunak SPSS for Windows Version 22 untuk mempermudah pengolahan data. Uji statistik yang akan digunakan adalah uji Regresi Linier untuk mengetahui pengaruh antar variabel yang akan diteliti.

Sedangkan data kualitatif diperoleh melalui teknik wawancara mendalam dan observasi lapang, baik melalui rekaman maupun dituliskan ke dalam catatan lapangan (Lampiran 5). Kemudian data kualitatif diolah melalui proses reduksi data untuk mendapatkan informasi-informasi penting berkenaan dengan pertanyaan penelitian dan tujuan penelitian. Penyajian data dan informasi akan dilakukan secara deskriptif sebagai upaya untuk mendukung dan memperkuat data kuantitatif. Gabungan dari data kuantitatif dan kualitatif akan disajikan dalam bentuk teks narasi, matriks, tabulasi silang, bagan, ataupun gambar untuk mendapatkan kesimpulan yang berkaitan dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian.

Metode pengukuran Indeks Kerentanan Nafkah atau Livelihood Vulnerability Index (LVI) model IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) yang digunakan dalam penelitian Etwire et al. (2013) dapat dihitung melalui rumus berikut:

) Keterangan :

= tingkat keterpaparan (exposure) rumahtangga

= tingkat kemampuan adaptasi (adaptive capacity) rumahtangga = tingkat kepekaan (sensitivity) rumahtangga

(34)

(Intergovernmental Panel on Climate Change) untuk mengukur tingkat kerentanan masyarakat dalam suatu regional (daerah). merupakan penghitungan mengenai tingkat keterpaparan rumahtangga petani, merupakan tingkat kemampuan adaptasi rumahtangga petani, dan merupakan tingkat kepekaan rumahtangga petani. Rumus model IPCC merupakan cara praktis untuk mengukur tingkat kerentanan rumahtangga petani di wilayah terdampak banjir menggunakan pengukuran tiga komponen tersebut. Skala pengukuran LVI-IPCC

adalah mulai dari -1 (wilayah paling tidak rentan) hingga +1 (wilayah paling rentan). Artinya, semakin tinggi nilai LVI-IPCC maka semakin tinggi pula tingkat

vulnerability (kerentanan) rumahtangga petani tersebut. Begitu pula sebaliknya, semakin rendah nilai LVI-IPCC maka semakin rendah pula tingkat vulnerability

(35)

GAMBARAN UMUM WILAYAH

Bab ini menjelaskan mengenai kondisi geografis, kondisi sosial, dan kondisi ekonomi masyarakat Desa Wonosoco sebagai desa yang terdampak banjir dan Desa Kalirejo sebagai desa yang tidak terdampak banjir. Kedua desa berada pada wilayah Kecamatan yang sama, yaitu Kecamatan Undaan. Sedangkan jarak antara Desa Wonosoco dan Desa Kalirejo sekitar 4 kilometer.

Kondisi Geografis Desa Wonosoco

Desa Wonosoco merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Undaan, Kabupaten Kudus. Desa Wonosoco berada paling selatan wilayah Kecamatan Undaan dan berbatasan langsung dengan wilayah Kabupaten Pati dan Kabupaten Grobogan di Pegunungan Kendeng. Desa Wonosoco merupakan desa yang paling sering terdampak banjir dibandingkan dengan desa-desa yang lain di Kecamatan Undaan. Hal ini dikarenakan letak Desa Wonosoco yang tepat di lereng Pegunungan Kendeng yang sering membawa air kiriman hujan dari puncak yang turun sebagai banjir bandang.

Adapun posisi Desa Wonosoco di sebelah utara berbatasan langsung dengan Desa Berugenjang dan Desa Lambangan, di sebelah selatan berbatasan langsung dengan Kabupaten Pati dan Kabupaten Grobogan, di sebelah timur berbatasan langsung dengan Kabupaten Pati, dan di sebelah barat berbatasan langsung dengan Kabupaten Grobogan. Desa Wonosoco (Kudus), Kabupaten Pati, dan Kabupaten Grobogan berbatasan langsung di Pegunungan Kendeng yang menjadi pertemuan tiga Kabupaten (Kudus, Pati, dan Grobogan). Pegunungan Kendeng merupakan pegunungan kapur yang sudah mulai rusak akibat adanya penebangan hutan secara berlebihan yang menyebabkan tidak berfungsinya hutan sebagai daerah resapan air. Akibatnya air kiriman datang sebagai banjir bandang ke pemukiman dan persawahan.

