• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pada tahun 1986 Sjafra mendapat kesempatan

untuk melanjutkan studi dalam bidang Mag-

netotellurric di Universitas Tasmania. Setelah lulus pada tahun 1990 ia melanjutkan program S3 di universitas yang sama. Sjafra menyelesaikan pen- didikannya pada tahun 1992 dan memperoleh gelar Ph.D. dalam bidang Electrical and Poten- tial Field Geophysics. Saat pulang ke Indonesia ia dikontrak oleh Unocal dan Pertamina selama 2 tahun (1994-1995). Ia terlibat dalam proyek- proyek seperti Pengukuran Ketepatan Gravitasi di lapangan panas bumi Gunung Salak, Jawa Barat (1994), Survei Magnetotelluric, TDEM, dan gravi- tasi di daerah prospek Sumatera Utara (1994), dan Survei Magnetotelluric di daerah prospek pa- nas bumi Lumut Balai, Sumatera Selatan (1995).

Tahun 1996 Sjafra diangkat menjadi Kepala Sek- si Prospeksi Panas Bumi di Vulkanologi. Tahun 1999-2001 karirnya meningkat dengan menjabat sebagai Kepala Bidang Penyelidikan Panas Bumi. Selain jabatan struktural, Sjafra memegang be- berapa jabatan penting di departemen, seperti misalnya Manajer proyek Eksplorasi Panas Bumi Indonesia. Dalam kurun waktu 1999-2005 ia ter- libat dalam tidak kurang dari 36 eksplorasi panas bumi.

Menyusul restrukturisasi organisasi pada tahun 2001 Sjafra Dwipa pindah ke Direktorat Inventari- sasi Mineral (DIM). Di sana ia menjabat sebagai Kepala Bidang Penyelidikan Panas Bumi. Setelah sempat menjabat Kepala Bidang Informasi hingga selama 1 tahun (2006-2007), pria yang memiliki

W a r t a G e o l o g i . S e p t e m b e r 0 0 8

hobby olahraga tenis ini menjabat Kepala Bidang Sarana Teknik.

Selain terampil di lapangan ayah dua anak ini juga pakar dalam dunia menulis. Tidak kurang dari 24 makalah ilmiah ditulisnya untuk berbagai kesempatan seminar dalam dan luar negeri. Pe- jabat Badan Geologi yang akan memasuki masa pensiun pada 1 Desember 2008 ini juga sering memberikan bimbingan dan pelatihan bagi para mahasiswa ITB dan UNPAD yang akan menyele- saikan kuliah sarjana dan magisternya.

Hasil wawancara Warta Geologi

Tanya (T): Pak Sjafra lulusan dari AGP juga, ya?

Jawab (Jawab): Iya, saya angkatan tahun 1972. Saya kuliah satu angkatan dengan Pak Bambang Dwiyanto (Kepala Badan Geologi 2006-2008). Juga dengan Pak Hermes Panggabean. Kebetu- lan kalau kita lihat para lulusan AGP dengan karir mereka sekarang, angkatan 1972 itu banyak yang S3-nya, lho.

T: Tentang AGP angkatan 1972 itu saya dengar banyak yang kerja praktek di Ka- rangsambung, ya? Siapa saja?

J: Sebetulnya jumlahnya tidak banyak, terbatas. Sepuluh besar AGP digabung dengan sepuluh besar ITB jurusan Geologi mendapat kesempatan Kerja Praktek di Karang Sambung. Pak Bambang,

Pak Hermes, Pak Mukin (sekarang di TekMIRA), dan saya termasuk di dalamnya.

T: Oh, ya. Bapak memiliki nama panggi- lan Pak Oyong. Bagaimana ceritanya?

J: Sewaktu berumur 5-6 tahun saya gemar ber- main karet dengan peluru batu-batu kecil. Oh, ya zaman itu di Padang tengah berkecamuk pem- berontakan PRRI. Saya dengan teman-teman mencari batu sampai ke Bukit Barisan dekat den- gan daerah pertikaian. Sementara ibu di rumah menunggu dengan cemas. Kok, saya nggak pu- lang-pulang, pikirnya. Saat saya pulang, ibu saya dengan kesal berkata, “Nakal kamu itu kayak nakalnya si Oyong”. Oyong adalah nama remaja yang paling nakal saat itu di lingkungan sekitar saya. Julukan itu terus melekat ke manapun saya pergi. Tahun 1972 waktu kuliah di Bandung, ada teman SMA juga ikut ke Bandung. Jadi saya dipanggil dengan nama itu. Di Paris sewaktu mengikuti kerja sama saya dipanggil juga den- gan nama Oyong, karena ada teman kantor yang sama-sama pergi di sana.

T: Di AGP bapak tamat tahun berapa?

J: Tahun 1976. Setamat AGP saya langsung bekerja di Direktorat Geologi. Sebenarnya saya mendapat beasiswa dari Mobile Oil sewaktu ku- liah di AGP itu. Perusahaan itu datang ke kampus dan mencari mahasiswa yang berprestasi dalam

bidang akademis. Tahun kedua kuliah saya berun- tung mendapat beasiswa dari perusahaan ini.

