• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rancang Bangun Sistem Pendukung Keputusan Berbasis Spasial

DAFTAR LAMPIRAN

PETA RANKING

11. Dokumentasi dan pelaporan

2.5 Rancang Bangun Sistem Pendukung Keputusan Berbasis Spasial

Perancangan merupakan langkah pertama dalam fase pengembangan rekayasa suatu produk atau sistem. Menurut Pressman (1997), perancangan merupakan suatu proses penggunaan berbagai prinsip dan teknik untuk tujuan-tujuan pendefinisian suatu perangkat, proses atau sistem hingga ke tingkat kerincian tertentu yang diinginkan.

Model pengembangan sistem di tataran awal yang umumnya digunakan adalah model prototyping. Prototyping sendiri merupakan model pengembangan sistem yang melibatkan proses pembentukan model (versi) sistem secara iteratif untuk menghasilkan sistem yang sesuai dengan kebutuhan pengguna. Pendekatan seperti ini merupakan implementasi dari konsep “think small strategize big” dari Turban

et al.(2011) dimana pengguna maupun pengembang pertama-tama fokus pada

penyelesaian permasalahan kunci untuk meraih keberhasilan-keberhasilan kecil secara bertahap. Pendekatan ini dipandang lebih efektif dan efisien dalam pengembangan sistem pendukung keputusan (Turban, Sharda et al., 2011). Model ini sendiri memiliki tiga bentuk:

a. Prototype diatas kertas atau berbasiskan sistem komputer yang

menggambarkan (diagram) interaksi-interaksi yang mungkin terjadi.

b. Working type yang mengimplementasikan sebagian fungsi yang

ditawarkan oleh sistem yang dikembangkan.

c. Program jadi yang mampu melakukan sebagian atau bahkan keseluruhan fungsi yang ditawarkan meskipun masih terdapat beberapa feature yang dikembangkan lebih lanjut.

Adapun proses pengembangan sistem pendukung keputusan yang menggunakan proses prototyping ini melibatkan aktivitas-aktivitas sebagai berikut:

a. Pengumpulan secara cepat kebutuhan terhadap sistem oleh pihak pengguna dan pengembang. Aktivitas ini mirip dengan fase analisis yang terdapat dalam model pengembangan proses waterfall.

b. Perancangan cepat (quick design) prototipe aplikasi sistem pendukung keputusan yang dilakukan oleh pengembang. Aktivitas ini sama dengan fase perancangan pada model proses waterfall.

c. Pembentukan prototipe aplikasi sistem pendukung keputusan yang dilakukan oleh pengembang. Aktivitas ini sama dengan fase implementasi pada model proses waterfall.

d. Evaluasi prototipe sistem pendukng keputusan yang dilakukan baik oleh pengguna (umum) atau pengembang lebih detail. Aktivitas ini ekivalen dengan fase pengujian (testing) pada model proses waterfall.

e. Perbaikan prototipe sistem pendukung keputusan dilakukan oleh pengembang. Aktivitas ini merupakan pengulangan (iterasi perbaikan) ke proses berikutnya (mulai dari perancangan cepat, pembentukan prototipe, dan evaluasi) untuk mencapai produk yang sesuai dengan kebutuhan pengguna (produk akhir/rekayasa plus dokumentasinya).

Pada model ini, satu siklus pengembangan (setiap iterasi) akan menghasilkan sebuah versi sistem. Dengan demikian pada saat hasil akhirnya diterima oleh pengguna, bisa jadi terdapat beberapa versi sistem pendukung keputusan.

2.6 Penilaian Rencana Pengembangan Agroindustri

Menurut Hitchner (2006), ada beberapa pendekatan dalam menilai sebuah usaha atau business interest. Pendekatan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Pendekatan pendapatan (income approach) 2. Pendekatan pasar (market approach) 3. Pendekatan asset (asset approach)

Pendekatan pendapatan umumnya yang paling banyak digunakan dalam penilaian rencana pengembangan industri karena asumsi yang digunakan dalam hal ini adalah bahwa industri selalu berusaha untuk mendayagunakan aktiva produktifnya untuk menghasilkan keuntungan saat ini maupun di masa depan.