Luas total wilayah Desa Wonosoco yaitu 542,419 hektar. Luas total wilayah tersebut terbagi menjadi dua wilayah, yaitu luas areal lahan sawah dan luas areal lahan kering (pemukiman). Luas areal lahan sawah yaitu 369,475 hektar. Sedangkan luas areal lahan kering yaitu 103,69 hektar yang terdiri dari luas pekarangan/bangunan (30,11 hektar), tegalan/kebun (32,96 hektar), dan lain-lain (40,62 hektar). Secara teknis, irigasi di lahan persawahan Desa Wonosoco mendapat aliran air dari Sungai Landa yang merupakan anak sungai dari Sungai Juwana yang berhulu di Sungai Serang.

Desa Kalirejo

Desa Kalirejo merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Undaan, Kabupaten Kudus. Desa Kalirejo terletak di wilayah Kecamatan Undaan bagian barat yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Demak. Desa Kalirejo merupakan desa yang paling jarang terdampak banjir dibandingkan desa-desa lain di Kecamatan Undaan. Hal ini dikarenakan wilayah Desa Kalirejo memiliki ketinggian permukaan tanah relatif lebih tinggi dibandingkan desa-desa yang lain di Kecamatan Undaan.

(36)

dan Desa Berugenjang, di sebelah timur berbatasan langsung Desa Terangmas dan Desa Berugenjang, dan di sebelah barat berbatasan langsung dengan Kabupaten Demak. Desa Kalirejo merupakan desa yang menjadi tempat lokasi Bendungan Wilalung berada. Bendungan Wilalung menghubungkan Sungai Serang, Sungai Wulan, dan Sungai Juwana. Bendungan Wilalung atau disebut Bangunan Pengendali Banjir Wilalung Lama (BPBWL) berfungsi sebagai pintu air untuk mengatur dan mengalirkan debit air yang masuk dari Sungai Serang menuju Sungai Wulan dan Juwana. Hal ini bertujuan untuk melakukan pencegahan dan pengendalian terhadap debit air untuk meminimalisasi terjadinya banjir desa-desa yang dilewati sungai-sungai tersebut. Adapun Sungai Wulan melintasi Desa Kalirejo, Medini, Sambung, Undaan Kidul, Undaan Tengah, Undaan Lor, dan Desa Wates dan mengalir ke Kabupaten Demak. Sedangkan Sungai Juwana mengalir ke Desa Wonosoco, Berugenjang, Terangmas, Kutuk, dan menuju Kabupaten Pati.

Adapun luas total wilayah Desa Kalirejo yaitu 343,130 hektar. Luas total wilayah tersebut terbagi menjadi dua wilayah, yaitu luas areal lahan sawah dan luas areal lahan kering (pemukiman). Luas areal lahan sawah yaitu 241,401 hektar. Sedangkan luas areal lahan kering yaitu 65,59 hektar yang terdiri dari luas pekarangan/bangunan (33,25 hektar), dan lain-lain (32,34 hektar). Lahan persawahan ditanami dengan tanaman padi dan hortikultura. Tanaman padi ditanam pada musim tanam I (September) dan musim tanam II (Januari). Sedangkan tanaman hortikultura ditanam pada musim tanam III (Mei)

Kondisi Sosial Desa Wonosoco

Sebagian besar penduduk Desa Wonosoco merupakan penduduk asli wilayah tersebut. Mereka tinggal di desa secara turun temurun dari orangtuanya. Jumlah total penduduk Desa Wonosoco yaitu 1138 orang yang terdiri atas

laki-Dari sektor pendidikan, sebagian besar penduduk Desa Wonosoco menyelesaikan pendidikan formal pada tingkat Sekolah Dasar (SD) berjumlah 446 orang. Kemudian tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) berjumlah 190 orang, tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) berjumlah 89 orang, dan Perguruan Tinggi (PT) sebanyak 23 orang. Secara keseluruhan sebagian besar penduduk Desa Wonosoco menyelesaikan pendidikannya di tingkat Sekolah Dasar (SD). Hal ini disebabkan pada masa mereka, pendidikan sangat sulit dijangkau dari segi lokasi dan finansial serta belum menjadi prioritas bagi masyarakat seperti era sekarang.

