• Tidak ada hasil yang ditemukan

SUBKULTUR MUSIK INDIE DI INDONESIA

2. Subkultur Musik Indie 51

2.1 Indie Record Label 52

Ketika sebagian (kecil) masyarakat, terutama anak muda, cenderung untuk menolak musik-musik yang ditawarkan oleh major label, maka itu menjadi awal mula kemunculan indie label. Veronika Kalmar dalam bukunya Label Launch, menulis bab

berjudul “A Brief History of Indies” yang menyoroti perkembangan indie label dari era ke era53. Perkembangan indie label ditandai dengan bersatunya musik beraliran R&B54

dengan musik hillbilly. Musik hillbilly adalah musik yang mengacu pada musik folk khas suku Appalachia yang berasal dari Irlandia. Musik hillbilly kemudian masuk ke Amerika kemudian berkembang menjadi musik jazz, blues, dan R&B.

Awal 1950, musik hillbilly bertemu musik blues kemudian membentuk suatu sound yang digilai oleh generasi muda. Sound itu adalah Rock n Roll. Rock n Roll menjadi pembangkit adrenalin sekaligus menimbulkan kekhawatiran bagi para orangtua di Amerika. Kegembiraan akan Rock n Roll tersebut akhirnya memunculkan sosok Elvis Presley55, sekaligus goyang pinggulnya yang khas. Berkat talenta yang dimiliki dan

kegemilangannya, Elvis yang pada awalnya bergabung dengan Sun Records berhasil membawa Sun Records berkembang dari studio menjadi perusahaan rekaman. Sun

52

Sub bab ini dirangkum dari Rez, Idhar. 2008. Music Records Indie Label Membuat Album Independent. Bandung. Mizan dan Szatmary, David P. 2000. Rockin‟ in Time A Social History of Rock-and- Roll. Pine Tree Composition, Inc. New Jersey

53

Rez, Idhar. 2008. Music Records Indie Label Membuat Album Independent. Bandung. Mizan. Hlm 78 54

R&B ditulis juga RnB, merupakan singkatan dari rhythm and blues) adalah genre musik populer yang menggabungkan jazz, gospel, dan blues, aliran jenis ini pertama kali diperkenalkan oleh pemusik Afrika-Amerika

55

Elvis Preley adalah salah satu icon Rock n Roll pada saat itu. Sebelum menjadi penyanyi, Elvis adalah seorang sopir truk. Elvis adalah penyanyi kulit pulih yang berasal dari bagian selatan Amerika. Karena

suaranya yang khas kulit hitam, maka banyak orang menyebutnya “penyanyi kulit putih dengan nuansa

Records juga lebih memusatkan untuk memproduksi musik R&B. Namun, di tengah kegemilangan Elvis lewat lagu-lagunya, Sun Records justru menjual Elvis kepada perusahaan rekaman besar, RCA Records. Elvis dijual karena pada saat itu Sun Records

membutuhkan dana untuk mengembangkan perusahaan rekaman.

Tahun 1962 sampai 1966 adalah masa kejayaan indie label. Indie label sebagai satu kesatuan berhasil mengalahkan major label. Indie label berhasil mencetak lebih dari sepuluh lagu hits dibanding dengan major label. Indie label yang saat itu berada dipuncak adalah Motown Records yang didirikan oleh Barry Gordy tahun 1959. Motown Records

meraih sukses lewat beberapa grup band yang berhasil mencetak hits tangga lagu.

Motown Records juga membentuk tim penulis lagu untuk mencetak lagu-lagu hits. Namun, kehancuran Motown Records diawali dengan hengkangnya salah satu dari tim penulis lagu tersebut. Karena terus menerus mengalami kebangkrutan, akhirnya Gordy menjual Motown Records kepada major labelMCA Records pada tahun 1988.

Bagian penting lain dari sejarah indie label adalah berdirinya sebuah indie label yang didirikan oleh Chris Blackwell tahun 1961 di Pulau Jamaika. Indie label tersebut bernama Island Records. Pertama kali berdiri, Island Records mengkhususkan memproduksi musik-musik khas Jamaika seperti reggae, dan ska. Namun pada tahun 1962, setelah cabang Island Records dibuka di Inggris, Island Records juga turut memproduksi musik bergenre rock tanpa meninggalkan produksi musik khas Jamaikanya.