Pendekatan pendapatan dalam melakukan penilaian dilakukan berdasarkan prinsip antisipasi dengan konsep dasarnya adalah penilaian finansial, dimana nilai sebuah business interest diartikan sebagai suatu jumlah dari manfaat ekonomi (pendapatan) yang dihasilkan oleh business interest tersebut di masa yang akan

datang. Hal tersebut dikemukakan oleh James R. Hitchner (2006) yang menyatakan bahwa “the real value of any going business is its future earning

power.” Hal yang sama juga dikemukan oleh Brealey dan Meyers (2002)yang

mengatakan bahwa “value today always equals future cash flow discounted at the

opportunity cost of capital.”

Proses penilaian dengan menggunakan pendekatan pendapatan memerlukan estimasi berkenaan dengan arus tingkat pendapatan yang diharapkan dan tingkat pengembalian investasi yang dipersyaaratkan. Nilai dari investasi atau business interest (korporat atau ekuitas) adalah nilai kini (present value) dari jumlah pendapatan mendatang yang dihasilkan oleh investasi tersebut. Nilai korporat atau ekuitas diestimasi dengan cara:

· Mengkuantifikasi stream of income yang dihasilkan oleh investasi yang dinilai dan variabel pendapatan ini akan menjadi numerator (pembilang dalam analisis.

· Menjumlah stream of income tersebut menjadi nilai kini dengan opportunity cost of capital yang digunakan untuk menghasilkan income tersebut. Variabel biaya kapital ini selanjutnya akan menjadi denominator (penyebut) dalam analisis.

Pendekatan pendapatan dibedakan ke dalam 2 metode, yaitu metode diskonto (discounted cash flow method) dan metode kapitalisasi langsung (direct capitalization method). Dalam metode diskonto, dilakukan proyeksi terhadap semua manfaat ekonomis yang diharapkan di masa mendatang seperti arus kas bersih atau variabel pendapatan lain dan mendiskonto setiap manfaat yang diharapkan tersebut ke dalam nilai sekarang dengan suatu tingkat diskonto dan mengalikannya dengan discount factor yang mencerminkan biaya kapital jenis investasi tersebut. Estimasi ini adalah jumlah keseluruhan dari nilai sekarang tersebut. Sedang dalam metode kapitalisasi langsung maka kita membagi satu manfaat ekonomis tunggal baik historis maupun proyeksi seperti arus kas bersih atau variabel pendapatan lain yang mencerminkan kemampuan investasi dalam menghasilkan pendapatan di masa mendatang dengan suatu tingkat kapitalisasi

yang mencerminkan tingkat diskonto variabel tersebut dikurangi dengan tingkat pertumbuhan jangka panjang variabel tersebut bila masih ada pertumbuhan.

Dalam hal seseorang membeli suatu perusahaan apakah yang berbentuk badan hukum ataupun yang bukan badan hukum, maka yang dibeli bukanlah produk, manajemen, pasar ataupun teknologinya, melainkan kita membeli prospek arus pendapatan ekonomis yang dimiliki oleh perusahaan tersebut (Pratt, Reilly et al., 2000). Pendapatan ekonomis suatu entitas usaha bisa berupa pendapatan bruto, laba kotor, pendapatan sebelum pajak, pendapatan bersih, arus kas bersih dan sebagainya. Semua jenis pendapatan ekonomis itu, kemudian dapat dikonversi menjadi nilai dengan menggunakan tingkat diskonto ataupun tingkat kapitalisasi yang memadai sesuai dengan jenis pendapatan ekonomis yang digunakan.

Dari kacamata teori, nilai suatu bisnis atau suatu kepentingan pada bisnis tergantung pada pertumbuhan manfaat yang akan diterima di masa yang akan datang, dengan nilai manfaat ekonomis mendatang itu didiskontokan kembali kedalam nilai sekarang pada tingkat diskonto yang memadai. Dengan kata lain, konsep dasar dari pendekatan pendapatan adalah memproyeksikan pendapatan ekonomis pada masa mendatang dihubungkan dengan investasinya dan mendiskontokan proyeksi arus pendapatan ke dalam nilai sekarang pada tingkat diskonto yang memadai sesuai dengan risiko yang diharapkan dari prospek arus pendapatan ekonomis.