Dari sektor agama, sebagian besar penduduk Desa Wonosoco beragama Islam dengan jumlah 1134 orang. Desa Wonosoco memiliki satu masjid besar dan

1

Data Monografi Desa Wonosoco Februari 2016 2

Data Monografi Desa Kalirejo Februari 2016 3

(37)

25

dua musholla yang menjadi pusat kegiatan keagamaan masyarakat. Hubungan kekerabatan sangat kuat terjalin antar penduduk karena banyak diantara mereka masih memiliki hubungan keluarga satu sama lain. Suasana gotong royong dan kekeluargaan sangat terasa di Desa Wonosoco dengan seringnya acara pengajian rutin yang diadakan oleh masyarakat Rukun Tetangga (RT). Acara Tahlilan dan

Yasinan juga menjadi sarana bagi masyarakat untuk berkumpul dan bersilaturahim.

Secara administratif, Desa Wonosoco terdiri atas empat Rukun Tetangga (RT) dan satu Rukun Warga (RW). Desa Wonosoco memiliki satu Sekolah Dasar (SD) yang menjadi sekolah satu-satunya di desa. Kemudian Desa Wonosoco memiliki bumi perkemahan yang sering digunakan sebagai tempat berkemah siswa-siswi baik sekolah-sekolah dari Kudus maupun luar Kudus. Salah satu keunggulan lain adalah dijadikannya Desa Wonosoco menjadi Rintisan Desa Wisata yang didanai pemerintah melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Tempat-tempat wisata yang bisa dikunjungi, diantaranya Sendang Dewot, Sumber Air Sendang Dewot, Punden Ki Pakis Aji, Goa Wewe, Goa Sura Dipo, Goa Keraton, dan Goa Batu Cantik.

Desa Kalirejo

Sebagian besar penduduk Desa Kalirejo merupakan penduduk asli wilayah tersebut. Mereka tinggal di desa secara turun temurun dari orangtuanya. Jumlah total penduduk Desa Kalirejo yaitu 7003 orang yang terdiri atas laki-laki yaitu 3378 orang dan perempuan yaitu 3625 orang.2 Komposisi penduduk didominasi oleh struktur umur muda yaitu kelompok umur 30-39 tahun dengan jumlah 965 orang. Kemudian disusul kelompok umur 15-19 tahun dengan jumlah 836 orang, kelompok umur 20-24 tahun dengan jumlah 827 orang dan kelompok umur 25-29 tahun dengan jumlah 735orang.

Dari sektor pendidikan, sebagian besar penduduk Desa Kalirejo menyelesaikan pendidikan formal pada tingkat Menengah Pertama (SMP/SLTP) berjumlah 1280 orang. Kemudian tingkat Sekolah Dasar (SD) berjumlah 809 orang, belum tamat Sekolah Dasar (SD) berjumlah 591 orang, dan tingkat Menengah Atas (SMA) sebanyak 580 orang. Secara keseluruhan dapat dilihat bahwa penduduk Desa Kalirejo memiliki tingkat pendidikan rata-rata Sekolah Menengah Pertama (SMP/SLTP) ke atas.

Dari sektor agama, kondisi umat beragama di Desa Kalirejo lebih beragam. Sebagian besar penduduk Desa Kalirejo beragama Islam dengan jumlah 6772 orang. Kemudian penduduk beragama Budha berjumlah 110 orang dan Kristen Protestan berjumlah 66 orang. Meskipun hidup dengan kondisi umat beragama yang lebih beragam namun kerukunan dan toleransi terjaga dengan baik. Hubungan kekerabatan sangat kuat terjalin antar penduduk karena banyak diantara mereka masih memiliki hubungan keluarga satu sama lain. Suasana gotong royong dan kekeluargaan juga dapat dirasakan karena tradisi keagamaan yang masih melekat dengan kuat. Acara Tahlilan dan Yasinan merupakan salah satu sarana bagi masyarakat untuk berkumpul dan bersilaturahim antar lingkungan tetangga yang berdekatan.

