• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

2.1 Industri dan Agroindustr

Secara definitif, industri dapat diartikan sebagai suatu lokasi dimana aktivitas produksi diselenggarakan (Wignjosoebroto, 2003). Aktivitas produksi sendiri merupakan sekumpulan aktivitas yang diperlukan untuk mengubah satu kumpulan masukan seperti bahan baku, sumber daya manusia, energi, informasi, dan lain- lain menjadi produk keluaran (finished products atau services) yang memiliki nilai tambah (Heizer dan Render, 2010). Di dalam proses produksi akan terjadi suatu proses perubahan bentuk (transformasi) dari input yang dimasukkan baik secara physik maupun non physik. Disini akan terjadi apa yang disebut dengan pemberian nilai tambah (value added) dari input material yang diolah. Penambahan nilai tersebut bisa ditinjau dari penambahan nilai fungsional maupun ekonomisnya (Wignjosoebroto, 2003).

Agroindustri sendiri menurut Austin (1992) merupakan perusahaan yang memproses bahan baku yang lebih khusus lagi yaitu bahan baku yang berasal dari produk-produk pertanian baik tanaman maupun hewan. Pemrosesan disini meliputi transformasi dan pengawetan melalui perubahan physik atau kimia, penyimpanan, pengepakan dan distribusi. Produk yang dihasilkan oleh agroindustri dapat merupakan produk akhir siap dikonsumsi atau digunakan oleh manusia atau pun sebagai produk yang merupakan bahan baku untuk industri lain. Semua aktivitas agroindustri terdiri dari 3 sub sistem dasar, yaitu pemasaran, pengolahan dan supplai bahan baku (Brown dan Touche, 1994). Beberapa pakar telah memperkenalkan istilah agroindustri sebelum Austin memperkenalkannya secara eksplisit. Salah satu diantaranya adalah Dr. Ray Golberg dari Harvard Business School. Dr. Ray Golberg mendefinisikan bahwa agroindustri merupakan bagian dari kompleks industri-pertanian sejak produksi bahan pertanian primer, industri pengolahan atau transformasi sampai penggunaannya oleh konsumen. Terdapat kebergantungan antara pertanian, industri hulu, industri pengolahan pangan dan hasil pertanian, serta distribusi beserta peningkatan nilai tambah (Golberg, Ray et al., 1974).

Selanjutnya Austin (1992) menyebutkan bahwa tingkat pemrosessan tersebut dapat bervariasi mulai dari aktivitas pembersihan dan pemilahan, pengolahan sederhana hingga modifikasi kimiawi untuk mendapatkan produk yang diinginkan. Variasi dari aktivitas pengolahan tersebut beserta contoh produknya diperlihatkan pada Tabel 2-1. Dalam industri pangan, transformasi tersebut bertujuan antara lain untuk mendapatkan produk yang dapat dimakan atau digunakan, meningkatkan daya simpan, mempermudah transportasi, meningkatkan nilai gizi serta nilai cernanya. Kompleksitas teknologi, kebutuhan investasi serta aktivitas manajerial dalam agroindustri sangat tergantung pada tingkat transformasi tersebut (Austin, 1992).

Tabel 2-1 Pengelompokan Agroindustri Berdasarkan Proses Transformasi

Aktivitas Pengolahan Contoh Produk

Pembersihan Pemilahan Buah-buahan segar Sayuran Telur Ginning Pemotongan Pencampuran

Biji-bijian (serelia) Jute

Daging Kapas

Rempah-rempah Kayu Pakan ternak Karet Pemasakan Pasteurisasi Pengalengan Dehidrasi Pembekuan Pemintalan Ekstraksi Assembly Produk-produk susu

Buah-buahan dan sayur olahan Daging

Sauces

Tekstil dan garmen Minyak Furnitur Gula Minuman Modifikasi kimia Teksturisasi Makanan instan

Textured vegetable products Ban

Berdasarkan standar yang diterbitkan oleh International Standard Industrial Classification (UNSD, 2004; UNIDO, 2008), agroindustri terdiri dari industri-industri antara lain: i) industri makanan dan minuman; ii) produk-produk tembakau; iii) kertas dan produk-produk dari kayu; iv) tekstil, alas kaki dan pakaian; v) produk kulit; dan vi) produk-produk dari karet. Fungsi-fungsi pengelolaan kebijakan oleh Pemerintah yang dilakukan oleh Departemen

Perindustrian dalam hal ini juga mengacu pada pengelompokan (ISIC) oleh UNIDO tersebut (Indagro, 2010).

Meskipun baru dipopulerkan di Indonesia pada tahun 1980-an (Djamaran, 2007), agroindustri sebenarnya telah diperkenalkan di Indonesia sejak abad ke-16 melalui penerapan sistem tanam paksa (Siahaan, 2000; Mangunwidjaya dan Sailah, 2009). Saat itu, Pemerintah Belanda menyadari betul bahwa Indonesia secara geografis sangat cocok untuk usaha budidaya tanaman tropis dengan nilai ekonomi yang tinggi. Dimulai dari tanam paksa, berkembanglah perkebunan kopi, gula, nilam, tembakau, teh, kina, karet serta rempah-rempah di beberapa pulau di Indonesia (Mangunwidjaya dan Sailah, 2009).

