• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

GIS / MCDM

Memilih rangkaian kriteria evaluasi yang tepat dapat dilakukan melalui studi literatur, studi analitis atau survey opini. Sekumpulan tujuan dan atribut yang digunakan dalam untuk pengambilan keputusan tertentu dipengaruhi oleh ketersediaan data. Demikian juga pemilihan atribut juga dibatasi oleh waktu dan biaya (Malczewski, 1999).

Gambar 2-28 Analisis Spasial Multi Kriteria dalam GIS

2.4.5.3.2 Peta Kriteria

Peta kriteria merupakan output dari tahap identifikasi kriteria evalusi. Peta ini dihasilkan setelah input data ke GIS (akuisisi, reformatting, georeferensi,

compiling dan dokumentasi data-data yang relevan) disimpan dalam bentuk

Rumusan Permasalahan

Kriteria Evaluasi Kendala

Alternatif

Kendala/peta alternatif yang layak Peta Kriteria Matriks keputusan (Decision matrix) Decision rule Pengurutan alternatif Analisa sensitivitas Rekomendasi Final Preferensi pengambil keputusan Bobot Kriteria

tabular dan grafis, dimanipulasi dan dianalisa untuk mendapatkan informasi yang diinginkan. Dengan bantuan berbagai teknik di GIS peta dasar pada area studi dapat dibuat dan digunakan untuk memproduksi beberapa peta kriteria. Masing- masing kriteria dipresentasikan pada peta sebagai sebuah layer dalam GIS. Setiap peta merepresentasikan satu kriteria dan disebut sebagai layer tematik atau data layer. Peta-peta tersebut merepresentasikan seperti apa atribut-atribut didistribusikan dalam ruang dan bagaimana entitas tersebut meraih tujuannya. Dengan kata lain, sebuah layer peta merepresentasikan sekumpulan alternatif lokasi untuk pengambilan keputusan. Masing-masing alternatif dibagi menjadi beberapa klas atau diberikan nilai untuk merepresentasikan tingkat preferensi dari alternatif berdasarkan kriteria yang diberikan. Atribut-atribut harus terukur dalam ukuran tertentu yang merefeksikan variabilitasnya. Skala diklasifikasikan sebagai skala kualatatif maupun skala kuantitatif. Sebagai contoh kondisi sosial dan politik sebuah wilayah dapat direpresentasikan dengan menggunakan skala kualitatif, namun untuk jumlah penduduk, jarak, kapasitas produksi menggunakan skala kuantitatif.

2.4.5.3.3 Standarisasi Kriteria

Untuk memungkinkan pembandingan antara masing-masing alternatif, skala pengukuran kriteria yang berbeda-beda harus disamakan terlebih dahulu. Hal ini sangaat penting dalam evaluasi kriteria jamak. Peta kriteria harus distandarisasi terlebih dahulu (Malczewski, 1999). Menurut Malczewski (1999) prosedur linier dan non linier dapat digunakan untuk keperluan ini. Terkait dengan metode linier terdapat dua prosedur yang dapat dipertimbangkan penggunaannya, yaitu prosedur skor maksimum dan prosedur rentang nilai. Metode standarisasi yang lain seperti hubungan probabilistik dan fuzzy dijelaskan oleh Malczewski (1999). Prosedur maksimum skor adalah salah satu metode transformasi skala linier. Prosedur ini menggunakan formula yang sederhana yang membagi masing- masing skor (baris) dengan nilai maksimum dari kriteria yang bersangkutan (Malczewski, 1999):

Dimana adalah skor yang telah distandarisasi untuk objek ke i (alternatif yang layak/lokasi) dan atribut ke j, adalah skor dari objek dan adalah skor maksimum dari atribut ke-j. Skore yang telah terstandarisasi nilainya berkisar antara 0 sampai 1. Kriteria benefit adalah kriteria yang seharusnya dimaksimumkan. Sebagai contoh, semakin tinggi skor yang diberikan semakin baik kinerjanya. Namun, jika kriteria yang ada harus diminimalkan, atau semakin kecil semakin baik, maka formula yang digunakan adalah sebagai berikut:

