• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

PETA RANKING

2.4.7 Model Lokasi-Alokasi Berbasis Spasial

Model lokasi-alokasi berbasis spasial adalah sebuah model matematis yang dimasukkan ke dalam sistem informasi geografis untuk memecahkan permasalahan pasokan yang sesuai dengan kebutuhan dengan menggunakan sekumpulan tujuan dan kendala (Church dan ReVelle, 1974). Pada dasarnya model lokasi-alokasi bertujuan untuk menentukan lokasi yang optimal dari sebuah layanan dalam rangka untuk melayani populasi dengan cara yang paling efisien.

Model lokasi-alokasi cukup banyak digunakan oleh sektor organisasi dan perusahaan untuk mencari lokasi gudang, toko, dan fasilitas swasta lainnya dengan cara yang paling optimal. Lokasi-alokasi juga digunakan dalam sektor publik untuk menentukan layanan darurat rumah sakit, sekolah, perpustakaan, depot, gudang dan fasilitas umum lainnya secara optimal. Sebagai contoh, Armstrong dan Densham (1991) serta Armstrong, Rushton et al. (1991) menggunakan model lokasi-alokasi untuk mengoptimalkan relokasi pusat layanan sekolah umum di seluruh negara bagian Iowa.

Ada beberapa jenis model lokasi-alokasi. Yang paling umum digunakan model lokasi-alokasi yang meminimumkan jarak dan memaksimumkan cakupan/coverage (Ghosh, McLafferty et al., 1995). Model lokasi-alokasi yang meminimumkan jarak atau bobot (jarak, waktu dan biaya) paling sering digunakan dalam berbagai publikasi yang ada adalah model lokasi-alokasi dengan jarak minimum atau biaya minimum. Model ini juga dikenal sebagai model p-

Median yang berusaha untuk meminimalkan total jarak maupun bobot yang

ditempuh dari titik permintaan ke pusat pasokan terdekat mereka (Hakimi, 1964). Formula umum untuk model P-Median adalah sebagai berikut: Minimumkan fungsi obyektif z, dimana ∑ dengan kendala ∑ ;

; . Dimana menunjukkan jumlah alokasi dari sumber i ke

tujuan j, m adalah jumlah fasilitas yang ada, n adalah jumlah permintaan yang dilayani, adalah kapasitas fasilitas i, adalah demand node j dan adalah biaya transportasi/bobot dari sumber i ke tujuan j (Church dan ReVelle, 1974). Model ini digambarkan pada Gambar 2-38 berikut.

Gambar 2-38 Model Alokasi p-median yang Meminimumkan Impedansi

Sejarah lokasi-alokasi sendiri dimulai oleh Hakimi (1964) yang melakukan penelitian di Northwestern University untuk menemukan lokasi yang optimal pusat switching untuk jaringan telepon, yang secara konseptual diterjemahkan untuk menemukan pusat mutlak dan median dari sebuah graf. Hakimi mengamati bahwa ketika berusaha menemukan pusat switching pada jaringan komunikasi, pusat tersebut cenderung menempati simpul jaringan (Hakimi, 1964). Namun, pada saat mencari sebuah layanan publik/swasta, lokasi yang paling optimal bisa jadi bukan di persimpangan simpul. Hakimi menemukan bahwa jaringan komputer nasional di Amerika akan mendapat manfaat dari pusat komunikasi yang ditempatkan pada atau dekat pusat negara, sebagaimana halnya dengan Kansas City, Missouri di AS dimana Pemerintah memiliki salah satu pusat komputer untuk beberapa instansi pemerintah yang berbeda. Kansas City terletak di tengah wilayah Amerika Serikat yang secara optimal akan mengurangi waktu transit data dari pantai barat ke pantai timur. Jika salah satu pusat ditempatkan di Miami, Florida maka akan memakan waktu lebih lama bagi data yang akan dikirim dari Los Angeles, California ke Portland, Maine (keduanya di pantai barat) karena harus transit melalui pusat pantai timur.

Variasi dari model minimasi jarak adalah dengan memasukkan penambahan kendala jarak ke model LA tradisional. Salah satu alasan dibalik penambahan kendala jarak adalah berkaitan dengan isu permasalahan nyata seperti kemacetan lalu lintas (Marianov dan Serra, 1998).