Sebagaimana dikemukakan pada bagian awal bahwa pendekatan pendapatan berdasarkan kepada prinsip antisipasi dalam ekonomi. Dalam pendekatan itu maka nilai dari suatu investasi adalah nilai sekarang (present value) dari ekspektasi pendapatan ekoonomis yang dihasilkan oleh investasi tersebut di masa yang akan datang. Dengan demikian, suatu investasi baru akan mempunyai nilai apabila investasi tersebut dapat memberikan pengembalian yang lebih besar dibandingkan dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk memperoleh pendanaan dalam pembiyaan investasi tersebut.

Untuk keperluan penilaian, maka ukuran untuk menentukan pendapatan ekonomis yang dianalisis dapat ditentukan dengan berbagai cara, namun yang lazim adalah: pengeluaran/pembayaran seperti dalam bentuk dividen, bunga, arus

kas, pendapatan bersih atau pendapatan bersih dari operasi. Dalam kaitan dengan itu maka arus pendapatan ekonomis mana yang dimaksudkan harus didefinisikan secara tegas demikian juga tingkat diskonto (WACC)yang digunakan dalam analisis.

2.6.1 Penilaian Usaha dengan Menggunakan Pendekatan Income

Metode yang dipergunakan untuk melakukan penilaian investasi dengan menggunakan pendekatan income yang umum digunakan adalah:

a. Net Present Value (NPV)

Metode Nilai Sekarang Bersih (Net Present Value / NPV) adalah metode penilaian kelayakan investasi yang menyelaraskan nilai akan datang arus kas menjadi nilai sekarang dengan melalui pemotongan arus kas dengan memakai faktor pengurang pada tingkat biaya modal tertentu.Metode NPV digunakan untuk menentukan apakah nilai suatu investasi ini menguntungkan atau tidak, dapat didefinisikan sebagai berikut:

· NPV > 0, investasi diterima

· NPV < 0, investasi di tolak

· NPV = 0, investasi bersifat marginal

Formula untuk menghitung nilai NPV adalah sebagai berikut:

      n t t n t t i t Co i t C NPV 0 0 (1 ) ) ( ) 1 ( ) ( Dimana,

(C)t = Arus kas masuk pada tahun ke-t. (Co)t = Arus kas keluar pada tahun ke-t. n = Umur unit usaha hasil investasi. i = Arus pengembalian (rate of return) t = Waktu

b. Internal Rate of Return (IRR)

Metode tingkat balikan internal atau internal rate of return (IRR) adalah metode evaluasi kelayakan investasi menggunakan rasio laba dari penanaman modal

(return on investment) dalam jumlah dan waktu dimana nilai sekarang (present

pengeluaran investasi awal. Secara umum IRR digunakan untuk menjelaskan apakah rencana proyek cukup menarik bila dilihat dari segi tingkat pengembalian yang telah ditentukan, prosedur yang lazim digunakan adalah mengkaji tingkat pengembalian yang menghasilkan NPV arus kas masuk sama dengan NPV arus kas keluar.

Rumusannya adalah sebagai berikut:

 

n t t n t t

i

t

Co

i

t

C

0 0

(1

)

)

(

)

1

(

)

(

Dimana,

(C)t = Arus kas masuk pada tahun ke-t. (Co)t = Arus kas keluar pada tahun ke-t. n = Umur unit usaha hasil investasi. i = Arus pengembalian (rate of return) t = Waktu

Metode IRR digunakan untuk menentukan apakah nilai suatu investasi ini menguntungkan atau tidak, dapat didefinisikan sebagai berikut:

· IRR >WACC, investasi diterima

· IRR < WACC, investasi di tolak

· IRR = WACC, investasi bersifat marginal

c. PaybackPeriod

Metode Pemulihan Investasi (Payback Period) adalah metode analisa kelayakan investasi yang berusaha untuk menilai persoalan kelayakan investasi menurut jangka waktu pemulihan modal yang diinvestasikan, biasanya dinyatakan dalam hitungan tahun.