T: Kenapa memilih kuliah di AGP?

J: Begini. Sebetulnya saat SMA saya tidak mengetahui harus kuliah ke mana. Saya juga ti- dak mengetahui bedanya perguruan tinggi insti- tut, universitas, dan akademi serta istilah-istilah dekan, fakultas, atau apa. Di daerah asal, kami hanya mengenal kedokteran dan pertanian. Itu yang paling populer bagi orang sana. Mengapa sampai kuliah di AGP? Kebetulan om saya yang bekerja di Geologi menyarankan kuliah di AGP. “Udah you masuk ke AGP aja”, katanya. Jadi saya tahun 1972 datang ke Bandung untuk kuliah ge- ologi padahal boro-boro tahu apa itu geologi. Pertama kali kuliah, wah rasanya canggung seka- li. Dari SD sampai SMA saya ‘kan kuliah gabung dengan anak-anak perempuan. Tetapi di AGP ini wah…laki-laki semua. Hahaha…

Dan AGP itu awal-awalnya ‘kan Ikatan Dinas. Ke- mudian menjadi terbuka untuk umum itu sejak tahun 1972. Jadi banyak yang ikatan dinas dari Aceh, Pertamina, atau Sumatera Selatan.

T: Waktu masuk ke Direktorat Geologi bapak masuk ke bidang apa?

J: Kebetulan nilai saya di AGP agak bagus dalam Geofisika. Jadi saya waktu itu masuk ke seksi Geo- fisika dan Eksplorasi Direktorat Geologi.

T: Bagaimana bisa ke Vulkanologi?

J: Terus terang keputusan saya memilih bekerja di Direktorat Geologi itu karena alasan pendidi- kan. Saya dengar kalau bekerja di instansi pemer- intahan bisa disekolahkan lagi. Namun ketika masuk ke Seksi Geofisika dan Eksplorasi, di seksi ini banyak sekali pegawainya dan sistem seniori- tas masih berlaku di sana. Saya pikir, wah kapan saya bisa mendapat kesempatan melanjutkan studi. Jadi saat ada restrukturisasi instansi pada tahun 1979 saya memilih bergabung dengan Vul- kanologi di seksi Panas Bumi. Kebetulan saat itu adalah zaman Repelita dan vulkanologi ini belum populer. Yang populer saat itu adalah eksplorasi dan pemetaan. Sementara di vulkanologi waktu itu hanya melakukan pengamatan-pengamatan gunung api saja. Namun kebetulan di sana ada panas buminya. Saya bergabung dulu dengan Laboratorium Gunung Api.

T: Pendidikan bapak selanjutnya?

J: Di Australia, di Universitas Tasmania tahun 1986. Setelah sepuluh tahun bekerja di Direktorat Geologi, saya mendapat kesempatan melanjutkan studi. Tahun 1988 selesai kuliah di Australia saya pulang kembali ke tanah air. Saat itu disarankan oleh Pak Wimpy untuk kuliah selanjutnya dalam bidang Magnetotelluric di Australia. Tapi kata pak

Wimpy, bidang ini sangat sulit. “You harus beker- ja keras”, katanya. Ilmu ini belum banyak orang yang mempelajarinya. Metode Magnetotelluric ini dianggap yang paling representatif dalam mendelianasi lapangan panas bumi. Ahli di bi- dang ini saat ini tidak banyak, ada Pak Yogi di LIPI dan Pak Grandis di ITB. Tahun 1992 saat selesai kuliah saat dikontrak oleh Unocal selama 2 tahun. Unocal waktu itu masih di bawah Pertamina.

T: Bisa diceritakan mengenai Potensi Pa- nas Bumi Indonesia, pak?

J: Indonesia memiliki 257 lokasi panas bumi dengan 53 dari jumlah itu merupakan lokasi non vulkanik dan 200 lebih sisanya merupakan hasil vulkanik. Bangsa Indonesia seharusnya bersyukur. Selain bencana geologi yang memang harus kita terima, Indonesia ini kaya dengan panas bumi. Sebanyak 40% cadangan panas bumi dunia ada di Indonesia. Ya, tetapi sayangnya, dari 257 lokasi yang ada baru 7 saja yang dimanfaatkan. Dari 257 lokasi panas bumi ini kita perhitungkan total energi yang akan kita peroleh sebesar 27 GWe. Namun yang kita peroleh baru 1.042 MWe (seki- tar 3,8%). Road Map sudah dibuat sampai tahun 2020. Kita sudah membuat keinginan-keinginan kita dalam panas bumi itu seperti apa serta den- gan kendala-kendalanya. Dan kita sudah melaku- kan analisis untuk mencari pemecahan-pemeca- hannya. Dan pemecahan-pemecahannya sudah kita jadualkan juga. Kita sudah membuat yang namanya Road Map Panas Bumi. Road map ini berkembang dan diharapkan tahun 2025 itu tar- get pembangkit listrik panas bumi ini 9.500 Mwe. Tahun 2004 waktu kami buat Road Map ini kita baru memperoleh 800 MWe. Dan waktu itu kita harapkan 4 tahun ke depan, yaitu tahun 2008 kita memperoleh sekitar 2.000 MWe. Kenyataan- nya sekarang kita baru bisa mengembangkan se- banyak 1.042 MWe. Artinya kita tekor 958 MWe. Konsekuensinya apa? Pada tahun 2012 nanti ha- rus dikejar kekurangannya.