2.1.1 Peran Penting Agroindustri dalam Perekonomian Nasional

Agroindustri merupakan sektor yang sangat penting di berbagai negara, khususnya Negara berkembang. Brown dan Deloitte & Touche (1994) menyebutkan bahwa lebih dari separuh aktivitas manufaktur di berbagai negara berkembang di dunia terdiri dari agroindustri yang meliputi penanganan dan pengolahan bahan baku yang bersumber dari pertanian. Aktivitas ini merupakan langkah awal untuk menuju pada industrialisasi dan mendorong munculnya industri yang lain (Soekartiwi, 2000).

Pembangunan agroindustri merupakan kelanjutan dari pembangunan pertanian (Soekartiwi, 2000). Hal ini merupakan konsekuensi logis karena sebagian besar input atau bahan baku dari agroindustri berasal dari produk pertanian (agriculture). Bila pembangunan pertanian berhasil, maka pembangunan agroindustri pun berhasil. Begitu pula sebaliknya, bila pembangunan pertanian gagal, maka pembangunan agroindustri pun sulit untuk berkembang.

Menurut UNIDO (2008), pertumbuhan dan pengembangan agroindustri dalam suatu Negara dapat berperan dalam perekonomian antara lain dalam hal: (a) Penyerapan tenaga kerja dan peningkatan pendapatan; (b) Memberikan kontribusi terhadap GDP dan sektor manufaktur; (c) Mengembangkan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat; (d) Memberikan pemerataan ekonomi daerah pedesaan dan perkotaan; dan (e) Integrasi ke pasar global dan pendapatan devisi bagi Negara.

Sebagaimana yang digambarkan pada Gambar 2-1, kontribusi agroindustri Indonesia terhadap PDB sektor non-migas cukup besar, yaitu 44,2%, yang merupakan kontribusi terbesar bila dibandingkan dengan sektor industri lainnya seperti industri alat angkut, mesin dan peralatan sebesar 28,1%, industri pupuk, kimia dan barang dari karet sebesar 12,7%, industri tekstil, barang kulit dan alas kaki sebesar 9%, industri semen dan barang galian bukan logam sebesar 3,3%, industri logam dasar, besi dan baja sebesar 1,9% dan industri barang lainnya sebesar 0,8%. Sedangkan kontribusi cabang industri agro terhadap industri pengolahan tahun 2010 terbesar diberikan oleh cabang industri makanan, minuman dan tembakau yaitu sebesar 33,6% yang diikuti oleh industri barang kayu dan hasil hutan lainnya sebesar 5,8%, industri kertas dan percetakan sebesar 4,8%.

Sumber: Indagro (2010)

Gambar 2-1 Sumbangan Cabang-cabang Industri Terhadap PDB Sektor Industri Non Migas Tahun 2010

Pertumbuhan industri pengolahan non-migas dari tahun 2006-2009 mengalami penurunan, hal tersebut dapat dilihat pada pertumbuhan tahun 2006 sebesar 5,27%, tahun 2007 turun menjadi 5,15%, tahun 2008 turun menjadi 4,05%, pada tahun 2009 turun menjadi 2,52%, dan pada tahun 2010 mengalami kenaikan menjadi 5,13%. Walaupun pertumbuhan industri non-migas mengalami penurunan, namun kontribusi sektor agroindustri pada pertumbuhan industri non- migas cukup signifikan. Pada tahun 2006 pertumbuhan agroindustri sebesar

5,51%, tahun 2007 turun menjadi 4,38%, dan pada tahun 2008 turun menjadi 1,92%, namun pada tahun 2009 mengalami peningkatan menjadi 9,21%.

Data kontribusi sub sektor agroindustri terhadap PDB menunjukkan bahwa output sub sektor ini memberikan kontribusi yang selalu lebih besar dari pada sub sektor pengolahan non agroindustri. Rata-rata kontribusi sub sektor agroindustri selama 2004-2009 mencapai 15,47 persen dari total PDB nasional. Sementara sub sektor non agroindustri (non migas) memberikan kontribusi dengan ratarata mencapai 9,41 persen (Rachbini, Arifin et al., 2011).

Di saat krisis ekonomi yang pernah memporak-porandakan ekonomi Indonesia pada 1997-1998, agroindustri ternyata dapat bertahan menjadi sebuah aktivitas ekonomi yang mampu berkontribusi secara positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Selama masa krisis, walaupun sektor lain mengalami kemunduran atau bahkan pertumbuhan negatif, agroindustri mampu bertahan dalam jumlah unit usaha yang beroperasi (Rachbini, Arifin et al., 2011). Penyebab utama yang membuat kelompok agroindustri maupun pertanian dapat bertahan dalam situasi krisis karena ketidakbergantungannya pada bahan baku dan bahan tambahan impor serta peluang pasar ekspor yang besar. Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang utama Dunia justru memberikan tambahan keuntungan yang signifikan terhadap industri ini.