Kriteria seperti ini sering dirujuk sebagai kriteria cost. Kelebihan dari transformasi langsung ini adalah bahwa urutan besaran proporsional maupun relatif adalah sama. Kekurangan dari metode ini adalah jika skor lebih beasar dari 0, standarisasi skor minimal tidak akan sama dengan 0. Hal ini membuat interpretasi alternatif yang paling tidak atraktif menjadi sulit (Malczewski, 1999). Alternatif yang terbaik akan bernilai 1.

Metode alternatif yang lain adalah prosedur rentang nilai yang dihitung dengan formula sebagai berikut:

Untuk kriteria benefit, dan

Untuk kriteria cost.

Faktor xj min adalah skor minimum dari atribut ke-j, xj max adalah skor maksimum untuk atribut ke-j, dan adalah rentang nilai dari kriteria. Rentang nilai adalah dari 0 sampai dengan 1, skor terburuk yang telah distandarisasi adalah 0 dan yang terbaik adalah 1. Tidak seperti prosedur skor maksimum, prosedur rentang nilai tidak menjaga perubahan proporsional dalam hasil. Transformasi skala linier dapat digunakan salah satunya untuk menstandarisasi peta proximity (Malczewski, 1999). Prosedur standarisasi yang telah dirumuskan diatas dapat dengan mudah kemudian ditransformasikan untuk

keperluan standarisasi model data GIS berbasis raster seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2-29.

Gambar 2-29 Prosedur Rentang Skor Nilai dalam GIS

2.4.5.3.4 Penentuan Bobot

Bobot untuk kriteria biasanya ditentukan melalui proses konsultasi dengan pengambil keputusan (decision makers) yang kemudian akan menghasilkan nilai rasio yang dimasukkan kedalam masing-masing peta kriteria (criterion map). Bobot tersebut merefleksikan preferensi relatif dari satu kriteria dengan kriteria yang lain. Dalam hal ini bobot dapat diekspresikan dalam sebuah vektor kardinal atas preferensi kriteria ternormalisasi sebagai berikut:

( )

Normalisasi dimaksudkan untuk memperoleh total bobot sama dengan 1 atau 100, tergantung apakah akan dipresentasikan dalam prosentase atau rasio. Cara lain untuk mengekspresikan preferensi adalah mengkaitkan dengan skor kriteria. Dengan demikian akan dapat ditentukan batas nilai minimum maupun maksimumnya atau tingkat aspirasi yang diinginkan (Jankowski, 1995). Pendekatan yang kedua ini lebih cocok untuk diterapkan pada kendala-kendala lokasi (Aminu, 2007). 70 18 18 95 30 30 33 33 52 18 18 18 18 18 18 18 18 18 95 95 95 95 95 95 95 95 95 52 0 0 77 12 12 15 15 34 77 77 77 77 77 77 77 77 77 0,675 0,000 0,000 1,000 0,156 0,156 0,195 0,195 0,442 � � � � Peta nilai minimum Peta nilai maksimum Peta kriteria � � � �

Peta kriteria yang telah distandarisasi

� � / � �

( - )

( - )

Penentuan bobot atau tingkat kepentingan masing-masing faktor biasanya dilakukan diluar perangkat lunak GIS meskipun ada beberapa perangkat lunak GIS yang telah memiliki fasilitas tersebut dalam salah satu modulnya (Jankowski, 1995).