Penggunaan lain untuk model kendala minimasi jarak adalah untuk menentukan lokasi layanan darurat. Layanan darurat hampir selalu memiliki beberapa jenis kendala jarak atau waktu terkait dengan seberapa cepat mereka harus dapat memenuhi panggilan layanan (Figueroa dan Kartusch, 2000; Fitch, 2005). Jika pemadam kebakaran pemerintah daerah menyatakan bahwa diperlukan waktu respon 5 menit, dan kondisi jalan hanya memungkinkan pada kecepatan 30 mil per jam, maka kendala jarak untuk mencari stasiun akan lebih dari 2,5 mile dari titik permintaan.

Varian ketiga dari model LA adalah permasalahan maksimum coverage/cakupan (MCLP). Model ini berusaha memaksimasi layanan terhadap populasi yang dapat dilayani pada jarak layanan yang ditentukan atau waktu yang terbatas pada sejumlah fasilitas (Church dan ReVelle, 1974). Formula untuk permasalahan ini dapat dinyatakan sebagai berikut:

Maksimumkan Kendala ∑ � Dimana,

dij = Jarak terpendek dari node i ke node j

xj = { }

{� }

Salah satu tujuan dari MCLP yang dikembangkan lebih lanjut adalah meminimumkan jumlah orang yang tidak dilibatkan dalam jarak layanan S maksimum yang diinginkan (Church dan Meadows, 1979). Jika terdapat sejumlah

besar permintaan yang diluar lingkup, salah satu cara yang lebih baik adalah melayani permintaan-permintaan dengan model alokasi kendala jarak minimum. Gambar 2-39 dan Gambar 2-40 berikut ini memperlihatkan model MCLP yang memaksimumkan cakupan dari layanan yang diberikan oleh fasilitas yang ada.

Gambar 2-39 Model Spasial Maksimasi Cakupan dengan Sebanyak Mungkin Demand Dilayani oleh Fasilitas

Gambar 2-40 Hasil Pemetaan Maksimasi Cakupan

Jenis model lokasi-alokasi berbasis spasial yang lainnya adalah model maksimasi kunjungan. Model ini menentukan lokasi fasilitas dengan cara meminimumkan jarak dari pusat fasilitas untuk sebagian besar populasi (Holmes, Williams et al., 1972; Daskin, 2008). Model ini sangat berguna untuk menentukan alokasi untuk unit gawat darurat (UGD), layanan sosial, pusat perbelanjaan, dan

fasilitas-fasilitas lainnya dimana ada sejumlah besar orang yang akan berkunjung. Representasi umum dalam peta ditunjukkan pada gambar berikut ini.

Gambar 2-41 Model Maksimasi Kunjungan

Model lokasi-alokasi dapat menjadi sangat spesifik dan kompleks apabila ingin menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Sebagai contoh Branas, MacKenzie et al. (2000) membangun model respon unit gawat darurat yang mana mempertimbangkan waktu perjalanan dari lokasi kejadian ke lokasi UGD dan kemudian waktu perjalanan dari UGD ke rumah sakit utama yang terdekat yang mana mengasumsikan bahwa lokasi UGD memiliki jarak ke rumah sakit utama.

Jenis model LA lainnya adalah model-model yang memiliki tujuan untuk meminimalkan fasilitas yang terlibat dalam sistem. Fasilitas diletakkan sedemikian rupa sehingga sebanyak mungkin titik permintaan yang dapat dialokasikan ke fasilitas solusi dalam cutoff impedansi, selain itu, jumlah fasilitas yang diperlukan untuk menutupi poin permintaan diminimalkan (Schietzelt dan Densham, 2003). Contoh pemetaan untuk model tersebut diperlihatkan pada Gambar 2-42 dan Gambar 2-43 berikut ini.

Gambar 2-42 Model Spasial Minimasi Fasilitas yang Terlibat dalam Sistem

Gambar 2-43 Contoh Hasil Pemetaan untuk Model Minimasi Fasilitas yang Terlibat dalam Sistem

Meminimalkan Fasilitas hampir sama dengan memaksimalkan cakupan tetapi dengan pengecualian dari jumlah fasilitas yang teralokasi. Beberapa hal berikut ini adalah poin-poin penting bagaimana model minimasi fasilitas dapat memenuhi permintaan:

a. Setiap titik permintaan diluar semua impedansi fasilitas, tidak dialokasikan.

b. Titik-titik permintaan dalam area cakupan impedansi fasilitas memiliki bobot permintaan yang sama untuk dialokasikan dari fasilitas tersebut.

c. Sebuah titik permintaan dalam cutoff impedansi dari dua atau lebih fasilitas memiliki bobot permintaan yang dialokasikan ke fasilitas terdekat saja.