2.6.2 Perhitungan Biaya Modal Tertimbang (WACC)

Komponen biaya modal disini adalah tingkat pendapatan yang diharapkan oleh pasar untuk mendapatkan keuntungan dari suatu investasi(Brealey dan Myers, 2002). Setiap komponen dalam struktur pembiayaan sebuah perusahaan memiliki biaya tertentu, dan komponen biaya tersebut membemtuk Biaya Modal Rata-rata Tertimbang atau Weighted Average Cost of Capital (WACC).

Dalam menghitung WACC langkah-langkah yang harus dilakukan adalah sebagai berikut(Hitchner, 2006):

a) Menentukan bobot masing-masing komponen dalam struktur modal berdasarkan nilai pasar masing-masing komponen

b) Estimasi biaya utang c) Estimasi biaya ekuitas

Dalam menentukan struktur modal ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu:

a. Analisis struktur modal historis dari perusahaan yang dinilai b. Analisis struktur modal perusahaan pembanding

c. Analisis rencana dan pandangan manajemen

Dalam mendefinisikan struktur kapital, maka apabila kita mengartikan sebagai nilai dari perusahaan sebagai lawan dari nilai ekuitas, maka selalu diartikan sebagai nilai susunan kapital. Namun masih sering ada keraguan tentang apa yang termasuk ke dalam pengertian kapital. Yang sering dipertanyakan adalah apakah utang jangka panjang dan utang tidak berbunga juga masuk? Pada umumnya dianut pendapat bahwa pengertian susunan kapital adalah mencakup semua ekuitas dan semua utang jangka panjang baik yang sudah maupun belum jatuh tempo (Pratt, Reilly et al., 2000). Namun untuk menilai kapital menggunakan DCF, sangat perlu untuk memasukkan bunga dari pinjaman jangka panjang dalam pendapatan yang didiskonto dan memperlukakukan bunga yang lain sebagai expenses.

Adapun formula perhitungan WACC adalah sebagai berikut:

Dimana:

• Kd adalah Komponen Biaya Hutang

• D/A adalah proporsi hutang terhadap total modal

• Ke adalah Komponen Biaya Modal Sendiri

Gambar 2-51 Kerangka Perhitungan Biaya Modal

Komponen biaya modal sendiri (cost of equity) terdiri atas :

(1) tingkat bunga bebas risiko (risk free rate) yaitu pendapatan yang dianggap dapat diperoleh dari instrumen investasi yang secara umum dianggap sebagai investasi bebas risiko oleh pelaku pasar. Instrumen yang dianggap mewakili di Indonesia adalah Sertifikat Bank Indonesia atau tingkat bunga obligasi pemerintah.

(2) Risiko premium, yaitu tingkat pendapatan (return) yang diharapkan investor/pemilik modal sendiri saat melakukan investasi yang berisiko dengan tingkat pendapatan yang diharapkan saat melakukan investasi yang tidak berisiko.

Adapun perumusan dari komponen biaya ekuitas ini adalah:

[ ]

Dimana:

· Rf adalah prosentase/rate return yang diharapkan dari investasi yang bebas resiko.

· Beta adalah ukuran reaksi harga saham perusahaan terhadap perubahan harga pada pasar saham.

· Erm adalah return yang diharapkan dari pasar yang dihitung sebagai fluktuasi dari Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) atau Jakarta Composite Index (JCI).

Beta ini berfungsi mengukur sensitivitas dari tingkat pendapatan (return) dari saham Perusahaan terhadap pergerakan tingkat pendapatan pasar secara keseluruhan. Beta ini dihitung sebagai covariance saham Perusahaan terhadap variance IHSG. Nilai Beta dari saham Perusahaan dihitung dari pergerakan harga saham Perusahaan terhadap pergerakan IHSG..