Ada beberapa teknik untuk menentukan bobot kriteria. Beberapa yang paling populer adalah: metode ranking, metode rating, dan metode perbandingan berpasangan. Karakteristik umum dari metode-metode tersebut adalah bahwa semuanya melibatkan pertimbangan subyektif dari pengambil keputusan terkait dengan kepentingan relatif dari faktor-faktor keputusan. Ide dasar dari metode rating adalah mengatur kriteria dalam urutan menurut kepentingan relatifnya. Kriteria diurutkan mulai dari yang paling penting sampai yang kurang penting. Setelah ranking disusun, beberapa prosedur untuk menghitung bobot numerik dapat digunakan. Salah satu metode yang paling sederhana adalah mengurutkan jumlahnya sebagaimana ditunjukkan dalam formula berikut ini:

( ) ∑

Dimana adalah bobot yang telah dinormalisasi untuk faktor ke-j, n adalah jumlah faktor yang dipertimbangkan dan adalah posisi urutan dari faktor. Contoh dari perhitungan nilai ranking diperlihatkan pada Tabel 2-6.

Tabel 2-6 Contoh Prosedur Straight Rank Weighting

Ranking Bobot Bobot setelah dinormalisasi 1 5 0.333 2 4 0.267 3 3 0.200 4 2 0.133 5 1 0.067 Jumlah 15 1

Sumber: Rapaport dan Snickars (1998); Jankowski (1995)

Metode rangking adalah metode pembobotan kriteria yang paling sederhana. Hal ini kemudian mendatangkan kritik dari banyak pakar keputusan karena ketiadaan dasar teori untuk mengintepretasikan tingkat kepentingan dari kriteria (Malczewski, 1999). Kelompok kedua metode pembobotan adalah metode

rating. Ada dua pendekatan yang umum digunakan: prosedur point allocation dan prosedur ratio estimation. Karakteristik umumnya adalah bahwa pengambil keputusan memiliki total poin, biasanya 100 yang diinginkan untuk didistribusikan diantara kriteria keputusan bergantung dengan tingkat kepentingannya. Faktor yang lebih penting akan mendapatkan skor yang lebih tinggi dan faktor yang tidak memiliki kepentingan terhadap keputusan akan diberikan nilai 0. Metode ini mirip dengan alokasi budget pada sebuah perusahaan. Pada pendekatan alokasi poin disini digunakan skala 0 sampai 100 atau 0 sampai 10. Poin-poin ini kemudian ditransformasikan kedalam bobot yang berjumlah 1. Prosedur estimasi rasio sebagimana yang ditunjukkan pada Tabel 2-7 merupakan modifikasi dari metode alokasi poin. Kriteria yang paling penting diberikan nilai 100 dan atribut-atribut yang lainnya diberikan nilai yang lebih kecil proporsional dengan tingkat kepentingannya. Rasio yang terkecil digunakan sebagai dasar untuk menghitung rasio. Setiap nilai kriteria dibagi oleh nilai yang terendah dan kemudian bobot di-normalisasi dengan membagi masing-masing bobot dengan total bobotnya. Mirip dengan metode rangking, metode rating tidak memiliki dasar teoritis dan formal karena makna dari bobot sulit untuk dijustifikasi (Malczewski, 1999).

Tabel 2-7 Penilaian Bobot dengan Menggunakan Prosedur Estimasi Rasio

Ranking Skala estimasi

ratio

Bobot asli Bobot setelah

dinormalisasi 1 100 6.667 0.333 2 75 5.000 0.250 3 70 4.667 0.233 4 40 2.667 0.133 5 15 1.000 0.050 Jumlah 15 20 1.000

Metode berikutnya adalah Analytical Hierarchy Process (AHP) yang diusulkan oleh Saaty (1980) yang menggunakan metode perbandingan berpasangan untuk pembobotan kriteria. Metode ini memiliki tiga langkah penting. Pertama, dilakukan perbandingan berpasangan untuk kriteria dan hasilnya dimasukkan kedalam sebuah matrik perbandingan. Nilai sel matrik bernilai 1 sampai dengan 9 dan fraksi dari 1/9 sampai ½ yang merepresentasikan