Seringkali diperlukan untuk mengalokasikan produk/jasa dalam upaya untuk memaksimumkan pangsa pasar dari perusahaan/organisasi. Sejumlah fasilitas dipilih sedemikian rupa sehingga permintaan dialokasikan semaksimum mungkin untuk menghadapi pesaing. Tujuannya adalah untuk menangkap sebanyak mungkin pangsa pasar melalui fasilitas yang ada yang telah di tentukan. Total pangsa pasar adalah jumlah dari seluruh bobot permintaan untuk titik-titik permintaan yang valid.

Permasalahan memaksimumkan pangsa pasar merupakan jenis masalah yang memerlukan paling banyak data karena disamping harus diketahui fasilitas yang dimiliki sendiri kita juga perlu tahu fasilitas dari pesaing. Permasalahan yang mirip dengan model ini adalah permasalahan memaksimalkan kehadiran yang mempertimbangkan pangsa pasar. Untuk permasalahan ini, harus dimiliki informasi yang komprehensif terkait dengan data pesaing. Toko diskon besar biasanya menggunakan model maksimasi pangsa pasar untuk mencari sekumpulan toko baru yang terbatas. Permasalahan maksimasi pangsa pasar ini umumnya menggunakan model Huff, yang juga dikenal sebagai model gravitasi (Dramowicz, 2005). Gambaran spasial dari model maksimasi pangsa pasar ini ditunjukkan pada Gambar 2-44 berikut ini.

Terkadang kita juga menginginkan untuk menentukan target pangsa pasar tertentu yang dapat diraih dari sejumlah permintaan yang ada dengan mempertimbangkan pesaing. Gambaran model spasial untuk permasalahan ini ditunjukkan pada gambar berikut ini.

Gambar 2-45 Model Spasial dengan Target Pangsa Pasar Tertentu

Toko diskon besar biasanya menggunakan model target pangsa pasar ketika mereka ingin tahu ekspansi yang diperlukan untuk mencapai tingkat tertentu dari pangsa pasar atau untuk melihat strategi apa yang diperlukan untuk mempertahankan pangsa pasar mereka saat ini dengan adanya fasilitas dari pesaing. Dalam kasus lain di mana terdapat keterbatasan anggaran, maka keputusan yang harus diambil adalah menangkap sebanyak mungkin pangsa pasar dengan sejumlah batasan fasilitas.

2.4.8 Simulasi Berbasis Spasial

Untuk mendapatkan pemahaman terhadap perilaku sistem dan kinerjanya, melakukan eksperimen pada sistem yang nyata akan memiliki konsekuensi biaya dan risiko yang tinggi. Salah satu cara untuk mengevaluasi sebuah rancangan sistem adalah dengan melakukan simulasi sistem. Simulasi akan meniru perilaku sistem dan rancangan sistem dan selanjutnya dapat memberikan gambaranterhadap kinerja sistem yang sebenarnya tanpa harus mengganggu sistem physiknya. Dengan menggunakan simulasi, dapat dibuat skenario-skenario perbaikan sistem dan melakukan evaluasi terhadap inisiatif-inisiatif tersebut.

Ada beberapa tipe pemodelan simulasi yang dikenal (Harrington dan Tumay, 2000), yaitu:

a. Metode pemodelan simulasi analitis b. Metode pemodelan simulasi kontinyu

c. Metode pemodelan simulasi discrete event, dan d. Metode pemodelan simulasi berorientasi object.

Metode pemodelan simulasi analitis menitikberatkan pada beberapa aspek kompleksitas dinamik seperti sejumlah pelanggan yang berkompetisi untuk memperebutkan sumberdaya yang sama dan beberapa variabilitas yang berhubungan dengan proses kedatangan dan pelayanan. Model analitis menyediakan estimasi kinerja steady-state agregat yang jauh lebih akurat dibandingkan dengan menggunakan analisis pada spreadsheet. Gambar 2-46 mengilustrasikan konsep kinerja steady-state. Keunggulan dari simulasi analitis adalah pemodelan dan proses eksekusi simulasi yang lebih cepat.

Gambar 2-46 Kinerja Steady-state pada Simulasi Analitis

Pemodelan simulasi kontinyu dapat menangkap proses dinamis dengan menggunakan persamaan diferensial dan dapat mengandung perilaku random. Model kontinyu memiliki kemampuan baik untuk phenomena steady-state maupun phenomena transien (Harrington dan Tumay, 2000). Animasi dan model

80%

Steady-state

Waktu Utilisasi Server

kontinyu lebih bernilai dibandingkan dengan model analitis karena bottleneck dan flow dapat divisualisasikan dengan gauges dan dials. Pemodelan tipe ini lebih tepat untuk memodelkan volume yang besar dan proses produksi kontinyu. Gambar 2-47 berikut ini memperlihatkan model simulasi kontinyu.

