• Tidak ada hasil yang ditemukan

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan

Dalam dokumen Kajian SUPPLY DEMAND MINERAL (Halaman 119-125)

a. Industri Tembaga

Industri tembaga di Indonesia pada dasarnya telah ada dimulai dari hulu yaitu dari bijih menjadi konsentrat dalam hal ini seperti yang dibuat oleh PT Freeport di Tembaga pura dan PT Newmont di Batu Hijau. Konsentrat diproses lebih lanjut menjadi katoda tembaga yang saat ini satu-satunya tempat pemrosesan tersebut dilakukan oleh PT Smelting yang berada di Gresik Jawa Timur.

Dari gambar pohon industri tembaga, justru kelompok industri hulunya sudah jauh atau dalam, namun sebaliknya industri hilirnya yang belum berkembang seperti kabel, tube dan pipa. Dengan demikian produk industri hulu (Katoda tembaga) tidak diserap oleh pasar dalam negeri sendiri sehingga banyak dijual keluar negeri yang belakangan ini meningkat terus seiring dengan meningkatnya kebutuhan dunia.

Lebih lanjut, dengan meningkatnya ekspor produk hulu tersebut Indonesia akan kehilangan nilai tambah karena nilai tambahnya akan dinikmati oleh pihak luar negeri. Untuk itu kedalaman struktur industri tembaga diarahkan ke industri hilirnya, agar dapat menciptakan peluang pasar industri hilir yang kompetitif dan dapat di ekspor dan nilai tambahnya dinikmati Indonesia.

Pada tahun 2011, ekspor bijih dan konsentrat tembaga sebesar 1.471.420 ton. Terdapat potensi peningkatan nilai tambah dari bijih dan konsentrat tembaga yang semestinya dapat diolah di dalam negeri. Potensi nilai tambah dapat dihitung dari selisih antara nilai impor produk tembaga dasar dengan nilai ekspor bijih dan konsentrat tembaga, yaitu sebesar USD 12,16/Kg – USD 3,19/Kg = USD 8,97/Kg.

Nilai tambah dapat ditingkatkan dengan cara mengolah konsentrat di dalam negeri, yaitu dengan membangun pabrik peleburan dan pemurnian tembaga serta pembangunan industri hilirnya. Oleh karena itu, pengolahan hasil-hasil pertambangan di dalam negeri untuk mendorong peningkatan nilai tambah sudah menjadi sebuah tuntutan.

Bersamaan dengan potensi peningkatan nilai tambah ini, tentunya terdapat potensi penerimaan Negara dari pajak penghasilan, cukai ekspor produk tembaga dasar, retribusi daerah, dan lain sebagainya bila proses produksi bijih dan konsentrat tembaga yang di ekspor dilakukan di dalam negeri. Selain itu, terdapat benefit dari penyerapan tenaga kerja melalui industri pengolahan tembaga dasar sebanyak kurang lebih 32.600 orang. Penyerapan tenaga kerja ini belum termasuk tenaga kerja di industry hilir dan multiplier effect yang didapat dari pengolahan hasil produk industri hulu tembaga di Indonesia.

Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa industri hilir akan tumbuh dengan pesat, menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, dan dengan tumbuhnya industri hilir dan industri tersier tersebut juga dapat menggerakkan roda perekonomian. Sebagai gambaran, peleburan tembaga dengan kapasitas 200.000 ton per tahun membutuhkan konsentrat sekitar 660.000 ton. Dari sini akan dihasilkan asam sulfat sebanyak 650.000 ton, yang dapat mendukung produksi berbagai pupuk khususnya pupuk majemuk (NPK) sebanyak 1,2 juta ton. Produk samping lainnya seperti slag dan gypsum dibutuhkan oleh industri semen.

b. Industri Nikel

Secara umum pohon industri Nikel lebih baik dari pohon industri lainnya. Hal ini dapat dilihat dari fakta bahwa industri pengolahan dan pemurnian sudah sampai nickel matte dan ferronickel. Walaupun demikian, bijih nikel masih diekspor keluar negeri terutama yang berkadar rendah. Pada saat ini sudah ada teknologi pengolahan dan pemurnian untuk nikel berkadar rendah yang dapat menjadi peluang untuk mengolah bijih nikel.

Gambar pohon industri menunjukan bahwa di Indonesia masih belum ada dan atau belum dikembangkan beberapa industri hulunya seperti HPAL serta Slab stainless steel, dan hilirnya HRC stainless

steel. Di sisi lain, neraca perdagangan bahan mentah dan bahan

setengah jadi hasil pertambangan mengindikasikan rendahnya tingkat pengolahan hasil tambang. Hal ini karena hasil tambang diekspor dalam bentuk bahan mentah sementara nilai impor bahan setengah jadi lebih tinggi dari ekspor bahan mentahnya sendiri. Jika nikel dijual dalam bentuk bijih maka hanya dihargai senilai $25/ton. Namun, jika diolah menjadi FeNi maka nilai jualnya akan menjadi $2.5074/ton dan jika menjadi bahan untuk stainless steel maka nilainya menjadi $2.627/ton.

Pada tahun 2011, ekspor bijih dan konsentrat nikel sebesar 40.792.165 ton. Terdapat potensi peningkatan nilai tambah dari bijih dan konsentrat nikel yang semestinya dapat diolah di dalam negeri. Potensi nilai tambah tersebut dapat dihitung dari selisih antara nilai ekspor produk ferro nickel dengan nilai ekspor bijih dan konsentrat nikel, yaitu sebesar USD 5,96/Kg – USD 0,04/Kg = USD 5,92/Kg. Maka dapat dihitung opportunity loss yang terjadi pada tahun 2011, yaitu sebesar USD 5.920/ton x 40.792.165 ton = USD 241.489.616.800,-.

Masih banyak terdapat bahan/barang yang belum dibuat / diproduksi di dalam negeri, dengan alasan spesifikasi khusus dan jumlah permintaan tebatas sehingga skala ekonomi tidak tercapai. Hal ini dapat terlihat dari grafik perbandingan antara impor dan ekspor produk nikel dengan stainless, dimana Indonesia lebih banyak mengekspor produk nikel dan mengimpor stainless. Secara sederhana gap yang ada dapat dijawab melalui penelusuran dalam hal antara lain: 1) Sumber bahan baku tidak mendukung/deposit tidak mencukupi atau terbatas, mutu tidak memenuhi; 2) Investasi mahal akibat infrastruktur yang belum tersedia, teknologi tinggi; 3) Pasar kecil, spesifikasi terlalu banyak.

Bersamaan dengan potensi peningkatan nilai tambah, tentunya terdapat potensi penerimaan Negara dari pajak penghasilan, cukai

kurang lebih 1.700.000 orang. Penyerapan tenaga kerja ini belum termasuk tenag akerja di industri hilir dan multiplier effect yang didapat dari pengolahan hasil produk industry hulu nikel di Indonesia.

c. Industri Aluminium

Indonesia sebagai salah satu penghasil bauksit di dunia, belum memiliki pabrik pemrosesan alumina sehingga seluruh produk bauksitnya dijual ke luar negeri. Di sisi lain, Indonesia memiliki pabrik pemrosesan aluminium yaitu PT. Inalum di Sumatera Utara. Ada mata rantai proses yang terputus akibat ketiadaan pabrik pemrosesan yang mengakibatkan hilangnya nilai tambah dari proses ini. Mata rantai yang terputus inilah yang menjadi target dari implementasi kebijakan peningkatan nilai tambah. Artinya kedepan, mulai tahun 2014 tidak lagi diperkenankan mengekspor bijh bauksit namun terlebih dahulu harus diproses untuk mendapatkan nilai tambah bauksit, antara lain untuk mensubstitusi impor alumina.

Memperhatikan pohon industri aluminium yang ada saat ini, yang sangat mendasar adalah tidak dan belum diusahakannya pendirian pabrik alumina. Padahal bahan baku dasar alumina seperti bauksit ada di dalam negeri dengan deposit yang cukup untuk jangka panjang, sementara itu industri produk hilirnya sedang tumbuh dan berkembang.

Pada tahun 2011, ekspor bijih dan konsentrat bauksit sebesar 40.643.852 ton. Terdapat potensi peningkatan nilai tambah dari bijih dan konsentrat bauksit yang semestinya dapat diolah di dalam negeri. Potensi nilai tambah dapat dihitung dari selisih antara nilai impor produk alumina dengan nilai ekspor bijih dan konsentrat bauksit, yaitu sebesar USD 0,35/Kg – USD 0,02/Kg = USD 0,33/Kg. Maka dapat dihitung opportunity loss yang terjadi pada tahun 2011, yaitu sebesar USD 330/ton x 40.643.852 ton = USD 13.412.471.160,-.

Mengingat pangsa pasar domestik yang cukup besar untuk produk aluminium dan kecenderungannya tiap tahun terus bertambah, perlu dipertimbangkan untuk mengurangi jumlah impor dan meningkatkan nilai tambah di industri dalam negeri. Salah satu caranya adalah dengan integrasi industri aluminium dari hulu ke hilir di Indonesia sehingga kita tidak perlu mengimpor produk aluminium. Dari sisi hulu,

dibutuhkan adanya industri alumina sebagai industri hulu aluminium. Sedangkan dari sisi hilir, diperlukan peningkatan kemampuan industri dalam negeri dalam penguasaan teknologi. Saat ini mesin produksi di industri, khususnya industri kecil masih banyak yang menggunakan teknologi konvensional sehingga menghasilkan kualitas produk yang rendah akibat kurangnya penguasaan teknologi.

Bersamaan dengan potensi peningkatan nilai tambah ini, tentunya terdapat potensi penerimaan Negara dari pajak penghasilan, cukai ekspor produk alumina, retribusi daerah, dan lain sebagainya bila proses produksi bijih dan konsentrat bauksit yang di ekspor dilakukan di dalam negeri. Selain itu, terdapat benefit dari penyerapan tenaga kerja melalui industri pengolahan bijih dan konsentrat bauksit yang akan diolah di dalam negeri dan menyerap tenaga kerja sebanyak kurang lebih 670.000 orang. Penyerapan tenaga kerja ini belum termasuk tenaga kerja di industry hilir dan multiplier effect yang didapat dari pengolahan hasil produk industry hulu bauksit di Indonesia. 5.2. Saran

Agar produk dalam negeri dapat kompetitif baik untuk pasar lokal maupun global maka diperlukan berbagai upaya yang diharapkan dari pemerintah antara lain: untuk membangun infrastruktur pendukung bagi industri tembaga, nikel dan bauksit seperti penyediaan energi listrik termasuk didalamnya pasokan gas yang stabil, transportasi, pelabuhan dan reformasi pajak, berbagai insentif seperti kebijakan tata niaga, safe guard,stimulus fiscalsertatax holiday/allowance dan lain-lain.

Selain hal tersebut di atas pemerintah perlu mempertimbangkan pendirian atau peningkatan industri hilir untuk mengurangi jumlah impor dan meningkatkan nilai tambah di industri dalam negeri. Khusus untuk industri bauksit, pemerintah diharapkan segera mengembangkan atau mendirikan pabrik alumina melalui BUMN pertambangan ataupun bekerjasama dengan swasta, karena bahan baku dasar alumina seperti bauksit ada di dalam negeri dengan deposit yang cukup untuk

Diharapkan kedepan pemerintah sudah mulai mengembangkan industri yang terintegrasi dari hulu hingga hilir sehingga tidak perlu lagi mengekspor raw material dan mengimpor produk setengah jadi, sehingga semua benefit dari peningkatan nilai tambah mineral dapat dioptimalkan bagi industri di dalam negeri.

Dalam dokumen Kajian SUPPLY DEMAND MINERAL (Halaman 119-125)

Dokumen terkait