tingkat kepentingan satu faktor dengan faktor yang lain secara berpasangan. Nilai dari matrik harus konsisten, yang mana berarti jika a dibandingkan dengan b mendapatkan skor 5 (kepentingan kuat), b dibandingkan dengan a seharusnya memiliki skor 1/5 (sedikit tidak penting). Kriteria yang dibandingkan dengan dirinya sendiri mendapatkan nilai 1 (sama penting). Langkah berikutnya adalah menghitung bobot kriteria. Pertama-tama nilai dari masing-masing kolom dijumlahkan dan setiap elemen dalam matrik dibagi dengan jumlah kolom dari masing-masing kolom. Matrik yang baru kemudian disebut sebagai matrik perbandingan berpasangan yang telah dinormalisasi. Yang terakhir, rata-rata elemen pada masing-masing baris matrik yang telah dinormalisasi dikalkulasi. Selanjutnya rasio konsistensi dihitung dalam upaya untuk memastikan apakah perbandingan kriteria yang dibuat oleh pengambil keputusan sudah konsisten atau belum. Bobot yang diperoleh berdasarkan metode ini diinterpretasikan sebagai rata-rata semua bobot yang mungkin. Metode perbandingan berpasangan tersebut diilustrasikan pada Tabel 2-8.

Metode AHP ini lebih canggih dibandingkan dengan yang sebelumnya. Namun metode ini masih tetap mendatangkan kritik terkait dengan cara untuk memperoleh rasio tingkat kepentingan. Kuisioner menanyakan tentang kepentingan relatif dari kriteria tanpa melihat skala pengukurannya. Kritik yang lain adalah terkait dengan semakin hanyak kriteria yang digunakan semakin sulit untuk memperoleh konsistensi yang yang memenuhi syarat. Namun kelebihannya adalah bahwa metode ini hanya membutuhkan 2 kriteria untuk dibandingkan pada saat yang sama (Malczewski, 1999).

Pada saat memilih metode tertentu, sebaiknya dipertimbangkan pemahaman pengambil keputusan terhadap permasalahan dan kemampuan dalam bidangnya. Akurasi yang diinginkan dan hasil hasil versus kesederhanaan metode adlah juga faktor yang patut untuk dipertimbangkan dalam pemilihan metode. Malczewski (1999) menyatakan bahwa metode perbandingan berpasangan adalah lebih tepat digunakan jika akurasi dan dasar teoritis menjadi titik perhatian. Metode rangking dan rating digunakan ketika kemudahan penggunaan, waktu dan biaya merupakan pertimbangan yang utama. Yang perlu diperhatikan juga adalah

semakin canggih sebuah metode yang digunakan, semakin kurang transparan proses yang dilakukan untuk publik (Malczewski, 1999).

Tabel 2-8 Ilustrasi Metode Pembandingan Berpasangan

Sumber: Saaty (1980)

Teori keputusan yang lain yang mirip dengan AHP adalah Analytical Network Process (ANP). Thomas Saaty yang telah mengenalkan AHP mengembangkan kerangka yang lebih maju untuk menentukan prioritas yang dikenal sebagai Analytical Network Process (ANP). ANP memiliki perbedaan dengan AHP dalam hal proses perbandingan berpasangan yang dilakukan agar supaya model keputusan yang dibuat dapat dibangun sebagai jaringan kerja yang melibatkan decision objective, kriteria, pihak-pihak yang berkepentingan, alternatif, skenario dan faktor-faktor lingkungan yang lain yang mempengaruhi satu prioritas dengan prioritas yang lainnya. Konsep kunci dari ANP adalah bahwa pengaruh tidak selalu harus mengalir ke bawah sebagaimana yang dilakukan dalam AHP. Pengaruh dapat mengalir diantara faktor-faktor dalam jaringan yang menyebabkan hasil prioritas yang non linier dari pilihan alternatif. Sebagai contoh, ketika pengambil keputusan meningkatkan bobot kriteria, alternatif mulai mendapatkan prioritas yang lebih tinggi, namun apabila bobot kriteria tersebut semakin tinggi, efek umpan balik dari dari jaringan kenyataannya menyebabkan alternatif mulai mendapatkan prioritas yang semakin rendah.