2

(38)

Kondisi Ekonomi Desa Wonosoco

Sebagian besar penduduk Desa Wonosoco mempunyai mata pencaharian utama di sektor pertanian. Mata pencaharian penduduk dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu on farm, off farm, dan non farm. Penduduk yang memiliki mata pencaharian pada kelompok on farm berjumlah 342 orang. Penduduk yang memiliki mata pencaharian pada kelompok off farm berjumlah 361 orang. Sedangkan penduduk yang memiliki mata pencaharian pada kelompok non farm

berjumlah 240 orang.

Sektor pertanian (on farm dan off farm) menjadi sektor yang menyerap tenaga kerja terbesar di Desa Wonosoco dibandingkan sektor non farm. Sektor pertanian menjadi sektor utama dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari penduduk Desa Wonosoco. Ketergantungan penduduk Desa Wonosoco terhadap sektor pertanian menjadi rentan apabila krisis banjir datang menyerang sumber nafkah mereka. Hal ini dikarenakan keberadaan lahan pertanian menjadi sumber utama penghasilan masyarakat Desa Wonosoco. Akses penduduk desa terhadap sumber nafkah yang lain juga tidak mudah karena faktor lokasi, finansial, dan ketrampilan yang rendah.

Desa Kalirejo

Sebagian besar penduduk Desa Kalirejo mempunyai mata pencaharian utama di sektor pertanian. Mata pencaharian penduduk dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu on farm, off farm, dan non farm. Penduduk yang memiliki mata pencaharian pada kelompok on farm berjumlah 720 orang. Penduduk yang memiliki mata pencaharian pada kelompok off farm berjumlah 1560 orang. Sedangkan penduduk yang memiliki mata pencaharian pada kelompok non farm

berjumlah 3577 orang.

Letak desa yang berada di sepanjang jalan Kudus-Purwodadi yang merupakan jalur jalan lintas kota menyebabkan akses yang lebih mudah terhadap sumber-sumber nafkah lain di luar sektor pertanian. Penduduk Desa Kalirejo memiliki mata pencaharian yang lebih beragam. Sektor non farm menyerap tenaga kerja lebih tinggi dibandingkan sektor on farm dan off farm. Sektor non farm yang mendominasi mata pencaharian penduduk Desa Kalirejo, diantaranya buruh bangunan (701 orang), buruh industri (695 orang), dan pedagang (470 orang).

(39)

27

Ikhtisar

Desa Wonosoco merupakan desa yang termasuk paling sering terendam banjir di Kecamatan Undaan. Posisi desa terletak di bawah Pegunungan Kendeng dan dilewati Sungai Landa yang menjadi sumber pengairan sawah di Desa Wonosoco. Sebagian besar penduduk desa bermata pencaharian sebagai petani. Pertanian sudah menjadi pekerjaan turun temurun yang diwariskan oleh keluarga dengan cara membagi-bagikan lahan sawah kepada anak cucu mereka. Hubungan kekerabatan antar warga terlihat sangat kuat. Hal ini dikarenakan antara satu penduduk dengan penduduk yang lain masih memiliki hubungan saudara sehingga nilai-nilai kekeluargaan di desa masih terjalin kuat.

Desa Kalirejo merupakan desa yang termasuk paling jarang terendam banjir di Kecamatan Undaan. Desa Kalirejo termasuk desa yang memiliki kontur permukaan tanah paling tinggi dibandingkan desa-desa lain di Kecamatan Undaan. Posisi desa terletak di sepanjang jalan lintas Kabupaten Kudus-Purwodadi sehingga merupakan jalur yang ramai dengan lalu lintas kendaraan. Keberadaan Pasar Kalirejo sebagai pusat ekonomi desa ikut memengaruhi strategi nafkah penduduk desa untuk mendukung aktifitas nafkahnya. Penduduk desa memiliki pekerjaan yang bervariasi pada sektor on farm, off farm, dan non farm.