W a r t a G e o l o g i . S e p t e m b e r 0 0 8

Dari aspek hukum, para pengembang merasa kebijakan-kebijakan kita berubah-ubah. Karena aturannya selalu berdasarkan Keppres-keppres. Setiap ganti presiden ganti juga keputusannya. Sementara itu dalam panas bumi, berlaku padat modal. Para pengembang itu kan pinjam uang ke Bank-Bank nasional. Artinya, karena mereka padat modal dan jangka waktunya panjang saat mereka melakukan start usaha, untuk memenuhi janji pembayaran utang mereka ke Bank, mere- ka harus memiliki jaminan tidak ada perubahan dalam kebijakan-kibijakan pemerintah. Mereka membutuhkan kebijakan-kebijakan yang lebih kuat semacam Undang-Undang. Makanya kami sebagai penangungjawab di bidang Panas Bumi cukup disibukkan juga dengan beberapa hal, yaitu selain mempersiapkan eksplorasi juga mem- persiapkan proses Undang-Undang Panas Bumi, menyiapkan blue print Panas Bumi, dan Road Map Panas Bumi.

T: Posisi Pemerintah dalam hal bidang Panas Bumi ini sampai sejauh mana? J: Idealnya, Pemerintah sudah bisa menawarkan setengah jadi. Maksud saya, Pemerintah sudah bisa menjamin bahwa di lapangan A ini potensi panas buminya sekian. Pemerintah sudah men- getahui potensinya sekian itu artinya di sana su- dah ada sumur eksplorasi. Tetapi kendalanya ‘kan pendanaan kita. Kita sangat terbatas dalam hal pendanaan. Sehingga diharapkan kegiatan-ke- giatan itu sebagian besar dikerjakan oleh sektor swasta. Jadi Pemerintah menyiapkan data-data awal berupa data geologi permukaan, geokimia, dan geofisika. Dan dalam Undang-Undang, me-

mang dikatakan bahwa Pemerintah Pusat dapat melakukan kegiatan eksplorasi. Namun hal itu tergantung kemampuan keuangan Pemerintah. Sementara swasta, kalau kita tanyakan kepada mereka, mereka menjawab OK. Semakin lengkap dan akurat data awal kita mereka tentu akan se- makin tertarik. Artinya, disini kita sharing risk. Itu yang diharapkan oleh swasta.

T: Apakah pernah terjadi suatu lokasi di daerah yang dinyatakan berpotensi dan dieksplorasi swasta?

J: Sebetulnya kalau kita melihat sejarah panas bumi itu, data awal Panas Bumi Kamojang, Da- rajat, dan Gunung Salak berasal dari Pemerin- tah. Kerja sama dengan asing pernah dilakukan. Selandia Baru adalah pionernya. Kita pernah melakukan kerja sama juga dengan Belanda, Je- pang, dan Itali. Dengan Jerman dulu pernah juga kita merintis kerja sama kemungkinan eksplorasi di Merapi, Jawa Tengah.

T: Dengan pihak luar negeri apakah su- dah ada kerja sama eksplorasi?

J: Oh, iya memang ada. Pemerintah Daerah Jawa Barat sudah menenderkan tiga lokasinya untuk dieksplorasi, yaitu Tangkubanparahu, Tampomas, dan Cisolok (Sukabumi). Di provinsi ini memang banyak potensi panas bumi yang sudah dikelola, yaitu Wayang Windu (110 MWe), Darajat (255 MWe), Kamojang (200 MWe), dan Salak (375 MWe). Tender untuk 3 lokasi baru tadi sudah se- lesai dan untuk pendanaannya mereka mencari ke luar negeri selain juga Bank Domestik. PLTP itu usaha yang menguntungkan. Belum pernah Pulau

Sumber Daya Cadangan

Terpasang (MWe) Spekulatif (MWe) Hipotetis (MWe) Terduga (MWe) Mungkin (Mwe) Terbukti (MWe) Sumatera 5.000 2.194 5.745 15 380 2 Jawa 1.960 1.771 3.225 885 1.815 1.000 Bali 70 - 226 - - - Nusa Tenggara 340 359 747 - 15 - Kalimantan 45 - - - - - Sulawesi 875 32 959 150 78 40 Maluku 370 37 327 - - - Papua

50

-

-

-

-

- Total (MWe) 8.710 4.393 11.229 1.050 2.288 1.042 13.103 14.567 27.670

“Dari sisi eksplorasi

Dokumen terkait