Komponen biaya hutang (Cost of Borrowings) yang diperhitungkan dalam struktur modal pada umumnya adalah hutang jangka panjang atau hutang investasi, yang pada umumnya sama dengan tingkat bunga hutang yang harus dibayar oleh perusahaan. Komponen biaya hutang ini harus memperhitungkan faktor tax shield yang dinikmati oleh perusahaan. Dengan demikian maka komponen biaya hutang dihitung sebagai tingkat bunga pinjaman setelah dikurangi tingkat pajak yang berlaku.

2.7 Analisa Resiko Menggunakan Model Simulasi

Salah satu teknik analisis resiko yang umum digunakan adalah simulasi Monte

Carlo. Teknik analisis resiko Monte Carlo ini dikembangkan pada awal tahun

1960 an. Salah satu pendukung penggunaan teknik ini adalah Hertz(1964), yang dalam makalahnya di Havard Business Review telah berjasa menyebarluaskan teknik ini ke masyarakat luas.

Pada dasarnya, simulasi Monte Carlo melibatkan penggunaan distribusi peluang dan bilangan random dalam perhitungannya. Dengan bantuan komputer, distribusi peluang nilai Net Present Value, IRR, maupun indikator-indikator lainnya akan dapat diperoleh (Abor, 2005; Evans dan Olson, 2005).

Simulasi Monte Carlo akan mengganti nilai total aliran kas bersih tiap tahun dengan distribusi peluang tiap faktor yang mempengaruhi total aliran kas bersih (contoh: pendapatan atau komponen-komponen sumberdaya). Distribusi peluang faktor-faktor penting yang disimulasikan mengambarkan unsur ketidakpastian dari faktor-faktor penting tersebut (Smith, 1994).

Dengan memanfaatkan komputer, simulasi dapat melakukan observasi acak dari tiap distribusi peluang untuk digunakan dalam perhitungan net cash flow tiap tahun sepanjang umur investasi proyek. Selanjutnya aliran kas yang diperoleh dari hasil simulasi ini digunakan untuk menghitung indikator-indikator kinerja

investasi proyek maupun indikator-indikator keuangan perusahaan lainnya. Keseluruhan proses kemudian akan diulang kembali dalam jumlah yang besar, untuk medapatkan distribusi peluang kinerja yang diinginkan (bukan nilai tunggal). Penyebaran distribusi peluang tersebut akan menggambarkan tingkat ketidakpastian disekitar aliran kas proyek.

Proses simulasi Monte Carlo ini merupakan siklus pengulangan. Apabila distribusi yang dihasilkan dari proses pengulangan ini digambarkan dalam bentuk grafik sebagai distibusi frekuensi, maka gambaran yang didapatkan akan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan keputusan manajerial. Pengambil keputusan akan sangat terbantu dengan gambaran resiko yang ada dibandingkan dengan hanya menggunakan model pembangunan aliran kas yang konvensional.

Meskipun penggunaan Simulasi Monte Carlo banyak digunakan pada analisa resiko penilaian investasi, namun lebih dari itu, sebenarnya konsep dan teknik tersebut dapat digunakan dalam konteks keseharian proses manajerial(Abor, 2005).

Beberapa perangkat lunak simulasi berbasis komputer sudah tersedia di pasar saat ini namun masih terbatas digunakan oleh beberapa kalangan saja. Sebagian besar pengguna model ini menggunakan perangkat lunak Add ins yang terintegrasi dengan perangkat lunak spreadsheet seperti @risk dan Crystall Ball. Namun, dengan perkembangan paket-paket perangkat lunak spreadsheet yang telah memasukkan banyak fasilitas-fasilitas perhitungan statistik, Macro dan VBA, ketergantungan terhadap software Add Ins menjadi semakin berkurang (Gunarta, 2006). Secara umum proses simulasi Monte Carlo yang akan digunakan untuk mengevaluasi resiko nilai tukar digambarkan berupa diagram alir pada Gambar 2-52.

