• Tidak ada hasil yang ditemukan

SUBKULTUR MUSIK INDIEPOP VERSI BANGKUTAMAN

3. Bangkutaman : DIY ( Do It Yourself ) dan RCA ( Root Character Attitude )

3.2 Konsep RCA ( Root, Character, Attitude )

3.2.1 RCA dalam bermusik

Indiepop sebagai genre musik yang diusung oleh Bangkutaman, merupakan genre musik yang masih asing di telinga penikmat musik di Yogyakarta pada awal tahun 1999. Hal tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi Bangkutaman dalam memperkenalkan genre musik indiepop di kalangan anak muda. Beruntung, dunia subkultur musik indie adalah dunia yang kental dengan suasana persaudaraan. Di mana genre satu dengan yang

lain saling mendukung dengan caranya masing-masing. Orang-orang di dalamnya pun memiliki cukup pengetahuan tentang dunia musik.

Root atau akar dari kegiatan bermusik Bangkutaman adalah indiepop lebih khusus lagi indiepop yang dimainkan oleh Stone Roses. Secara singkat, Stone Roses adalah salah satu band perintis genre indiepop, sekaligus pendiri gerakan Madchester. Band ini mulai

aktif sekitar tahun 80‟an sampai 90‟an. Karena kegaekkannya dalam bermusik, maka

ketika indiepop disebut, yang pertama kali terlintas adalah Stone Roses. Begitu juga sebaliknya. Bangkutaman rupanya mempunyai ikatan emosi yang kuat dengan Stone Roses. Selain mereka sama-sama memainkan musik bergenre indiepop, Stone Roses

rupanya menjadi inspirator bagi Bangkutaman. Bahkan salah satu personil Bangkutaman, Acum, sangat mengidolakan Ian Brown, salah satu personil Stone Roses. Maka ketika Acum mendapat kesempatan mewawancarai Ian Brown, hal tersebut bagai sebuah mimpi yang menjadi kenyataan. Berikut ungkapan Acum dalam akun facebooknya

14 agutus 2010

here are misc pics from my college hero, after 15 years,i finally met Him in person. Berawal dari konser. Saya ikuti konsernya, jakarta dan bali, saya beruntung dapat setlistnya di dua kota itu. Thanks satria for jakarta set list. Di bali, i was so lucky merasakan momen dimana saya menjadi bagian dari konser, atau gig lebih tepatnya. Malam itu saya membawa marakas dari jakarta. Saya seperti ada firasat jika ini harus saya bawa, in case Mr. Ian melihat saya, jika saya beruntung, saya bisa on stage bareng [which i know it was a dream], tapi malam itu saya mendapat kejutan kecil dimana begitu "I wanna be adore" set pembuka dimainkan, ia melihat marakas saya, dan ia mengambilnya dan memainkannya selama 1 menit, dan diberikannya kembali kepada saya sambil berkata "Yeah, keep playing that" , dan selebihnya sudah ketebak: saya tidak berhenti melepaskan ayunan marakas saya sampai lagu terakhir, "fools gold". Esok paginya Ian brown menerima saya di sebuah bar di pinggir kolam, ia meminta rose latte dan duduk tepat disamping saya. Saya memegang bir dan meneguknya. Sesi obrolan kecil mengalun sebelum akhirnya kita benar-benar larut dalam wawancara yang santai. Dari soal east-west sampai masalah john squire. setelah wawancara, obrolan humble bergulir, ia bahkan menawarkan saya rokok dan menyalakan apinya buat saya. IAN BROWN MENAWARKAN SAYA ROKOK DAN MENYALAKAN API UNTUK SAYA. for the moment I was thinkin' apa yang paling berharga yang saya bakal ingat seumur hidup berlangsung saat ini. Tidak lupa, beberapa tanda tangan sebagai penutup

wawancara menjadi sesi yang paling menyenangkan. Saya bak anak TK yang membiarkan Ian mengembara dengan spidolnya di atas poster, buku, majalah, piringan hitam saya dan alvin, kasetnya Rio, bahkan tamborin yang saya bawa semalam tak luputnya.

