• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

IV. GAMBARAN UMUM KOMODITI UDANG INDONESIA

4.1 Industri Udang Indonesia

Udang merupakan salah satu produk unggulan Indonesia dalam sektor perikanan. Besarnya potensi tambak udang nasional dan tingginya permintaan pasar dunia terhadap komoditi udang Indonesia merupakan peluang yang sangat besar sebagai sumber devisa negara. Diketahui berdasarkan Departemen Perdagangan (2009) bahwa realisasi ekspor udang Indonesia meningkat dari tahun 2005 yang sebesar US$ 806.580.000 menjadi US$ 943.998.000, begitu juga pada tahun 2007 sebesar US$ 791.854.000 meningkat menjadi 1.055.805.000 sampai akhir bulan Agustus 2008. Hal ini menunjukkan penerimaan ekspor udang memang sangat besar sebagai devisa negara. Karena itu para petambak nasional dan eksportir (perusahaan-perusahaan pengekspor) selalu berupaya meningkatkan produktivitasnya dari tahun ke tahun baik untuk memenuhi permintaan domestik maupun mancanegara.

Sebuah megaproyek industri budidaya udang pertama dan terbesar di Indonesia pertama kali dibangun pada tahun 1989 dengan konsep tambak inti rakyat (TIR) dan menghimpun puluhan ribu tenaga kerja15. Tambak ini dikenal dengan PT Dipasena Citra Darmaja (DCD) yang kini berganti nama menjadi PT Aruna Jaya Sakti. DCD membangun tambak di areal konsesi seluas 16.250 hektar dari 30.000 hektar cadangan yang diberikan Pemda Propinsi Lampung dengan 16 blok. DCD juga membangun infrastruktur besar seperti 7 areal

15

Bank Indonesia. 2009. “Boks: Menanti Kebangkitan Dipasena”. http://www.google.com/boks2- menanti-kebangkitan-dipasena.pdf [20 Mei 2009].

infrastruktur seluas 753.28 hektar dan infrastruktur Tata Kota seluas 1000 hektar. Selain itu DCD juga membangun darmaga ekspor khusus untuk pengapalan ekspor udang ke mancanegara.

Sejak beroperasinya DCD di Lampung, sumbangan devisa dari tahun 1995-1998 selalu meningkat. Kontribusi nyata telah dilakukan DCD untuk mengangkat citra Indonesia dimata pelaku bisnis internasional dimulai lewat panen perdana pada tahun 1990. Tercatat devisa negara yang disumbangkan oleh Dipasena mencapai 3 juta dolar AS. Tahun 1991, mampu membukukan sebesar 10 juta dolar AS. Disusul 30 juta dolar AS pada tahun 1992. Dan puncaknya pada tahun 1995 hingga 1998 menghasilkan 167 juta dolar AS. Kemudian pada tahun 1991 terjadi peningkatan produksi sebesar 1 ton udang windu yang melonjak menjadi 11.068 ton pada 1994. Setahun kemudian naik menjadi 16.250 ton. Pasar ekspornya pun meliputi Jepang, AS dan negara- negara di Eropa. Citra Indonesia di mata dunia, pada tahun 1997, sempat terangkat sebagai produsen udang terbesar kedua di dunia.

Namun kejayaan DCD telah terhenti saat terjadinya krisis ekonomi moneter berkepanjangan pada awal tahun 1998 dan mencapai puncaknya pada awal tahun 2000-an. Selain karena masalah eksternal, juga terjadi masalah internal pada industri tersebut yang berdampak seluruh aktivitas usaha terhenti dan 12 ribu orang petani plasma kehilangan pekerjaannya serta terjadi kebangkrutan industri DCD. Karena krisis ekonomi yang berkepanjangan membuat pemerintah melalui BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) berusaha menyelamatkan DCD melalui Konsorsium Recapital dengan

memberikan dana talangan kredit kepada DCD. Tetapi usaha tersebut juga tak berhasil sampai akhirnya pemerintah menjual Dipasena Grup melalui lelang terbuka. Ada empat investor yang menjadi peserta tender Dipasena, yaitu Konsorsium Laranda (Filipina), PT Central Proteinaprima (kelompok Chakroen Phokphand Thailand), Thai Royal (Thailand) dan PT Kemila International Holding Co (Indonesia). Akhirnya pemerintah memutuskan Konsorsium Neptune sebagai pemenang tendernya, dimana Konsorsium Neptune juga masih di bawah PT. Central Proteinaprima (Chakroen Phokpand Thailand). Sejak saat itu PT Dipasena (PT Aruna Wijaya Sakti) berada di bawah PT Central Proteinaprima (kelompok Chakroen Phokpand Thailand).

Industri Chakroen Phokpand Group sendiri berdiri pada tahun 1972 yang merupakan suatu industri terbesar di kawasan Asia Tenggara pada sektor budidaya udang (akuakultur) dan berbagai sektor agribisnis lainnya. Kegiatan usahanya meliputi produksi, distribusi, pengolahan produk-produk perikanan dan peternakan termasuk dalam hal industri penyediaan pakan. Industri tambak paling besar di Asia Tenggara ini menjadikan AS sebagai pasar utamanya dan menguras 50% udang Indonesia. Salah satu cabang perusahaannya di Indonesia adalah PT Central Proteinaprima Tbk yang juga menjadi produsen dan pengolah udang yang terintegrasi secara vertikal terbesar di Indonesia. Diketahui sampai September 2008, dari 100.000 ton ekspor udang per tahun sebanyak 50% dikirim ke pasar AS, 30% pasar Jepang dan 20% Uni Eropa. Hal inilah yang menjadikan industri Chakroen Phokpand menjadi industri berstruktur monopoli dalam sektor budidaya udang di Asia Tenggara. Begitu pula dengan PT Central

Proteinaprima yang menguasai lebih dari 50.000 hektar tambak di Lampung dan Sumatera Selatan yang terbagi dalam tiga tambak intensif modern yaitu PT Central Pertiwi Bahari (CPB) dengan 3.520 tambak (12% milik perusahaan inti dan 88% plasma), PT Wachyuni Mandira (WM) dengan 4.709 tambak (65% milik perusahaan inti dan 35% plasma), dan PT Aruna Wijaya Sakti (AWS) dengan 5.908 tambak (100% plasma)16.