Mayoritas penduduk desa bermata pencaharian sebagai petani. Namun secara total keseluruhan sektor non farm lebih banyak menyerap tenaga kerja dibandingkan sektor on farm dan off farm. Hal ini dipengaruhi kondisi desa yang semiurban

(40)
(41)

STRUKTUR NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI

Bab ini menjelaskan mengenai struktur nafkah rumahtangga petani di wilayah banjir (Desa Wonosoco) dan wilayah tidak banjir (Desa Kalirejo) yang terdiri atas struktur pendapatan, pengeluaran, dan saving capacity. Struktur pendapatan digambarkan melalui grafik yang dibagi ke dalam tiga lapisan, yaitu lapisan bawah, lapisan menengah, dan lapisan atas berdasarkan status sosial rumahtangga. Ketiga lapisan menggambarkan pendapatan rumahtangga petani dari sektor on farm, off farm, dan non farm.

Pendahuluan

Dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, rumahtangga memanfaatkan berbagai sumber nafkah untuk memperoleh pendapatan bagi rumahtangganya. Menurut data Sensus Pertanian yang dilakukan BPS (2013), jumlah rumahtangga petani di Indonesia mencapai 63,5 juta rumahtangga pada tahun 2013. Rumahtangga tersebut terdiri atas berbagai sektor pertanian dalam arti luas, diantaranya tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, perikanan, kehutanan, dan jasa pertanian.

Sebagian besar rumahtangga di pedesaan memiliki prioritas sumber nafkah pada sektor on farm atau pertanian. Hal ini dipengaruhi karakteristik pedesaan di Indonesia hingga sekarang memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap lahan sebagai sumber nafkah utama rumahtangga. Ellis (2000) menyatakan bahwa tiga klasifikasi sumber nafkah mengacu pada tiga sektor, yaitu sektor farm income, sektor off farm income, dan sektor non farm income. Sektor farm income

merupakan sektor yang memberikan penghasilan bagi rumahtangga dari hasil budidaya pertanian yang dilakukan rumahtangga di lahan milik mereka sendiri. Sektor off farm income merupakan sektor yang memberikan penghasilan bagi rumahtangga dari hasil menjadi buruh tenaga kerja pertanian di lahan bukan milik mereka sendiri. Sedangkan sektor non farm income merupakan sektor yang memberikan penghasilan bagi rumahtangga di luar sektor pertanian. Pada bab ini dijelaskan mengenai sumber-sumber nafkah rumahtangga berdasarkan Ellis (2000) dengan menganalisis struktur pendapatan, struktur pengeluaran, dan struktur saving capacity rumahtangga petani di wilayah banjir dan tidak banjir. Rumahtangga dibagi menjadi tiga lapisan menurut pendapatan, yaitu lapisan bawah, lapisan menengah, dan lapisan atas.

Struktur Pendapatan Rumahtangga Petani di Kedua Wilayah

Pendapatan rumahtangga petani di wilayah banjir diperoleh dari sektor on farm dan non farm. Adapun pekerjaan sektor off farm hanya dilakukan pada waktu tertentu oleh hampir semua petani, yaitu pada musim tanam dan musim panen. Selain itu lebih dari 90 persen rumahtangga petani memiliki hak kepemilikan atas lahan pertanian mereka sendiri.

(42)

lapisan yang terdiri dari lapisan bawah, lapisan menengah, dan lapisan bawah. Secara keseluruhan, sektor on farm mendominasi pendapatan rumahtangga petani di wilayah tidak banjir secara signifikan. Berikut pemaparan struktur pendapatan antara rumahtangga petani di wilayah banjir dan tidak banjir.

Gambar 4 Struktur nafkah rumahtangga petani rata-rata per tahun menurut lapisan di wilayah banjir, Desa Wonosoco tahun 2014-2015

Berdasarkan Gambar 4, secara rata-rata sektor on farm merupakan sektor utama sumber pendapatan rumahtangga petani di wilayah banjir. Sektor on farm

mendominasi hampir di seluruh lapisan, kecuali lapisan bawah. Hal ini dikarenakan sektor on farm pada lapisan bawah tidak mampu mendukung aktifitas nafkah rumahtangga sehingga banyak rumahtangga beralih memanfaatkan sektor

non farm sebagai sumber pendapatan. Berbeda dengan lapisan menengah dan atas, sektor on farm masih menjadi prioritas sumber nafkah rumahtangga petani karena dinilai masih mampu mendukung aktifitas nafkah rumahtangga petani.