Gambar 2-47 Simulasi Kontinyu

Pemodelan discrete event memungkinkan untuk merumuskan perilaku acak dengan distribusi dan ekspresi kemungkinan. Model discrete event menghasilkan output yang acak dan oleh karena itu hanya merupakan estimasi dari perilaku yang sesungguhnya dari sebuah sistem. Replikasi harus dibuat dan rata-rata harus diperoleh untuk mendapatkan estimasi dari ukuran-ukuran kinerja yang diharapkan.

Pada proses simulasi discrete event, entitas merepresentasikan produk atau jasa yang memperebutkan sumber daya untuk melakukan aktivitasnya. Oleh karena itu simulasi discrete event adalah teknik simulasi yang paling natural untuk pemodelan dan analisis proses. Animasi dari model discrete event dapat sangat impresif dan berguna untuk kepentingan validasi dan presentasi. Animasi dari discrete event juga bisa dilakukan dalam peta dan tergambar secara spasial merepresentasikan sistem nyata dengan lebih baik (O'Sullivan dan Perry, 2011). Salah satu contoh nyata representasi animasi dari discrete event simulation dapat dilihat pada Gambar 2-48 berikut ini.

Stock PKS01 Produksi PKS01

Kapasitas PKS01

Tanki Timbun PO-01 Pengiriman CPO

PKS01 Kapasitas Alat Angkut PKS01

Loading PO-01 Loading Rate PO-01

Barge Arrival to PO- 01 Stock PKS02 Produksi PKS02 Kapasitas PKS02 Pengiriman CPO PKS02 Kapasitas Tanki Timbun PO-01

Jumlah Alat Angkut PKS01

Shortage Surplus

Jumlah Alat Angkut PKS02 Kapasitas Alat

Gambar 2-48 Simulasi Discrete Event Berbasis Spasial

Salah satu kelemahan dari simulasi discrete-event ini adalah biasanya membutuhkan waktu yang lebih lama untuk proses running dibandingkan dengan model simulasi analitis dan kontinyu. Tantangan pemodelan simulasi discrete- event ini adalah keahlian yang dibutuhkan untuk membangun model yang valid. Contoh logika proses simulasi discrete-event ini ditunjukkan pada Gambar 2-49.

Gambar 2-49 Konsep Dasar Simulasi Discrete Event

Banks, II et al. (2010) dalam bukunya yang berjudul Discrete-event System Simulation memberikan gambaran langkah-langkah utama dalam melakukan studi simulasi sebagaimana yang digambarkan pada Gambar 2-50.

t

Generate Arrival Entity Dispose Entity Wait for Resource

Adapun langkah-langkah untuk melakukan simulasi komputer adalah sebagai berikut:

1. Perumusan masalah

Setiap studi harus didahului dengan pendefinisian permasalahan. Jika definisi permasalahan diberikan oleh pembuat kebijakan, atau pemilik masalah, maka peneliti harus memastikan bahwa permasalahan tersebut telah jelas dapat dipahami. Jika perumusan masalah dilakukan oleh peneliti, maka harus dipastikan juga pembuat kebijakan memahami dan menyetujui perumusan masalah tersebut. Meskipun tidak ditunjukkan pada gambar, harus dipahami bahwa perumusan masalah dapat dilakukan berulang seiring dengan berkembangnya penelitian/studi. Pada umumnya, pembuat kebijakan dan peneliti menyadari bahwa permasalahan telah terjadi lama sebelum karakteristik permasalahan diketahui.

2. Penentuan tujuan dan perencanaan proyek penelitian

Tujuan menunjukkan pertanyaan yang harus dijawab oleh simulasi. Pada titik ini, harus sudah ditetapkan apakah simulasi merupakan metode yang tepat untuk penyelesaian masalah seperti yang telah dirumuskan dan tujuan yang telah ditetapkan. Dengan mengasumsikan bahwa simulasi adalah metode yang tepat, dalam perencanaan proyek juga harus menyertakan sistem alternatif yang dapat digunakan dan metode evaluasi efektivitas dari alternatif-alternatif tersebut. Dalam rencana proyek penelitian juga perlu menyertakan kebutuhan tenaga SDM, biaya penelitian, waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan setiap tahapan, dan hasill yang diharapkan pada akhir setiap tahapannya.