Risiko pada umumnya merupakan faktor yang dapat dikelola dengan cara mengalihkan (transfer), menghindarkan (avoidance), mengurangi atau mencegah

(reduction/mitigation) dan dengan menerima (acceptance). Mengurangi atau

mencegah merupakan pendekatan yang paling memungkinkan dalam pengelolaan risiko bagi perusahaan perkebunan kelapa sawit dengan memaksimalkan tata kelola perusahaan (Pardamean, 2011). Menurut Pardamean (2011), jenis-jenis

risiko pada agroindustri CPO antara lain sebagaimana yang terlihat padaTabel 2-9.

.

Gambar 2-52 Logika Simulasi Monte Carlo

Mulai For i = 1 To N N = Jumlah Iterasi TH= Umur Proyek Sample Distribusi Probabilitas untuk Tahun ke j Eksekusi Model Proyeksi Keuangan j For j = 1 To TH

Hitung dan Record Indikator Kinerja Finansial Proyek dan

Perusahaan

i

Ringkas Hasil dan Gambarkan dalam Bentuk Distribusi Frekuensi untuk Setiap

Tabel 2-9 Jenis Risiko pada Agroindustri CPO No Jenis Risiko Bentuk Risiko

1 Risiko produk (TBS) Tidak tercapainya target produksi TBS yang tidak tahan lama

Penerimaan TBS yang tidak sesuai dengan standar (TBS mentah, tangkai panjang, dll)

TBS telah berbentuk brondolan TBS busuk

Persaingan dari produk lain 2 Risiko pasar Turunnya harga CPO 3 Risiko proses Bibit yang tidak layak

Pemeliharaan pembibitan

Pembukaan lahan dan pemeliharaan tanaman kelapa sawit yang tidak sesuai dengan standar

3 Risiko sistem Kehilangan bahan/material

Penggunaan bahan yang tidak efektif Hari kerja fiktif

Penggunaan dana tidak efisien 4 Risiko hukum Ketidakpastian aturan

Kesalahan atau ketidakmapuan Melanggar kontrak atau perjanjian Korupsi

5 Risiko lingkungan Pengelolaan kebun yang tidak ramah lingkungan Penerapan CSR yang tidak tepat

6 Risiko asset Kebakaran Keamanan IT

2.8 Penelitian Terkait

Permasalahan pengembangan industri merupakan permasalahan yang kompleks. Kompleksitas tersebut disebabkan oleh banyaknya elemen-elemen yang mempengaruhi dan saling mempengaruhi dalam menentukan keberhasilan dari industri yang dikembangkan, bersifat dinamis dan memiliki ketidakpastian atas parameter-parameter penentunya. Cukup sulit dan memakan waktu untuk melakukan analisis dan sintesa terhadap keseluruhan dari sistem yang ada secara holistik.

Penelitian-penelitian yang sebelumnya telah mengambil beberapa sudut pandang, pendekatan dan metode-metode dalam rangka memberikan solusi maupun rancangan untuk keberhasilan industri yang dikembangkan. Cukup banyak model-model yang telah dikembangkan, diimplementasikan dan dievaluasi atas dasar penelitian-penelitian yang telah dilakukan.

Terkait dengan pengembangan industri kelapa sawit di Indonesia, Hambali (2005) telah mengkaji pengembangan klaster industri turunan minyak kelapa sawit dengan memberikan masukan-masukan terkait permasalahan dan aktivitas- aktivitas yang harus dilakukan dalam pengembangan klaster industri minyak kelapa sawit sementara Pahan, Gumbira-Sa’id et al. (2011) fokus mengkaji kinerja klaster industri kelapa sawit di Riau melalui strategi integrasi rantai pasok, infrastruktur penunjang dan pembenahan lingkungan ekonomi dan usaha dengan menggunakan model multi criteria decision making. Penelitian tersebut mengindikasikan bahwa strategi pembenahan infrastruktur penunjang akan dapat meningkatkan kinerja industri kelapa sawit dengan signifikan. Jatmika (2007) meneliti tentang pengembangan agroindustri kelapa sawit dengan strategi pemberdayaan dan Basdabella (2001) meneliti tentang pengembangan Sistem Agroindustri Kelapa Sawit dengan Pola Perusahaan Industri Rakyat.