Tahun 1970-an adalah tahun di mana indie label mulai meledak hebat. Sistem distribusi yang independen mulai menciptakan ruang bagi genre musik lain yang non popular agar dapat dinikmati masyarakat luas. Indie label juga merekam dan

menggandakan musik hanya melalui tape recorder biasa untuk selanjutnya mendistribusikan melalui pos.

Rough Trade Records adalah salah satu indie label berpengaruh pada tahun 1970-1980-an. Rough Trade Records memulai usaha dalam bidang musik dengan menjadi toko rekaman di London tahun 1976. Kemudian tahun 1978 toko musik tersebut berubah menjadi indie records label. Rough Trade Record memproduksi musik bergenre reggae

dan punk. Awal kebangkrutan Rough Trade Record muncul ketika jaringan distribusinya goyah. Ketika jaringan distribusinya goyah, label pun terancam. Namun kegoyahan dalam distribusi segera diatasi dengan memproduksi genre musik baru yang lebih variatif. Penulis menduga bahwa meskipun Rough Trade Record adalah sebuah indie label, namun label ini beroperasi menganut sistem kapitalis karena Rough Trade Record

memproduksi genre musik yang lebih bervariatif untuk memenuhi selera masyarakat. Jika label dapat memenuhi selera masyarakat maka label tidak gulung tikar. Meskipun berproduksi untuk memenuhi selera masyarakat, namun peneliti menduga terdapat perbedaan dalam memproduksi karya. Indie label biasanya tidak terlalu mengatur musisinya dalam membuat lagu, dan tidak mentargetkan lagu tersebut harus laku dalam jumlah tertentu.

Meskipun studio rekaman semakin berkembang, namun bukan berarti para musisi pada waktu itu tidak tersandung oleh berbagai masalah seputar dunia rekaman. Masalah paling mendasar adalah mahalnya biaya sewa studio. Ditambah lagi suasana studio rekaman tak ubahnya seperti suasana kantor formal. Para operator mempunyai jam kerja standar jam kantor. Adanya jam kantor membuat orang-orang yang bekerja di studio merasa tidak nyaman. Apalagi jika harus merekam lagu di studio malam hari. Karena

mengikuti standart jam kantor, maka terpaksa rekaman lagu dilakukan pada keesokan harinya. Hal tersebut membuat pekerja studio lebih mirip pegawai kantoran.

Hingga muncullah grup band legendaris The Beatles tahun 1960-an. Sejak The Beatles muncul, konsep studio rekaman berubah. Jam kantor mulai tidak diberlakukan. Apalagi sedikit demi sedikit komputer dan digitalisasi mulai masuk dalam dunia rekaman membuat para musisi bersemangat dalam berkreasi. Dengan sistem komputerisasi semua terasa begitu mudah. Namun, sistem komputerisasi yang diidam-idamkan justru membawa masalah baru. Masalah itu tidak lain karena semakin mahalnya biaya sewa studio rekaman. Semakin canggih sebuah studio, maka akan semakin mahal harga sewanya. Oleh karena itu, tidak semua musisi atau band mampu membayar sewa studio tersebut. Apalagi bagi kalangan grup band-grup band yang masih merintis karir. Grup band-grup band tersebut bahkan harus patungan untuk agar karya mereka dapat direkam secara memadai.

Masalah tingginya harga sewa studio rekaman terus berlanjut sampai akhir tahun 1990-an. Selama masa itu musisi atau band yang berasal dari kelas menengah ke bawah merasa terbatasi dalam berkarya. Lalu apa jalan keluarnya? Awal tahun 2000-an, Home studio atau home recording menjadi alternatif bagi musisi atau grup band-grup band yang ingin merekam karya mereka dengan biaya lebih murah dibanding harga sewa studio rekaman. Home studio atau home recording mulai marak ketika software dan hardware

komputer semakin memungkinkan untuk merekam karya di dalam komputernya sendiri.