2.1.2 Permasalahan dan Kendala Pengembangan Agroindustri

Namun, walaupun kontribusi sektor agroindustri dalam perekonomian nasional cukup signifikan, pengembangan industri ini di Indonesia masih mengalami beberapa permasalahan dan kendala. Beberapa permasalahan umum dalam pengembangan agroindustri yang teridentifikasi oleh Rachman dan Sumedi (2002) adalah: (a) Sifat produk pertanian yang mudah rusak dan bulky sehingga diperlukan teknologi pengemasan dan sarana transportasi yang mampu mengatasi masalah tersebut; (b) Sebagian besar produk pertanian bersifat musiman dan sangat dipengaruhi oleh iklim sehingga aspek kontinyuitas produk agroindustri sangat tidak terjamin; (c) Kualitas produk pertanian dan produk industri yang dihasilkan pada umumnya masih rendah sehingga mengalami kesulitan dalam

persaingan pasar baik di dalam negeri maupun di pasar Internasional; dan (d) Sebagian besar industri berskala kecil dengan teknologi rendah.

Sementara itu kendala-kendala yang dihadapi dalam pengembangan agroindustri menurut Supriyati, Suryani et al. (2006) adalah: (1) Bahan baku berupa komoditi pertanian belum dapat mencukupi kebutuhan industri pengolahan secara berkesinambungan; (2) kemampuan sumber daya manusia yang terbatas dalam penguasaan manajemen dan teknologi menyebabkan rendahnya efisiensi dan daya saing produk agroindustri; (3) investasi di bidang agroindustri kurang berkembang, antara lain karena masih adanya ketidakpastian iklim usaha dan kebijakan yang tidak konsisten; (4) Lembaga keuangan masih menerapkan preferensi suku bunga yang sama antara sektor pertanian, kehutanan, industri dan jasa sehingga kurang atraktif bagi investor untuk berusaha di bidang agroindustri; (5) Informasi peluang usaha dan pemasaran belum memadai dengan keterpaduan jaringan bisnis yang baik; (6) Masih adanya kesenjangan pengembangan wilayah; (7) Homogenitas kebijakan pembangunan yang tidak memperhatikan kebutuhan wilayah setempat; (8) Belum terciptanya sinergi kebijakan yang mendukung iklim usaha; (9) Kurangnya sarana dan prasarana transportasi; (10) Kemitraaan usaha dan keterkaitan produk antara hulu dan hilir belum berjalan lancar; (11) Masih kurangnya penelitian dan pengembangan teknologi proses; dan (12) Ketergantungan pada lisensi produk dan teknologi yang bersumber dari luar negeri.

2.1.3 Pendekatan Sistem dalam Analisis Agroindustri

Agroindustri merupakan sebuah sistem yang kompleks yang memiliki karakteristik yang khusus dimana terdapat sekumpulan keterkaitan aktivitas yang saling terhubung antara aktivitas produksi, pengolahan, pengangkutan, penyimpanan, pendanaan, pemasaran, dan distribusi produk pertanian. Dari sudut pandang para pakar sosial ekonomi, agroindustri, (pengolahan hasil pertanian) merupakan bagian dari lima sub-sistem agribisnis yang disepakati pada Simposium Nasional Agroindustri I (Anonim, 1983), yaitu sub-sistem penyediaan sarana produksi dan peralatan, usaha tani, pengolahan hasil pertanian, pemasaran, sarana dan pembinaan (Mangunwidjaya dan Sailah, 2009).

Menurut Austin (1992), agroindustri sebagai sebuah sistem memiliki empat tipe keterkaitan sistemik, keempat tipe keterkaitan sistemik tersebut adalah: (a) Keterkaitan rantai produksi; (b) Keterkaitan kebijakan makro dan mikro; (c) Keterkaitan institusional; (d) Keterkaitan internasional/global. Masing-masing keterkaitan ini memiliki dimensi yang bebeda-beda pada sistem agroindustri, namun semuanya saling berhubungan. Pemahaman terhadap sistem dan elemen- elemen dalam agroindustri ini serta keterkaitannya satu sama lain, akan sangat diperlukan dalam melakukan usaha perancangan maupun perbaikan sistem. Gambar 2-2 berikut ini memperlihatkan aktivitas-aktivitas pada sistem agroindustri secara umum.

Gambar 2-2 Aktivitas-aktivitas pada Sistem Agroindustri

Breedstocks Bibit Peralatan Agro-

chemicals Bahan-bahan lainnya Transport Transport Pertanian Pertanian Produksi Transport Transport Agroindustri Agroindustri Produk Transport Transport Eksporter

Eksporter DistributorDistributor

Produk Transport Transport Importer Importer Produk Transport Transport Retailer Retailer Produk Konsumen Konsumen Produk Transport Transport Retailer Retailer Produk Konsumen Konsumen Penyimpanan Penyimpanan Penyimpanan Penyimpanan Bahan baku Barang jadi Input Tanah dan irigasi Penggunaan on-farm Penyimpanan Penyimpanan Penyimpanan Penyimpanan Penyimpanan Penyimpanan Penyimpanan Penyimpanan Penyimpanan Penyimpanan