Komoditi udang Indonesia dihasilkan dari kegiatan budidaya tambak (70%) dan penangkapan perairan laut (30%). Pada produksi udang Indonesia sebanyak 95% diekspor, sedangkan 5% sisanya dipasarkan dalam negeri terutama untuk pasar-pasar besar (supermarket). Sampai saat ini pengadaan udang melalui kegiatan budidaya lebih banyak dilakukan oleh usaha kecil (rakyat) maupun industri, sebaliknya penangkapan perairan laut berkurang. Daerah usaha penghasil udang utama Indonesia berada di perairan Jawa dan Sumatera, Papua, sebagian Maluku, Kalimantan, dan Sulawesi Selatan. Dari seluruh daerah tersebut, Lampung merupakan daerah penghasil utama udang Indonesia, dimana jumlah produksinya adalah 40% dari total produksi udang nasional. Lampung pula yang menjadi pelopor budi daya udang nasional berskala dunia seperti yang dilakukan PT Dipasena dan PT Cental Pertiwi Bahari. Pada nilai ekspor udang terbesar pada empat propinsi Indonesia dapat dilihat pada Tabel 4.1.

16 Saragih, M.N. 2008. “Rekam Jejak Krisis Keuangan Global Terhadap Sektor Perikanan

Indonesia”. [Infosheet KIARA-Fisheries Justice Coalition].

http://www.kiara.or.id/images/stories/Rekam-Jejak-Krisis-Keuangan-Global-Terhadap- Sektor-Perikanan-Indonesia.pdf [20 Juni 2009].

Kini telah terdaftar 182 perusahaan eksportir udang di seluruh wilayah Indonesia (Depdag, 2009). Pada umumnya beberapa eksportir besar Indonesia seperti PT Dipasena dan PT. Central Proteinaprima memproduksi frozen shrimp

dan hanya sedikit yang memproduksi udang tak beku dan udang olahan seperti PT.Tri Kusuma Graha di Jakarta yang memproduksi Canned Shrimph (udang dalam kaleng). Adapun mayoritas produksi udang Indonesia berupa produk udang beku 90% serta udang tak beku dan olahan sebesar 10% (Depdag, 2006).

Tabel 4.1 Empat Propinsi Penghasil Nilai Ekspor Udang Terbesar Indonesia

Tahun

Empat Propinsi Nilai Ekspor Udang Terbesar Indonesia (US$)

Lampung DKI Jakarta Jawa Timur Sulawesi Selatan 2005 124.029.784 130.506.599 321.225.017 445.521.354 2006 193.769.358 118.344.741 362.130.880 6.204.272 2007 159.383.427 10.204.062 377.401.780 42.389.429 *2008 291.757.202,43 50.453.015 399.498.563 53.761.317,71 Sumber : Statistik Ekspor DKP, 2009

* Data sementara dari Pusat Pengolahan Hasil Laut DKP

Pada Tabel 4.1 diketahui bahwa pada tahun 2005 propinsi Sulawesi Selatan menghasilkan nilai ekspor udang terbesar di antara propinsi-propinsi lainnya, yaitu sebesar US$ 445.521.354. Sedangkan pada tahun 2006 dan 2007 penghasil nilai ekspor terbesar dipegang oleh Jawa Timur yaitu sebesar US$ 362.130.880 pada tahun 2006 dan sebesar US$ 377.401.780 pada tahun 2007. Pada data sementara juga diketahui bahwa propinsi Jawa Timur menghasilkan nilai ekspor terbesar yaitu US$ 399.498.563 pada tahun 2008.

Keberadaan industri pengolahan udang memiliki peran penting untuk meningkatkan nilai tambah komoditas ekspor. Dalam persaingan pasar global yang semakin ketat dan terjadinya penurunan harga udang sekitar 5% dalam

lima tahun terakhir, peningkatan nilai tambah komoditas melalui jaminan mutu dan pengolahan udang memberikan keuntungan yang lebih besar bagi produsen maupun industri pengolah. Pada Gambar 4.1 diperlihatkan perbedaan harga komoditas udang segar, udang beku hasil sortasi maupun udang olahan berdasarkan data World Bank tahun 2007, dimana harga udang olahan memiliki harga yang paling tinggi.

Sumber: World Bank, 2007

Gambar 4.1 Harga komoditas udang segar, udang beku, dan udang olahan di Pasar Internasional

Berdasarkan Gambar 4.1 diketahui bahwa produk udang olahan memiliki harga ekspor tertinggi daripada produk lainnya yaitu sebesar US$ 6 per kg. Pada peringkat kedua diduduki oleh produk udang beku dengan harga ekspor sekitar US$ 5,5/kg sedangkan produk udang segar berada pada posisi terakhir dengan harga US$ 4 / kg. US$/ k g Udang Segar Udang Beku Udang Olahan

Dokumen terkait