Kedua metode, baik AHP maupun ANP menggunakan skala prioritas untuk elemen-elemen maupun kelompok elemen dengan membuat perbandingan berpasangan dari elemen-elemen tersebut. Meskipun banyak permasalahan keputusan paling baik untuk dikaji dengan menggunakan ANP, namun tetap harus dibandingkan antara hasil yang diperoleh dengan menggunakan AHP atau

Langkah III a b c a b c Bobot a 1 4 8 0.725 0.769 0.571 0.688 b 0.25 1 5 0.181 0.192 0.357 0.244 c 0.13 0.2 1 0.094 0.038 0.071 0.068 Jumlah 1.380 5.200 14.000 1.000 1.000 1.000 1.000 Langkah I Langkah II

pendekatan keputusan yang lain dengan mempertimbangkan hasil, usaha yang dilakukan serta akurasi dan relevansi dari hasil.

ANP sangat berguna dalam pemodelan prediktif dimana pengaruh sistem yang lebih luas dapat difaktorkan dalam keputusan. Aplikasi terbaik dari ANP adalah pada keputusan-keputusan dimana risiko dan ancaman merupakan faktor utama dalam proses pengambilan keputusan, dan keberhasilan organisasi sangat tergantung pada pemahaman yang menyeluruh tentang keseluruhan sistem dan bukan hanya tujuan dan sasaran bisnis semata (Aminu, 2007).

Bentuk umum dari analytical network process (ANP) super matrix dapat dijelaskan pada Gambar 2-30.

Gambar 2-30 Struktur Umum Super Matrix

Dimana CN menunjukkan klaster ke-N, eNn menunjukkan elemen ke n dalam klaster ke-N, dan blok matriks Wij terdiri dari kumpulan vektor bobot prioritas (w) yang mempengaruhi elemen-elemen dalam klaster ke i . Jika klaster ke-i tidak memiliki pengaruh pada klaster ke-j, maka Wij = 0. Matrik yang diperoleh pada langkah ini disebut sebagai super matriks awal.

2.4.5.3.5 Decision Rules

Langkah berikutnya adalah menyusun semua alternatif yang diperoleh dalam tabel keputusan menurut kinerjanya. Metode untuk mengagregasi skor alternatif disebut

sebagai decision rule. Tabel keputusan disusun dari kriteria evaluasi dan atributnya untuk setiap alternatif yang layak. Tabel keputusan dapat ditulis dalam sebuah matriks seperti berikut:

[ ] Dimana, i = alternatif j = kriteria

Matriks tersebut selanjutnya dikalikan dengan vektor bobot untuk mendapatkan nilai dari masing-masing alternatif. Cara paling mudah adalah dengan menggunakan metode simple additive weighting (SAW) dengan menjumlah hasil perkalian tersebut untuk setiap alternatif. SAW meranking alternatif dari yang terbesar sampai yang terkecil demikian juga sebaliknya dilakukan inverse additive weighting jika yang terbaik adalah yang memiliki nilai yang terkecil.

Gambar 2-31 Metode Additive Weighting Sederhana pada Data Raster

70 18 18 0.675 0.000 0.000 0.75 0.506 0.000 0.000 95 30 30 1.000 0.156 0.156 0.750 0.117 0.117 33 33 52 0.195 0.195 0.442 0.146 0.146 0.331 0.506 0.000 0.210 7 1 2 0.750 0.347 0.327 8 4 3 0.376 0.376 0.541 5 5 6 25 25 4 0.000 0.000 0.840 0.25 0.000 0.000 0.210 25 2 4 0.000 0.920 0.840 0.000 0.230 0.210 2 2 3 0.920 0.920 0.840 0.230 0.230 0.210

PETA SKOR KRITERIA PETA KRITERIA

TERSTANDARISASI

PETA KRITERIA TERBOBOT PETA SKOR

KESELURUHAN