Tuhan tahu apa yang saya inginkan dalam hidup. Ini belum lah usai, beberapa daftar masih panjang. Dan harapan akan terus ada meski saya santai menjalaninya148

Rupanya, tidak hanya band-band subkultur indiepop yang mengenal Stone Roses. Secara tidak langsung, Stone Roseslah yang menjadi perekat antara Bangkutaman dengan band-band subkultur musik indie yang lain.

Karena begitu kagum dengan Stone Roses, maka tidak jarang Bangkutaman

meramu musik mereka sehingga bercita rasa Stone Roses. Disinilah kajian poskolonial berperan. Penjajahan yang pada akhirnya sampai kepada penjajahan secara kultural membuat kultur Indonesia sedemikian hybrid. Kehibridan tersebut berfusi sampai pada taraf dalam bahasa dan konsep hidup, termasuk konsep bermusik. Sehingga kehibridan yang berfusi tersebut saling berhadapan dan bersama-sama dalam berelasi secara dialogis. Konteks dalam pembahasan sub bab ini adalah indiepop sebagai genre musik yang bukan berasal dari Indonesia berhasil masuk dan merasuki anak-anak muda Indonesia sehingga terjadi relasi antara budaya Indonesia sebagai budaya Timur dengan musik indiepop sebagai budaya budaya Barat. Proses hibriditas terjadi ketika

Bangkutaman mencampurkan indiepop ala Stone Roses dengan indiepop ala

Bangkutaman. Indiepop ala Bangkutaman sendiri juga bukan merupakan indiepop yang murni milik Bangkutaman, namun Bangkutaman telah terinfluence dari beberapa musisi indiepop yang sebagian gaya dan bebunyiannya kemudian diadopsi menjadi musik indiepop ala Bangkutaman. Ketika musik indiepop ala Stone Roses dengan indiepop ala

148

Bangkutaman telah bercampur maka terjadi bentuk indiepop yang baru yaitu indiepop yang hibrid antara Stone Roses dengan Bangkutaman. Jadi, musik Bangkutaman yang sekarang ini diperdengarkan kepada para pecinta indiepop adalah indiepop dari berbagai band indiepop.

Sebagai root, Stone Roses (Barat) dilihat sebagai asal-usul yang lebih original. Namun, ketika Bangkutaman sedikit demi sedikit menghilangkan unsur Stone Roses

dalam musik mereka dan lebih meracik indiepop versi Bangkutaman, maka Bangkutaman

telah melakukan negosiasi terhadap musik mereka sendiri. Selain itu, pemahaman akan

root indiepop Bangkutaman tidak berhenti pada Stone Roses sebagai band yang berpengaruh dalam musik Bangkutaman. Lebih dari itu, Bangkutaman memiliki pengetahuan dibalik musik indiepop sehingga musik yang dimunculkan adalah musik seperti Bangkutaman saat ini. Apa yang telah Bangkutaman racik itulah yang menjadi karakter musik khas Bangkutaman. Meskipun pada akhirnya mereka mencoba

menampakkan musik khas Bangkutaman, namun Stone Roses lekat dengan

Bangkutaman. Pada akhirnya, dalam RCA, yang membedakan antara band subkultur dengan band major label adalah Attitude si musisi. Menurut amatan peneliti, perbedaan

attitude antara musisi major label dengan subkultur musik indie adalah ketika mereka berada di luar panggung. Ketika berada di panggung musisi, atau grup band menjadi fokus perhatian, namun ketika di luar panggung musisi haruslah bersikap seperti orang pada umumnya yang tidak berprofesi sebagai musisi.

Attitude Bangkutaman mereka tampakan ketika mereka bergaul, atau mengobrol dengan temannya. Mereka dapat dengan leluasa bercengkrama dengan teman-temannya layaknya teman yang lama tidak bertemu. Attitude yang Bangkutaman terlihat

ketika mereka tidak merasa sok artis, canggung, atau merasa berbeda karena

Bangkutaman mulai dikenal luas. Karena subkultur berangkat dari sebuah pertemanan yang mengusung satu semangat yang sama, maka keakraban dan kesolitan sistemnya begitu terasa. Hal tersebut jelas berbeda dengan band major label. keakraban di antara mereka memang ada, namun pada akhirnya mereka harus berlomba untuk memenangkan pasar. Dari sinilah aroma persaingan yang ada di band-band major label tidak dirasakan oleh band-band subkultur musik indie.