• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tantangan Industri Nikel

Dalam dokumen Kajian SUPPLY DEMAND MINERAL (Halaman 101-106)

ANALISA SUPPLY DEMAND MINERAL

9. Nickel waste & scrap

4.2.2 Tantangan Industri Nikel

• Sampai saat ini Indonesia masih bergantung pada impor bahan baku stainless steel dan produk-produk stainless engineering untuk produk otomotif, alat berat, mur dan baut serta alat rumah tangga;

• Pertumbuhan permintaan stainless steel dalam negeri masih relatif lambat;

• Rentang produk dan kualitas masih terbatas;

• Skala ekonomi pada industri yang ada belum memadai, hal ini menyebabkan biaya produksi menjadi lebih mahal;

• Dari sisi teknologi, proses produksi dengan menggunakan MFO sudah tidak lagi murah, selain itu pasokan listrik juga kurang. Dari sisi efisiensi dan produktifitas juga masih rendah dibandingkan produsen lain di dunia;

• Infrastruktur pendukung industri nikel masih lemah seperti energi listrik, transportasi dan lain-lain;

• Telah dibukanya akses pasar produk-produk stainless steel luar negeri dengan dimulainya kesepakatan-kesepakatan Internasional antara pemerintah Indonesia dengan mitranya. Untuk HRC stainless steel sejak dimulai ACFTA tahun 2009 bea masuk sudah menjadi 0%.

4.3. Industri Pertambangan Bauksit

Defisit produk hilir aluminium di Indonesia makin mencemaskan. Dari total produksi produk hilir aluminium yang meliputi aluminium ingot alloy, aluminium ek-strusi, aluminium sheet, dan aluminium foil hanya 375.001 ton pada tahun 2009. Padahal, total kebutuhan produk hilir aluminium di dalam negeri pada saat itu mencapai 535.093 ton sehingga terjadi defisit 160.092 ton. Hal ini antara lain yang menyebabkan tiap tahun Indonesia harus mengimpor kebutuhan produk hilir aluminium untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Sejalan dengan perkembangan pertumbuhan demand dan

kendaraan bermotor, mesin, dan ekstrusi yang sebagian besar untuk menopang investasi Jepang di Indonesia. Adapun pengembangan industri yang lebih hilir seperti aluminium foil bagi industri kemasan dan makanan justru mengalami defisit.

Indonesia sebagai salah satu penghasil bauksit di dunia, belum memiliki pabrik pemrosesan alumina sehingga seluruh produk bauksitnya dijual ke luar negeri. Di sisi lain, Indonesia memiliki pabrik pemrosesan aluminium yaitu PT. Inalum di Sumatera Utara. Ada mata rantai proses yang terputus akibat ketiadaan pabrik pemrosesan yang mengakibatkan hilangnya nilai tambah dari proses tersebut. Mata rantai yang terputus inilah yang menjadi target dari implementasi kebijakan peningkatan nilai tambah. Artinya kedepan, mulai tahun 2014 tidak lagi diperkenankan mengekspor bijh bauksit namun terlebih dahulu diproses untuk mendapatkan nilai tambah bauksit, antara lain untuk mensubstitusi impor alumina.

Sebagaimana diketahui material dari aluminium ini memiliki nilai dan fungsi pengganti atau subtitusi material dari besi atau baja, seperti konstruksi, blok-blok mesin, dan peralatan serta barang lainnya karena memilki sifat yang ulet, kuat dan ringan, sehingga masa depannya sangat potensil untuk ditumbuh kembangkan.

Memperhatikan pohon industri aluminium yang ada saat ini, menunjukkan bahwa industri alumunium di Indonesia sudah meliputi dari hulu sampai ke hilir. Namun, masih terdapat banyak kekosongan dan sangat perlu di tingkatkan, yang sangat mendasar adalah tidak dan belum diusahakannya pendirian pabrik alumina. Padahal bahan baku dasar alumina seperti bauksit ada di dalam negeri dengan deposit yang cukup untuk jangka panjang, sementara itu industri produk hilirnya sedang tumbuh dan berkembang.

Sumber: Kementerian Perindustrian

Gambar 4.19 Pohon Industri Aluminium

Di wilayah ASEAN, Indonesia merupakan satu-satunya negara yang memiliki industri hulu alumunium, yaitu industri alumunium ingot di Sumatera Utara. Hal ini disebabkan oleh melimpahnya bahan baku bauksit di Indonesia. Namun sampai saat ini, Indonesia belum memiliki industri pengolah bauksit, sehingga hasil baukit di Indonesia langsung di ekspor ke luar negeri.