Rp5 Rp10 Rp15 Rp20 Rp25 Rp30 Rp35 Rp40 Rp45

Bawah Menengah Atas Rata-rata

Rp8,1

Rp23,9 Rp27,1

Rp19,7

Rp3 Rp2

Rp5

Rp13

Rp4

Rp14

Rp11

x

R

p1.

000

.000

/

T

ah

un

(43)

31

Gambar 5 Struktur nafkah rumahtangga petani rata-rata per tahun menurut lapisan di wilayah tidak banjir, Desa Kalirejo tahun 2014-2015 Berdasarkan Gambar 5, sektor on farm lebih mendominasi dibandingkan sektor off farrm dan non farm. Pendapatan dari sektor on farm di wilayah tidak banjir tergolong tinggi. Komoditas tanaman yang dibudidayakan di wilayah tidak banjir lebih beragam dibandingkan komoditas tanaman yang dibudidayakan di wilayah banjir. Komoditas tanaman yang dibudidayakan di wilayah tidak banjir, diantaranya tanaman padi, tanaman hortikultura (melon, semangka, cabe), dan tanaman ladang lainnya. Sedangkan komoditas tanaman di wilayah banjir cenderung hanya membudidayakan tanaman padi. Pada lapisan bawah diketahui bahwa pendapatan rata-rata rumahtangga petani dari sektor on farm dan non farm

masing-masing yaitu Rp 24,1 juta dan Rp 9 juta. Pada lapisan menengah diketahui pendapatan rumahtangga petani dari sektor on farm, off farm dan non farm

masing-masing yaitu Rp 38,5 juta, Rp 5 juta dan Rp 20 juta. Sedangkan pada lapisan atas diketahui pendapatan ruumahtangga petani dari sektor on farm dan

(44)

Gambar 6 Komposisi pendapatan rata-rata rumahtangga petani menurut lapisan di wilayah banjir, Desa Wonosoco tahun 2014-2015

Secara rata-rata, hampir 60 persen pendapatan rumahtangga petani di wilayah banjir berasal dari sektor on farm. Rumahtangga petani sangatbergantung pada lahan pertanian mereka. Banjir yang datang dalam kurun waktu lama menyebabkan gagal panen yang berpengaruh signifikan pada penurunan tingkat pendapatan rumahtangga petani. Oleh karena itu, pada lapisan bawah rumahtangga beradaptasi dengan beralih pada sektor non farm untuk mempertahankan aktifitas nafkahnya pada saat krisis banjir.

Gambar 7 Komposisi pendapatan rata-rata rumahtangga petani menurut lapisan di wilayah tidak banjir, Desa Kalirejo tahun 2014-2015

Gambar

Gambar 1 Kerangka konseptual pendekatan penilaian kerentanan partisipatif berbasis komunitas dan keterlibatan stakeholder (Smit & Wandel 2006)
Gambar 2 Kerangka pemikiran
Tabel 1 Definisi operasional variabel penelitian
Tabel 2 Teknik pengumpulan data
+7

Referensi

Dokumen terkait

Para  peserta  tinggal  menunggu  pengumuman  kelulusan  resmi  yang  ditetapkan  oleh  panitia  pusat. 

Melalui pendekatan sosiologi sastra dapat diketahui nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam novel 9 Matahari karya Adenita sehingga memberikan inspirasi bagi

Hasil penelitian ini menjelaskan hasil wawancara dari beberapa narasumber yang menjadi objek penelitian. Pendapat dalam Implementasi Kurikulum 2013 Pada Mata

Penelitian ini dilakukan dalam 3 proses, yaitu proses pengukusan umbi bit yang akan didapatkan puree bit, proses ekstraksi pigmen bunga telang dan aplikasi pada

Based on the test results and discussions of the influence of independent commissioners percentage (IC), audit committee size (AC), the meetings’ frequency of commissioners

Tahap amalan kepimpinan instruksional guru besar menurut persepsi guru menunjukkan sub dimensi memastikan persekitaran pembelajaran yang selamat dan teratur adalah

Penanda genetik env SU dengan metode RT- PCR atau PCR dapat digunakan untuk mendeteksi dan mengidentifikasi sapi Bali yang dicurigai terin- feksi penyakit

Beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2005 tentang Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia Komisi Pemberantasan Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia