• Tidak ada hasil yang ditemukan

Industri Pertambangan Bauksit 1. Gambaran Umum

Dalam dokumen Kajian SUPPLY DEMAND MINERAL (Halaman 46-62)

Aluminium (dalam bentuk bauksit) adalah suatu mineral yang berasal dari magma asam yang mengalami proses pelapukan dan pengendapan secara residual. Proses pengendapan residual sendiri merupakan suatu proses pengkonsentrasian mineral bahan galian di tempat.

Aluminium merupakan suatu metal reaktif, dan tidak terjadi secara alami. Oleh karena itu, aluminium tak dikenal sebagai unsur terpisah sampai tahun 1820-an, walaupun keberadaannya telah diramalkan oleh beberapa ilmuwan yang telah belajar aluminum campuran. Aluminium pertama kali diproduksi dengan bebas oleh ahli kimia dan ahli ilmu fisika yang berasal dari Denmark, Hans Oersted Kristen, dan ahli kimia Jerman, Frederich Wohler, pada pertengahan tahun 1820-an. Nama aluminum diperoleh dari bahasa latin: alumen, yang berarti tawas (suatu aluminium sulfate mineral).

Ciri-ciri aluminium adalah:

• Aluminium merupakan logam yang berwarna perak-putih;

• Aluminium dapat dibentuk sesuai dengan keinginan karena memiliki sifat plastisitas yang cukup tinggi;

• Merupakan unsur metalik yang paling berlimpah dalam kerak bumi setelah silisium dan oksigen.

Aluminum merupakan unsur metal yang paling berlimpah-limpah di dalam kerak bumi. Guinea, Australia dan Austria mempunyai sekitar setengah cadangan dunia. Negara-negara lain dengan cadangan utama meliputi Brazil, Jamaica, dan India.

Pada skala Internasional, Indonesia merupakan produsen bauksit terbesar ke-7 di dunia, sementara produsen terbesar bauksit dunia, antara lain Australia sebesar 63,00 juta ton, China sebesar 32,00 juta ton, selanjutnya Brasil sebesar 25,00 juta ton, India sebesar 20,00 juta ton, Guinea sebesar 18,00 juta ton, dan Jamaica sebesar 15,00 juta ton.

Secara garis besar, struktur supply chain industri aluminium dibedakan menjadi beberapa kelompok berikut:

• Industri Hulu: ingot, scrap

Pemenuhan bahan baku produk aluminium mulai tidak bergantung kepada impor sejak didirikannya PT INALUM sejak tahun 1982 di Kuala Tanjung yang memproduksi aluminium ingot primer di Indonesia. Bahan baku untuk memproduksi ingot primer tersebut adalah Alumina.

Aluminium adalah logam yang sangat reaktif yang membentuk ikatan kimia berenergi tinggi dengan oksigen. Dibandingkan dengan logam lain, proses ekstraksi aluminium dari batuannya memerlukan energi yang tinggi untuk mereduksi Al2O3. Proses reduksi ini tidak semudah mereduksi besi dengan menggunakan batu bara, karena aluminium merupakan reduktor yang lebih kuat dari karbon.

Proses produksi aluminium dimulai dari pengambilan bahan tambang yang mengandung aluminium (bauksit, corrundum, gibbsite,

boehmite, diaspore, dan sebagainya). Selanjutnya, bahan tambang

dibawa menuju proses Bayer. Proses Bayer menghasilkan alumina (Al2O3) dengan membasuh bahan tambang yang mengandung aluminium dengan larutan natrium hidroksida pada temperatur 175°C sehingga menghasilkan aluminium hidroksida, Al(OH)3. Aluminium hidroksida lalu dipanaskan pada suhu sedikit di atas 1000°C sehingga terbentuk alumina dan H2O yang menjadi uap air. Setelah Alumina dihasilkan, alumina dibawa ke proses Heroult. Proses

Hall-Heroult dimulai dengan melarutkan alumina dengan lelehan Na3AlF6,

atau yang biasa disebut cryolite. Larutan lalu dielektrolisis dan akan mengakibatkan aluminium cair menempel pada anoda, sementara oksigen dari alumina akan teroksidasi bersama anoda yang terbuat dari karbon, membentuk karbon dioksida.

Sejalan dengan perkembangan pertumbuhan demand dan perkembangan Industri Aluminium di Indonesia, maka sebanyak 40%

Industri Antara: billet, rod, kawat, plate/sheet

Dari produk hulu berupa ingot, diproses lebih lanjut menjadi produk antara berupa produk aluminium lembaran dan produk aluminium batangan. Kedua jenis produk tersebut diproses lebih lanjut menjadi produk hilir atau produk jadi yang akan dipakai di segala sektor. • Industri Hilir: foil, pipa, produk aluminium lainnya

Industri Hilir aluminium merupakan produk akhir yang akan digunakan langsung oleh konsumen seperti Aluminium strip/foil, kawat dan kabel, pipa, profil/ekstrusi, komponen dan peralatan rumah tangga. Misal dengan memakai proses Dies Casting akan dihasilkan komponen-komponen kendaraan bermotor.

Sampai saat ini, produksi bijih bauksit Indonesia seluruhnya diekspor dalam bentuk mentah (raw material), belum diolah dan dimurnikan, dan seluruh hasil produksi tersebut dijual ke beberapa negara, khususnya ke China sebagai negara importir bauksit utama Indonesia, kalaupun ada pengolahan hanya sebatas pencucian (washing), atau pencampuran (blending).

Di Indonesia, bauksit ditemukan di Provinsi kepulauan Riau, Provinsi Kalimantan Barat, Provinsi Kalimantan Tengah, dan Provinsi Bangka Belitung. Data Pusat Survei Geologi tahun 2011 menunjukkan jumlah sumber daya bauksit di Indonesia sebesar 700.342.407,00 ton bijih dan 240.898.678,02 ton logam dengan cadangan sebesar 280.393.932,00 ton bijih dan 100.959.000,32 ton logam.

Sumber daya dan cadangan bauksit Indonesia bila dirinci lebih lengkap, antara lain sumber daya hipotetik (bijih 119,59 juta ton, logam 45,39 juta ton), tereka (bijih 174,95 juta ton, logam 76,92 juta ton), terunjuk (bijih 27,40 juta ton, logam 12,19 juta ton), dan sumber daya terukur (bijih 349,61 juta ton, logam 134,65 juta ton), sedangkan jumlah cadangan tereka diketahui (bijih 82,10 juta ton, logam 38,19 juta ton), sedangkan cadangan terbukti (bijih 97,40 juta ton, logam 34,88 juta ton) (total keseluruhan ± 1,322.594.017 ton) dengan kadar Al2O3 berkisar 27- 55 persen (Pusat Sumber Daya Geologi, 2011).

Pada tahun 2007-2010, ekspor bauksit Indonesia meningkat besar sekali dibanding periode 2003-2006, disebabkan bertambahnya produksi dari KP-KP bauksit yang berada di Kalimantan Barat dan Kepulauan Riau, yang sebelumnya produksi sebagian besar dihasilkan oleh PT Antam.

Mengingat tidak ada instalasi refineri (pabrik alumina) di dalam negeri, ekspor bauksit mencerminkan perkembangan produksi. Berdasarkan data dari Kementrian Perdagangan, ekspor bauksit Indonesia mulai tahun 2006 terjadi peningkatan yang cukup berarti. Meskipun tahun 2009 sempat menurun dari sisi volume, tetapi harganya naik sehingga nilainya terus meningkat. Tahun 2010 ekspor bauksit meningkat pesat dapat menembus 25 juta ton. Kondisi volume dan nilai ekspor bauksit di Indonesia dalam 2 tahun terakhir (2011-2012) mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Bila dilihat dari negara tujuan ekspor selama kurun waktu tersebut (2005-2012) pada umumnya ditujukan ke Jepang, Taiwan, China, Russia dan Thailand. Sedangkan bila dilihat dari total ekspornya China merupakan pengimpor terbesar, disusul kemudian oleh Jepang dan Taiwan.Hal ini dapat terlihat pada tabel 2.6 dan 2.7 serta gambar 2.14 dan 2.15

Tabel 2.6 Nilai Ekspor Bijih Bauksit dan Konsentrat (USD)

Sumber: Pusdatin Kementerian Perdagangan (Diolah Tim Kajian SDM)

Gambar 2.14 Grafik Nilai Ekspor Bauksit (USD/Month)

Tabel 2.7 Volume Ekspor Bijih Bauksit dan Konsentrat (Kg)

Sumber: Pusdatin Kementerian Perdagangan (Diolah Tim Kajian SDM)

Di sisi lain, munculnya negara-negara industri baru di kawasan Asia diharapkan akan mendorong meningkatnya kebutuhan akan bauksit. Namun diperkirakan pasar akan dipengaruhi dengan masuknya pasokan bauksit dari negara lain seperti dari Afrika, Eropa Timur termasuk negara-negara bekas Uni Soviet.

Asosiasi produsen bauksit dunia akan turut menentukan kondisi pasar bauksit dunia yang tergabung dalam International Bauxite

Asosiciation (IBA) dan Indonesia termasuk salah satu anggotanya.

Anggota-anggota organisasi ini antara lain Australia. Dominika, Ghana, Guinea, Guyana, Haiti, Jamaika, Suriname, bekas negara Yugoslavia dan Sierra Leone. Selama ini tidak terlihat gejolak dalam asosiasi ini sehingga dapat dianggap bahwa pasokan bauksit di pasaran dunia cukup terkendali.

Berdasarkan data dan informasi Indexmundi.Com, wilayah Asia merupakan penghasil bauksit terbesar dunia dengan kontribusi sebesar 56,94%, disusul kemudian wilayah Amerika (24,89%), Afrika dan Timur Tengah (10,31%) dan Eropa dan Erasia (7,85%). Cina merupakan penghasil bauksit (30 juta ton) terbesar kedua di dunia setelah Australia (62,43 juta ton) dan juga sebagai penghasil alumina (19,5 juta ton) dan aluminium (12,6 juta ton) terbesar di dunia. Sedangkan Indonesia sebagai penghasil bauksit meningkat dengan jumlah sekitar 40 juta ton pada tahun 2011 dan kecendrungan nya akan terus meningkat di tahun 2012 ini. Untuk kondisi 2009, produsen aluminium dunia tetap sebagian besar berada di kawasan Asia (46%), kemudian disusul kawasan Amerika, Eropa, Oceania dan Afrika. Adapun aluminium merupakan salah satu bahan logam yang telah banyak digunakan di berbagai sektor industri manufaktur, terutama pada sektor industri transportasi dan bangunan & kontruksi.

Dari sisi harga, harga bauksit sangat ditentukan oleh pasar Internasional. Beberapa faktor yang dominan mempengaruhi harga tersebut adalah perkembangan pabrik peleburan alumina dan aluminium. Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, harga bauksit hampir melipat 2 kali lipat, yang semula hanya 17 US$/MT menjadi sekitar 26

2.3.2. Potensi Peningkatan Nilai Tambah

Aluminium merupakan salah satu logam yang sangat penting dalam dunia industri manufaktur dan digunakan diberbagai sektor kegiatan dan mempunyai segmentasi pasar yang luas di berbagai sektor kegiatan ekonomi. Bauksit adalah bahan baku utama untuk menghasilkan aluminium, setelah melalui dua kali tahap pemrosesan yaitu proses bayer (alumina) dan proses Hall-Heroult (aluminium). Indonesia sebagai salah satu penghasil bauksit di dunia, belum memiliki pabrik pemrosesan alumina sehingga seluruh produk bauksitnya dijual ke luar negeri.

Indonesia memiliki kekuatan tawar-menawar yang tinggi di pasar bauksit dunia disebabkan sebagai pemasok yang cukup besar (9% dari produk bauksit dunia), dan juga dapat menyediakan dan menawarkan bauksit yang diperlukan untuk memproduksi barang atau menyediakan jasa oleh negara-negara industri atau perusahaan yang terkait dengan alumina dan aluminium. Dalam organisasi atau asosiasi bauksit dunia, para pemasok saling bersaing antar satu dengan lainnya untuk mendapatkan pembeli dan menguasai pasar bauksit. Apabila pemasok mampu mengendalikan perusahaan dalam hal penyediaan bauksit yang memenuhi spesifikasi yang diinginkan pembeli atau pasar, maka pemasok akan mempunyai kemampuan untuk mengendalikan pasar, atau pemasok memiliki posisi tawar industri yang kuat dan sebaliknya posisi tawar pemasok menjadi lemah bila pemasok tidak menghasilkan produk bauksit yang tidak sesuai dengan spesifikasi pasar. Saat ini Indonesia sudah memiliki keunggulan di bidang kuantitas produksi dan kuantitas sumber daya bauksit, namun kedua hal tersebut belum bisa menjadikan posisi Indonesia kuat di pasar bauksit dunia.

Dalam lima tahun terakhir (2008 – 2012) ada kecenderungan peningkatan permintaan industri terhadap alumina dan aluminium dalam negeri. Dengan demikian jelas sekali hal tersebut membutuhkan bauksit sebagai bahan bakunya. Oleh sebab itu, prospek pendirian pabrik pengolahan bauksit menjadi alumina dan aluminium sangat menguntungkan bagi Indonesia dilihat dari berbagai sisi, antara lain optimalisasi nilai tambang, tersedianya bahan baku bagi industri di dalam negeri (menghemat devisa negara), penyerapan tenaga kerja (peningkatan keahlian, kemampuan dan penyediaan lapangan kerja

terampil), serta peningkatan penerimaan negara (royalti dan pajak). Oleh sebab itu ekspor bauksit yang selama ini dilakukan ke China dan Jepang oleh Indonesia sudah harus dihentikan, dan diganti dengan alumina atau aluminium sesuai ketentuan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang akan berlaku efektif lima tahun setelah Undang-Undang ini terbit atau tahun 2014.Gambar 2.16.berikut memperlihatkan skema peningkatan nilai

tambah bijih bauksit dari Hulu Pertambangan Hilir Pertambangan

Hulu Perindustrian

Hulu Pertambangan Hilir Pertambangan Hulu Perindustrian

Sumber: Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara, KESDM Gambar 2.16 Skema Peningkatan Nilai Tambah Bauksit

Industri aluminium sangat tergantung pada bahan baku utama yaitu bauksit dan bahan penolong lainnya seperti energi listrik, batubara dan soda kustik (caustic soda) yang digunakan dalam preparasi alumina untuk elektrolisis dan karbon untuk manufaktur elektroda, serta manajemen dan tenaga kerja.

Berbagai produk dapat dibuat dengan menggunakan bahan baku aluminium. Berdasarkan bahan baku dan aliran prosesnya, struktur industri produk aluminium dapat digambarkan seperti gambar berikut:

Menurut (Lewis, 1949), untuk menghasilkan satu ton aluminium diperlukan energi listrik sekitar 20.000-25.000 kWh, 4-5 ton bauksit, 4-5 ton batubara, sejumlah air, sekitar satu ton soda kustik dan 0,5-0,6 ton elektroda karbon. Dalam tabel berikut diperlihatkan biaya bahan baku dan bahan penolong yang dikeluarkan untuk menghasilkan satu ton aluminium (Burns, 2009).

Berdasarkan komponen bahan baku utama dan penolong yang dimasukan ke dalam persamaan, maka nilai tambah yang dihasilkan untuk setiap ton alumina dan aluminium dapat dilihat dalam Tabel 2.9. berikut ini:

Kajian Supply Demand Mineral

43

Sumber: Kementerian Perindustrian

Gambar 2.17 Struktur Industri Produk Aluminium

Menurut (Lewis, 1949), untuk menghasilkan satu ton aluminium diperlukan energi listrik sekitar 20.000-25.000 kWh, 4-5 ton bauksit, 4-5 ton batubara, sejumlah air, sekitar satu ton soda kustik dan 0,5-0,6 ton elektroda karbon.Dalam tabel berikut diperlihatkan biaya bahan baku dan bahan penolong yang dikeluarkan untuk menghasilkan satu ton aluminium (Burns, 2009).

Tabel 2.8 Komponen biaya untuk menghasilkan satu ton aluminium (US$)

Komponen bahan Porsi (%) (US$)* Biaya

Alumina 30% 390

Listrik (Electricity) 24% 312

Anoda (Anodes) 15% 195

Manajemen dan Tenaga kerja 8% 104

Gas 2% 26 Kimia (Chemicals) 10% 130 Spares 8% 104 Overhead 3% 39 Jumlah 100% 1300 Sumber : Burns (2009)

* AsumsiUS$1300/ton dengan acuan harga LME Bahan baku penolong = 1300 - 390 =910

Kajian Supply Demand Mineral

Berdasarkan komponen bahan baku utama dan penolong yang dimasukan ke dalam persamaan, maka nilai tambah yang dihasilkan untuk setiap ton alumina dan aluminium dapat dilihat dalam Tabel 2.9. berikut ini:

Tabel 2.9 Peningkatan Nilai Tambah dari Alumina Menjadi Aluminium No. Deskripsi bauxite to alumina to Alumina 1) aluminium

Output, Input dan Harga

1 Jumlah output (Ton) 1) 1 1

2 Jumlah input (Ton) 1) 2,00 2

3 Tenaga kerja (HOK) 6 6

4 Faktor konversi = (1)/(2) 0,50 0,56

5 Koefisisen TK langsung (HOK/US$) = (3/2) 3,00 3,33

6 Harga produk (US$/Ton) 455 2.700

7 Upah TK langsung (US$/hr) 5,70 5,90

Penerimaan dan Keuntungan

8 Harga bahan baku (US$/Ton) 3) 13,95 455

9 Sumbangan input lain (US$/Ton) **) 15,6144 910

10 Nilai output (US$/Ton) 228 1.500

11 a. Nilai tambah (US$/Ton) 198 135

b. Rasio nilai tambah (%) 0,87 0,09

12 a. Pendapatan tenaga kerja langsung (US$/Ton) 17 20

b. Pangsa tenaga kerja langsung (%) 8,64 14,57

13 a. Keuntungan (US$/Ton) 181 115

b. Tingkat keuntungan (%) 91,36 85,43

Balas jasa pemilik faktor-faktor produksi

14 Marjin (US$/Ton) 214 1.045

a. Sumbangan tenaga kerja langsung (%) 8,01 1,88

b. Sumbangan input lain (%) 7,31 87,08

c. Keuntungan pemilik perusahaan (%) 84,68 11,04

Sumber :

1) www.d.umn.edu (2007) 2) John O. Ottestad (2008) 3) www.world-aluminium.org (2007) 4) Antam, 2007

**) electricity and caustic soda

Berdasarkan tabel, nilai tambah proses bauksit menjadi alumina

meningkat sebesar US$198 per ton, sedangkan nilai tambah proses alumina menjadi aluminium meningkat lagi sebesar US$ 135 per ton atau secara akumulatif terjadi peningkatan nilai tambah sebesar US$ 333 perton dari bijih

Berdasarkan tabel, nilai tambah proses bauksit menjadi alumina meningkat sebesar US$198 per ton, sedangkan nilai tambah proses alumina menjadi aluminium meningkat lagi sebesar US$ 135 per ton atau secara akumulatif terjadi peningkatan nilai tambah sebesar US$ 333 perton dari bijih bausit.

2.3.3. Prospek Pengembangan Smelter

Bauksit digunakan sebagai bahan baku untuk pembuatan alumina dan diolah sebagai bahan baku aluminium. Sekitar 90% alumina yang dihasilkan dari bijih bauksit digunakan untuk pabrik peleburan aluminium, sisanya sebanyak 10% digunakan untuk keperluan non-metalurgis, seperti pembuatan bata tahan panas (refractories), industri gelas keramik, bahan penggosok dan industri kimia. Sedangkan aluminium merupakan salah satu bahan logam yang telah banyak digunakan di berbagai sektor industri manufaktur. Secara umum untuk memperoleh aluminium murni dari bauksit dilakukan 2 tahapan proses, yaitu proses bayer dan proses hall-heroult. Pada proses bayer, bauksit dimurnikan untuk mendapatkan aluminium oksida. Proses selanjutnya, proses hall-heroult, meleburkan aluminium dioksida untuk mendapatkan logam aluminium murni. Gambaran lengkap dari proses produksi Aluminium dapat dilihat pada diagram berikut ini.

Sumber: Kementerian Perindustrian

Gambar 2.18 Proses Produksi Aluminium

Sektor industri yang menggunakan aluminium tersebut antara lain:

• Industri otomotif, untuk membuat bak truk dan komponen kendaraan bermotor;

• Sektor konstruksi dalam pembangunan perumahan seperti kusen dan jendela;

• Industri manufaktur untuk membuat badan pesawat terbang; • Industri pengolahan makanan dan minuman, untuk kemasan

berbagai jenis produk;

• Sektor lain, misal untuk kabel listrik, peralatan rumah tangga dan barang kerajinan;

• Membuat termit, yaitu campuran serbuk aluminium dengan serbuk besi oksida, digunakan untuk mengelas baja ditempat, misalnya untuk menyambung rel kereta api.

Sebagai penghasil bauksit, Indonesia saat ini belum memiliki perusahaan pelebur (smelter) bauksit sehingga seluruh bijih bauksit di ekspor ke luar negeri (Jepang dan Cina), sedangkan alumina sebagai bahan baku untuk pembuatan aluminium harus mengimpor dari negara lain.

Satu-satunya perusahaan aluminium di Indonesia adalah PT. Indonesia Asahan Aluminium (PT. Inalum), yang didirikan tahun 1976 dengan nilai investasi 411 Milyar Yen. Saham kepemikikan 41,12 % Pemerintah Indonesia dan 58,88 % Nippon Asahan Aluminium. Pabrik Peleburan aluminium yang terletak di Kuala Tanjung-Sumatera Utara, bergerak dalam bidang mereduksi alumina menjadi aluminium dengan menggunakan alumina, karbon, dan listrik sebagai material utama. Produksi aluminium dari perusahaan tersebut setiap tahunnya terus meningkat dan melebihi kapasitas produksi, seperti pada tahun 2010 perusahaan memproduksi sebesar 254 ribu ton dimana kapasitas produksi hanya sebesar 225 ribu ton, hal tersebut ditunjang dengan efisiensi arus energi yang meningkat dari 88% menjadi 92%, yang berarti konsumsi energi listrik makin menurun.

Disamping hal tersebut, kinerja Pembangkit Listrik Tenaga Air PT. Indonesia Asahan Aluminium (PLTA PT. Inalum) juga telah berhasil meningkatkan efisiensi penggunaan air. PT. Inalum menghasilkan aluminium dalam bentuk batang (ingot) dengan berat masing-masing 22,7 kg. Jenis kualitas produk yang dihasilkan oleh PT. Inalum adalah masing-masing 99,90% dan 99,70%. Produksi Inalum 40% dijual di

Dari data historis tersebut, terdapat kecenderungan yang meningkat dari tahun ke tahunnya baik data produksi maupun penjualan. Bahkan peningkatan penjualan di dalam negeri cukup signifikan dengan rata-rata pertumbuhan 7,07% per tahun. Pasar domestik Aluminium produk dari PT Inalum meliputi industri hilir berbasis aluminium yang berada di Sumatera Utara, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan.

Di sisi lain, kebutuhan domestik aluminium Indonesia sudah mencapai 350 ribu ton per tahun dengan rata-rata pertumbuhan 15 persen per tahun, kekurangannya dipasok dari negara lain seperti Australia. Demikian pula alumina sebagai bahan baku utama di smelter PT Inalum dipasok dari Australia.

Saat ini PT Inalum baru memasok 0,7 persen dari kebutuhan aluminium dunia. Adapun kebutuhan aluminium dunia pada tahun 2010 sebanyak 41,009 juta ton diperkirakan naik menjadi 50 juta ton pada 2015.Seiring dengan tingkat kebutuhan, produksi alumina dan aluminium primer, dalam kurun 2007-2010 terjadi fluktuatif yang cenderung meningkat.Tahun 2010 tingkat produksi dunia mencapai 41,970 juta ton.

Namun dengan akan didirikannya pabrik Chemical Grade Alumina (CGA) di Tayan, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat oleh PT Indonesia Chemical Alumina (ICA) yang sahamnya dimiliki PT Aneka Tambang (80%) dan PT Showa Denko (20%), maka dalam tiga tahun

Kajian Supply Demand Mineral

47

Disamping hal tersebut, kinerja Pembangkit Listrik Tenaga Air PT. Indonesia Asahan Aluminium (PLTA PT. Inalum) juga telah berhasil meningkatkan efisiensi penggunaan air.PT. Inalum menghasilkan aluminium dalam bentuk batang (ingot) dengan berat masing-masing 22,7 kg. Jenis kualitas produk yang dihasilkan oleh PT. Inalum adalah masing-masing 99,90% dan 99,70%. Produksi Inalum 40% dijual di pasar domestik, sedangkan 60% sisanya diekspor, hal ini sejalan dengan besaran saham yang dimiliki pemerintah pusat Mitsubisi-Jepang. Berikut tabel produksi dan penjualan aluminium ingot PT Inalum:

Tabel 2.11 Produksi dan Penjualan Aluminium Ingot PT Inalum Tahun 2004-2011

Tahun (Ribu Ton) Produksi (Ribu Ton) Penjualan (Juta US$) 2004 247 240 430 2005 252 248 503 2006 248 246 503 2007 241 248 650 2008 246 249 552 2009 257 255 469 2010 254 254 578 2011 250 250 594 Sumber : PT Inalum, 2011

Dari data historis tersebut, terdapat kecenderungan yang meningkat dari tahun ke tahunnya baik data produksi maupun penjualan. Bahkan peningkatan penjualan di dalam negeri cukup signifikan dengan rata-rata pertumbuhan 7,07% per tahun. Pasar domestik Aluminium produk dari PT Inalum meliputi industri hilir berbasis aluminium yang berada di Sumatera Utara, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan.

Di sisi lain, kebutuhan domestik aluminium Indonesia sudah mencapai 350 ribu ton per tahun dengan rata-rata pertumbuhan 15 persen per tahun, kekurangannya dipasok dari negara lain seperti Australia. Demikian pula alumina sebagai bahan baku utama di smelter PT Inalum dipasok dari Australia.

ke depan setelah berlakunya amanat Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Indonesia tidak akan mengimpor alumina. Kapasitas produksi CGA di Tayan setiap tahunnya mencapai 300 ribu ton alumina. Selain Tayan, PT Aneka Tambang melalui anak perusahaan juga berencana membangun pabrik Smelting Grade Alumina (SGA) di Kecamatan Toho, Kabupaten Pontianak, dengan kapasitas 1,2 juta ton pertahun.

Berikut ini adalah daftar proyek pembangunan smelter yang sedang berjalan.

• Proyek Chemical Grade Alumina (CGA) Tayan, Lokasi: Tayan, Kalimantan Barat.

Perkiraan biaya proyek sebesar US$450 juta dengan rencana kapasitas produksi 300.000 ton Chemical Grade Alumina per tahun. Status saat ini: Konsorsium unincorporated PT Wijaya Karya (Persero) Tbk, Tsukishima Kikai Co. Ltd. dan PT Nusantara Energi Abadi (Nusea) terpilih sebagai kontraktor EPC. Tahap saat ini: Proses Pendanaan. Estimasi operasi komersial pada tahun 2014.

• Proyek Smelting Grade Alumina (SGA) Mempawah, Lokasi: Kalimantan Barat.

Perkiraan biaya proyek sebesar US$1 miliar dengan kapasitas produksi 1,2 juta metric ton SGA per tahun. Status saat ini: Antam berencana untuk membentuk usaha patungan dengan Hangzhou Jinjiang Group dari China dengan kepemilikan saham sebesar 49% (Antam) dan 51% (HJG). Antam memiliki opsi untuk menjadi mayoritas setelah tiga tahun beroperasi komersial. Tahap saat ini: pemilihan kontraktor EPC dan pendanaan. Estimasi operasi komersial pada semester II/2014. • Proyek Pabrik Pemurnian Alumina Harita Group, Lokasi:

Kendawangan, Kalimantan Barat.

Maka sangat tepat dan beralasan jika ke depannya rencana pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian bauksit di Indonesia (khususnya di Kalimantan Barat) dapat diwujudkan dan dimatangkan. Namun begitu, perlu dipertimbangkan pula umur tambang bauksit yang bila dihitung berdasarkan ratio cadangan/produksi = ± 14 tahun (cadangan 223.456.017 ton : produksi 15.595.049 juta ton), sedangkan ratio sumber daya/produksi = ± 74 tahun ( sumber daya 1.161.803.671 ton : produksi 15.595.049 ton). Oleh karenanya kebijakan tentang nilai tambah dan konservasi perlu diterapkan dengan baik. Dalam kondisi produksi sekarang berarti cuma tinggal 14 tahun lagi produksi bauksit dapat ditambang dan dapat memenuhi kebutuhan smelter bauksit dalam negeri. Jumlah ini tidak sampai 20% dari produksi dunia (produksi bauksit dunia tahun 2008 sebesar 247.115.000 ton). Semua hal tersebut dengan asumsi bahwa tidak ada lagi kegiatan eksplorasi lanjut untuk mengubah sumber daya bauksit menjadi cadangan.

Sampai sekarang harapan untuk memperoleh keuntungan yang

Dalam dokumen Kajian SUPPLY DEMAND MINERAL (Halaman 46-62)

Dokumen terkait