Selain dari industri alumunium ingot, industri antara dan industri hilir pun telah dikembangkan di Indonesia, mulai dari produk plat, profil, casting, die-casting, dll. Industri antara dan hilir di Indonesia masih sangat kurang, mengingat volume pasar masih relatif rendah dan banyak dikuasai oleh luar negeri. Sejalan dengan hal ini, pemerintah masih “merasa” belum mampu untuk berinvestasi sehingga berupaya keras untuk menarik investasi terutama investasi asing untuk membangun industri alumina sebagai bahan baku industri alumunium.

kebutuhan domestik hanya sebesar 40%. PT. Inalum selama ini tidak mengusahakan proses bauksit menjadikan alumina di Indonesia tetapi mengimpor alumina untuk diproses lanjut menjadi ingot aluminum.

Bea masuk aluminium Primer (Ingot) / Paduan 0 %, namun produk PT Inalum masih dapat bersaing dengan produk impor karena: • Kualitasnya yang tinggi dengan kemurnian terendah 99,7 %

sampai 99,92 %;

• Biaya produksi yang relatif rendah karena menggunakan energi air yang murah;

• Kebijakan pemerintah yang dibutuhkan untuk mengembangkan industri aluminium yaitu kebijakan untuk mendorong tumbuhnya industri alumina karena bahan bakunya tersedia di dalam negeri yaitu bauksit namun membutuhkan investasi besar dan jangka panjang serta memerlukan perhatian dan fasilitas khusus dari Pemerintah.

Sama halnya dengan pohon industri baja, pohon industri aluminium ini semestinya digambarkan secara rinci dan detail sehingga mampu mengakomodasi dan menggambarkan pohon tarif maupun pohon standar agar pihak stakeholder yang berkepentingan mudah dalam menetapkan kebijakan bagi industri ini.

Kebutuhan Aluminium Indonesia pada tahun 2011 berada di kisaran 889.000 ton yang di supply oleh 40 perusahaan produsen dalam negeri, dan kekurangannya masih diimpor. Produsen utama Alunimium adalah PT. Inalum yang memproduksi Al Ingot untuk memasok kebutuhan dalam negeri. Selain itu terdapat 78 produsen lainnya dibidang industri aluminium yang umumnya memproduksi produk-produk aluminium hilir.

Konsumsi Aluminium per kapita di Indonesia saat ini baru mencapai 0.8 kg/kapita, sangat rendah bila dibandingkan dengan negara-negara maju seperti USA (21 kg/kapita), Jerman (20 kg/ kapita), Jepang (17 kg/kapita) dan Korea Selatan (19 kg/kapita). Hal ini disebabkan oleh permintaan dalam negeri akan aluminium yang masih relatif rendah dan tidak sebanding dengan jumlah penduduknya. Namun begitu, permintaan dalam negeri ini masih banyak dipasok oleh impor produk aluminium.

Selama periode 2007-2011 ekspor logam bauksit dan produk aluminium cenderung meningkat, namun di saat pertumbuhan ekspor sedang cukup baik, dunia dilanda krisis ekonomi sebagai dampak krisis Amerika yang mulai terjadi pada pertengahan tahun 2008. Krisis ekonomi global tersebut sangat berpengaruh terhadap perkembangan ekspor dan impor aluminium Indonesia.

Pada tahun 2007 ekspor produk aluminium Indonesia berada di kisaran US$ 700 juta dan jumlahnya tetap stabil pada tahun 2008, namun menurun menjadi sekitar US$ 400 juta pada tahun 2009. Penurunan ekspor tersebut disebabkan oleh turunnya permintaan pasar dunia. Namun dengan makin membaiknya kondisi makro Indonesia dan perekonomian dunia, kinerja ekspor Indonesia pasca krisis menunjukkan kecenderungan meningkat yaitu menjadi US$ 680 juta di tahun 2010 dan terus meningkat menjadi US$ 770 juta di tahun 2011.

Krisis ekonomi ternyata berpengaruh juga terhadap kinerja impor. Sebelum krisis ekonomi terjadi, impor produk aluminium mencapai US$ 780 juta pada tahun 2007 dan melonjak menjadi US$ 1,1 milyar pada tahun 2008. Namun pada tahun 2009 impor aluminium menurun drastis menjadi sekitar US$ 770 juta dan mulai meningkat kembali di kisaran US$ 1,2 milyar pada tahun 2010, dan terus meningkat pada tahun 2011 menjadi US$ 1,8 milyar. Secara keseluruhan, neraca perdagangan ekspor impor produk aluminium bernilai minus. Artinya, kita lebih banyak mengimpor produk aluminium daripada mengekspornya. Hal inilah yang harus kita perbaiki bersama.

Untuk memudahkan kajian, analisa dilakukan berdasarkan perspektif nilai tambah dengan nilai dan volume ekspor impor menggunakan acuan aliran supply demand. Berdasarkan HS code dari struktur industri aluminium, maka kita dapat memetakan aliran

supply demand aluminium beserta data tahun 2011, seperti yang

Neraca supply demand aluminium tersebut dapat dianalisa

sebagai berikut:

Dalam dokumen Kajian SUPPLY DEMAND MINERAL (Halaman 101-106)

Dokumen terkait