3. Konsep pemodelan

Pembangunan sebuah model dari sebuah sistem cenderung lebih ke arah seni daripada sains/ilmu pengetahuan. Pritsker (1998) membahas panjang lebar tentang tahapan ini. “Meskipun tidak memungkinkan untuk memberikan instruksi detil yang dapat menuntun pembangunan model yang sesuai pada setiap kasus, namun ada beberapa pedoman umum yang dapat diikuti” (Morris, 1967). Seni memodelkan akan semakin baik dengan kemampuan mengintisarikan kunci permasalahan yang diteliti, memilih dan memodifiksi

asumsi-asumsi dasar yang menggambarkan karakteristik sistem, dan memperkaya serta mengembangkan model sampai didapatkan hasil yang diinginkan. Oleh karena itu, sebaiknya kita memulai dengan model sederhana dan membangunnya perlahan. Akan tetapi, perlu dicatat bahwa model yang dibangun tidak perlu melebihi tingkat yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan penelitian. Jika model dibangun melebihi tingkat yang dibutuhkan maka hal tersebut hanya akan menambah biaya pembangunan model. Pendekatan sangat detil dari sistem nyata ke model (one-to-one mapping) tidak diperlukan, cukup sampai dengan intisari dari sistem nyata yang dibutuhkan.

Disarankan untuk melibatkan pengguna model dalam pembuatan konsep model. Melibatkan pengguna model akan memperbaiki kualitas model yang dihasilkan dan juga menambah kepercayaan diri pengguna model dalam aplikasinya.

4. Pengumpulan data

Ada hubungan saling mempengaruhi antara pembangunan model dan kumpulan data input (Shannon, 1975). Ketika model berubah, maka elemen data yang dibutuhkan juga akan berubah. Yang perlu diperhatikan adalah karena pengumpulan data merupakan tahapan yang paling besar porsinya dalam melakukan simulasi, maka akan sangat penting untuk memulai pengumpulan data pada awal penelitian, umumnya bersamaan dengan tahapan awal pembangunan model.

Tujuan penelitian sangat menentukan jenis data yang harus diperoleh. Contohnya pada studi antrian di bank, maka data-data yang dibutuhkan adalah distribusi antar kedatangan nasabah (pada waktu yang berbeda tiap harinya), distribusi pelayanan kasir bank, dan data historis distribusi antrian dalam beragam situasi.

5. Penerjemahan model

Sebagian besar sistem real ketika dimodelkan memerlukan penyimpanan informasi dan komputasi yang cukup kompleks, maka model harus dibuat dalam format yang dapat dikenal komputer (computer-recognizable).

Modeller harus menentukan akan menggunakan software yang dapat digunakan simulasi untuk tujuan penelitiannya.

6. Verifikasi

Langkah verifikasi ini dimaksudkan untuk menguji apakah program/perangkat lunak yang digunakan telah berjalan dengan baik. Pada model yang rumit, sangat sulit, jika tidak bisa dibilang tidak mungkin, untuk menterjemahkan model pada perangkat lunak tanpa proses debugging yang dilakukan berulang- ulang; jika parameter input dan struktur logika dari model telah mampu direpresentasikan dengan baik pada perangkat lunak, maka proses verifikasi telah selesai.

7. Validasi

Validasi umumnya dilakukan dengan melakukan kalibarasi model, proses iterasi dengan membandingkan model dengan perilaku sistem aktual dan menggunakan perbedaan antara keduanya , dan kesimpulan yang didapatkan, untuk melakukan perbaikan terhadap model. Proses ini dilakukan berulang- ulang sampai didapatkan model dengan tingkat akurasi yang dapat diterima.

8. Desain eksperimen

Alternatif yang akan disimulasikan harus ditentukan terlebih dahulu. Seringkali, keputusan mengenai alternatif yang disimulasikan adalah fungsi dari hasil yang telah selesai dianalisa. Perlu ada keputusan terlebih dahulu untuk setiap desain sistem yang akan disimulasikan, mengenai periode simulasi, periode awal, dan jumlah replikasi.

9. Simulasi dan analisis

Simulasi dan analisis yang mengikutinya digunakan untuk mengestimasi kinerja dari desain sistem yang sedang disimulasikan.

10.Simulasi lanjutan

Setelah analisis selesai dilakukan, peneliti perlu menentukan apakah diperlukan simulasi lebih lanjut.