Penelitian yang terkait dengan dukungan infrastruktur pelabuhan dan transportasi untuk industri minyak kelapa sawit di Indonesia telah dilakukan oleh Aryawan dan Setijoprajudo (2010), Ufron dan Setijoprajudo (2010), Ristianto (2003). Sementara pengembangan model-model untuk penentuan lokasi pelabuhan secara umum sebagai infrastruktur utama untuk industri dilakukan oleh Malchow (2001), Bruce A.Blonigen (2006), Prakash Gaur (2005) serta Mtthew Brian Malchow dan Kanafani (2001).

Pengembangan industri kelapa sawit juga menjadi topik yang penting di Mozambique. Capitine (2010) meneliti tentang pengembangan klaster industri minyak kelapa sawit di negaranya dan menyimpulkan bahwa pengembangan industri minyak yang berasal dari kelapa sawit lebih menguntungkan dibandingkan dengan yang berasal dari sumber lainnya. Berdasarkan benchmark yang dilakukan oleh Capitine, pengembangan industri ini pada lokasi geographis yang berdekatan akan dapat meningkatkan keunggulan bersaing dari industri ini.

Penggunaan model spasial dalam menentukan lokasi pengembangan industri telah banyak dipublikasikan di jurnal-jurnal internasional. Model-model spasial yang digunakan pada umumnya mengkombinasikan antara sistem

informasi geografis dengan model-model matematis maupun model-model multi kriteria.

Penggunaan model-model multi criteria decision support system untuk pengembangan industri dilakukan oleh Ruiz, Romero et al. (2012) yang mengkombinasikan fuzzy AHP dengan GIS, Hagadone dan Grala (2012) menggunakan neighboring spatial analysis untuk membangun industri berbasis kehutanan di Missisipi. Ocalir, Ercoskun et al. (2010) mengkombinasikan model fuzzy logic dengan GIS untuk menentukan lokasi pangkalan taxi, Radiarta, Saitoh et al. (2008) menggunakan model multi kriteria berbasis GIS untuk mengidentifikasi lokasi pengembangan aquaculture di Jepang dan Hossain, Chowdhury et al. (2009) di Bangladesh.

Disamping penggunaan model-model spatial multi criteria decision making, beberapa peneliti juga menggunakan model-model matematis dalam melakukan analisis spasial untuk tujuan penelitiannya. Terkait dengan permasalahan penentuan lokasi pengembangan energi biomassa, Zhang, Johnson et al. (2011). Penelitian Zhang ini mempertimbangkan biaya transportasi dalam pengumpulan sumber-sumber bahan energi biomas yang tersebar secara geographis. Eddie, Cheng et al. (2007) memasukkan model gravitasi dalam sistem GIS untuk menentukan lokasi pusat perbelanjaan sementara Benoit dan Clarke (1997) menggunakan teknologi GIS, GPS dan model multi objective untuk menentukan lokasi retail.

Model-model analisis spasial yang dikembangkan untuk permasalahan lokasi dan alokasi dilakukan oleh Gar-On, Yeh et al. (1996) yang mengintegrasikan antara model lokasi-alokasi dengan GIS untuk menentukan perencanaan lokasi fasilitas publik demikian juga halnya dengan yang dilakukan oleh London (1990) dengan kasus penentuan lokasi sekolah di negara-negara berkembang. Berman dan Mandowsky (1996) mengembangkan model lokasi alokasi untuk permasalah jaringan transportasi yang padat. Permasalahan lokasi alokasi multi periode seperti yang dilakukan pada penelitian ini juga telah dilakukan oleh Sha dan Huang (2012). Model Lokasi dan Alokasi

Model lokasi-alokasi merujuk pada algoritma yang digunakan dalam sistem informasi geografis untuk menentukan lokasi yang optimal dari satu atau lebih fasilitas yang akan melayani perimintaan dari sekumpulan titik tertentu. Algoritma yang dapat digunakan untuk melihat kemampuan dari fasilitas-fasilitas tersebut dalam melayani permintaan yang ada bergantung dari beberapa faktor seperti ketersediaan fasilitas, biaya, dan kondisi infrastruktur dari fasilitas menuju titik permintaan tersebut (Sommer dan Wade, 2006).